Minggu, 22 Agustus 2021

Menyambut Hari Konstitusi (1): MENYEDIHKAN, PANCASILA HANYA ADA DI PEMBUKAAN UUD

 

Menyambut Hari Konstitusi (1):

MENYEDIHKAN, PANCASILA HANYA ADA DI PEMBUKAAN UUD

Insya Allah Rabu 18 Agustus 2021, usia konstitusi Republik Indonesia mencapai 76 tahun. Usia yang tak muda lagi. Visi Indonesia yang seperti apakah, yang  kita cita-citakan dan ingin kita wujudkan, sesuai konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 76 tahun silam itu?

Visi tersebut dituangkan secara jelas dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan kesejahteraan umumnya yang maju, kehidupan bangsa yang cerdas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan – perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dengan visi itu kemudian disusun Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berdaulat berdasarkan lima sendi yang kita sebut sebagai Pancasila.

Dalam tataran praksis, cita-cita tadi jika kita rumuskan dalam model gerakan, maka  akan menjadi Visi Indonesia Masa Depan yaitu, “Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dengan rakyatnya yang beraneka macam, hidup bersatu secara aman tenteram, dengan kehidupan yang adil makmur sejahtera, dalam suasana kebersamaan atau gotongroyong, yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan keagamaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Jika diuraikan lebih rinci :

1. Rakyat Indonesia yang multi etnis-agama-golongan, hidup secara harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

2. Rakyatnya cerdas, hidup dalam kebersamaan atau gotongroyong,  berjatidiri, berbudaya dan berakhlak mulia serta menjaga hubungan nan serasi timbal balik antara manusia – alam semesta dengan segenap isinya dan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Tatatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan berkeadilan hukum secara taat asas.

4. Tatanan politiknya menjunjung tinggi sistem  perwakilan dan permusyawaratan, antara lain dengan terwakilinya  suku/etnis, adat-budaya, golongan dan agama yang ada di Indonesia dalam lembaga legislatif/perwakilan rakyat.

5. Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.

 

BACAAN KEADAAN.

Bagaimana keadaan Indonesia setelah 76 merdeka? Apakah sudah sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan? Sesuai dengan visi dan misinya? Indonesia tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam tata hubungan dan pergaulan antar bangsa yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal dan tekonologi super canggih yang terus berkembang pesat, eksponensial, sebagaimana halnya dengan revolusi digital sekarang ini, yang menggelorakan gelombang musik jiwa yang mendendangkan : (1) penggalangan alam pikiran agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas; (2) pemujaan pada pesona dunia; (3) kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.

Gelombang musik jiwa tersebut mempengaruhi serta mencengkeram Negara-Negara Bangsa yang ada termasuk Indonesia, agar menerima serta menghayatinya dengan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menganut (a) sistem pasar bebas; (b) sistem sosial politik demokratis yang individualistik; (c) sistem sosial budaya yang lepas bebas.

Dampak ketiga sistem asing itu telah  menghantam telak Trisaksi yang digariskan Bung Karno , yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Keretakan pada tiga sendi utama kehidupan negara bangsa yang dirumuskan dalam Trisakti itu, dapat  memicu krisis kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, yang sudah mulai kita saksikan dan rasakan pada perilaku individu-individu masyarakat sekarang yang hedonis-individualis, pragmatis –materialis  serta narsis, dengan praktek-praktek ekonomi konglomerasi dan oligarkis serta sistem politik yang juga individualistis sehingga mudah dikooptasi kekuatan dari luar. Semuanya  bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yang apabila tidak segara diatasi maka akan:

(1). Merusak kebhinekatunggalikaan dan norma-norma hubungan dalam kehidupan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

(2). Meninggalkan asas kekeluargaan yakni  gotongroyong dan kebersamaan dalam masyarakat-masyarakat  Nusantara yang multi etnis dan agama.

(3). Meninggalkan prinsip musyawarah mufakat dalam mewujudkan kehidupan bersama yang rahmatan lil alamin, yang hamemayu hayuning bawono  bahkan bisa meretakkan  hubungan serasi timbal balik antara manusia – alam semesta dengan segenap isinya dan Tuhan Yang Maha Esa.

(4). Jika ketiga hal tersebut tidak segera diatasi, akibat selanjutnya bisa merusak persatuan dan prinsip kemanusiaan dalam perikehidupan bersama.

