Senin, 22 Februari 2016

KEPEMIMPINAN SUN TZU & ZHUGE LIANG : Seri Etika & Kepemimpinan (23)




Jika di pulau Jawa pada abad ke 18 – 19 lahir banyak filsuf pujangga, di Cina telah terjadi pada sekitar abad ke 5 sebelum Masehi. Di samping Lao Tzu dan Khong Hu Cu, pada masa itu ada pula Sun Tzu, ahli strategi perang yang telah menggariskan visi dan seni berperang, yang ditentukan oleh lima faktor yaitu hukum moral, langit dalam hal ini waktu dan cuaca, bumi (alam, jarak dan ukuran), pimpinan serta metode dan disiplin.

Sun Tzu dengan buku “Seni Perang” nya, telah mengilhami banyak pemikir dunia yang mengembangkan dan menerapkan seni perangnya tersebut, bukan semata-mata hanya dalam arti perang konvensional dengan para tentara dan meriamnya, tetapi juga dalam bisnis, manajemen dan pemerintahan.

Mengenai kepemimpinan, Sun Tzu membedakan antara para pemimpin politik seperti Kaisar atau penguasa dan peran komandan lapangan seperti Panglima. Pada hematnya, penguasa yang bijak merundingkan rencana, sementara panglima atau pelaksana lapangan yang mampu, melaksanakannya. Karena itu siapa yang memiliki panglima yang mampu dan tidak diganggu oleh penguasa, maka akan menang.

Wee Chow Hou, Lee Khai Sheang dan Bambang Waluyo Hidayat dalam “SUN TZU, WAR & MANAGEMENT (Elex Media Komputindo, 1992) mengulas panjang lebar Seni Perang Sun Tzu dalam perang dan manajemen modern. Seorang panglima yang mampu misalkan, harus memiliki lima sifat atau atribut penting. Sifat itu adalah kearifan, ketulusan, kebapakan, keberanian dan kekerasan.

Dengan kearifan dimaksudkan kemampuan untuk mengenali keadaan yang berubah sehinga dapat mengambil keputusan dan bertindak cepat. Ketulusan berarti kemampuan untuk dipercaya sepenuhnya oleh bawahan sehingga mereka tidak ragu-ragu akan kepastian menerima imbalan dan hukuman.  Kebapakan mensyaratkan  cinta kemanusiaan, kemampuan bersimpati dengan orang lain dan menghargai kerja keras serta usaha dari semua tingkatan. Keberanian berarti berani dan pasti serta mampu merebut kemenangan dengan memanfaatkan peluang tanpa ragu-ragu. Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan, sebenarnya lebih tepat disebut ketegasan, adalah kemampuan menanamkan disiplin serta mengundang hormat dan kekaguman anak buah tanpa disuruh apalagi dipaksakan.

Akan halnya kepemimpinan puncak, menurut Sun Tzu harus mampu menegakkan kearifan, kejujuran, kebaikan, keberanian dan ketelitian. Sebaliknya pimpinan harus menghindari lima kesalahan fatal yaitu gegabah, takut, terburu nafsu, gila hormat dan kekhawatiran yang berlebihan.

Pengaruh moral dalam perang, oleh para ahli strategi dan manajemen dapat disamakan juga dengan kepemimpinan dalam politik dan bisnis. Di sini organisasi diumpamakan divisi dalam ketentaraan. Oleh sebab itu lima kiat utama tadi bisa dimaknai sebagai berikut: Pertama, kearaifan mengilhami kecepatan dan kepastian yang penuh perhitungan, bukan gegagah,  sehingga tahu bagaimana memanfaatkan berbagai peluang emas.

Kedua, ketulusan untuk mampu mempercayai bawahan dalam pekerjaan mereka, serta tidak mudah dihasut apabila terjadi kesalahan. Pimpinan harus dapat menunjukkan untuk selalu bisa memberikan penilaian dan keputusan yang obyektif dan adil.

Ketiga, kebapakan yang berorientasi pada hubungan kemanusiaan serta memahami masalah bawahan dan menghargai pekerjaan mereka. Meskipun demikian ia juga tidak boleh terlalu iba sehingga tidak mudah diusik oleh masalah kecil. 
Keempat, mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dan mengambil risiko. Dengan kata lain, ia tidak takut mempertaruhkan kedudukan untuk mengambil keputusan yang benar.

