Jumat, 28 September 2018

Jenderal Yoga Tentang Sikon Menjelang G30S (2): Senam Revolusioner



(http://www.teropongsenayan.com/92990-jenderal-yoga-tentang-sikon-menjelang-g30s-2-senam-revolusioner)

Sementara itu, situasi perekonomian sangat memprihatinkan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat sulit. Bahan-bahan kebutuhan pokok sangat langka, rakyat bahkan dijatah dengan kupon-kupon yang harus ditukar dengan mengantre berjam-jam. Harga barang dan biaya-biaya hidup lainnya terus meroket, akibatnya inflasi membubung tinggi.

Kebutuhan bahan bakar minyak dijatah, listrik yang baru terpasang di daerah perkotaan pun mengalami giliran, mati– hidup. Keuangan negara terus mengalami defisit. Pada tahun 1964, misalnya, penerimaan negara hanya mencapai 681,328 miliar rupiah, tetapi pengeluaran pemerintah mencapai 923,444 miliar rupiah, sehingga terjadi defisit 397,942 miliar rupiah. Dalam tahun anggaran 1965, keadaan tidak membaik. Penerimaan negara sekitar 800 miliar rupiah, tetapi pengeluarannya hampir dua kali lipat sehingga defisitnya makin melebar. Untuk menutup defisitnya, Bank Sentral terus mencetak uang baru, yang merupakan faktor pendorong inflasi dan nilai rupiah pun makin merosot.

Dalam suasana seperti itu, kegiatan-kegiatan aksi sepihak berupa ancaman, teror dan kekerasan fisik pun dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah yang menimbulkan suasana ketakutan masyarakat.

Subandrio, pada Kongres Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Serbupri) menggelorakan istilah senam revolusioner. Ia menyerukan kepada kaum buruh untuk menggunakan aksi-aksi sebagai “senam revolusioner”, agar otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh menjadi kuat, untuk kemudian “naar de politieke macht”, menuju kekuatan politik.

Hal lain yang menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat adalah pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh PKI, bahwa “Ibu Pertiwi sudah hamil tua, yang akan segara melahirkan satu kekuatan baru.”

Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya pada Hari Ulang Tahun PKI yang ke 45 tanggal 23 Mei 1965, Bung Karno secara berapi-api berpidato, “Saya sebagai Pimpinan Besar Revolusi dan Mandataris MPRS merangkul PKI. Sebab, siapa yang bisa membantah, bahwa PKI adalah unsur yang hebat di dalam penyelesaian revolusi Indonesia. PKI menjalar menjadi kuat. PKI kini beranggotakan tiga juta orang, simpatisannya 20 juta. Apa sebabnya PKI sampai demikian? Ialah karena PKI adalah konsekuen progresif revolusioner. Saya berkata, PKI ya sanakku, ya kadangku, yen mati aku melu kelangan “ (ed. PKI itu adalah saudaraku, ya kerabatku, kalau mati aku ikut kehilangan).

Dalam suasana yang penuh dengan hawa panas perang urat syaraf serta rekayasa opini seperti itu, Yoga menjalankan tugasnya melakukan misi intelijen. Khusus mengenai masalah penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia, pelaksanaan lapangan lebih banyak dilakukan oleh Ali Moertopo yang dibantu sejumlah perwira lainnya. Tim operasional yang dipimpin Ali Moertopo melibatkan berbagai kalangan, baik militer, pengusaha dan eksponen antikomunis lainnya. Usaha yang dilakukan secara sangat berhati-hati itu akhirnya bisa menjalin kontak dengan kalangan resmi di Malaysia melalui beberapa orang Indonesia yang tinggal di Malaysia dan Singapura. Ada sejumlah tokoh sipil Indonesia yang bersembunyi di kedua negara itu setelah peristiwa pemberontakan PRRI. Dengan mereka kontak-kontak pun dijalin.

Sejumlah pertemuan berhasil dilakukan dengan pihak tertentu di Malaysia yang juga menginginkan perdamaian dengan Indonesia. Kalangan resmi Malaysia itu di bawah kendali Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak.

Langkah-langkah Soekarno

Kecurigaan Presiden Soekarno kepada para jenderal yang tidak loyal tampaknya semakin besar akibat gosokan orang-orang di sekelilingnya. Hal tersebut terbukti dengan serangkaian pertemuan yang diselenggarakan Presiden dengan para pembantunya untuk membahas masalah tersebut.

Dalam pertemuan di Istana Tampak Siring, Bali, pada 6 Juni 1965 dibahas pula masalah itu. Malam hari itu, hadir sejumlah pejabat antara lain Menlu Subandrio, Chaerul Saleh, Leimena, Jusuf Muda Dalam, Kepala Polisi Bali Jenderal Syaifuddin, Jaksa Tinggi Bali, Komisaris Besar Sumirat, dan Brigjen Sabur. Para ajudan juga hadir, seperti Bambang S. Widjanarko dan AKBP Mangil.

