Selasa, 19 Agustus 2014

Silaturahim - Rahmatan lil Alamien dan Kepedulian Terhadap Sesamanya



Mungkinkah Menegakkan Rahmatan
lil Alamien Jika Terhadap Yang Dekat
Saja Tidak Peduli?


Ini adalah sebuah kisah nyata. Rupanya kebiasaan menumpang kendaraan yang lazim kita jumpai dan lihat di film-film Holywood itu, ternyata bukan hanya berlangsung di era moderen ini saja, tapi sudah semenjak pertengahan abad ke 18, bahkan mungkin sebelum itu.

Di suatu petang di musim dingin di bagian utara Virginia, Amerika Serikat, seorang lelaki tua berjenggot lebat yang memutih lantaran diselimuti salju, menggigil kedinginan menunggu tumpangan untuk menyeberangi sungai. Dari jauh terdengar sayup-sayup derap kaki kuda. Bukan hanya satu tapi serombongan. Sekilas wajahnya berbinar penuh harap. Namun harapan itu sempat sirna tatkala penunggang pertama tak melirik, apa lagi menengoknya sama sekali. Demikian pula penunggang kedua, ketiga dan seterusnya sampai akhirnya tinggal penunggang yang terakhir.

Harapan pak tua timbul kembali melihat sang penunggang dari jauh sudah memperlambat kuda seraya memperhatikannya. Serentak ia lambaikan tangan menghentikan sang penunggang terakhir, yang segera berhenti dan membantu mengangkat tubuh renta, yang setengah membeku dan nyaris tidak bisa bangkit itu. Sang penunggang bukan hanya membantu menyeberangi sungai, bahkan mengantarkan sejauh beberapa mil ke pondoknya yang mungil lagi nyaman.

Sambil membantu pak tua turun, Sang Penunggang bertanya, mengapa pak tua itu tidak menghentikan penunggang-penunggang kuda sebelumnya, dan memilih menghentikannya padahal ia yang terakhir? Bagaimana bila ia menolak membantu sementara cuaca malam sangat dingin?

Pak tua menjawab, “Aku telah hidup di dunia cukup lama, sehingga bisa mengenali manusia dengan baik. Ketika para penunggang kuda itu lewat, aku melihat pandangan mata mereka tidak menampakkan kepedulian terhadap keadaanku. Namun ketika kulihat pandanganmu, tampak jelas keramahan dan kasih sayang. Aku pun tahu bahwa jiwamu yang lembut pasti takkan melewatkan kesempatan untuk menolongku”.

Ucapan pak tua tersebut menyentak perasaan sang penunggang kuda. “Aku sungguh merasa bersyukur dengan perkataanmu. Semoga aku tidak terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga lalai dengan kepentingan orang lain.”

Itulah sebuah tekad atau bahkan mungkin janji untuk peduli terhadap orang lain. Setelah berkata demikian, Sang Penunggang yang tiada lain adalah Thomas Jefferson, yang bersama sejumlah  teman seperjuangannya, berhasil memerdekakan Amerika Serikat, dan di kemudian hari berkantor di Gedung Putih sebagai Presiden yang ketiga, di masa-masa sulit, di mana kekuasaan para politisi dan parlemen sangat dominan seperti di Indonesia sekarang. (Story by Unknwon Author, yang dihimpun oleh Drs.Abu ‘Abdillah Al- Husainy, Pustaka Zawiyah).

Silaturahim dan bertetangga baik.

Bangsa Indonesia ini sungguh luar biasa. Kita semua, baik muslim maupun bukan, baik yang puasa maupun yang tidak, baru saja menikmati libur bersama demi merayakan Idul Fitri, ber halal bi halal dan mudik ramai-ramai guna bersilaturahim dengan sanak saudara, kaum kerabat dan handai tolan di kampung halaman. Untuk itu kita rela mengorbankan banyak tenaga, waktu dan uang.

Kata silaturahmi atau silaturahim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tali persaudaraan atau tali persahabatan. Semua agama, tradisi dan kearifan-kearifan lokal di berbagai belahan bumi yang menjunjung tinggi moral dan etika, menempatkan masalah silaturahim sebagai salah satu ajaran utama. Sedangkan kunci dari silaturahim tiada lain adalah kepedulian. Dengan peduli, maka kita mulai memperhatikan orang lain di luar diri dan keluarga kita, baru selanjutnya diwujudkan dengan mengulurkan tali persaudaraan dalam bentuk berbagai sikap dan perbuatan baik.