Kelima, memiliki gaya hidup yang keras dan bisa menjadi  contoh, menanamkan disiplin dalam organisasi. Sejalan dengan itu seorang pemimpin bersedia belajar dan tidak takut kehilangan muka jika ada yang menunjukkan kelemahannya. Demikianlah, beberapa kiat kepemimpinan dari strategi perang SunTzu yang banyak dikembangkan serta dipakai dalam manajemen dan seni kepemimpinan modern.

Zhuge Liang.

Pada tahun 181 – 234, dalam periode yang dikenal sebagai zaman Tiga Kerajaan, hidup seorang strategi militer dan kepemimpinan Cina yang bernama Zhuge Liang. Usianya tidak panjang karena seluruh hidup dan waktunya, bahkan setelah meninggal, diabdikan bagi bagi bangsa, negara dan rakyatnya.

Zughe Liang menjabat sebagai Perdana Menteri Kerajaan Shu Han di usia 40 tahun, serta memimpin Kerajaan Shu Han dengan tegas, adil dan menegakkan hukum secara taat azaz. Apa yang dikenal dalam manajemen modern sebagai “stick and carrot”  atau hukuman dan ganjaran, dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan adil, tanpa menghindari tanggungjawabnya sendiri selaku pimpinan.

Menyadari ketergantungan hidup rakyatnya pada pertanian, dia membangun pelbagai proyek prasarana pengairan dan pertanian serta membuka area-area pertanian baru, sehingga negaranya cepat menjadi makmur dengan ketahanan dan ketersediaan pangan yang bagus lagi melimpah.

Meskipun rakyatnya hidup makmur, Zhuge Liang yang dikenal melegenda sebagai Naga Tidur itu tetap hidup sangat sederhana, yang terus berfikir dan bekerja keras sampai-sampai tidak peduli dengan asupan makanan dan kesehatannya. Guna mengetahui kehidupan rakyat dan perilaku aparat negara yang sesungguhnya serta menghindari laporan-laporan “Asal Bapak Senang”, tak jarang seperti Presiden Joko Widodo kita sekarang, Zhuge Liang senang blusukan. Sebagaimana halnya dengan Umar bin Khatab, blusukannya dilakukan secara diam-diam supaya bisa memperoleh bahan masukan dan umpan balik yang benar.

Sebagai Perdana Menteri sekaligus Panglima Perang, Zhuge Liang sangat menguasai masalah intelijen, sungguh-sungguh mengenal diri dan lawan-lawannya. Keberanian dan ketegasannya yang luar biasa, tidak semena-mena digunakan untuk membasmi musuh-musuhnya begitu saja. Sebaliknya dia mengutamakan untuk memenangkan pertempuran dengan menundukkan hati dan jiwa musuh-musuhnya, sehingga kemenangannya sangat gilang-gemilang dan menjadi kenangan.

Zhuge Liang wafat karena menderita sakit dalam usia 53 tahun tatkala sedang memimpin peperangan untuk menundukkan negeri Wu yang dipimpin Sima Yi. Menjelang wafat ia berpesan agar pasukannya tidak melakukan upacara pemakaman, tapi membuat manuver seolah-olah menarik diri. Gerakan pasukannya itu dibaca oleh Sima Yu sebagai Zhuge Liang yang fisiknya lemah itu telah benar-benar wafat, dan dengan segera memimpin tentaranya untuk mengejar pasukan negeri Shu. Tiba-tiba pasukan Shu berbalik seraya melancarkan serangan dahsyat disertai kibaran bendera pribadi Zhuge Liang yang juga nampak duduk di atas kursi tandunya.

Kemunculannya meskipun hanya berupa patung kayu telah memporak-porandakan pasukan Wei. Kisahnya yang dramatis itu diabadikan dengan mendirikan kuil penghormatan, demi mengenang serta menanamkan semangat pengabdian dan jasanya  kepada bangsa dan negaranya yang luar biasa. Tak jarang para prajurit dan generasi muda yang mendengar kisahnya, membasahi pakaian mereka dengan tumpahan air mata. Memang benar ungkapan kata-kata bijak yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hadis Kanjeng Nabi Muhammad Saw yakni, “ tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”

Semoga kita bangsa Indonesia juga dikarunia pemimpin-pemimpin bijak nan luar biasa seperti Zhuge Liang. Aamiin. Berikutnya: SENI & KIAT KEPEMIMPINAN AL GHAZALI.