Bung Karno mengemukakan dalam pertemuan tersebut bahwa para jenderal hendaknya tidak hanya memikirkan taktik dan strategi militer saja, melainkan juga perlu mengerti strategi dunia, khususnya strategi politik di Asia Tenggara. Pandangan adanya bahaya dari utara (China) merupakan visi Nekolim (Neo kolonialisme) yang harus ditolak. Poros Jakarta-Peking merupakan pandangan strategis yang harus diikuti oleh para Jenderal.

Pendapat yang berkembang dalam pertemuan tadi antara lain menyatakan, pandangan sejumlah perwira AD telah mempersulit pelaksanaan kebijaksanaan Bung Karno di tingkat bawah. Ini menyebabkan timbulnya pengelompokan-pengelompokan di kalangan AD, ada yang setia dan ada yang menolak pandangan Bung Karno.





Menanggapi pendapat tersebut, Bung Karno mengatakan perlunya perombakan di kalangan pimpinan AD. Presiden juga memerintahkan Jenderal SyaifuddinJuntuk melakukan pengecekan
sejauh mana kebenaran berita mengenai Dewan Jenderal. Sedangkan Subandrio menyarankan Presiden memanggil Letjen Ahmad Yani untuk ditanya mengenai jenderal-jenderal yang tidak loyal.

Jenderal-jenderal yang disebut-sebut tidak loyal antara lain A.H. Nasution, S. Parman, Sutoyo, dan M.T. Haryono. Mereka dianggap tidak mau mengikuti garis politik Bung Karno, dengan indikasi keengganan mereka bekerja sama dengan kaum komunis.

Bung Karno sendiri semakin memantapkan langkahnya mempererat hubungan RI-China dengan mengirim sejumlah delegasi ke negara komunis itu. Pada bulan Juli, ia mengadakan pertemuan dengan PM Chou En Lai di Shanghai. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan perlunya penciptaan hubungan berporos Jakarta-Phnom Penh-Peking. Demikian pula rencana pemberianbantuan senjata bagi pembentukan Angkatan Kelima di Indonesia sebagaimana saran Menteri Luar Negeri China, Chen Yi tatkala berkunjung ke Indonesia November 1964, akan segera dilaksanakan.

Selain pertemuan Bung Karno-Chou En Lai yang bersifat tertutup, diselenggarakan pula pertemuan besar antara pejabat kedua negara. Kunjungan Bung Karno, disertai antara lain Aidit, Ali Sastroamidjojo, Syaifuddin Zuhri, dan Kusumowidagdo.

Pembicaraan mengenai bantuan senjata tersebut ternyata dilanjutkan oleh misi Omar Dhani ke RRC. Misi juga memberitahukan pemerintah RRC mengenai rencana Indonesia membantu dua
pesawat MiG kepada Pakistan. Bantuan pesawat itu menguntungkan China karena berarti memperkuat Angkatan Udara Pakistan dalam menghadapi India, negara yang dianggap musuh RRC.

Misi Omar Dhani berhasil membawa pulang bantuan senjata. Sebuah pesawat Hercules milik AURI dan kapal laut Gunung Kerinci digunakan untuk mengangkut senjata dari RRC. Senjata itulah yang kemudian dibagi-bagikan kepada para anggota Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Pembagian senjata dilakukan di Senayan. Suatu hari di Istana Bogor, Bung Karno menerima laporan pembagian senjata itu dari Brigjen Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa. Ikut mendengarkan laporan Sabur adalah Leimena, Kolonel Saelan, Komisaris Besar Sumirat, Mangil, dan Bambang Widjanarko.

Di kemudian hari diketahui, sesuai penuturan Bambang Widjanarko dalam suatu pemeriksaan, Bung Karno tidak menyalahkan pembagian senjata itu. Bung Karno, katanya, pernah menyatakan seharusnya tenaga-tenaga revolusioner itu dipersenjatai. Sisa-sisa senjata yang belum dibagikan tersimpan di gudang TNI-AU Mampang. Jumlah senjata yang sudah datang dari
RRC sebanyak 3.000 pucuk, tetapi baru sebagian yang dibagikan.

Sempat terjadi insiden tembak menembak antara mereka yang menggunakan senjata RRC tersebut dengan pasukan Kostrad di sekitar Senayan dan Hotel Indonesia. (B.Wiwoho:Nomer 2 dari 5, dikutip dari buku : Jenderal Yoga, Loyalis Di Balik Layar halaman 54 – 58).

Rabu, 26 September 2018

JENDERAL YOGA TENTANG SIKON MENJELANG G30S (1) : ANGKATAN KELIMA & PERLAWANAN TNI-AD.