(5). Pada akhirnya terjadi ketidakadilan sosial yang semakin mudah memicu perpecahan dan anarki.

Semua hal yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila tersebut dapat marak dan berkembangbiak secara cepat, di samping disebabkan faktor-faktor eksternal yang bersifat global, juga karena semenjak UUD 1945 di amandemen untuk yang keempat kalinya pada tahun 2002, Pancasila hanya menjadi ruh atau semangat di dalam Pembukaan UUD, tetapi tidak menjadi jiwa yang dituangkan untuk diwujudkan, ke  pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD. Bahkan jiwa di dalam batang tubuh tersebut sangat bertentangan dengan jiwa Pancasila, karena sangat individualistis, hedonistis, pragmatis yang lebih mengutamakan tujuan dibanding cara dan etika, liberalistis dan materialistis-narsistis yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritualitas dan  Ketuhanan.

Manusia Indonesia masa kini, sebagian besar hidup dalam suasana tersihir  pesona dunia, sehingga  sibuk mengejar pesona dunia, meraih harta dan tahta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tiada peduli cara, etika dan  dENGbahkan moral. Etika dan moral hanya sekedar menjadi penghias bibir. Naudzubillah.

Uraian tentang Pancasila yang menjadi ruh gentayangan itu, telah dibahas panjang lebar dalam sejumlah buku, antara lain buku kami Mengapa Kita Harus Kembali Ke UUD 1945?, penerbit Republika 2019) serta buku Pancasila Jatidiri Bangsa, penerbit Elmatera Publishing 2019.  (SERI 1 DARI 6 OLEH B,WIWOH0,  dimuat di panjimasyarakat.com  Senin 16 Agustus 2021).

 

Selasa, 17 Agustus 2021

JADIKAN COVID - 19 SEBAGAI MUSUH BERSAMA

 

Jadikan Covid-19 Sebagai Musuh Bersama

Masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, ditandai dengan perang ideologi antara dua kelompok. Kelompok pertama adalah Partai Komunis Indonesia beserta para pendukungnya. Sedangkan kelompok kedua, yang berseberangan, adalah penentangnya yang dimotori oleh para budayawan  yang tergabung dalam Manifesto Kebudayaan, para wartawan dan politisi yang bergerak dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme serta TNI AD yang antara lain  membentuk Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia  (SOKSI). SOKSI adalah organisasi buruh atau pekerja yang didirikan untuk mengimbangi keberadaan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) – PKI.

Kelompok pertama yang pro komunis,  dikenal sebagai golongan kiri –  yang menyebut dirinya progresif revolusioner, Pancasilais  sejati. Aku Pancasila. Lawannya disebut kanan, reaksioner, kontrarevolusioner dan  anti-Pancasila. Meskipun terjadi pembelahan antara komunis yang mengaku Pancasilais sejati yang progresif revolusioner, dan lawannya yang kontrarevolusioner, namun pembelahan itu tidak diwarnai dengan masalah identitas bernuansa SARA (Suku-Agama-Ras dan Antargolongan).

Namun demikian tatkala situasi itu  memuncak menjadi peristiwa yang kita kenal sebagai G30S, yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan munculnya kekuasaan Orde Baru, pembelahan ideologi yang sebelumnya disertai dengan aksi-aksi sepihak dan teror, mengobarkan dendam yang menimbulkan dampak nan tak terperikan di antara sesama anak bangsa, yang masih dirasakan sampai sekarang.

Sampai sekarang tak ada angka yang pasti tentang korban jiwa dari para anggota partai komunis dan simpatisannya akibat ledakan pembelahan ideologi tersebut. Puluhan ribukah, atau jutaan? Banyak versi banyak angka. Tak jelas.

Kini, 46 tahun kemudian, suasana pembelahan kembali terasa menerpa kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanda dan gejala faktual, bisa dilihat dari data-data formulir C-1 hasil Pilpres 2019 yang mengindikasikan di daerah-daerah pemukiman dengan mayoritas SARA tertentu, mayoritas atau secara mutlak memilih Capres tertentu. Demikian pula wilayah dan daerah dengan suku tertentu atau mayoritas agama tertentu yang lain, memilih Capres tertentu yang lain lagi.

Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat tidak hanya terjadi di satu dua komunitas pemukiman dan di satu dua daerah, melainkan di sejumlah pemukiman dan propinsi. Ironisnya, hal itu terus dibumbui dengan ujaran-ujaran kebencian yang berlangsung masif di berbagai media sosial, yang sudah mulai  berkembang sebelumnya, yakni semenjak masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2016.

Dengan kadar yang semakin meningkat,  masyarakat Indonesia berubah membelah menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang senang saling menyebut kelompok yang tidak sejalan dengan sebutan binatang seperti cebong, kampret, kadrun alias kadal gurun, bani bipang dan bani kadrun serta  berbagai jenis binatang atau penamaan buruk lainnya. Sebutan disertai ujaran kebencian tersebut hampir setiap saat mengisi berbagai media sosial termasuk grup-grup WhatsApp Massenger (WA), twitter dan instagram yang sedang digemari masyarakat luas , melibatkan para cerdik pandai sampai masyarakat awam.                                                         

Padahal selama ini kita menepuk diri sebagai bangsa yang berbudaya adiluhung, berbudaya luhur, yang mengenal kalimat bijak yang menyatakan,  “hati-hati dengan kata-kata, karena perkataan sejatinya adalah doa”. Orang-orang tua dulu bahkan menambahkan, karena kata-kata buruk akan diaminkan oleh setan, dan dicatat malaikat. Sebutan binatang terhadap makhluk yang diciptakan Allah sebagai manusia, secara keimanan adalah melawan Sang Pencipta.                                                           

Indonesia semenjak Era Reformasi sedang hendak dirobek-robek oleh politik identitas yang diwarnai berbagai pembelahan SARA, upaya penguasaan asing mengulang jejak penjajahan Belanda/Portugis dengan alasan bisnis seperti pada abad 16 yang silam,  ditambah kenyataan adanya kesenjangan dan ketidakadilan yang sangat menyolok,  berpilin, berkelindan satu sama lain, dengan jargon-jargon dan ujaran kebencian, pembelahan,  radikalisme, kadrun, cebong, kampret dan sejenisnya.

Dari berbagai jejak digital, kita bisa menemukan banyak orang yang dengan bangga sering mengusung isu-isu tersebut. Mengecap orang yang tak sejalan dengan stempel-stempel pengelompokan. Dengan dukungan buzzer masing-masing  yang terus mendengung, pembelahan pun makin mengental. Ada Islam vs non Islam, ada Islam radikal vs Islam wasathiyah, ada pribumi – nonpribumi, ada cebong versus kampret, dan sekarang ada kadrun (katak dungu turun-temurun) vs kadrun (kadal gurun), ada goodbener vs gakbener dan seterusnya. Semua saling menghinakan, saling menafikan kebaikan yang lain, saling menghujat dan merendahkan. Orang Jawa bilang, entek amek kurang golek. Cari terus kejelekan orang-orang yang tak sejalan, yang tak sealiran, yang tak satu golongan. Jiwa kesatria yang secara jujur mengakui kelebihan  lawan serta kekurangan diri atau kelompok sendiri bukan saja luntur tapi nyaris lenyap. Reformasi telah banyak diwarnai secara bebas lepas  oleh hawa nafsu dan dahaga  pesona dunia, yang tak peduli dengan tata nilai dan kebersamaan dalam kebhinekaan.

Di tengah suasana politik identitas yang membelah masyarakat itu, semenjak akhir  2019, dunia termasuk Indonesia dilanda pandemi virus Corona yang dahsyat. Corona atau Covid-19 terbukti telah mengguncang berbagai sektor kehidupan, sehingga keadaan semakin berat dan ruwet saling berkelindan.

Maka berlangsunglah apa yang dikenal sebagai VUCA yaitu Volatile, Uncertain, Complex dan  Ambigu.  Labil – mudah berubah, tidak menentu, kompleks – ruwet  dan tidak jelas. Istilah ini populer pada  1990an, menggambarkan lingkungan kehidupan yang labil, bergejolak, kompleks dan penuh ketidakpastian, sehingga jika salah menganalisa dan mengantisipasi, bisa berakibat fatal.

