Kamis, 21 Juli 2022

BUKU-BUKU B.WIWOHO UNTUK PURNAWIRAWAN AD

 


Alhhamdulillah, Sabtu 11 Juni 2022 memperoleh kehormatan dari Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat Mayjen TNI Purn Prijanto dlm acara Musda PPAD Jakarta, menyerahkan beberapa buku tulisan kami ke sejumlah tokoh  seperti  Pangdam Jaya  yang diwakili Brigjen TNI Edi Sutrisno, Ketum PPAD Letjen TNI Purn Doni Monardo dan Ketua DPD RI LaNyalla M.Mattalitti.

Salah satu buku yaitu "Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945" dibagikan kepada seluruh peserta Musda.



Siangnya lanjut menyerahkan buku "Tonggak-Tonggak Orde Baru" kepada Mayjen TNI Purn Haris Sudarno, yang namanya tertulis di dalam buku ke 3 halaman 155. Dari bab yang terkait ddengan nama Pak Haris, kita bisa mengetahui peranan para purnawirawan  dalam gerakan Reformasi tahun 1998.



Pak Prijanto dalam acara di atas juga membagikan buku tulisannya "Konstitusi Indonesia" yang  Allahumma amin, besar manfaatnya dalam menggalang kesadaran nasional.
 
Dalam foto, La Nyalla nampak menunjukkan buku "Pancasila Jatidiri Bangsa" yang merupakan prosiding acara bedah buku "Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945" oleh Dewan Guru Besar UGM, yang dirangkum oleh Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dan sedikit saya bantu editing. 
Semoga sukses berkah melimpah untuk IndonesiaRaya.

GIBAH DILARANG KECUALI UNTUK MELAWAN KEZALIMAN

 panjimasyarakat.com


                                               BUKU BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN

Dalam beberapa hari terkahir ini, penulis sering memperoleh pertanyaan dan mendengar ucapan orang tentang dua hal terkait puasa. Pertama, “Sudahlah, ini bulan Puasa. Nggak usah bikin kegiatan macam-macam. Kita konsentrasi saja pada ibadah, tadarus Qur’an.”

Masyaa Allah. Kata ibadah ternyata masih sering dimaknai secara sempit oleh kebanyakan orang. Seolah-olah yang termasuk ibadah itu hanya salat, puasa, zakat, haji, membaca Al- Qur’an dan beberapa jenis ibadah mahdah lainnya. Sedangkan yang di luar itu dianggap tidak termasuk ibadah. (Tentang ini lihat Peristiwa Besar Selama Ramadan : Ayo puasa, tapi jangan persempit makna ibadah, https://panjimasyarakat.com/2022/04/07/peristiwa-besar-selama-ramadan-ayo-puasa-tapi-jangan-persempit-makna-ibadah/).           

Kedua, ini bulan puasa, jangan gibah termasuk ngomongin jelek penguasa. Nah, apa jika tidak bulan puasa maka kita boleh bergibah?

Mengenai gibah, bergunjing, ngrasani atau membicarakan keburukan orang lain, sudah penulis bahas dalam satu bagian dengan lima bab pada buku Bertasawuf di Zaman Edan (Penerbit BukuRepublika, 2016).

Secara hakikat gibah tidak hanya berbentuk obrolan lisan, tapi bisa juga berbentuk tulisan atau bahkan isyarat. Dosa membahas kejelekan orang lain, baik dalam bulan Ramadhan atau pun tidak, secara umum lebih besar daripada berbuat zina sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari Jabir dan Abu Sa’id: “Berhati-hatilah engkau terhadap perbuatan gibah. Karena sesungguhnya gibah itu lebih dahsyat dari zina.” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana bisa begitu?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya seseorang muslim yang berzina, dia lalu bertobat dan tobatnya diterima oleh Allah. Tetapi orang yang ngrasani itu tidak dapat diampuni oleh Allah, sebelum yang dirasani itu mengampuni.”

Sahabatku, gibah itu pada dasarnya memang dilarang, kecuali menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan yang benar dan sesuai dengan syara, misalkan memberitahukan bahwa seseorang dizalimi termasuk membicarakan penguasa yang zalim dan tidak amanah,  atau meminta fatwa dan nasehat, atau mengingatkan seseorang dari kejahatan, serta meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran. Meskipun demikian Allah berfirman: “Allah tidak menyukai kata-kata jahat yang diucapkan dengan terus terang, kecuali dari orang yang teraniaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (An-Nisa : 148). Ayat ini mengajarkan agar dalam mengkritisi atau membicarakan kezaliman, betapa kesal kita hendaklah tetap bisa mengendalikan diri untuk tidak mengumpat atau mengeluarkan kata-kata yang jahat dan kotor, sebagaimana yang lazim ada dalam umpatan.                                       

Tentang kebolehan melakukan gibah dalam rangka mengubah dan melawan kemungkaran, terdapat dalam seluruh nash yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar seperti: “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).                

Selanjutnya Rasulullah menambahkan, “Siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Dan bila tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, tetapi yang terakhir ini menunjukkan iman yang paling lemah.” (Hadis Muslim).                            

Kedua perintah untuk melawan kemungkaran, termasuk kezaliman tersebut cukup gamblang. Ironisnya justru sedikit orang yang berani melawan atau mengubahnya tatkala melawan penguasa dan kekuasaan. Banyak dalih yang yang bisa mereka kemukakan, lantaran setan sang pendukung utama kezaliman pasti akan menyiapkan sejuta alasan. Sebaliknya orang senang mengobral gunjingan demi menzalimi orang lain terutama yang lebih lemah. Tak segan menyalahkan orang banyak, yaitu rakyat yang lemah yang tak mungkin mendebatnya, dibanding penguasa yang hanya beberapa gelintir namun kuat. Hal ini memang bisa dimaklumi. Sebagaimana peringatan Kanjeng Nabi: “Sesungguhnya setan telah putus asa untuk ditaati kembali di Jazirah Arab, tetapi ia tidak putus asa untuk merusak hubungan antara yang satu dengan yang lain.”                 

Dalam rangka mengingatkan agar kita tidak sekedar beramar ma’ruf, tapi juga harus berani nahi munkar khususnya membela hak-hak rakyat, fakir miskin dan kaum dhuafa melawan kezaliman dalam segala bentuknya di era globalisasi itulah, maka kita perlu mempelajari keteladanan ulama-ulama tasawuf terkemuka di dunia, yang tak segan menegur keras para penguasa.                         