Senin, 15 Februari 2016

KEPEMIMPINAN TAO & KHONG HU CU : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (22).



Jika dalam uraian-uraian terdahulu banyak dikemukakan contoh dan referensi dari Barat, Islam dan Jawa, mungkin menarik juga untuk melihat pembanding dari Cina, sebuah bangsa, sebuah negeri dan budaya yang amat tua.

Setidaknya ada empat ahli filsafat yang terkait dengan kehidupan, kepemimpinan dan juga peperangan Cina kuno, yang melegenda sampai sekarang. Falsafah dan buah pikirnya ditulis entah dalam berapa banyak buku, mungkin tak terhitung, dalam berbagai bahasa, dalam berbagai versi mulai dari buku teks yang serius sampai dalam bentuk komik ilmiah populer. Mereka adalah Lao Tzu atau Lautze, Khong Hu Cu, Sun Tzu dan Zhuge Liang.

Lao Tzu (570 – 470 SM) dengan Tao Te Ching-nya, telah mempersembahkan karya sastra dan moral keagamaan klasik yang dikenal amat indah, yang telah menjadi sumber kebijakan selama lebih dari 2500 tahun. Tao Te Ching atau buku Tao ini mengajarkan Kepemimpinan Tao, antara lain menyatakan, pemimpin bijak hendaknya seperti air, membersihkan dan menyegarkan semua makhluk tanpa pandang bulu. Air dengan bebas tanpa rasa takut menembus ke dalam permukaan suatu benda. Air bersifat cair dan responsif. Air mengikuti hukum secara bebas.

Sebagaimana juga dalam falsafah Hasta Brata, hakikat filsafat air ini luar biasa. Apalagi jika kita menyadari dan dikaitkan dengan kenyataan bahwa tubuh manusia itu sesungguhnya 60 – 70 persen dari berat badannya terdiri dari air.

Kepemimpinan yang benar menurut Lao Tzu selanjutnya, adalah pelayan, bukan mementingkan diri sendiri.  Pemimpin  dapat tumbuh dan berakhir lebih lama apabila dapat menghilangkan pamrih pribadi, serta menempatkan kesejahteraan semua di atas kesejahteraan sendiri (bandingkan dengan berbagai hadis dan sunah Kanjeng Nabi Muhammad Saw). Pemimpin juga harus memegang teguh tiga hal yaitu, mengasihi semua makhluk, sederhana dan hemat, rasa persamaan dan sopan. Pemimpin bijak pada hematnya, juga wajib mencontoh perilaku spiritual dan hidup dalam harmoni bersama nilai-nilai spiritual.

Agar seseorang bisa hidup harmonis dan sukses memimpin orang banyak, kecuali menguasai hal-hal di atas maka terlebih dahulu harus bisa mengenal serta memahami dirinya sendiri, baru kemudian mengenal dan memahami orang lain dan masyarakatnya. Dengan memahami masyarakatnya, seorang pemimpin akan bisa menjaga ketenangan masyarakat dan negaranya, dan tidak bising. Negara dengan masyarakatnya yang tenang akan mudah diajak mewujudkan cita-cita bersama.

Khong Hu Cu.

Pada kurun waktu yang hampir sama, Tuhan juga menurunkan Khong Hu Cu (551 – 479 SM). Khong Hu Cu disebut dalam sejarah pernah menjumpai Lao Tzu untuk belajar tentang kesopanan dan kesantunan. Dalam hal kerendahan hati, Khong Hu Cu memang jagonya. Ia mengajarkan pada murid-muridnya, agar dengan rendah hati sudi belajar dari siapa saja. “Jika engkau bepergian dengan dua orang, salah satu pasti bisa jadi gurumu.” Saya bersyukur mengenal salah satu keturunan langsung Khong Hu Cu, yaitu Prof Kong Huan Zhe, yang pada tahun 1993 bahkan sempat berkunjung ke rumah saya di Depok.