Dalam situasi yang seperti itu, ada beberapa indikator dan kecenderungan penting lainnya yang perlu diantisipasi yaitu: Pertama, sumber-sumber keuangan dan perekonomian yang semakin mengering. Aktivitas bisnis terutama sektor riil, pariwisata dan transportasi turun drastis bahkan banyak yang berhenti total, kecuali sektor pertanian terutama pangan, farmasi serta bisnis internet dan komunikasi.  Sektor-sektor perekonomian yang melesu, akan memperbesar pengangguran, sementara daya beli masyarakat menurun terutama pada kelas menengah yang menipis tabungannya serta kelas di bawahnya dan yang kehilangan pekerjaan.

Kedua, wabah Covid-19 bukannya surut tapi bahkan melejit.  Setiap hari Pemerintah mengumumkan perkembangan terbaru kasus Covid-19, yang pada 9 Agustus 2021 ini telah menelan korban jiwa sebanyak 108.571.

Bibit-bibit pembelahan bangsa yang berkembang dalam sikon VUCA dengan indikator-indikator yang saling terkait tersebut, apabila tidak bisa segera diatasi, akan mudah menyulut kobaran sosial politik dalam ladang rumput ilalang yang semakin mengering. Semoga kita cepat tanggap, lagi sigap dan tepat mengantisipasinya, dengan mencabut sampai ke akar-akar bibit pembelahan dan membasminya habis,  serta memanfaatkan pandemi (kali ini Covid-19) yang dalam sejarah telah menunjukkan bisa menghancurkan peradaban sesuatu bangsa, serta menggalang persatuan segenap anak bangsa dengan menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama. Semoga.

(https://panjimasyarakat.com/2021/08/11/jadikan-covid-19-sebagai-musuh-bersama/).

Minggu, 01 Agustus 2021

Parni Hadi: PERINGATAN BAGI BANGSA INDONESIA.

 

Buku Membaca Nusantara Dari Afrika, Menelusuri Jejak Para Pejuang yang Terbuang ini, memberi peringatan bahaya yang mengancam Indonesia.

Sejarah adalah kisah masa lampau. Tidak semua masa lampau itu indah dan benar. Tapi masa lampau itu perlu untuk pembelajaran. Sejarah adalah wasilah dari generasi ke generasi. Generasi yang belakangan mengambil hikmah dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan generasi sebelumnya untuk diikuti, diteladani, dan atau dihindari. Pengalaman adalah guru terbaik. Oleh karena itu, Bung Karno menyerukan “Jas merah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Ini bagi orang atau bangsa yang mau belajar, kecuali orang atau bangsa itu bahlul.

Buku yang Anda baca ini berisikan catatan perjalanan wartawan senior, Bambang Wiwoho, bersama istrinya ke Afrika Selatan akhir 2017. Isi buku ini menceritakan para pejuang Nusantara yang dibuang ke Afrika Selatan yang kemudian mengilhami perjuangan Nelson Mandela, tokoh dan pemimpin Afrika Selatan, untuk pembebasan manusia dari diskriminasi ras kaliber dunia. Di antara pejuang itu adalah Syekh Yusuf dari Makassar, penyebar Islam di Afrika Selatan. Dan, Cakraningrat IV Pangeran dari Madura yang memusuhi Belanda.

Para pemimpin yang berasal dari berbagai pulau di Nusantara itu dibuang Belanda ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya secara bergelombang. Jumlahnya, jika digabung dengan para budak, mencapai ribuan. Mayoritas mereka beragama Islam. Sekalipun dikurung dalam penjara Belanda, mereka tetap berjuang untuk syiar Islam dan menginspirasi gerakan pembebasan dari penjajahan bangsa asing. Mereka sangat dimuliakan, dianggap wali mursyid, waliulah, dan makam mereka dikeramatkan.

Ziarah yang dilakukan dan kemudian ditulis oleh Mas Wiwoho patut diteladani oleh wartawan muda dan anak bangsa Indonesia pada umumnya. Mas Wi, demikian saya biasa memanggilnya, telah memenuhi harapan para leluhur orang Jawa untuk mikul dhuwur mendhem jero. Artinya, menjunjung setinggi-tingginya nama baik leluhur dan memendam sedalam-dalamnya kekurangan mereka. Sebagai wartawan senior, usia berkepala tujuh, ia telah memberi contoh bagaimana seorang wartawan seharusnya bekerja, yakni mengamati dengan cermat, mencatat, mengasosiasikan dengan data dan berbagai bahan bacaan lainnya, merenungkannya, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah riwayat baru dengan misi atau pesan tertentu demi kebaikan.

