Senin, 30 April 2018

Lahirnya Kopkamtib, Lembaga Keamanan Super


·       
Di era Pemerintahan Orde Baru, ada sebuah lembaga yang sangat terkenal sekaligus super ditakuti yaitu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, terutama di masa kepemimpinan Jenderal Sumitro. Tahukan anda kapan dan bagaimana kelahiran lembaga tersebut?

Pada tanggal 2 Oktober 1965, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto didampingi  Asisten Intel Kostrad Kolonel Yoga Sugomo dan seorang ajudan menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan pengawalan sejumlah panser. Ketiga orang ini berpakaian loreng dan menyandang pistol. Memasuki kompleks Istana, mereka diminta melepas senjata. 

Pertemuan di Istana Bogor yang kemudian berlangsung selama 5 jam itu, merupakan pertemuan pertama setelah meletus Peristiwa G30S, antara Presiden Soekarno yang secara resmi pada saat itu adalah Panglima Tertinggi sekaligus Pemimpin Besar Revolusi, dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto yang secara de facto menguasai kekuatan militer khususnya Angkatan Darat, yang dengan tegas sudah menyatakan akan menumpas Dewan Revolusi yang melakukan penculikan dan pembunuhan para Perwira Tinggi pada 1 Oktober dini hari. 

Bung Karno mengulang kembali apa yang sudah disampaikan melalui ajudannya Bambang Widjanarko mengenai keputusannya menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro menjadi pelaksana harian pimpinan Angkatan Darat. Sementara pak Harto dengan senyum dinginnya mengalihkan pembicaraan pada soal nasib para Jenderal yang diculik dan dibunuh, yang sampai saat itu belum jelas. Pak Harto juga menegaskan akan menghancurkan siapa saja yang terlibat dalam penculikan termasuk Dewan Revolusi, seraya menyatakan tidak menentang pengangkatan Jenderal Pranoto, tapi keberatan.

Menanggapi hal itu akhirnya Bung Karno mengambil jalan kompromi dengan tetap mengangkat Pranoto , sementara Soeharto ditunjuk sebagai Panglima sebuah lembaga baru yang bertugas menegakkan keamanan dan ketertiban, yaitu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Selengkapnya, ikuti Bab 4 buku “Jenderal YOGA, Loyalis di Balik Layar.”  

Foto: Jenderal Sumitro (Pangkopkamtib/Wapangab 1971 - 1974) bersama Bung Karno, http://sejarahduniatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/10/jenderal-soemitro.html

 

 

Minggu, 29 April 2018

Indonesia Ladang Perang Kekuatan Global: Masih Ingat Dokumen Gilchrist Yang Menghebohkan?


·       Indonesia Ladang Perang Kekuatan Global: Masih Ingat Dokumen Gilchrist Yang Menghebohkan?





Masihkah anda generasi “OLD” ingat tentang Dokumen Gilchrist? Ataukah anda yang generasi “NOW” pernah dengar dokumen tersebut? Itulah dokumen yang diumumkan oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen, Dr.Subandrio tahun 1965, yang menyatakan sebagai surat rahasia Duta Besar Inggris di Jakarta Gilchrist kepada atasannya Wakil Menteri Luar Negeri Sir Harold Cassia. 

Surat yang diklaim mengungkapkan pembicaraan antara Duta Besar Inggris dengan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, yang menyebutkan adanya sahabat-sahabat militer Indonesia yang menjadi sahabat Blok Barat. 

Di kemudian hari terbukti dokumen tersebut palsu untuk penyesatan informasi sekaligus menggalang kebencian, yang sengaja disebarkan oleh Departemen D dari Operasi Intelijen Gabungan Uni Soviet dan Cekoslovakia. Demikianlah, Indonesia  menjadi ladang perang perebutan pengaruh kekuatan global, sejak dahulu. Ikuti detailnya dalam  “Jenderal YOGA, Loyalis di Balik Layar.”
Ilustrasi foto, cover buku The Deception Game yang berisi pengakuan agen intelijen Blok Timur tentang dokumen tadi.

Sabtu, 28 April 2018

Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar: PERANG URAT SYARAF DAN PENYESATAN INFORMASI MENJELANG ORDE BARU


·       Perang Urat Syaraf dan Penyesatan Informasi Menjelang Orde Baru.