Dari sekian banyak buku mengenai ajaran-ajaran Khong Hu Cu, saya menemukan sebuah buku populer, amat sederhana dan mudah dipahami, yang berjudul “Loyalty”  yang disusun oleh Profesor Song Shouxiang dari Chongqing Jianzhu University, Cina. Ajaran dan falsafah Khong Hu Cu yang dikenal sebagai Confucianisme adalah aliran pemikiran etika yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan lainnya.

Etika menurut Khong Hu Cu berpusat pada makna dasar kebaikan, berisikan bentuk-bentuk nilai moral utama, dengan bagian yang paling penting  bakti pada orang tua serta tugas-tugas luhur, kesetiaan dan kebajikan. Dua yang terakhir tadi, yakni kesetiaan dan kebajikan, adalah prinsip penuntun dalam hubungan antar manusia. Lebih khusus tentang kesetiaan, Khong Hu Cu berujar, “Kepada siapa pun kamu mengabdi, bertindaklah loyal.” Terlepas itu kepada negara, masyarakat atau teman, seseorang harus tetap teguh dalam memegang prinsip kesetiaan dan kejujuran.

Dengan mengacu pada kebajikan, ia memberikan suatu nasihat yang kemudian menjadi kata-kata mutiara yang mendunia, yakni “Jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang tidak kamu inginkan dperbuat orang lain kepadamu.”

Mencius, murid tersohor Khong Hu Cu mengembangkan falsafah kebajikan tersebut lebih lanjut. Ia mengajar setiap orang agar berupaya mewujudkan  kesejahteraan umat manusia, menempatkan kebajikan dan kebenaran moral sebagai kualitas tertinggi dalam standar moral. Kebajikan pada hematnya adalah perhatian afektif terhadap orang lain, kebenaran moral adalah memiliki perasaan malu, kesopanan adalah hormat pada orang yang lebih tua, dan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengucapkan kebenaran atas kesalahan.

Uraian Mencius dikembangkan lagi oleh Guanzi dengan menyatakan kesopanan, kebenaran moral, integritas dan kehormatan sebagai empat nilai luhur yang membentuk kerekatan sosial. Sebuah negara akan hancur jika keempat nilai luhur tersebut tidak dipegang teguh.

Sejarah di berbagai belahan bumi memang menunjukkan, integritas suatu pemerintahan, keteraturan dan harmoni sosial adalah faktor-faktor yang memiliki dampak langsung terhadap hukum dan moralitas masyarakat. Apakah negeri kita Indonesia sekarang ini memiliki dan memegang teguh keempat nilai luhur di atas? Dan apakah kita khususnya saudara-saudara sebangsa dan setanah air  yang berasal dari keturunan Cina dan lebih khusus lagi para pemeluk “agama Khong Hu Cu” juga memahami dan menghayati ajaran-ajaran Lao Tzu dan Kong Hu cu yang mulia itu? Semoga. Berikutnya: KEPEMIMPINAN SUN TZU & ZHUGE LIANG.


Minggu, 07 Februari 2016

KEPEMIMPINAN VERSI PUJANGGA RONGGOWARSITO : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (21).




Ronggowarsito adalah pujangga ternama yang oleh para pengamat sosial politik dan kebudayaan, dikenal dengan tulisannya tentang Zaman Edan”. Ia adalah bangsawan Jawa yang lahir di Surakarta 23 Maret 1802 dan wafat 24 Desember 1873, yang sejak berumur 12 tahun telah masuk menjadi santri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (tetangga desa Gontor). Menjadi santri yang cemerlang, ia sangat disayang sang kyai, yaitu Kyai Hasan Besari. Di kemudian hari para pengagumnya percaya, Ronggowarsito memperoleh anugerah dari Yang Maha Kuasa berupa kemampuan menyingkap tirai, hijab, yang membatasi antara hamba dan Sang Pencipta, sehingga mampu melukiskan keadaan-keadaan masa depan melalui beberapa tulisannya, Wallaahu ‘alam (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara2009, halaman 24).