Mereka mengobarkan kebangkitan dan perlawan gigih terhadap musuh-musuh Islam, namun tetap penuh kasih sayang secara kemanusiaan, meskipun itu di tengah kancah peperangan. Mereka sangat peduli terhadap nasib dan kehidupan masyarakat, terutama dalam menghadapi penguasa dan kroni-kroninya yang zalim dan tidak amanah, sehingga mengakibatkan penderitaan rakyat banyak.

Sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya, mereka hidup di tengah masyarakatnya bersama-sama dalam suka dan duka, dan tidak menyendiri di gua-gua nan sepi, apalagi menutup mata dan telinganya dalam melihat penderitaan rakyat dan kefakiran, dengan dalih karena mengikuti jalan tasawuf. Lantaran menyadari  bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran, sampai-sampai Sayidina Ali pernah bersabda, “Seandainya kemiskinan itu berupa manusia, maka akan kubunuh dia”.         

Oleh karena itu wahai Sahabatku, guna menghadapi dan menangkal berbagai godaan setan yang memang telah memperoleh mandat dan kuasa dari Allah Yang Maha Kuasa untuk menggoda kita, termasuk menggoda agar kita tak peduli terhadap kemungkaran yang ada di sekeliling kita, Kyai Mufasir dari Barubug, Ciomas, Banten, mengajarkan, kita pun harus senantiasa memohon mandat, memohon kuasa dan perlindungan dari Allah. Memohon perlindungan dari kejahatan dan bisikan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikan kejahatan ke dalam dada manusia; setan dari golongan jin dan manusia.                                                                                                                  

Maka sungguh tepatlah wejangan doa Kyai Mufasir ini:                                                                     Duh Gusti, sungguh Paduka telah memberikan kuasa kepada setan untuk mengalahkan kami, setan itu melihat kelemahan-kelemahan kami dari tempat di mana kami tidak melihat dia.

Karena itu duh Gusti, putuskanlah harapan setan itu atas kami, sebagaimana telah Paduka putuskan harapannya dari rahmat Paduka.

Duh Gusti, putuskanlah harapan dia atas kami, atas hamba Paduka ini, sebagaimana telah Paduka putuskan pula harapannya untuk memperoleh ampunan Paduka.                                      

Juga jauhkanlah dia dari kami. Jauhkanlah dia dari hamba Paduka ini, sebagaimana telah Paduka jauhkan dia dari rahmat Paduka.

Sungguh Paduka Maha Kuasa atas segala sesuatu. Amin.                                                (B.Wiwoho).


Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru Untuk Ketua DPD-RI

 Di Depan Forum Konstitusi, LaNyalla: Negara Harus Sejahterakan Rakyat, Bukan Perkaya Oligarki

Ketua Dewan Perwakilan Daerah – Republik Indonesia , LaNyalla M.Mattalitti, Minggu 10 April 2022 menerima satu set buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU dari penulis B.Wiwoho.

 

JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan Konstitusi harus dengan tegas dan jelas berpihak kepada pemilik kedaulatan negara ini, yaitu rakyat. Karena tujuan negara ini adalah welfare state yakni negara yang menyejahterakan rakyat.

Hal itu disampaikan LaNyalla saat menghadiri undangan dialog yang digagas para tokoh pejuang konstitusi dan penjaga Pancasila, di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (10/4/2022) malam.

“Negara ini lahir untuk menyejahterakan rakyat. Tapi faktanya arah perjalanan bangsa ini kita serahkan kepada Partai Politik, dan Ekonomi Indonesia berpihak kepada segelintir orang yang berkongsi dengan kekuasaan,” kata LaNyalla.

Menurutnya, hal itu terjadi karena Amandemen Konstitusi 1999-2002 yang membuat bangsa ini meninggalkan Pancasila sebagai falsafah dan wadah yang utuh untuk bangsa.

“Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, tetapi saya sudah sering sampaikan bahwa Amandemen Konstitusi 1999-2002 adalah Kecelakaan Konstitusi yang kemudian menjauhkan kita dengan watak dasar dan DNA Asli bangsa ini, yaitu Pancasila,” tambahnya.

Oleh karena itu LaNyalla berterima kasih, masih ada para tokoh yang mendedikasikan diri untuk memperjuangkan eksistensi Pancasila.

“Kita tidak bisa membiarkan terus menerus Negara ini dikuasai oleh segelintir orang yang rakus untuk menumpuk kekayaan. Sementara ratusan juta rakyat tetap saja miskin dan menderita. Kita tidak bisa membiarkan Kekayaan Sumber Daya Alam dikuras oleh Oligarki yang membiayai penguasa, sehingga kekuasaan terus berpihak kepada mereka,” papar dia.

Oleh karena itu, LaNyalla menegaskan Konstitusi Indonesia harus dengan tegas dan jelas berpihak kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sebab, sistem perekonomian Indonesia disusun atas usaha bersama, dan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.

“Insya Allah saya akan istiqomah berada di barisan yang ingin mengembalikan Indonesia menjadi Negara Kesejahteraan yang Berkeadilan. Negara berdaulat, berdikari dan mandiri yang tidak dikendalikan oleh segelintir Oligarki. Tapi negara yang lahir untuk kesejahteraan rakyat demi terwujudnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tegas dia.

Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyinggung tuduhan dirinya sebagai otak di balik rencana aksi mahasiswa 11 April. Tentang hal ini LaNyalla malah bersyukur.

“Sempat ramai di medsos, saya dituduh sebagai otak di belakang demo mahasiswa. Alhamdulilah, karena dari dulu sudah sering difitnah. Tapi saya yakin, kalau difitnah itu malah akan menaikkan derajat kita. Siapa tahu dengan dituduh otak demo turunkan Presiden, insya Allah nanti saya jadi Presiden,” ujarnya.

Ditegaskan juga bahwa dirinya bukan oposisi, tetapi memilih sebagai negarawan. Sebagai pihak yang mengkoreksi penyelenggaraan negara dengan keadilan. Sebab seorang negarawan harus adil sejak dalam pikiran.

“Saya berusaha menyuarakan kebenaran. Karena kita harus berpikir ke depan, mewariskan demokrasi yang baik kepada anak cucu,” katanya.

Ketua DPD RI di acara itu didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Brigjen Pol Amostian, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir.

Hadir para tokoh pejuang konstitusi antara lain M Hatta Taliwang (koordinator Grup Konstitusi), Siti Zuhro (peneliti senior BRIN), Brigjen TNI (Purn) Hidayat Poernomo (Ketua Umum Gerakan Bela Negara), Mantan Dubes Indonesia untuk Polandia Hazairin Pohan, Prof Achmad Mubarok, Ichsanuddin Noorsy, Sayuti Asyathri, Ahmad Yani, M Jumhur Hidayat, Ali Hardi Kiai Demak, Bambang Wiwoho, Dr. Mulyadi, Eggy Sudjana dan beberapa tokoh serta komunitas emak-emak.

BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA

www.lanyallacenter.id

Peristiwa Besar Selama Ramadhan: Ayo Puasa, Tapi Jangan Persempit Makna Ibadah.

 

panjimasyarakat.com

                                                BUKU MUTIARA HIKMAH PUASA

Beberapa hari ini kita sudah menjalani ibadah puasa bulan Ramadan. Selama bulan Puasa, tak jarang kita mendengar ungkapan “Sudahlah, ini bulan Puasa. Nggak usah bikin kegiatan macam-macam. Kita konsentrasi saja pada ibadah.” Masyaa Allah. Kata ibadah ternyata masih sering dimaknai secara sempit oleh kebanyakan orang. Seolah-olah yang termasuk ibadah itu hanya salat, puasa, zakat, haji, membaca Al- Qur’an dan beberapa jenis ibadah mahdah lainnya. Sedangkan yang di luar itu dianggap tidak termasuk ibadah.

Jika demikian halnya, lantas bagaimana dengan segala aktivitas dan kegiatan manusia lainnya, meskipun diniatkan semata-mata karena Allah Swt? Bagaimana halnya dengan Perang Badr yang luar biasa dahsyatnya itu? Bagaimana dengan Penaklukkan Mekah pada 10 Ramadan 8 Hijriyah? Kemenangan gemilang Salahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Hattin pada musim panas bulan Ramadhan tahun 584 H atau Juli 1187 M? Serta kemenangan Pasukan Mamaluk dan para ulama sufi dalam mengalahkan Pasukan Mongol pada 25 Ramadan 658 H (3 September 1260M), yang dikenal sebagai Pertempuran Ain Jalut? Bagaimana dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945? Kelima contoh peristiwa besar tersebut justru berlangsung di bulan Ramadhan. Demikian pula sejumlah peristiwa bersejarah lainnya.

Perang Badar yang legendaris berlangsung antara pasukan Rasulullah Saw yang hanya berkekuatan 313 prajurit, dengan dukungan 70 ekor unta dan 3 ekor kuda yang dinaiki secara bergantian serta perlengkapan perang apa adanya, melawan tentara kafir Mekah berkuatan 1000 prajurit, 600 diantaranya infanteri berbaju besi, 100 orang tentara berkuda (kavaleri) serta 300 prajurit pendukung. Luar biasa niat ibadah Pasukan Rasulullah melalui jalan perang menaklukkan musuh-musuhnya. Waktu itu musim panas tengah berlangsung amat terik, sedangkan perbekalan makanan dan minuman Pasukan Muslim sangat terbatas, sehinga mereka hanya bisa sahur dan berbuka dengan beberapa teguk air dan beberapa
butir kurma saja. Akibatnya, sebelum pertempuran berlangsung, sudah ada sejumlah prajurit yang jatuh pingsan karena lapar dan haus. Namun mereka tidak menyerah. Bahkan tak mau juga membatalkan puasanya, meskipun Rasulullah telah mengijinkan dan menganjurkan.

Alhamdulillah, diawali dengan pergerakan pasukan tanggal 08 Ramadhan dari Madinah, perang dahsyat yang berlangsung di Lembah Badr, antara Madinah dan Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan 2H itu, akhirnya dimenangkan secara telak oleh Pasukan Rasulullah. Sesungguhnyalah, secara garis besar ibadah di bagi menjadi dua macam. Pertama, ibadah yang selama ini kita kenal sebagai ibadah mahdah, ibadah yang ketentuannya pasti seperti salat, puasa, zakat dan haji. Ibadah ini juga disebut ibadah khusus. Kedua, ibadah amah atau ibadah umum yang banyak dikenal sebagai ibadah muamalah. Semua perbuatan dan semua bentuk kebaikan yang dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Gusti Allah
tergolong dalam ibadah ini.

Begitulah, setiap orang yang mampu menjadikan semua aktivitas dirinya untuk menggapai ridho Allah Swt, berarti telah melakukan suatu amal ibadah yang besar artinya, lebih-lebih lagi jika amal salehnya itu meliputi hubungan antar sesama yang luas. Ibadah yang seperti ini disebut ibadah muamalah. Hubungan sesama yang luas ini meliputi hubungan antara hamba dengan Allah, hubungan antara manusia dengan sesama manusia serta hubungan antara manusia dengan alam dan segenap isinya.

Saudaraku yang budiman, di samping ibadah mahdah seperti halnya salat dan puasa, ternyata masih banyak lagi hal-hal yang menuntut amal perbuatan, amal saleh kita melalui ibadah muamalah. Memberantas korupsi yang dampaknya luas dan sangat luar biasa jahatnya, membasmi ketidakadilan dan kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara, memerangi penyebab-penyebab kemiskinan, melawan perusakan alam dan lingkungan, demikian pula melawan kemunafikan dan kemungkaran, yang bukan tidak mungkin bahkan sedang bersimaharajelala di diri kita, yang justru mungkin tidak kita pahami dan sadari, adalah juga ibadah.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya, Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364H. Kemerdekaan diproklamasikan lantaran kita memiliki cita-cita luhur antara lain untuk memerdekakan, mencerdaskan, mensejahterahkan, memakmurkan serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah kita.

Adakah cita cita itu sudah terwujud? Apakah justru bukan sedang berlangsung kembali penjajahan oleh Kapitalisme Global? Apakah bukan kita justru seperti apa yang dikhawatirkan oleh Proklamator Bung Karno sebagai hal yang sulit diatasi, yaitu kita sedang dijajah oleh bangsa sendiri?

Berjuang melakukan revitalisasi semangat cita-cita kemerdekaan 1945, bagi sebesar-besar kemaslahatan masyarakat luas, adalah juga ibadah yang harus terus dikobarkan dan ditegakkan kapan saja, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah melalui Perang Badar.

(Mutiara Hikmah Puasa, B.Wiwoho).

Kampanye Sosial Pertama Tentang Perpajakan

 

Catatan Dr.Soemarso Slamet Rahardjo tentang buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru.

