Rabu, 31 Januari 2018

Gelar Budaya Suluk Nusantara dan Wakaf Gamelan



Gelar Budaya Suluk Nusantara dan Wakaf Gamelan

 

DEPOK – Berbeda dengan biasanya, Sabtu (27/1/2018), Komplek Perumahan Pondok Mulya I yang tenang, damai, mendadak ramai. Massa terkosentrasi di salah satu rumah warga, di Blok K No. 90. Di sana adalah rumah wartawan senior dan budayawan Bambang Wiwoho.

Di belakang rumah Mas Wi, begitu sang budayawan pemilik rumah itu akrab dipanggil, sebelumnya adalah kebun yang ditanam pohon rambutan. Kini berdiri kokoh sebuah pendopo. Di pendopo inilah aktivitas budaya dijalankan. Rumah Mas Wi menjadi tempat warga sekitar bersilaturrahim dan menyalurkan bakat seni. Di sana mereka juga mengekspresikan diri melestarikan budaya, warisan leluhur.

Namun bagi Mas Wi, pengarang buku “Islam Mencintai Nusantara” ini, aktivitas seni di pendopo itu agar tidak menjadi hiburan biasa, ia sisipkan nilai agama. Berkaca dari Jalan Dakwah para Sunan, seni yang dikembangan di Pendopo itu pun menjadi aktivitas Budaya Suluk. Budaya inilah yang menurut Mas Wi, bisa meluluhkan tatanan nilai yang ada di tanah air, ketika para sunan menyampaikan Dakwah Islam tempo doeloe. Sehingga Islam dapat diterima di hati masyarakat nusantara, karena ia datang dengan damai dan masuk dengan seni yang menyenangkan.
“Ketika Islam datang ke nusantara, penduduknya sudah memiliki perdaban yang tinggi. Ini terlihat dari hasil karya mereka seperti candi yang luar biasa unggul apabila diukur dari segi apapun, dari science, arsitek maupun estetikanya. Jika Islam datang dengan kekerasan tentu tidak akan diterima oleh rakyat nusantara. Tapi Islam yang dibawa para sunan dengan pendekatan budaya akhirnya Islam pun dapat diterima,” jelas Mas Wi.

Karena itu pula, Mas Wi berikhtiar dengan jalan dakwah yang dicontohkan para Sunan itu. Di Pendopo itu Mas Wi memprakarsai “Gelar Budaya Suluk Nusantara, Eskepresi Seni Memahami Ilahi”, seperti yang diadakan Sabtu (27/1) itu. Langkah Mas Wi, ini didukung penuh oleh rekannya Wartawan Senior Parni Hadi, yang juga Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa. “Aktivitas Dakwah melalui budaya sejalan dengan misi Dompet Dhuafa yang memperhatikan para kaum dhuafa untuk berdaya dan menjadikan pendekatan budaya sebagai jalan dakwah yang damai,” jelas Parni.

Tentunya Budaya Suluk yang mengutamakan dakwah Islam dengan cinta yang diprakarsai Mas Wi, lanjut Parni Hadi, kita dukung karena kita membangun peradaban yang penuh nilai kasih sayang dan jauh dari kekerasan.
Dikatakan Parni, suluk itu adalah jalan mencari tuhan. Syarat dari sebuah suluk dengan menata hati dan bathin. Sementara ungkapan merupakan utusan atau cermin dari hati dan bathin. Ungkapan akan bagus terlahir dari hati dan bathin yang tertata. Ungkapan seperti halnya dakwah Islam tentu akan diterima oleh orang lain kalau berasal dari hati yang tertata, damai dan penuh cinta.
“Dari situlah kita membangun peradaban,” terang Parni.