Ronggowarsito yang bernama kecil Bagus Burhan adalah ulama pujangga yang sangat produktif, yang karya sastra yang ditulis atas namanya sendiri berjumlah tidak kurang dari 27 (dua puluh tujuh). Para ahli sastra Jawa memperkirakan karya sesungguhnya lebih dari itu, mungkin lebih dari 56 (lima puluh enam), namun ditulis dengan nama samaran atau orang lain. Yang luar biasa, sebagian dari karya sastranya mampu jauh menembus zaman, sering dikutip dan menjadi sumber referensi sampai sekarang. Bahkan Ramalan Jayabaya versi yang sering dikutip orang, menilik gaya bahasanya juga diduga karya Ronggowarsito. Sungguh bersyukur, saya memperoleh anugerah sempat mengunjungi bekas pesantrennya yang tak jauh dari Pesantren Gontor di Ponorogo, serta berziarah ke makamnya di desa Palar, kecamatan Trucuk, Klaten.

Di masa lalu, banyak orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya semenjak kecil beberapa falsafah ilmu kepemimpinan seperti (1) hasta brata; (2) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu; (3) suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, yang diajarkan oleh beberapa pujangga Keraton Surakarta.

Ajaran hasta brata sudah kita bahas dalam tulisan terdahulu, sedangkan mengenai sastra jendra, bermula dari istilah Sastra Harjendra Yuning Rat yang bersumber dari serat Arjuna-Sasra Bau karya pujangga R.Ng.Sindusastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Sastra jendra mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus menjaga kselematan dan kelestarian alam semesta dengan menguasai dirinya dari pengaruh kekuasan hawa nafsu, terutama hawa nafsu yang dikuasai iblis baik yang berwujud raksasa maupun makhluk halus lainnya.

Adapun ilmu kepemimpinan suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti, berasal dari Serat Witaradya yang merupakan ajaran kehidupan yang dikemas dalam sebuah novel fiktif, yang mengisahkan gemblengan Prabu Aji Pamasa dari Kerajaan Witaradya kepada Putera Mahkotanya yaitu  Raden Citrasoma. Lantaran menggunakan nama yang sama, yakni Aji Pamasa, orang juga sering rancu atas Serat Witaradya dan Serat Aji Pamasa yang mengajarkan hasta brata.

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti yang bermakna kedigdayaan dan keangkaramurkaan dapat dihancurkan oleh kesabaran dan kelembutan, disajikan dalam bentuk tembang sebagai berikut:
     jagra angkara winangun;
     sudira marjayeng westhi;
     puwaka kasub kawasa;
     sastraning jro wedha muni;
     sura dira jayaningrat;
     lebur dening pangastuti.

Dalam Serat tersebut, ajaran itu dilukiskan dalam suatu kisah tentang berkobarnya nafsu Raden Citrasoma nan sakti mandraguna, kepada isteri anak buahnya, Tumenggung Suralathi yang bernama Nyi Pamekas, seorang wanita cantik jelita yang berhati suci. Dengan kelembutan dan kesabaran namun teguh dalam menjaga kesuciannya sebagai seorang isteri, Nyi Pamekas berhasil menolak dan menundukkan nafsu jalang Putera Mahkota junjungannya, tanpa mempermalukan dan melukai perasaan sang Pangeran. Bahkan dengan itu Raden Citrasoma berterima kasih karena memperoleh hikmah, yang kemudian dinamakan ajaran sastra jendra hayuningrat lebur dening pangastuti.

Dalam buku Kepemimpinan Jawa, Falsafah dan Aktualisasi yang kami sunting (Penerbit Bina Rena Pariwara, Februari 1998 halaman 18 – 19, pakar kebudayaan Jawa Karkono Kamajaya Partakusumo mengupas nasihat Prabu Aji Pamasa sebelum lengser keprabon atau turun tahta, kepada Raden Citrasoma yang disebut Panca Pratama (lima yang terbaik) yaitu:
Pertama, mulat  (awas, hati-hati), agar seksama dalam memberi tugas kepada punggawanya. Yang keahliannya pekerjaan halus, jangan sampai diberi pekerjaan kasar dan demikian pula sebaliknya. Dalam kata lain, serahkanlah segala sesuatu kepada ahlinya. Juga waspadalah terhadap anak buah dengan mengetahui yang baik dan yang buruk.

Kedua, amilala (memelihara, memanjakan), mengganjar dan menaikkan pangkat anak buah yang baik pekerjaannya. Ketiga, amiluta (membujuk, membelai, menyayangi), mendekati punggawa dengan kata-kata yang menyenangkan, membangkitkan kecintaan dan pengabdian kepada raja (negara).