Sejarah adalah sebuah buku yang tergelar atau terbuka lebar. Siapa pun dapat membuka, membaca, belajar, dan memetik hikmahnya. Salah satu pesan terpenting dari buku ini adalah bangsa asing yang semula datang sebagai pedagang kemudian berubah menjadi penjajah. Itulah yang dilakukan oleh bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia selama tiga setengah abad sebelum proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Korporatokrasi

Fitrah manusia adalah ingin terus berkembang untuk menggapai yang lebih baik karena dorongan nafsu untuk berkuasa. Apalagi kalau manusia itu menggeluti profesi sebagai pedagang. Yang dikejar selalu untung yang lebih besar. Kapitalisme yang mula-mula tumbuh di negeri Barat sekarang telah mendominasi peradaban global. Tapi, menurut Bung Karno, kapitalisme adalah ibu dari imperialisme.

Dengan segala upaya dan cara, kasar halus, bujuk rayu, tipu daya adu domba, upeti dan uang sogokan untuk membeli dukungan, bekerja sama dengan raja-raja, penguasa lokal, bangsa Belanda berhasil menguasai Nusantara. Mula-mula Belanda menguasai ekonomi, setelah itu menjamah, menjarah-rayah, dan menjajah wilayah peri kehidupan lainnya, termasuk bidang sosial, budaya, dan politik. Demokrasi liberal juga lahir dari rahim kapitalisme.

Buku ini memberi peringatan kepada bangsa Indonesia untuk ekstra waspada agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi. Apa yang baik dari bangsa asing kita ambil, mensinergikannya dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang buruk kita buang.

Seorang futurolog Indonesia, Dr. A. Dedi Mulawarman, dalam bukunya 2024 Hijrah untuk Negeri, tahun terbit 2016, memperkenalkan istilah korporatokrasi, yang saya maknai secara bebas sebagai pemerintahan (yang diatur) oleh korporasi. Para pengusaha pemilik korporasi menyediakan dana, dan sebagai imbalannya, menyetir para penguasa politik dalam menjalankan roda pemerintahan dengan tujuan untuk menguntungkan perusahaan.

Korporatokrasi berjalan mulus berkat kerjasama erat dengan para penguasa yang suka korupsi. Jadilah korporatokrasi berkelindan dengan kleptokrasi. Artinya, pemerintahan yang dikuasai oleh persekongkolan pengusaha, pemilik korporasi, dan penguasa (pemimpin politik) yang diwarnai oleh politik uang dan menyulut maraknya korupsi. Alias, pemerintahan oleh gabungan para pemodal dan pencuri, yang menindas rakyat. Ini pernah terjadi dalam sejarah Nusantara. Tidak percaya? Baca buku ini baik-baik, terutama bab mengenai cara raja-raja Jawa mempertahankan kekuasaan.

Kapitalisme mungkin memang tidak bisa dibendung karena ia memenuhi hasrat hidup hampir setiap manusia untuk kebebasan. Yang harus dihindari adalah praktik kapitalisme yang primitif, naif, kotor, hegemonik dan rakus. Atau kapitalisme Bob Asu - Biar Orang Buntung Asal Saya Untung. (Lebih lengkap, simak dalam buku MEMBACA NUSANTARA DARI AFRIKA, MENELUSURI JEJAK PARA PEJUANG YANG TERBUANG):

 Buku diterbitkan oleh Pustaka IIMaN Group, dengan ukuran 13,5 X 20 Cm, tebal 265 halaman.   Telp: 081380582795.

*) Parni Hadi, wartawan senior sekaligus budayawan, lahir di Madiun, Jawa Timur, 13 Agustus 1948. Memulai karier sebagai wartawan di Kantor Berita ANTARA tahun 1973, pendiri/kepala perwakilan LKBN ANTARA untuk wilayah Eropa di Hamburg, Jerman Barat, pemimpin umum/pemimpin redaksi lembaga Kantor Berita ANTARA(1998–2000), direktur utama Radio Republik Indonesia (2005–2010), pendiri/inisiator/ketua dewan pembina Dompet Dhuafa, serta penulis buku “Jurnalisme Profetik.”