Kampanye Reformasi Perpajakan tahun 1983 menggelora di hampir seluruh bumi Indonesia. Penerimaan negara dari pajak melesat jauh di atas jumlah yang diterima sebelum reformasi perpajakan. Penyelesaian tugas kampanye perpajakan nasional tersebut di tulis sebagai bagian dari buku trilogi Tonggak –Tonggak Orde Baru ini. Tulisan yang apik, runtut, jelas dan mudah dimengerti, demikian penilaian  dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis –Universitas Indonesia dan pakar akuntansi Dr.Soemarso Slamet Rahardjo.


Mantan Menteri Keuangan (juga mantan Menteri Perkebunan dan mantan Menteri Perhubungan) Frans Seda (kiri) berjabatan tangan dengan Soemarso SR didampingi anggota DPR Bomer Pasaribu dan Dr. Irzan Tanjung.

  Ia menyatakan, “Saya mulai berkenalan dengan penulis buku Tonggak-Tonggak Orde Baru, Bapak Bambang Wiwoho, pada saat diajak untuk ikut membantu dalam tugas Kampanye Undang-Undang Perpajakan yang baru dikeluarkan pada akhir tahun 1980-an. Tugas kampanye perpajakan nasional diberikan oleh Kementerian Keuangan kepada Yayasan Bina Pembangunan (YBP). Bapak Bambang Wiwoho adalah Ketua yayasan tersebut.

   Sebagai sekretaris Ikatan Akuntan Indonesia, yang pada waktu itu sedang mengerjakan Proyek Pengembangan Akuntansi, tentu saja ajakan ini sangat sesuai dengan tugas yang saya emban dalam organisasi akuntan tersebut. Oleh karena itu, ajakan tersebut saya sambut dengan gembira. Proyek pengembangan akuntansi terdiri dari pengembangan pendidikan akuntansi, pengembangan akuntansi sektor pemerintahan dan pengembangan akuntansi sektor swasta. Proyek ini dibiayai oleh World Bank.

   Undang-Undang Perpajakan yang dikeluarkan pada awal tahun 1980-an itu terdiri dari Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang Pajak Penjualan Barang Mewah. Keempat undang-undang tersebut merupakan pelaksanaan reformasi perpajakan pertama sejak Indonesia merdeka.

   Pada hakekatnya, kampanye perpajakan yang dilakukan merupakan kampanye sosial pertama untuk masalah perpajakan. Dalam pelaksanaannya, kampanye sosial tersebut banyak bersentuhan dengan berbagai pihak yang sangat bervariasi serta dengan berbagai metode penyampaian materi yang berbeda. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas tersebut. Puncak dari keterlibatan saya dalam kampanye perpajakan adalah dibentuknya lembaga kajian di bidang fiskal dan moneter yang diberi nama Center for Fiscal and Monetary Studies.

Menteri Keuangan Radius Prawiro (1983 – 1988), duduk di tengah bersama para pengurus CFMS. Soemarso SR duduk di sebelah kanan Radius.

 Mas Wie (demikian saya biasa menyebut Bapak Bambang Wiwoho) telah melaksanakan tugas kampanye perpajakan yang diberikan pemerintah dengan baik. Gema fungsi pajak yang baru, yang dalam reformasi perpajakan dinyatakan sebagai: ‘perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan pembiayaan negara dan pembangunan nasional …’ menggelora di hampir seluruh bumi Indonesia. Penerimaan negara dari pajak melesat jauh di atas jumlah yang diterima sebelum reformasi perpajakan.

   Penyelesaian tugas kampanye perpajakan nasional tersebut oleh Mas Wie kemudian di tulis sebagai bagian dari bukunya trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru. Tulisan yang apik, runtut, jelas dan mudah dimengerti, “ demikian Dr.Soemarso SR.

(Dr.Soemarso Slamet Rahardjo, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis –Universitas Indonesia, pakar akuntansi anggota arbiter dari Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia yang juga menjabat  sebagai angota Dewan Komisaris dan Komite Audit pada beberapa perusahaan).

 

Selasa, 19 Juli 2022

Jack Yanda Zaihifni Ishak. Ph.D : Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru Kaya Informasi Dari Sumber Asli.

 

Jack Yanda Zaihifni Ishak Ph.D (tengah depan) berbuka puasa bersama para sahaba, dari kiri : B.Wiwoho, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat, Irjen Pol (Purn) B.Abimanyu (alm), Dr.Hariman Siregar, Bakri Abdullah dan Djoko Moeljono. 

Saya sangat senang diajak dan diberikan kesempatan oleh Mas Wiwoho mengikuti perkembangan penulisan buku yang terkait dengan sejarah Orde Baru, yaitu trilogi “Tonggak-Tonggak Orde Baru”, demikian sambutan  kebijakan publik Jack Yanda Zaihifni Ishak. Ph.D

Buku ini merupakan pengalaman pribadi penulis sebagai wartawan, teman dekat orang-orang besar di zamannya  seperti Jenderal Yoga Sugama, Jenderal Ali Murtopo, Widjojo Nitisastro, Radius Prawiro, Mar’ie Muhammad, Rahman Toleng dan sejumlah nama besar lainnya.

Penulis dalam pengamatan saya dan teman-teman dekatnya, boleh disebut juga sebagai “insider” atas berbagai kebijakan Orde Baru, sehingga kaya akan informasi dari sumber-sumber asli yang sifatnya faktual dan banyak berupa rahasia negara, akan tetapi juga membawa konsekuensi  pro-kontra atas suatu peristiwa yang ditulis.


 Jack Yanda bersama Prof.K.H.Ali Yafie (duduk di kursi roda) dan para sahabat.

Buku ini, tulisnya, sangat diperlukan bagi mahasiswa, aktivis, politisi dan pembuat kebijakan untuk masa hadapan.

(Jack Yanda Zaihifni Ishak. Ph.D, pakar kebijakan publik).

 

CATATAN ORDE BARU YANG LENGKAP DAN RUNTUT

 Wartawan Senior Banjar Chaeruddin tentang buku Tonggak-Tonggak Orde Baru

Penulis buku Tonggak-Tonggak Orde Baru ini memiliki dokumen dan catatan yang runtut, lengkap. Tidak banyak penulis dan wartawan yang telaten mendokumentasikan catatannya mengenai perkembangan pembangunan pada masa Orde Baru dulu. Tapi Mas Bambang Wiwoho melakukannya dengan tekun dan tertib, begitu sambutan wartawan senior Banjar Chaeruddin atas buku tersebut.

 

Dari kiri ke kanan: Jenderal Try Sutrisno, Banjar Chaeruddin, B.Wiwoho dan Jenderal Yoga Sugomo.