Keempat, miladarma (menghendaki kebijakan), mengajarkan hal-hal yang demi terwujudnya keselamatan dan kesejahteraan rakyat lahir batin. Kelima, parimarma (belas kasih), bersifat pemaaf demi terjaga ketenteraman negara.

Sementara itu kepada Patih Sukarta, Prabu Aji Pamasa mengajarkan Panca Guna (lima faedah), yakni: Pertama, rumeksa atau menjaga negara seisinya bagaikan milik sendiri, terutama apabila terjadi marabahaya. Janganlah menunggu perintah untuk mengamankannya, dan segeralah bertindak demi keselamatan bangsa dan negaranya.

Kedua, menjaga (a) ilat  (lidah), dengan berkata sopan dan berperilaku santun, menyenangkan hati orang; (b) ulat (air muka), menjaga air muka atau wajah supaya selalu nampak menyenangkan, menyesuaikan dengan tempat dan keadaan. Karena itu akan mendatangkan kebahagiaan; (c) ulah (tingkah laku), agar membawa diri dan berperilaku mantap (jangan peragu) sehingga memperoleh kasih sayang raja.

Ketiga, rumasuk (meresap), artinya penjagaan kepada negara dilakukan dengan seia-sekata, serta menjaga kekompakan di antara sesame punggawa. Keempat, rumesep (menyenangkan), bakti kepada raja harus mantap dan tidak renggang serambut pun. Demikian pula jangan berhenti mengasuh punggawa yang lebih rendah. Kelima, rumangsa (merasa), tetap merasa sebagai abdi raja dan kerajaan, dan jangan sekali-kali sombong dan tak mau kalah.

Sahabarku, demikianlah ajaran kepemimpinan versi pujangga tersohor Ronggowarsito, sebagai penutup ajaran kepemimpinan yang bersumber dari kearifan Jawa. Insya Allah berikutnya sebagai pelengkap, kita coba bahas KEPEMIMPINAN TAO & KHONG HU CU.

Senin, 01 Februari 2016

AJARAN KEPEMIMPINAN RAJA-RAJA MATARAM : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (20).




Abad ke 19 atau periode tahun 1800an adalah puncak produktivitas dan kemashuran karya-karya sastra Jawa, khususnya yang berasal dari lingkungan keraton-keraton Mataram II yang meliputi Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Dari seorang pujangga saja misalkan Raden Ngabehi Ronggo Warsito, tercatat paling sedikit ada 27 (dua puluh tujuh) serat atau kitab, di antaranya yang paling populer dan sering dikutip orang sampai sekarang adalah Serat Kalatidha yang menguraikan tentang Zaman Edan. Satu lagi karyanya yang menjadi rujukan aliran Islam Kejawen yaitu Serat Wirid Hidayat Jati.

Selain Ronggo Warsito, pada abad ini juga muncul sejumlah pujangga lain yang menghasilkan karya-karya monumental misalkan Serat Nitimani yang ditulis selama lima tahun (1883 – 18888) oleh Aryosugodo, yang kemudian menjadi rujukan utama kitab-kitab lain yang menulis tentang hubungan seks. Di Kesultanan Yogyakarta, Patih atau Perdana Menteri Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat, juga menulis kitab induk Primbon Jawa, yang terus menjadi rujukan dari berbagai kitab primbon sampai sekarang.

Tetapi keahlian menuangkan buah pikiran ke dalam karya tulis ternyata bukan hanya pada para pujangga biasa, melainkan juga pada tiga orang raja. Yang pertama adalah Raja Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono IV (1768 – 1820) yang menulis kitab Wulangreh (Ajaran Tentang Perilaku).

Kedua, Susuhunan Paku Buwono V (1785 – 1823) yang menghasilkan Serat atau Kitab Centhini, yang oleh para ahli kebudayaan dianggap sebagai ensiklopedi Jawa. Centhini ditulis oleh sebuah tim yang langsung dipimpin oleh Adipati Anom, yaitu gelar sebelum naik tahta menjadi Sinuhun Pakubuwono V. Ensiklopedi yang ditulis selama lima tahun (1809 – 1814) itu, dikemas atau sesungguhnya berupa novel percintaan dengan latar belakang suasana kehidupan pada masa kekuasaan Sultan Agung tahun 1613 – 1645. Hampir semua tata nilai dan pernik kehidupan, dituangkan secara indah menawan oleh Centhini, mulai dari tasawuf, kuliner, arsitektur, obat-obatan bahkan perilaku seks binal lagi liar. Baik Paku Buwono IV maupun Paku Buwono V, adalah pemeluk Islam yang taat, sangat dekat dengan para ulama dan oleh masyarakat dianggap sakti.