    Di era milinea dengan generasi Z –nya, kita dibombardir dengan aneka informasi mengenai apa saja, mulai dari tentang sex yang tabu bagi anak-anak berikut iklan obat kuatnya, kesehatan, makanan, hiburan dan gaya hidup sampai dengan masalah SARA (Suku, Agama Ras dan Antar golongan) serta politik partisan yang kotor – dangkal – - saling mengobarkan dendam dan kebencian, seolah-olah paling benar dan memiliki keyakinan lebih dari kemahatauan dan kemaha kuasaan Tuhan. 

Tentu saja informasi itu ada yang benar, tapi banyak pula yang bohong menyesatkan alias hoax. Sementara itu beberapa media massa juga tanpa malu menyajikan berita-berita yang sudah dibingkai serta dikemas sesuai keinginannya sendiri, tak peduli infonya hanya sepotong-sepotong dan tidak “cover both side”, tidak seimbang. Tak peduli apakah itu berpotensi mengobarkan konflik horizontal yang tak  terbayangkan mengerikannya, bila terjadi. 

Tetapi, model penyebaran informasi yang menempatkan masyarakat dalam medan perang urat syaraf dan penyesatan informasi itu, ternyata bukan hanya monopoli zaman “NOW” saja. Melalui buku ini, Jenderal YOGA menggambarkan situasi yang sama dalam bentuk dan varian yang berbeda di masa Perang Dingin antara 1964 -1965. Seperti apa? Simak bab 4, 5 dan 6 buku “Jenderal YOGA, Loyalis di Balik Layar.”

Jumat, 27 April 2018

Buku Dedengkot Intelijen Yoga Sugomo Terbit Kembali.


·       Buku Dedengkot Intelijen Yoga Sugomo Terbit Kembali.


Tahun 1990/1991, mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) selama 16 tahun, Jenderal Yoga Sugomo menerbitkan buku memoarnya. Hampir semua media massa menyambut gegap gempita buku tersebut dengan berbagai liputan dan ulasan, sehingga menjadi buku “best seller” pada masanya. Namun tak berapa lama Presiden Soeharto meminta agar buku tersebut dihentikan peredarannya.

Kini 27 tahun kemudian, buku tersebut insya Allah akan terbit dan segera kembali beredar. Tentu dalam bentuk edisi revisi yang lebih lengkap, yang bisa menggambarkan berbagai kilas balik sejumlah peristiwa penting di era Orde Baru. Juga perkiraan keadaan ke depan berikut saran antisipasinya, yang ternyata sangat relevan dengan situasi sekarang.

Dari buku “Jenderal YOGA, Loyalis di Balik Layar” ini, kita bisa mengetahui misalnya, ancaman terberat apa bagi Pancasila serta bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaimana proses menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal, bagaimana dan mengapa Pemerintah Orde Baru berkeras hanya menganut sistem tiga partai politik saja, hal apa yang bisa menimbulkan radikalisme, dinamika mahasiswa, operasi intelijen sangat rahasia yang gagal untuk mencegah agar Pak Harto tidak menjadi Presiden terus menerus, demi kebaikan bangsa dan negara termasuk untuk Pak Harto sendiri serta keluarganya, dan lain-lain.

Rabu, 25 April 2018

Catatan Perjalanan ke Tanjung Harapan (III-7) : INILAH MAKAM PANGERAN MADURA CAKRANINGRAT DI AFSEL


Inilah Makam Pangeran Madura Cakraningrat






Foto: Atas, makam Pangeran Cakraningrat IV di Pulau Robben, Afrika Selatan. Bawah, makam Pangeran Cakraningrat IV di Kompleks Pemakaman Keluarga Besar Cakraningrat "Ratu Ibu" di Arosbaya, Bangkalan, Madura.

Kisah Nelson Mandela dan tulisan  Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra tentang makam Cakraningrat itu berkecamuk di hati dan pikiran saya, sehingga saking semangatnya, begitu keluar dari penjara Nelson Mandela  lupa menghitung jarak dari pintu gerbang penjara ke makam. Mungkin sekitar 150 m. Kami memilih berjalan kaki demi lebih meresapi suasana.