Tuhan berfirman dalam Surat An Nisaa ayat 36: “ Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan budak-budak kamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.”

Masalah kepedulian, silaturahim dan hidup bertetangga baik, ternyata tidak bisa dipisahkan. Kanjeng Nabi Muhammad Saw banyak membahas kedua hal tersebut. Perawi Hadis, Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi misalnya, mencatat tidak kurang ada 17 nasehat keteladanan Rasulullah khusus tentang silaturahim dan 9 tentang bagaimana berbuat baik dan menjalin tali persaudaraan dengan tetangga. Keduapuluh enam hadis tersebut saling melengkapi satu sama lain, dan cukup jelas memberikan tuntunan bagaimana mengamalkan firman Allah Swt dalam Surat An Nisaa di atas, terutama dalam berbuat baik kepada sanak keluarga, kaum kerabat dan tetangga.

Tidak banyak hadis yang diungkapkan Baginda Rasul dengan mengulang-ulang menyebut asma Allah lantaran saking kesalnya. Namun ada dua yang terkenal, yang satu tegoran keras terhadap pelaku korupsi terutama rasuah atau riswa atau suap-menyuap, dan yang satu lagi adalah tentang hubungan bertetangga. Abu Hurairah mengisahkan bagaimana Kanjeng Nabi bersabda: “ Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”. Siapa ya Rasulullah? “Yaitu seseorang yang selalu mengganggu keamanan tetangganya”.

Mengenai ajaran untuk bersilaturahim serta berlaku baik terhadap tetangga, Ibnu Umar dan Aisyah ra menuturkan betapa Jibril berpesan wanti-wanti, berpesan dengan amat sangat kepada Rasulullah, agar kita selalu berperilaku baik terhadap tetangga, sampai-sampai Rasulullah sempat menyangka Jibril akan menyuruh memberi hak waris kepada tetangga.

Oleh sebab itu sangatlah beralasan, apabila hampir semua agama dan kaum bijak bestari mengajarkan betapa penting menjalin hubungan persaudaraan dengan para tetangga, karena sesungguhnya merekalah saudara terdekat kita, yang akan paling cepat menolong jika kita tertimpa musibah misalkan kebakaran, dan bukan saudara kandung kita nan jauh di mata. Naudzubillah.

Sahabat-sahabatku.
Masih banyak ayat-ayat suci, hadis dan petuah-petuah bijak dari seluruh penjuru dunia di sepanjang masa mengenai silaturahim, hubungan bertetangga dan berbuat baik kepada sesamanya. Saya yakin kita semua memahaminya. Hanya saja karena gelombang globalisasi yang melancarkan perang semesta terhadap segenap anak manusia, membuat kita sering lupa pada masalah-masalah yang kelihatannya sepele tersebut. Gelombang globalisasi yang mengaduk-aduk kehidupan kita, bisa memisahkan masalah keimanan dengan amal saleh. Padahal di dalam Al Qur’an cukup banyak ayat yang menegaskan pentingnya keterkaitan antara iman dan amal saleh, karena amal saleh itu memang merupakan realisasi dari iman, merupakan bukti dan perwujudan dari iman (antara lain Surat An-Nahl ayat 97 dan Surat Al-Bayyinah ayat 7).

Jika berbicara mengenai iman saja, maka itu merupakan rahasia antara kita dengan Tuhan. Tiada seorang pun kecuali diri kita sendiri yang tahu apakah kita sungguh-sungguh beriman ataukah hanya sekedar kamuflase dan topeng kehidupan. Akan tetapi bila iman dikaitkan dengan tindakan, dengan perbuatan, dengan amalan, maka menjadi nampak perwujudannya di dalam perilaku sehari-hari. Dengan demikian iman menjadi sempurna karena ada buktinya (http://islamjawa.wordpress.com/2013/12/31/seri-tasawuf-salon-kecantikan-jiwa-di-era-globalisasi-1-gelombang-globalisasi-ii/).

Waspadai Globalisasi.

Mengapa saya menyebut Gelombang Globalisasi telah mengaduk-aduk kehidupan dan keimanan kita? Sungguh tidak cukup berbicara globalisasi hanya dalam beberapa menit. Tetapi intinya, gelombang globalisasi adalah suatu bentuk perang semesta yang dilancarkan oleh Kapitalisme Global yang mendendangkan musik jiwa, yang menggempur nilai-nilai dasar negara bangsa, menggerus norma-norma agama, tradisi dan kearifan lokal.