Raja ketiga yang juga budayawan adalah Kangjeng Gusti Pangeran  Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro IV (1811 – 1881) yang mengarang Serat Tripama dan Serat Wedhatama. Serat Tripama mengajarkan kesetiaan dan kerelaan berkorban jiwa-raga dari tiga orang kesatria dalam cerita wayang kepada Raja dan Kerajaannya. Mereka adalah (1) Patih Suwondo kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, (2) Kumbokarno kepada kerajaan Alengka, dan (3) Adipati Karno kepada Prabu Duryudono ( Cermin Diri Orang Jawa, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara 1998, halaman 30).

Wedhatama atau Ajaran Tentang Keutamaan, berupa syair-syair macapat yang terdiri dari 100 bait (mengenai apa dan bagaimana macapat bisa dibuka di link: https://islamjawa.wordpress.com/2014/10/03/tafsir-kidung-kawedar-sunan-kalijaga-2-orang-jawa-mulai-mempelajari-sejarah-para-nabi-sahabat-dan-keluarganya/). Ia mengajarkan bagaimana kita harus menjalani dan mencapai kehidupan yang utama, dengan budi pekerti luhur dan mengamalkan ajaran agama Islam jangan hanya syariatnya saja, tapi juga harus secara tarekat, hakikat dan makrifat. Jangan hanya raga atau fisik kita saja yang menyembah Gusti Allah, tapi cipta-jiwa dan rasa kita pun harus ikut menyembahNya.

Tentang perilaku utama seorang kesatria, Wedhatama mengajarkan dalam bait 15 dan 16 sebagai berikut :

Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nafsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasami

Samangsane pasamuwan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
pungguh panggah cegah dhahar lawang guling

Terjemahan bebasnya adalah, bagi orang-orang Jawa tirulah perilaku utama, Panembahan Senopati pendiri Mataram. Orang yang siang malam senantiasa mengendalikan hawa nafsunya, serta membangun kebahagiaan hati sesama. Dalam berbagai pertemuan, yang diperbincangkan adalah bagaimana menciptakan kebahagiaan secara merata. Beliau juga sering meninggalkan istana pergi ke tempat-tempat yang sunyi sepi, memadukan cipta-rasa dan karsanya, dengan selalu prihatin, mengurangi makan dan tidur. (https://islamjawa.wordpress.com/2011/02/08/nafsu-pangkal-kemaksiatan-dan-kelalaian/).

Sebagaimana halnya Paku Buwono IV dan Pakubuwono V, Mangkunogoro IV dikenal pula sebagai pemeluk Islam yang taat, sakti, menyenangi tasawuf dan sangat menjunjung tinggi kebudayaan Jawa serta mengecam orang-orang Jawa yang kearab-araban, yang meninggalkan budaya bangsanya.

Akan halnya kitab Wulangreh, mengajarkan perilaku dengan falsafah kehidupan yang berlandaskan dalil  (Qur’an), kadis (Hadis) dan ijemak atau kesesuaian pendapat dari para ulama, yang dipadukan dan dikemas dengan keaifan-kearifan Jawa. Wulangreh terdiri dari 283 syair macapat yang dikelompokkan dalam 13 bab yaitu:

1.Pelajaran tentang cara memilih guru.
2. Pelajaran tentang cara memilih teman.
3. Pelajaran agar manusia memegang teguh kejujuran serta menjauhi watak adigang, adigung dan adiguna (mentang-mentang kuasa, mentang-mentang pandai dan mentang-mentang banyak jasa lagi berani).
4. Pelajaran tentang tatakrama, budi pekerti serta cara membedakan baik dan buruk.
5. Pelajaran tentang bagaimana menghormati;
5.1. Allah
5.2. Orang tua
5.3. Mertua
5.4. Saudara
5.5. Guru
6. Pelajaran tentang kepemimpinan dan mengabdi pada kerajaan.
7. Pelajaran tentang pengendalian hawa nafsu.
8. Pelajaran tentang budi pekerti luhur dan tercela.
9. Pelajaran tentang menjalin persaudaraan serta surat-menyurat.
10. Pelajaran tentang tawakal, sabar, mengamalkan rasa syukur dan rendah hati.
11. Pelajaran tentang agama Islam dan pengabdian kepada negara.
12. Tentang suri tauladan para leluhur.
13. Nasihat Sang Pujangga.