Bangunan makam berkubah hijau itu menyerupai masjid kecil degan dinding bermotif batu, serasi dengan dinding menara pengawas penjara yang berdiri tegak di sampingnya, sehingga lebih mengesankan sebagai menara masjid dibanding menara penjara.

Bangunan berukuran sekitar 6 X 6 meter itu nampak sunyi, pintu pagarnya terbuka sedangkan pintu makam sekaligus mushola itu tertutup namun tidak terkunci. Di samping kiri depan bangunan ada tempat wudhu dan kami pun berwudhu lebih dulu, baru kemudian benar-benar membuka pintu, mengucap salam dan masuk. Makam berada di tengah-tengah, sedangkan lantainya ditutup dengan hamparan karpet merah yang diatasnya terlihat ada beberapa sajadah terlipat rapi di samping kiri dan kanan makam,  satu diantaranya tergelar di samping kiri makam. Di bagian bawah kepala makam dihamparkan lagi karpet kecil bermotif bunga. Di samping kiri depan ada lemari gantung berisi beberapa Al Qur’an dan sejumlah buku. Bangunan beserta segenap isinya nampak terawat bagus lagi bersih, separuh bagian bawah dinding dalam bercat hijau sementara bagian atas putih keabu-abuan sedikit semburat kuning karena pantulan cahaya.

Segera di atas sajadah yang sudah tergelar itu, penulis melakukan shalat sunnah tahiyatul masjid, dilanjutkan shalat doha, shalat sunnah mutlak, berzikir, berdoa, sujud syukur dan bertafakur, baru kemudian beranjak dan duduk di depan makam, membaca beberapa surat, berzikir, membaca shalawat dan mendoakan almarhum. Sementara isteri saya langsung duduk di depan makam, membaca surat Al Fatihah dan surat Yaasin.

Sesungguhnya penulis tidak yakin betul apakah shalat sunnah yang pertama tadi  tepat disebut sebagai tahiyatul masjid atau bukan atau lebih tepat disebut sebagai sunnah mutlak.Tapi di dalam hati  penulis niatkan shalat untuk berbakti kepadaNya seraya berdoa memohonkan berkah bagi bumi dan tempat di mana penulis hendak bersujud, serta bagi orang-orang yang mengunjunginya. Di tempat terasing yang mayoritas penduduknya bukan Islam ini, keberadaan bangunan serbaguna yang menaungi makam atau kramat dengan menyediakan sebagian ruangannya untuk shalat ini, sungguh luar biasa artinya. Lagi pula bukankan setiap jengkal tanah adalah juga sajadah tempat bersujud dan setiap rumah adalah rumah Allah Swt.?

Setelah itu kami menyimak lebih jauh serta membuat foto dan video dokumentasi. Kami buka lemari, ada sebotol air putih, boleh jadi air zamzam, beberapa Al Qur’an dan sejumlah buku kecil Surat Yaasin yang berasal dari masyarakat berbagai negara, kebanyakan India dan Pakistan. Tidak ada yang dari Indonesia. Di bagian  belakang atau di arah kaki makam ada tempat membakar dupa atau setanggi. Juga beberapa sajadah terlipat rapi.

Di tembok depan makam ada tulisan : “Sheik Sayed Abdurachman Motura (R.A). Behold! Verily on the friends Of Allah there is no fear; nor shall they greive; Those who believe And (constantly) guard. Against evil.”   Ini adalah kutipan dari firman Allah Swt dalam Al Qur’an, Surat Yuunus ayat 62 dan 63 yang berarti: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah punya rasa takut dan tidak pula bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.”

Di dinding kiri ada plakat prasasti dalam bahasa Inggris dan Belanda tertanggal 11 Mei 1969, yang menandai pembangunan makam untuk menghormati Sayed Abdurahman Motura, oleh Presiden Afrika Selatan C.A.Swart bersama Jenderal J.C.Steyn, Komisioner Penjara Letnan Kolonel P.A.Kellerman dan staf serta Sheik Sayed Ahmed Kaderi dan perhimpunannya.