Dikesempatan yang sama, Parni Hadi mengusulkan nama pada pendopo untuk berkativitas dakwah itu dengan Pendopo Mulyo Budoyo. Nama itu diaminkan oleh Mas Wi, si empu rumah dan para hadirin.
Bukan hanya Parni Hadi, adik mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Lily Wahid juga mendukung langkah Mas Wi mengembangkan Budaya Suluk itu. Menurutnya bangsa ini bisa disatukan dengan seni dan budaya. Salah satunya Suluk bukan hanya sekedar seni yang memberi hiburan tapi mengandung nilai dakwah yang menentramkan.
“Budaya Suluk ini dapat dikembangkan ke seluruh nusantara, ia bisa disampaikan dengan bahasa lokal tapi tetap dengan langgam aslinya seperti para Sunan menembangkan materi dakwah itu,” ungkap Lily Wahid.

Dukungan lain yang tak kalah berartinya adalah dari Trusti Mulyono, mantan penari nasional yang sudah menari keliling dunia. Ia mewakafkan satu set gamelan kuno, melalui Dompet Dhuafa. Dan bagi Dompet Dhuafa gamelan itu diamanahkan ke Paguyuban Suluk Nusantara untuk dirawat dan dimanfaatkan guna mendukung kegiatan seni dan budaya di Pendopo Mulyo Budoyo itu.
“Gamelan ini sudah menemukan rumahnya,” ungkap Trusti ketika menyerahkan gamelan itu sebelum Gelar Budaya Suluk Nusantara dilanjutkan.

Sebagai keluarga seniman, gamelan ini sangat berarti bagi Trusti. Gamelan itu, katanya, merupakan warisan dari Ki Nyoto Carito, seorang dalang yang terkenal di Jawa di masa lalu. Ketika ia wafat gamelan itu diwarisan ke anaknya. Nah dari anaknya, gamelan itu diamanahkan ke Bu Trusti dan keluarga, dengan cara tukar guling dengan sebuah rumah.

Setelah Trusti pensiun jadi penari dan sibuk dalam aktivitas sosial, gamelan ini sempat mangkrak di rumah. Supaya berguna ia titipkan ke sebuah sekolah di Cileduk untuk diberdayakan mengajar murid-murid di sana. Sekitar 10 tahun di sekolah itu, kemudian karena kurang terawat gamelan itu ditarik kembali dan dipinjam oleh Diknas kebudayaan untuk mempromosikan seni dan budaya keliling nusantara dan dunia. “Bersama diknas ada selama 6 tahun, kemudian ditarik kembali ke rumah karena ketika keliling gamelan ini sempat ada yang hilang,” jelas Trusti.
Ia juga menyatakan, banyak ingin membeli gamelan itu, tapi bagi Trusti dan keluarga, karena menghormati Dalang Ki Nyoto Carito, dia tidak mau menjual warisan itu, walaupun digoda dengan harga yang tinggi. Nah akhirnya gamelan ini kembali mangkrak di rumah.

Barulah di pertengahan tahun 2017, rekannya sesama aktivis sosial Parni Hadi mampir ke rumahnya ketika itu Trusti mengadakan Pelatihan Totok Punggung untuk orang tua dengan anak-anak tuna grahita. Di kesempatan itu Trusti menyampaikan kepada Parni Hadi bahwa ia memiliki gamelan yang butuh diberdayakan. Karena ia lihat Dompet Dhuafa sedang giat mendukung inisiatif dakwah dengan pendekatan budaya seperti Paguyuban Mocopat Nusantara dan Suluk Nusantara, Trusti punya niat mewakafkan gamelan warisan itu ke Dompet Dhuafa.

Tentunya Parni Hadi senang menerimanya. Di saat yang sama Parni Hadi teringat dengan Mas Wi yang sedang menggiatkan Suluk dan Mocopatan di Depok. Akhirnya gamelan itu diterima oleh Dompet Dhuafa sebagai aset wakaf dan bagi Dompet Dhuafa diamanahkan kepada Mas Wi untuk diberdayakan.