 

Buku ini pada hematnya  sangat penting. Apalagi saat ini mulai banyak pihak yang mengecilkan, bahkan mengabaikan hasil-hasil pembangunan yang dicapai pemerintah Orde Baru. Mereka melupakan catatan sejarah, bahwa sebelum Orde Baru berkuasa kondisi perekonomian nasional sangat morat-marit. Indonesia hingga tahun 1967 termasuk kelompok negara berkembang yang miskin.

Melalui kebijakan stabilisasi ekonomi, kondisi yang buruk bisa diatasi. Pembangunan kemudian dilakukan secara bertahap, terencana dan berkelanjutan sehingga Indonesia pada awal 90-an berkembang menjadi kekuatan ekonomi penting di Asia Tenggara.

Sayang sekali, memang, Indonesia kemudian terpuruk karena krisis ekonomi 1997, terimbas oleh krisis moneter yang terjadi di beberapa negara tetangga.

Dari kiri ke kanan: Banjar Chaeruddin, B.Wiwoho dan Pontjo Sutowo.

Suatu keadaan yang masih disesali hingga saat ini. Namun sepeninggal Presiden Soeharto, tidaklah berarti kita kembali ke titik nol seperti masa awal Orde Baru 30 tahun sebelumnya. Kondisi perekonomian kita sudah jauh lebih maju.

“Selamat untuk Mas Wiwoho yang dengan baik menceritakan tonggak-tonggak penting yang kita capai pada masa lalu,” demikian Banjar Chaeruddin.

Banjar Chaeruddin, Wartawan Istana (1979 – 1984), Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia (1995 – 2000).


Buku Tonggak-Tonggak Orde Baru Mengungkap Banyak Misteri

 

Catatan: Jasso Winarto

Buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru,  menurut wartawan yang pernah “dirumahkan” Orde Baru, Jasso Winarto, bukanlah kumpulan reportase. Juga  bukan laporan investigasi. Bukan pula dongeng atau fiksi. Buku ini adalah penyajian fakta fakta penting yang menjadi tiang utama di zaman  Orde Baru . Ya fakta politik.Ya fakta sosial. Ya fakta ekonomi .Ya fakta kebudayaan. Buku ini sangat menarik karena kita bisa mendapat jawaban atas segala kejadian penting yang seringkali penuh misteri.

Penilaian tadi diungkapkan oleh Jasso Winarto, budayawan-penulis buku dan wartawan senior, yang pada tahun 1990 terpaksa “harus dirumahkan” karena suratkabar yang dipimpinnya yaitu Media Indonesia, menurunkan tajuk rencana berjudul “Soeharto dan Fir’aun.”


 
Jasso Winarto sebagai pembahas menyalami Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dalam suatu seminar. Di sebelah kirinya, moderatror Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat.

Di zaman Orde Lama, tulisnya, Bung Karno mampu bertahan sebagai Presiden lebih dari 20 tahun, berkat dukungan tiga kaki yang disingkat Nasakom atau Nasionalis, Agama dan Komunis. Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR tetapi kemudian dilengserkan juga oleh MPR  tahun 1967 setelah 22 tahun berkuasa. Pelengseran Bung Karno adalah karma sejarah yang tak.bisa ditolak akibat pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965.

Dua puluh tahun lebih dia dipuja puja rakyat sebagai Bapak Revolusi,  tetapi harus menjalani sisa kehidupannya sebagai sebuah ironi: yaitu musuh utama Orde Baru.

Akhirnya muncullah Jenderal  Soeharto. Muncullah “kekuatan rakyat” yang mendukungnya. Dan muncullah Orde Baru bagaikan matahari pagi yang bersinar terang.

Bangkitnya Indonesia pasca Soekarno ditandai dengan atmosfir yang berbeda.Tak ada lagi slogan-slogan seperti “Ganyang Malaysia” , “Hidup NASAKOM” , “Amerika kita setrika Inggris kita linggis”  atau semacam itu. Meskipun perut rakyat Indonesia  kosong tetapi kalau Bung Karno menyuruh teriak “Inggris kita Linggis !!!”,   masih nyaring juga.

Membaca buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru  karangan B.Wiwoho sangatlah menyenangkan. Sebagai seorang wartawan senior, penulis mampu menghidangkan berbagai fakta yang terjadi di zaman Orde Baru di mana Jenderal Soeharto menjadi tokoh sentral yang mampu  menentukan warna merah atau putih di semua aspek kehidupan bangsa Indonesia selama 30 tahun lebih. Kebetulan  saya pernah hidup di zaman Orde Lama di mana Bung Karno berkuasa di negeri tercinta ini, sehingga bisa merasakan betapa dahsyatnya negeri kita berubah arah dari Orde Lama ke Orde Baru.

Dalam membangun Orde Baru,  seperti diketahui Jenderal Soeharto dikelilingi oleh tokoh-tokoh seperti Benny Murdani, Yoga Sugama,

Radius Prawiro, Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan tokoh-tokoh lain yang selama ini menjadi arsitek Orde Baru. Merekalah yang memainkan peranan penting dalam membangun Orde Baru. Mereka semua dikenal baik oleh saudara penulis.

Gaya kepemimpinan Jenderal Soeharto sangat berbeda dengan Soekarno. Sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno selalu mengajak rakyat Indonesia berteriak, bicara  politik dari pagi sampai malam dan rakyat tidak bisa bekerja karena disuruh berpolitik tiap hari. Di zaman Orde Baru kehidupan dibalik oleh Jenderal Soeharto bagaikan membalik telapak tangan. Rakyat harus kerja. Kerja dan kerja.Jangan banyak bicara. Perubahan kehidupan di Orde Baru ini digambarkan dengan gamblang oleh saudara B.Wiwoho di dalam buku ini.

“Saya mengenal Penulis buku ini sudah lebih dari 30 tahun dan mengenal reputasinya sebagai wartawan dan aktivis di Yayasan Bina Pembangunan. Sebagai wartawan dia memiliki akses yang kuat dengan para petinggi Orde Baru. Bahkan dalam persepsi saya, sdr. B.Wiwoho ini ditakdirkan untuk hidup dan mengenal tokoh-tokoh Orde Baru serta menulisnya dengan gamblang supaya misteri-misteri di sekitar Soeharto bisa tersingkap untuk generasi selanjutnya.

Meskipun penulis adalah wartawan senior tetapi buku ini bukanlah kumpulan reportase. Juga  bukan laporan investigasi. Bukan pula dongeng atau fiksi. Sepanjang yang saya tahu, buku ini adalah penyajian fakta fakta penting yang menjadi tiang utama di zaman  Orde Baru . Ya fakta politik.Ya fakta sosial. Ya fakta ekonomi .Ya fakta kebudayaan.