Di dinding belakang terpasang prasasti yang dibuat oleh Cape Mazzar Society atau Perkumpulan Kramat-Kramat Cape, yang menerangkan tentang Sayed Abdurahman Motura, tahanan politik dari Republik Batavia, yang dibuang ke Pulau Robben selama 11 tahun sampai wafatnya Januari 1744. Berbagai sumber lain mencatat Pangeran Cakraningrat IV atau Abdurahman, tiba tahun 1740an dan wafat 1754. (The Island, A History of Robben Island editor Harriet Deacon halaman 30 – 31 dan Robben Island, A Place Of Inspiration: Mandela’s Prison Island halaman 21). Sebagaimana tulisan di dinding makam, prasasti ini juga mengutip firman Allah Swt dalam Surat Yuunus ayat 62 (Q10:62).

Selanjutnya kami keluar mengelilingi bangunan. Di halaman belakang dan samping didirikan tiang-tiang dan rangka besi untuk sewaktu-sewaktu dipasang tenda. Juga ada satu makam yang di batu nisannya tertulis Sayed Biin Yamiin. Hanya itu yang tertulis, tidak lebih dan tidak ada informasi lainnya tetang makam ini. Yang mengherankan adalah di dalam lokasi kramat dan di sekitarnya hanya ada dua makam, yaitu  Pangeran dari Madura yang berada di dalam bangunan dan Sayed Biin Yamin di luar bangunan di halaman belakang. Lokasi kramat berada di pojok luar penjara yang sekarang dan di dekat bekas bangunan penjara lama, tapi agak jauh dari lokasi pemakaman umum.

Nampaknya sering ada acara besar di situ. Kabarnya pada setiap Februari ada perayaan yang dimeriahkan dengan tari pedang. Juga pada setiap hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Nabi. Demikian pula pada setiap hari Minggu banyak peziarah yang mengunjungi.

Kami bersyukur pada pagi menjelang siang itu memperoleh suasana sepi, sehingga sangat bebas dan leluasa. Tatkala kembali ke Waterfront puluhan rombongan anak-anak remaja berseragam sekolah, para wanitanya mengenakan jilbab, bersiap naik ke kapal ferry yang kami tumpangi, yang akan langsung bertolak kembali ke pulau Robben. Rombongan ini akan berziarah ke Kramat Pangeran Cakraningrat IV. Jikalau kami pergi bersama rombongan ini, akan ada plus-minusnya. Di satu pihak bisa berbincang-bincang dengan mereka sehingga memperoleh tambahan informasi, namun di lain pihak tentu kami tidak bisa leluasa karena mushola Kramat pasti penuh.

Dari Kramat, Ilyas Salie, membawa kami mengelilingi pulau sambil bercerita tentang aneka jenis burung yang indah-indah dari yang kecil sampai yang seukuran burung bangau, sekelompok burung migrasi dari Mesir, dan menunjukkan tempat budidaya abalone yang dilindungi pemerintah serta singgah di kafe untuk membeli kopi hangat.

Karena waktunya hampir habis, kami tidak bisa berlama-lama. Di tengah jalan, Mr.Thulani menyetop dan menumpang mobil kami yang sudah mengarah kembali ke dermaga Murray. Sempat Mr.Ilyas Salie mengatakan, sesungguhnya kalau diatur rapi sebelumnya, kami bisa menginap di pulau Robben, bahkan di rumah dia, atau setidaknya bisa 4 sampai 6 jam.

Tak cukup waktu untuk merenungkan suasana pulau Robben di abad 18. Tentu lebih gersang lantaran belum tersentuh penghijauan. Tapi akan banyak menjumpai anjing laut, penguin Afrika dan penyu. Ketiganya sekarang tinggal sedikit, sulit ditemui dan dilindungi. Yang selalu terlihat jelas adalah hampir di mana pun kita berada nampak Table Mountain, Gunung Meja nan indah,  yang berada di daratan benua Afrika. Pemandangan dan suasana seperti itulah kira-kira yang detik demi detik, menit demi menit sampai hari, minggu, bulan dan tahun demi tahun menemani Pangeran Cakraningrat dan juga Nelson Mandela serta para pejuang sahabat-sahabat mereka dalam menghabiskan waktu, belasan tahun mengukir sunyi sendirian lantaran “berperang” melawan ratusan tahun penjajahan dan penindasan atas bangsanya oleh bangsa lain. Kita sungguh patut bersyukur karena telah menikmati rumah kemerdekaan yang dibangun dari susunan tulang belulang dan pengorbanan mereka.