 Sejarah itu berulang. Maka tepatlah nasihat Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno : “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.  Peringatan sekaligus nasihat tersebut dikemukakan Bung Karno pada pidato di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, 17 Agustus 1966, dan kemudian terkenal dengan singkatan Jasmerah.

Dalam rangka belajar dari sejarah itulah berikut ini saya kutipkan catatan yang di buat oleh Yoga Sugomo, seorang perwira intelijen tamatan Akademi Militer Jepang dan Pendidikan Intelijen Inggris yang amat bergengsi M-16, tentang suasana, situasi dan kondisi Indonesia khususnya Jakarta menjelang, selama dan sesudah peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Banyak saksi hidup, terutama sejumlah wartawan senior, yang menjadi sahabat penulis dewasa ini. Catatan Yoga Sugomo yang kemudian sempat menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara selama 15 tahun secara non stop terus-menerus, disampaikan kepada B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, yang selanjutnya diterbitkan oleh Penerbit Bina Rena Pariwara  (1990) dan edisi revisi oleh Penerbit Buku Kompas (2018) dengan judul “Jenderal Yoga: Loyalis Di Balik Layar”, yang kali ini akan kami muat bersambung sebanyak 5 (lima) kali. Semoga berkah melimpah untuk kita bangsa Indonesia yang bersatu dalam damai dan sejahtera (B.Wiwoho).




Angkatan Kelima & Perlawanan TNI-AD.

5 Februari 1965, Yoga Sugomo tiba di Jakarta, setelah ditarik dari penugasan sebagai Atase Militer di Yugoslavia. Baru beberapa hari di tanah air, Yoga langsung merasakan sengatan suhu politik di Jakarta yang amat panas. Suasana perang dingin 3 pusat kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet dan China, yang ia ikuti secara saksama selama bertugas di Yugoslavia,menjadi salah satu penyebabnya. Demonstrasi-demonstrasi terhadap Amerika Serikat, bahkan sudah menyasar ke kediaman Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones.

Beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 23 Februari 1965, dalam rapat umum “Maju Tak Gentar” di Istora Senayan Jakarta, menyambut ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-19, Bung Karno meneguhkan keputusannya untuk menyetujui tuntutan media-media binaan PKI untuk memberangus media masa anti-PKI khususnya yang terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS), sebagai tindak lanjut dari pembubaran BPS.

BPS adalah sebuah perkumpulan yang bertujuan melawan serta membendung pengaruh PKI terhadap Bung Karno yang semakin kuat, dengan jalan menggalang kekuatan nonkomunis, serta menyebarluaskan tulisan-tulisan yang mengangkat orisinalitas pemikiran Bung Karno. BPS diprakarsai antara lain oleh B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik, Sukowati, dr. Amino, Djoehartono, dan didukung secara tidak langsung oleh Menteri Penerangan Achmadi serta Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani. Atas desakan PKI, bersama PNI, Partindo, dan organisasi- organisasi massanya, pada tanggal 17 Desember 1964, Bung Karno membubarkan BPS.

Sehari setelah rapat umum “Maju Tak Gentar” tadi, Menteri Penerangan Achmadi menutup 21 media massa, disusul delapan media massa sebulan berikutnya. Tak pelak lagi, hal tersebut kian menyulut pertentangan dan menjadi bahan perbincangan yang luas. Penutupan media massa antikomunis tadi juga mendapat perlawanan dari para perwira tinggi Angkatan Darat dengan menampung sejumlah wartawan dari media-media yang diberangus untuk bekerja dalam surat kabar baru, yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata.

Sementara itu, organisasi-organisasi massa pendukung PKI sangat aktif melakukan aksi-aksi yang semakin memanaskan situasi. Pada tanggal 28 Februari, misalnya, sekelompok demonstran menyerbu tempat kediaman Dubes AS di Jakarta, Howard Jones.  Disusul pada tanggal 1 April, demonstran menyerbu vila milik Willam (Bill) Palmer di Gunung Mas.

Palmer adalah manajer Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers) yang dituding PKI sebagai agen Badan Intelijen Amerika Central Inteligence Agency (CIA). Ia juga menjabat sebagai Direktur American Motion Picture Association in Indonesia (AMPAI). Kampanye anti AMPAI juga dilakukan secara intensif dengan tuduhan bahwa Palmer melakukan kontak-kontak rahasia dengan sejumlah perwira militer Indonesia untuk kepentingan CIA.

Pada pertengahan Maret, sekitar 1.000 orang yang diyakini sebagai anggota organisasi mantel PKI menyerbu kantor AMPAI di Jakarta. Mereka menuntut agar kantor tempat Palmer bekerja itu ditutup.