 

Jasso Winarto (no 2 dari kiri) bersama Dirjen Pajak Salamun AT yang sedang bersalaman dengan kolumnis La Rose.

Saya katakan, buku ini sangat menarik karena kita bisa mendapat jawaban atas segala kejadian penting yang seringkali penuh misteri.

Meskipun banyak aktor yang memainkan peranan penting dalam Orde Baru, tetapi kita sepakat bulat bahwa sentrumnya adalah Jenderal  Soeharto. Semuanya oke kalau Pak Harto mengangguk. Dan semuanya tidak oke kalau Pak Harto menggeleng.

Saya katakan sejak awal bahwa buku ini sangat menarik. Kita bisa mendapat jawaban dari rumor yang berkembang saat itu, bagaimana Pak Harto membentuk kabinet. Ada rumor bahwa Ibu Tien campurtangan. Benarkah? Atau adakah  dukun yg memberi tahu Pak Harto?

Dari buku ini kita bisa mendapat jawaban yang jujur,  apa adanya dan tidak dibuat-buat untuk pencitraan Orde Baru.

Saya membaca draft tulisan buku ini sebelum.terbit. Harus saya akui kadang-kadang saya tercekam oleh fakta baru di buku ini.

Problem di dalam buku sesungguhnya cukup pelik, tetapi karena disajikan secara sederhana dan gamblang,  maka mudahlah pembaca mencerna,”  demikian Jasso Winarto.

(Jasso Winarto, budayawan  dan wartawan senior, pernah memimpin majalah Eksekutif serta Harian Media Indonesia, pengamat pasar modal dan penulis buku Indonesia Stock Market Handbook, Bisnis Indonesia 1990).



Era Reformasi, Terbang Tinggi Bagai Layang-Layang Lepas


Catatan Wartawan Senior: Richard Haryoseputro. panjimasyarakat.com

Buku yang mengisahkan perjalanan pemerintahan Orde Baru ini, mengingatkan pada kisah era Romawi di awal tarikh Masehi: 56 – 120, yang menggambarkan kegeraman  yang dirasakan Tacitus ketika melihat kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari para pengganti Kaisar Augustus, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan semangat yang menggebu-gebu reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. Tiba-tiba kita menyadari bahwa kita terbang tinggi bagaikan layang-layang tetapi sudah terlepas dari landasan.

Persandingan itu diungkapkan oleh Richard Haryoseputro, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, mantan Wakil Ketua Pelaksana Harian Badan Sensor Film dan Staf Ahli/Anggota Kelompok Kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978 – 1983.

R.Haryoseputro mewakili harian Suara Karya menerima penghargaan perpajakan dari Menteri
Keuangan Mar’ie Muhammad (1993 – 1998).

Pandangannya tentang trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru itu antara lain sebagai berikut:

Republik gagal.                                                                    

PUBLIUS CORNELIUS TACITUS hidup pada awal Tarikh Masehi: 56 – 120, seorang politikus, orator gaya baru, dan penulis. Ia pernah menjadi pengacara, pejabat pemerintahan dan terakhir tahun 112 diangkat menjadi Prokonsul Romawi dari Wilayah Asia. Tetapi ia kemudian dikenal sebagai penulis sejarah terpenting.

Tacitus dalam dua karya besarnya “Historiae” dan “Annales” (yang arti harafiahnya “Catatan Tahunan”),  memegang babakan waktu sebagai kerangka tulisannya, tetapi tidak mengikuti gaya menulis seperti juru catat di Senat yang menulis Acta Senatus Populi Romani atau Acta Diurna, kering tanpa warna. Ia banyak memberikan gambaran hidup tentang peristiwa yang terjadi dan menggambarkan suasana hati para pelakunya,  hal yang dihindari oleh penulis sejarah pada umumnya kecuali terucapkan dengan kata-kata atau tercermin pada tindakan. Gaya bahasanya singkat, padat, berisi dan vivid (hidup). Bertentangan dengan gaya Cicero yang suka menggunakan kalimat berbunga-bunga. Ia sengaja memilih kata-kata yang lugas, eksplosif, galak, sinis dan sering kali sarkastis. Ungkapan-ungkapannya dikenal amat pedas tetapi mengena. Misalnya, komentarnya tentang Kaisar Galba (salah satu dari 4 jenderal yang mengklaim sebagai penggantin Nero) yang dikenal bodoh: “Galba memang bisa menjadi Kaisar yang hebat, seandainya ia tidak benar-benar memerintah sebagai kaisar.”

Tacitus lahir pada akhir tahun pemerintahan kaisar Nero yang dikenal sebagai tiran, bengis, kejam dan gila. Tetapi ia masih merasakan dan mendengar gaung zaman keemasan Kekaisaran Romawi, Pax Romana yang tercipta selama pemerintahan Kaisar Augustus.

Ia sendiri memegang paham Republik, dimana kekuasaan berada di tangan rakyat bukan pada tangan seorang raja dan keturunannya. Namun, pemerintahan Republik menyebabkan munculnya kerusuhan yang tiada henti. Tokoh-tokoh kuat bersaing menggalang rakyat dan menarik militer ke pihaknya, terjadilah perang saudara dan pembrontakan terus menerus. Rakyat selalu didera penderitaan. Perebutan kekuasaan mencapai puncaknya pada 15 Maret tahun  44 sM dengan terjadinya pembunuhan Julius Caesar di Gedung Senat. Octavianus, perwira muda berumur 20 tahun, yang diangkat anak dan ditunjuk Julius Caesar sebagai pewarisnya, bangkit mengajak panglima-panglima handal pendukung Julius Caesar yaitu Marcus Aemilius Lepidus, jenderal  44 tahun, penguasa wilayah Spanyol dan  Perancis selatan, serta Marcus Antonius, 39 tahun, panglima termasyur  penguasa wilayah Timur.

Triumvirat Octavianus-Lepidus-Markus Antonius bergerak cepat memburu komplotan pembunuh Julius Caesar. Dalam waktu singkat mereka berhasil membasmi komplotan dan meredam kemelut di seluruh wilayah Republik Romawi. Tetapi kemudian terjadi perpecahan saat mereka membagi-bagi wilayah kekuasaan. Lepidus dan Octavianus berebut Sicilia, tetapi kemudian Lepidus ditinggalkan pasukannya yang berpindah mendukung Octavianus. Akhirnya Lepidus diasingkan.