Ketika Gelar Budaya Suluk Nusantara di Pendopo Rumah Mas Wi itu, diserahkan secara resmi Wakaf Gamelan dari ibu Trusti itu kepada Yayasan Dompet Dhuafa Republika, yang diterima Ketua Yayasan Ismail A. Said, yang kemudian Gamalen tersebut dengan perjanjian kesepakatan kerja, gamelan itu diamanahkan kepada Mas Wi untuk diberdayakan di Pendopo Mulyo Budoyo.
Tanpa disadari Trusti berlinang air matanya ketika Gamelan itu diserahkan, ia haru karena gamelan tersebut kembali dapat berguna dan diserahkan kepada lembaga yang tepat dan diberdayakan oleh orang yang tepat juga.
 .
Setelah seremonial penyerahan wakaf selesai, para hadirin pun dapat menyaksikan pagelaran budaya yang diiringi alunan gamelan yang baru saja diwakafkan. Semoga lestari.
( http://www.kbknews.id/2018/01/27/gelar-budaya-suluk-nusantara-dan-wakaf-gamelan/)

Kamis, 25 Januari 2018

Gelar Budaya Suluk Nusantara: Ekspresi Seni Memahami Ilahi

Assalamualaikum wrwb. Salam Sejahtera.
Dompet Dhuafa dan Paguyuban Suluk Nusantara, mengundang kehadiran bapak/ibu pada Gelar Budaya Suluk Nusantara: Ekspresi Seni Memahami Ilahi, insya Allah
pada hari: Sabtu 27 Januari 2018
dari pukul: 09.00 sd makan siang
alamat: Pendopo Suluk Nusantara, kediaman B.Wiwoho, Perumahan Depok Mulya I Blok K No.90, Beji - Depok.
Karena tempat terbatas, mohon konfirmasi kehadiran via WA ke (1) Pramono Sudomo: 081319321139 - 087785147734 atau (2) B.Wiwoho : 081282833479.


Sabtu, 06 Januari 2018

Membangunkan Raksasa Pariwisata dengan Gerakan “Indonesia Incorporated”




Mengembangkan sektor pariwisata Indonesia, adalah ibarat menggalang sekaligus membangkitkan  “Indonesia Incorporated”, yaitu menggetarkan segenap pori-pori bangsa Indonesia untuk bangkit bersama dalam satu irama bisnis kepariwisataan. Tetapi membangun”Indonesia Incorporated” tentu bukan pekerjaan mudah. Ia merupakan karya raksasa yang bukan hanya semata-mata menjadi tanggungjawab Pemerintah, melainkan seluruh bangsa, seluruh masyarakat, tanggungjawab nasional.
 
Bagi yang sudah mengikuti perkembangan situasi nasional di era 1980-an, tentu masih ingat gerakan “Sadar Wisata dengan Sapta Pesonanya”, yaitu gerakan nasional untuk menggugah kesadaran masyarakat agar menyadari betapa besar manfaat mengembangkan kepariwisataan.

Menjelang pertengahan dasawarsa 1980-an itu, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar 800.000 dengan pertumbuhan rata-rata 15% setahun. Dibandingkan Spanyol yang pada saat itu masih mengandalkan atraksi adu banteng  “matador”, posisi Indonesia jauh ketinggalan. Pada masa itu wisman yang berkunjung ke Spanyol mencapai sekitar 40 juta setahun, melampaui jumlah penduduknya yang hanya 38 juta jiwa. Meskipun demikian Pemerintah Spanyol masih terus menggerakkan segenap kemampuan nasionalnya buat menyedot wisatawan dengan membangun berbagai atraksi, acara, obyek dan  daerah-daerah tujuan wisata. Hasilnya menakjubkan. Wismannya meningkat terus sehingga pada tahun 2015 mencapai 66 juta dan tahun 2016 meningkat lagi menjadi 75 juta dengan rata-rata belanja harian per wisatawan 138 Euro atau 1.038 Euro per paket wisata per orang.

Spanyol berhasil menyedot puluhan juta wisman karena telah dengan baik menggetarkan “Spain Incorporated”  dari seluruh pori-pori unsur kepariwisataan nasionalnya yang meliputi segi kehidupan masyarakat, seni budaya, akomodasi, transportasi, keamanan, lingkungan, pelayanan dan berbagai sarana lainnya sebagai daya pikat wisatawan.