Musik jiwa tersebut berusaha keras membentuk tatanan masyarakat dunia baru, dengan menggalang alam pikiran kita agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas, yang memuja pesona dunia dengan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu. Masyarakat tata dunia baru ini terdiri dari individu-individu masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis. Individu-individu yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, tanpa peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya (http://bwiwoho.blogspot.com/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang. html).

Marilah kita coba mawas diri, menilai diri kita sendiri masing-masing, sejauh mana sikap-sikap individual yang buruk tersebut sudah mempengaruhi diri kita. Naudzubillah.
Sahabat-sahabatku.

Baru saja kita merayakan Idul Fitri. Dalam kaitan Idul Fitri ini masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan yang oleh para ulama dinilai baik, yakni saling menyatakan “Minal ‘Aidin wal Faizin”. Ungkapan ini sebenarnya adalah doa agar Gusti Allah Swt menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan. Kembali ke mana? Ke fitrah, yakni asal kejadian atau kesucian atau agama yang benar.

Menurut Prof.Dr.Quraish Shihab (Lentera Hati, Penerbit Mizan), setelah mengasah dan mengasuh jiwa, yaitu berpuasa sebulan penuh, setiap muslim diharapkan dapat kembali ke asal kejadiannya dengan menemukan jatidirinya, yaitu kembali suci sebagaimana ketika baru dilahirkan, serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, al aidin al mu’amalah, yakni keserasian hubungan antara sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.

Demikianlah dengan puasa, kita diharapkan mengingat kembali tugas kita selaku khalifah fil ard, yaitu hamemayu hayuning bawono atau mewujudkan rahmatan lil alamien, mewujudkan keserasian hubungan manusia-lingkungan-alam, yang harus dimulai dari lingkaran kehidupan yang terkecil yaitu diri sendiri; selanjutnya menjangkau lingkaran yang semakin besar yakni keluarga dan rumahtangga, orang-orang terdekat seperti tetangga dan teman kerja, masyarakat luas, lingkungan dan alam semesta.

Masalahnya bagaimana mungkin kita bisa menjalin kerserasian hubungan dengan masyarakat luas, lingkungan dan alam semesta beserta segenap isinya, kalau perilaku kita hedonis-individualis-pragmatis-materialis dan narsis, yang tidak lagi peduli terhadap orang lain dan terhadap siapa pun, baik itu lingkungan, tetangga, teman kerja bahkan terhadap alam semesta? Apakah sudah benar, kita jauh-jauh bersilaturahim ke sanak saudara nan jauh di kampung, sementara silaturahim dengan tetangga diabaikan? Apakah benar acara mudik yang menuntut pengorbanan berhari-hari perjalanan itu adalah silaturahim yang sesuai dengan nilai-nilai kegamaan, ataukah bukannya suatu upaya pemuasan atas sikap hedonis-individualis-pragmatis-materialis dan narsis. Hanya diri kita dan Allah Swt saja yang tahu.

Mungkinkah kita bisa berbuat baik, bisa bersilaturahim secara al aidin al mu’amalah, melaksanakan tugas kehidupan kita selaku khalifah fil ard, jika kepada yang terdekat dan nampak sehari-hari saja kita tidak peduli dan tidak bisa menjalin hubungan baik? Mungkinkah memintal tali persaudaraan yang terjulur jauh memanjang, sementara yang dekat tidak terhubung?

Khusus bagi  para elit nasional, mungkinkan mereka peduli kepada Jakobus di pedalaman Papua, peduli kepada si Agam dan si Inong di pedalaman Aceh Tenggara, jika terhadap orang-orang dekatnya, terhadap tetangganya, terhadap orang-orang yang pernah dekat dan membantunya saja mereka tidak peduli? Bahkan lalai, dilupakan dan tidak bisa mempertahankan tali silaturahim?

Semoga saja, Tuhan Yang Maha Pengasih memaafkan kita semua khususnya penulis, serta menganugerahi kita terutama para pemimpin bangsa, sikap kepedulian terhadap sesamanya yang tulus dan tinggi, minimal sebagaimana tekad Thomas Jefferson di bagian awal tulisan ini. Aamiin. (B. Wiwoho)

Beji, Depok 16 Agustus 2014.