Marcus Antonius juga bertengkar dengan Octavianus karena ia menuntut supaya Caesarion, putera Julius Caesar dengan Cleopatra, Ratu Mesir, ditunjuk sebagai pewaris resmi Julius Caesar. Octavianus menyatakan perang terhadap Cleopatra dan memimpin armada Romawi menyerang Mesir. Sementara  Marcus Antonius memimpin armada gabungan Romawi dan Mesir. Octavianus berhasil memukul armada Marcus Antonius dan Cleopatra. Mereka melarikan diri kembali ke Alexandria, Mesir dan bunuh diri tahun 31.

Pax Romana

Octavianus sendirian membenahi sistem pemerintahan. Ia mengambil  wajah luar menyerupai sistem pemerintahan Republik, yaitu dengan kekuasaan politik utama berada pada Senatus Populi Romani, didampingi Dewan Eksekutif dan Majelis Legislatif. Untuk dirinya sendiri ia tidak menghendaki  diangkat menjadi raja tetapi cukup Princeps Civitatis (Pemimpin Bangsa) dengan julukan Augustus (Yang Terhormat). Ia meminta Senatus memberinya kekuasaan seumur hidup sebagai Panglima Tertinggi dan Pengawas militer. Ini sesuai dengan pandangan Tacitus yang menentang sistem pemerintah monarki penuh.

R.Haryoseputro (tengah) bersama Dirut Bank BNI Widigdo Sukarman (kanan) dan redaktur pelaksana harian AB  Darmansyah Darwis (kiri) dalam sebuah seminar.

 

Pada awal pemerintahannya Augustus memperkuat perbatasan terhadap ancaman musuh dengan menaklukkan negara-negara pengancam atau membuat kesepakatan persahabatan dengan negara-negara tetangga. Di dalam negeri ia melakukan reformasi sistem perpajakan yang meringankan beban rakyat, membangun jaringan jalan dan satuan kurir  ke seluruh wilayah kekaisaran Romawi sehingga pelaporan dan penanganan masalah-masalah daerah bisa cepat diselesaikan.

Ia membentuk unit-unit pasukan reguler yang selalu siap, membentuk Cohortes Praetoriae (Praetorian Guard), pasukan khusus pengawal Kaisar dan satuan intelijen, Badan Kepolisian dan Pemadam Kebakaran bagi kota Roma. Untuk menjaga semangat dan dukungan para legiun  Augustus membangun perumahan bagi para prajurit dan memberikan kenaikan gaji serta bonus. Untuk meningkatkan pertanian dan cadangan jaminan bahan pangan dibangun jaringan irigasi dan waduk-waduk.

Demikianlah pada masa awal pemerintahannya Kaisar Augustus benar-benar memperhatikan peningkatan, keamanan dan  kesejahteraan rakyat Romawi. Meskipun sistem pemerintahan Republik sudah digantikan dengan sistem pemerintahan monarki tetapi Augustus tetap merakyat. Terciptalah Pax Romana. Namun pada masa akhir pemerintahan Augustus yang berkuasa selama 41 tahun, Pax Romana mulai diganggu intrik-intrik. Kasak-kusuk untuk mempersiapkan pengganti Augustus karena Augustus tidak mempunyai anak laki-laki sebagai putera mahkota.

Tulisan Tacitus tentang  masa ini mulai galak dan diwarnai sinisme serta sarkasme. Kemudian naiklah nama Germanicus anak angkat Augustus yang amat dicintai rakyat dan populer di kalangan prajurit legiun karena kemampuan perangnya. Ia digadang-gadang menggantikan Augustus. Tetapi saat bertugas di Wilayah Kekaisaran Romawi Timur, ia meninggal dunia. Menurut dugaan ia diracun dan dalangnya adalah Calpurnius Piso, Gubernur Wilayah itu, yang sempat terlibat bermusuhan dengan Germanicus. Tetapi Tacitus tidak mengambil begitu saja laporan resmi itu. Ia menggambarkan kecurigaan terhadap Tiberius dan Livia, ibunya yang dengan sengaja memperlihatkan kesedihan berlebihan dan lama tidak mau muncul di publik.

Berantakan

Sesudah Augustus meninggal (14 M) terjadilah perebutan tahta. Keagungan Kekaisaran Romawi yang mencapai puncaknya pada masa Pax Romana, masih terbayang di benak Tacitus, tetapi ia menghadapi kenyataan bahwa apa yang dicapai Kaisar Augustus hancur berantakan oleh ulah 4 kaisar penggantinya, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Mereka melanggar dan mengubah tata cara pemerintahan “semau gue”. Mereka hidup bermewah-mewah, berfoya-foya, menghamburkan uang, dan Kekaisaran Romawi jatuh miskin. Wajah Kaisar Romawi muncul sebagai Raja Tiran, kejam, bengis, dan puncaknya terjadi saat Nero membakar kota Roma. Ibukota Kekaisaran Romawi yang megah ludes dalam 6 hari.

Tacitus lupa akan pernyataannya sendiri “Sine Ira et Studio”.  Kegeraman menyelimuti suasana hatinya saat ia mulai menulis “Historiae” dan “Annales”. Ia tidak bisa memenuhi janjinya untuk  menulissecara obyektif dan tidak berpihak. Meskipun demikian tulisan Tacitus dikenal selalu dilengkapi dengan dokumen-dokumen dan sumber-sumber resmi yang sudah ditelitinya. Ini dimungkinkan karena pengalamannya sebagai Senator dan Gubernur memberinya akses ke dokumen-dokumen resmi seperti Acta Senatus Populi Romani , Acta Diurna, Apostolarium, dan laporan-laporan dari daerah, khususnya wilayah Romawi Timur. Maka, sikap dan gaya penulisannya yang cenderung subyektif itu tidaklah begitu merugikan pembacanya, karena ia dikenal amat teliti dan akurat dalam uji sumber-sumbernya.

Pembaca atau siapapun mempunyai kesempatan untuk mengambil inti tulisannya sebagai sumber sejarah dan menelitinya lebih lanjut. Salah satu contoh tulisannya yang diwarnai prasangka dan kata-kata negatif tetapi kemudian ternyata menjadi warisan informasi sejarah yang menjadi sumber ribuan buku di kemudian harinya, adalah apa yang tertulis di Annales, Buku XV Bab 44  yang terjemahannya sebagai berikut:

“Tetapi usaha manusia, pembagian hadiah besar-besaran dari Kaisar ataupun puja-puji untuk menyenangkan para dewa tidak mampu mengurangi kecurigaan bahwa kebakaran (kota Roma) terjadi atas perintah. Maka untuk menghapus rumor itu Nero melemparkan kesalahan dan menjatuhkan hukuman penyiksaan kejam kepada orang- orang Kristen, kelompok yang dibenci masyarakat karena kejahatannya. Kristus, asal dari nama kelompok ini, telah dihukum kejam oleh Prokurator Pontius Pilatus, di Zaman pemerintahan Tiberius.”