Contoh lain keberhasilan sebuah kota kecil yang menyedot jutaan wisman adalah Volendam, yakni kota nelayan yang berjarak 20 km dari Amsterdam, Belanda. Di pinggir jalan utama Volendem, berderet sejumlah studio foto yang di etalasenya memajang foto berbagai tokoh dunia termasuk tokoh-tokoh dari Indonesia. Pose foto-foto mereka nyaris sama, mengenakan pakaian tradisional setempat tempo dulu. Berfoto dengan mengenakan pakaian tradisional tentu sangat menarik. Namun itu saja tidak cukup. Volendam sangat mudah dicapai dengan transportasi umum yang nyaman dan tepat waktu. Tata kota yang berpenduduk 22.000an jiwa itu rapi bersih dengan arsitektur bangunannya yang khas dan seragam, jalanannya yang kecil nyaman, suasananya aman tenteram, toko dan restoran-restorannya bersih – enak dan harganya standar dengan harga yang terpampang jelas.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Secara nasional kita memang telah berasil meningkatkan jumlah kunjungan wisman, sehingga terus tumbuh mencapai 11,5 juta  tahun 2016, dengan target 20 juta wisatawan tahun 2019. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding Singapura yang pada 2016 berhasil mendatangkan 15 juta wisman, Malaysia 25 juta orang dan Thailand 32 juta orang.

Mengapa kita kalah dengan negara-negara jiran? Kami mempunyai pengalaman yang menarik tatkala pada liburan lebaran tahun 2016 mengunjungi Kawasan Wisata Dieng dan Borobudur. Harus diakui, suasana keseluruhan sudah jauh lebih baik dibanding sepuluh tahun silam, terutama Borobudur. Namun dibanding negeri-negeri jiran, apalagi dibanding Spanyol, Paris dan kota kecil Volendam, secara umum masih jauh tertinggal. Tata kota-wilayah yang tidak menampakkan ciri khas arsitektur lokalnya, masih terkesan kumuh, terutama kebersihan dengan sampah yang beserakan di mana-mana. Demikian pula kios-kios dan pedagang asongannya tidak menarik bahkan mengganggu, padahal keberadaan mereka dibutuhkan. Sementara itu di berbagai tempat kita disuguhi atraksi-atraksi “boneka manusia” yang menari-nari mengajak berfoto, dengan kostum-kostum asing antara lain Teletabis, di tengah alunan musik-musik Barat. Sedikit bersyukur, di Dieng menjumpai beberapa orang dalam satu grup yang mengenakan kostum wayang, dan tatkala berkeliling naik delman di Borobudur, sempat diajak singgah ke satu rumah joglo yang baru beroperasi selama  beberapa hari dengan hidangan kudapan lokal sambil menikmati  alunan siter dan gender khas Jawa.

Banyak alasan orang berwisata. Namun satu persamaannya adalah ingin keluar dari kejenuhan dan rutinitas dengan menikmati suasana yang berbeda, terutama yang khas, yang lain dari yang lain, yang tidak ditemui dalam kehidupannya sehari-hari, yang bisa dinikmati dalam suasana yang aman, nyaman, bersih, higenis, enak, terjangkau harganya dan pulang membawa kenangan sepanjang masa. Dalam hal alam dan seni budaya, dari Sabang sampai Merauke, Nusantara memiliki potensi besar buat dikembangkan untuk itu.
Namun potensi “Raksasa Kepariwisataan” tersebut harus digalang bersama dalam satu “Indonesia Incorporated”. Dan agar memberikan manfaat besar kepada masyarakat luas dan bukan hanya untuk segelintir orang apalagi investor asing, maka harus berbasis pada komunitas, kearifan dan keunggulan lokal, kelestarian eko sistem  serta konservasi alam dan budaya. Semoga. (B.Wiwoho).
 
Catatan: Tulisan ini juga bisa dilihat bersama pendapat para pakar lainnya di link berikut:http://watyutink.com/opini/membangunkan-raksasa-pariwisata-dengan-gerakan-indonesia-incorporated