Mengenai Raja atau Pemimpin, Wulangreh menekankan ajaran moral untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, yang diuraikan pada Bab atau Pupuh V, bait 30 dan 31 sebagai berikut: ”Mapan Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa kekasih, amung bener agemira. Kukum adil adat waton kang den esthi...... Artinya, memang raja ibarat tak memiliki saudara dan anak, sanak saudara dan isteri terkasih, yang dianutnya hanyalah kebenaran.  Hukum keadilan dan adat istiadat yang diopegangnya.....”.

Bagaimana menjalankan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Keraton? Puteri Sinuhun Pakubuwono XII (almarhum PB XII), Gusti Raden Ayu (GRA) Koes Indriyah dalam suatu diskusi yang diselenggarakan Yayasan Bina Pembangunan 13 November 1997, yang kemudian dibukukan dalam ”Kepemimpinan Jawa, Falsafah dan Aktualisasi, B.Wiwoho – Hasan Basri – Januar Jatnika, Bina Rena Pariwara1998, dirinya beserta saudara-saudaranya yang lain hidup sehari-hari bersama ibu. Raja pada dasarnya tidak mengenal anak dan isteri, yang dimaksudkan agar semua orang di mata Raja adalah sama. Oleh sebab itu dirinya dididik untuk tak boleh terlalu mengenal Bapak (PB XII). ”Setelah lulus SD saya baru menyadari bahwa yang tiap hari saya sembah, harus jongkok, duduk dan tidak boleh melihat itu ternyata Bapak saya. Saya tanyakan pada ibu, mengapa saya tidak boleh dekat dengan Bapak, sementara teman-teman saya yang lain bisa memeluk, mencium dan segala macam. Ibu saya hanya bicara, bahwa nanti jika terlalu dekat, Bapak tidak bisa berlaku bijaksana, baik pada anaknya sendiri maupun pada semua kerabat di sini. Jadi tidak boleh terlalu dekat kepada siapa pun.”

Sebelum ketiga raja budayawan tersebut, KGPAA Mangkunegoro I (1725 – 1796) juga sudah mengajarkan tiga dasar pengabdian para kesatria yang disebut sebagai Tridharma, yaitu : (1) mulat sariro hangroso wani, keberanian untuk selalu mawas diri, (2) rumongso melu handarbeni, membangun rasa ikut memiliki dalam hal ini kerajaan, (3) wajib melu hanggondeli, berkewajiban ikut membela dan mempertahankan kerajaan.

Konsep Tripama dan Tridharma pernah menjadi salah satu acuan dalam penataran-penataran Pedoman Penghayatan  dan Pengamalan Pancasila di masa Orde Baru, tetapi karena dalam prakteknya kehidupan berbangsa dan bernegara penuh dengan perilaku KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), maka konsep tersebut terutama Tridharma sering jadi bahan olok-olok masyarakat (https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/09/14/cermin-diri-orang-jawa/).

Sahabatku, demikianlah inti dari ajaran kepemimpinan Raja-Raja Mataram II, yang dalam bentuk tembang-tembang macapat masih sering didendangkan oleh orang-orang Jawa yang menyenangi seni tembang Jawa. Apakah makna dan hakikat ajaran dari tembang-tembang tersebut dihayati serta diamalkan atau tidak, tentu terpulang pada diri masing-masing. Dan apakah para elit yang berasal dari suku Jawa terutama Presiden Joko Widodo yang kebetulan berasal dari Surakarta juga menghayati dan mengamalkan, menjunjung tinggi hukum atau aturan dan keadilan, marilah kita sama-sama menjadi saksi sejarah. Berikutnya: AJARAN KEPEMIMPINAN VERSI PUJANGGA RONGGO WARSITO).