Aksi tersebut mendapat dukungan internasional, khususnya dari Republik Rakyat China. Radio Peking (sekarang Beijing) dalam siarannya memuji langkah para penyerbu sebagai tindakan revolusioner. Radio itu menyatakan AMPAI merupakan alat subversi dan agresi imperialis di bidang kebudayaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.

Sementara itu, gagasan mempersenjatai massa sukarelawan terus berlanjut. Hal tersebut jelas merupakan strategi PKI, yang mengharapkan bisa menangani pendistribusian senjata dari China. Massa yang bersenjata, apalagi bila terkonsentrasi di Jawa, akan sangat berbahaya karena sebagian besar pasukan Angkatan Darat sudah ditugaskan ke luar Pulau Jawa dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, sehingga kekuatan riil AD di Jawa pada waktu itu tidak terlalu kuat, bahkan sesungguhnya lemah.

Pada aspek lain, dengan dalih mendukung dan mensukseskan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), PKI berhasil menancapkan pengaruhnya yang semakin besar. PKI bahkan mampu memojokkan partai-partai politik lainnya, di samping melakukan konfrontasi langsung terhadap sejumlah ormas yang menjadi lawannya, seperti SOKSI yang didukung oleh TNI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), dan para budayawan yang bergabung dalam kelompok Manikebu.

Usul Asmu untuk mempersenjatai massa rakyat kemudian dipertegas lagi oleh Ketua Umum Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), D.N. Aidit. Dalam sebuah pidatonya pada bulan Februari 1965, ia menekankan perlunya pembentukan Angkatan Kelima yang bersenjata. Ia juga mengusulkan agar di setiap angkatan (Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian) dibentuk Komisaris Politik. Lembaga itu akan bertanggung jawab sepenuhnya dalam membina ideologi, doktrin, dan ajaran perjuangan bagi setiap prajurit.

Presiden Soekarno, pada tanggal 28 Mei 1965 mengemukakan kepada para Panglima Militer bahwa ia menemukan bukti-bukti mengenai rencana Nekolim (Neo Kolonialisme) untuk membunuhnya. Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Dr. Subandrio dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, katanya, juga termasuk tokoh yang menjadi sasaran pembunuhan. Bila rencana tersebut gagal, tentara Nekolim (maksudnya Inggris dan Malaysia) akan menyerbu Indonesia dengan bantuan kaki tangan mereka.

Sejak pernyataan Presiden Soekarno itu, beredar desas-desus di Jakarta mengenai adanya Dewan Jenderal yang anggotanya terdiri atas sejumlah perwira tinggi AD yang tidak loyal kepada Bung Karno. Seperti bunyi pepatah Jawa, ”sedawa-dawane lurung, isih dawa gurung.” Artinya, betapa pun panjangnya lorong, masih tetap lebih panjang kerongkongan yang menghasilkan desas-desus, pergunjingan, dan sejenisnya. Demikianlah, desas-desus tersebut semakin santer dengan adanya dokumen yang menyebutkan sekelompok perwira AD akan membantu pasukan Inggris dan AS menyerbu Indonesia.

Menurut Yoga Sugomo, diperkirakan atau patut diduga, dengan maksud memperoleh liputan internasional, Menlu/Kepala BPI Subandrio memberitahukan penemuan dokumen bertanggal 25 Maret 1965 itu kepada wartawan surat kabar Al Ahram di Kairo. Dokumen tersebut, katanya, berupa surat Dubes Inggris di Jakarta, Gilchrist, yang ditujukan kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar Negeri Inggris, Sir Harold Casia.

Beberapa Jenderal yang didesas-desuskan tidak loyal kepada Bung Karno itu yang juga diisukan menjalin kerja sama dengan pihak asing. Desas-desus yang berbau tuduhan itu, bila dibiarkan, hanya akan menyeret konfrontasi yang lebih jauh dengan Malaysia, suatu keadaan yang sama sekali tidak diinginkan karena hanya akan menguntungkan strategi PKI. Namun, melakukan bantahan secara terbuka merupakan tindakan yang juga tidak bijaksana.

Pidato-pidato Presiden Soekarno yang dikenal menggelegar berhasil memompakan semangat rakyat melawan Malaysia. Salah satu pidatonya yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) adalah: ”Jawabanku atas bantuan aktif yang diberikan Amerika Serikat kepada Malaysia ialah: Kita tidak takut, Kita tidak akan dapat ditakut-takuti. Walaupun negara imperialis yang lain juga memberikan bantuan aktif kepada Malaysia, kita sebagai kekuatan internasional di kalangan negara-negara Nefos (The New EmergingForces), dengan rakyatnya sebanyak dua miliar jiwa, kita akan bersama-sama menghadapi negara-negara imperialis ini.” ( Nomer 1 dari 5, dikutip dari buku: Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar halaman 50 – 54).