Perjalanan sekitar tiga setengah jam termasuk satu jam perjalanan ferry pergi pulang dan waktu tunggu menjelang naik dan selama berada di dalam kapal, rasanya sangat kurang. Belum banyak informasi lapangan yang bisa digali dan belum cukup puas untuk tafakur dan berkontemplasi.

Menjelang pukul 13.00 kapal ferry We Do Madiba 1 membawa kami balik ke dermaga Museum Nelson Mandela di Waterfront. Madiba adalah panggilan kesayangan rakyat Afrika Selatan terhadap Nelson Mandela. Siang itu kami baru sempat berkeliling melihat-lihat suasana di Waterfront, mengambil foto Museum Nelson Mandela, Menara Jam dan lain-lain.

Sore hari kami kembali ke hotel dengan taksi. Kebetulan saat itu hanya ada satu taksi dan pengemudinya tidak mau menggunakan tarif meteran atau argometer, tapi meminta biaya R300, seratus R100 lebih mahal dari tarif mobil yang mengantar kami dari hotel pagi sebelumnya, namun tetap masih lebih murah dibanding apabila menyewa dari biro perjalanan. Terpaksa kami menyetujui. Tiba di hotel kami ceritakan pengalaman kami kepada staf hotel Miss Bevlynne dan Miss Lamees Harris yang ramah dan banyak membantu kami. Mereka membantu mencarikan buku-buku yang bisa menjadi sumber bahan bacaan berikut alamat beberapa toko buku. Satu di daerah Waterfront dan satu di Jalan Long Steet di pusat kota. Mereka juga memberitahu apabila mau naik taksi, agar dengan tegas meminta tarif meteren.

Demikianlah dua hari berikutnya kami kembali ke Waterfront, dengan naik kendaraan layanan gratis dari hotel, ke toko buku dan toko souvenir di Museum Nelson Mandela. Para petugas di kedua toko tersebut sangat ramah dan membantu kami, mencarikan buku-buku yang kami cari, bahkan untuk beberapa judul yang tidak ada di tokonya, petugas yang melayani saya bersedia menelponkan ke toko buku di Long Street. Begitu pula tatkala saya mengambil dan mau membayar, ada tiga buku tentang Nelson Mandela, satu berjudul Nelson Mandela, Long Walk to Freedom dan dua lainnya lebih tipis tapi saya lupa judul masing-masing, petugas kasir memberitahu kalau dua buku yang lebih tipis itu versi pendek dari Long Walk to Freedom, sehingga tidak perlu dibeli.

Dari Waterfront kami kami naik taksi dan meminta dengan tarif meteran ke Jalan Long Street. Ternyata hanya R59 dan kami bayar R70. Pulangnya ke hotel, setelah makan di restoran India Muslim Bolywood yang kasirnya pernah tinggal beberapa tahun di Brunai, kami juga naik taksi yang dikemudikan oleh seorang imigran dari Konggo, dengan tarif meteran dan tak sampai R90. Sesungguhnyalah, makin hari makin mudah menemukan cara berwisata yang enak di Cape Town.

Sahabat-sahabatku, inilah sekelumit  laporan perjalanan wisata ziarah kami ke Cape Town dan Pulau “Penjara” Robben. Menggetarkan hati, ternyata banyak pahlawan pejuang dan pencerah dari bumi Nusantara yang terbuang putus harapan di Tanjung Harapan, yang dihargai bangsa lain, tapi belum diketahui apalagi dihargai oleh bangsanya sendiri.   Padahal kita selalu diajarkan kata-kata bernas, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan -pahlawannya.” Semoga kita tidak terlambat untuk menjadi bangsa besar yang pandai bersyukur.

Sejumlah informasi tambahan, alamat dan nomer telpon yang mungkin bisa membantu perjalanan wisata ke Tanjung Harapan dan Pulau Robben, insya Allah penulis sampaikan apabila tulisan ini diterbitkan sebagai buku. Allahumma aamiin. TAMAT.