Penulis-penulis sejarah abad-abad berikutnya menggunakan tulisan itu sebagai informasi sejarah  bahwa di Roma saat Kaisar Nero bertahta (56 – 68 M) sudah banyak orang Kristen bermukim, dan Kristus, yang dianut orang-orang Kristen itu dihukum mati oleh Pontius Pilatus, prokurator di bawah pemerintahan Tiberius.

Keping-Keping Sejarah

Kita bisa membayangkan penulis buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru” mungkin sekali merasakan suasana hati seperti yang dialami Tacitus saat menulis “Historiae” dan “Annales”. Kita ingat, saat Soeharto naik di panggung politik, ia amat low profile. Ia bertahan menolak tekanan para mahasiswa untuk bergerak  cepat, membubarkan PKI kalau tidak mendapat penugasan dari Kepala Negara, Soekarno. Ia juga tidak mau mengambil alih kepemimpinan negara dari Soekarno kalau tidak ada pengangkatan dari MPR. Ia tidak mau melanggar tatanan dan prosedur kepemimpinan dan bersikap konstitusional.

Setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret dari Kepala Negara yang masih sah, ia bergerak cepat membubarkan PKI seperti desakan mahasiswa dan masyarakat saat itu serta memulihkan ketertiban dan keamanan. Sebagai seorang Jenderal yang berpengalaman dan pernah memimpin berbagai operasi militer, tugas ini bisa diselesaikan dalam waktu singkat. 

Kemudian setelah mendapatkan mandat dari Sidang Umum MPRS 12 Maret 1967 baru ia bersedia menjalankan pemerintahan sebagai kepala negara. Disini ia menghadapi tantangan yang baginya amat baru dan belum pernah dihadapinya. Saat itu ekonomi Indonesia sedang dalam keadaan carut marut. Inflasi meroket hingga 650%, harga-harga tak terkendali, termasuk bahan-bahan kebutuhan pokok. Bahan makan dan sandang sulit didapat, sehingga rakyat kebanyakan makan bulgur dan gaplek dan anak-anak pergi ke sekolah dengan pakaian dari bahan bagor. 

Penyebab utama hyperinflasi adalah besarnya beban pembayaran utang untuk membiayai proyek-proyek mercu suar, meredam pemberontakan-pemberontakan seperti PRRI/Permesta, DI/TII, RMS, APRA dan sebagainya, sementara pendapatan dari ekspor melemah. Boleh dikatakan pemerintah sudah bangkrut. Tetapi dengan lobi intensif ke negara-negara pendonor, Widjojo Nitisastro cs dan Radius Prawiro berhasil meyakinkan mereka akan masa depan Indonesia yang menjanjikan dan karenanya Indonesia  layak mendapatkan bantuan, apalagi sebagai negara yang anti komunis. Akhirnya dengan dorongan Amerika Serikat, 13 Negara (Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Denmark, Inggris Raya, Perancis, Italia, Selandia Baru, Swiss, Jerman, Jepang dan Kanada) dan 4 Lembaga Keuangan Internasional (Bank Pembangunan  Asia, IMF, UNDP, dan Bank Dunia) bersedia membentuk InterGovermental Group on Indonesia (IGGI).

IGGI menyanggupi membantu menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan menjanjikan dana pinjaman untuk menanggung 60% biaya pembangunan 5 Repelita tersebut. Ini benar-benar suatu tonggak awal yang menandai perubahan kehidupan di Indonesia. Pada Repelita I Soeharto  memberikan tekanan utama pada kebutuhan dasar rakyat seperti ketersediaan pangan dan sandang, dan infrastruktur.

Hasil Repelita I sudah memperlihatkan kemajuan kehidupan perekonomian Indonesia dan kesejahteraan mulai meningkat. Apa yang dilakukan dan dicapai pemerintahan Orde Baru pada tahun-tahun awal amat mengesankan dan langsung menyentuh kehidupan rakyat, meskipun terganggu sebentar dengan Peristiwa Malari, Januari 1974. Peristiwa yang mengubah sikap Soeharto menjadi lebih keras, cederung represif, terhadap pihak-pihak yang menentang ataupun mengritik kebijakan-kebijakannya.

Sesudah keberhasilan Repelita IV Soeharto mulai berani muncul sebagai “leader” di tataran internasional. Misalnya ia dengan kepercayan diri besar muncul di KTT Gerakan Non Blok di Beograd, Yugoslavia tahun 1989 dan menjadi tuan rumah KTT Non Blok 1992. Indonesia pun muncul sebagai negara yang diperhitungkan. Suasana euphoria keberhasilan ini tentu masih mnggaung di benak Sdr Bambang Wiwoho saat memulai tulisan buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru “.

Perbedaan membangunkan kesadaran

Tetapi kemudian mulai muncul pengusaha-pengusaha, keluarga penguasa, pejabat-pejabat koruptif yang memperlemah kewibawaan pemerintah, dan untuk mempertahankan kewibawaannya sikap tegas dan keras dijalankan sehingga terasa kesan tirani. Wajah penguasa diktator, otoriter dan opresif semakin menonjol. Akhirnya terjadilah demo-demo mahasiswa menuntut pelengseran Soeharto. Dan setelah akhirnya Soeharto mengundurkan diri dan masa Orde Baru berakhir, gemuruh lagi euphoria kemenangan para aktivis demokrasi. Dengan semangat menggelora dijalankan reformasi ke segala arah, hampir tanpa koordinasi. Dan sekarang setelah 22 tahun berlalu mungkin sekali penulis juga merasakan kegeraman  yang dirasakan Tacitus ketika melihat kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari para pengganti Kaisar Augustus, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan semangat yang menggebu-gebu reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. Tiba-tiba kita menyadari bahwa kita terbang tinggi bagaikan layang-layang tetapi sudah terlepas dari landasan.

Meski dalam suasana hati seperti ini kita yakin sdr Bambang Wiwoho tetap menulis dengan pedoman “Sine Ira et Studio”, Tanpa Amarah dan Keberpihakan, karena sebagai wartawan hal itu sudah menjadi pedoman kerjanya selama bertahun-tahun. Namun pembaca dalam membaca tulisan seorang wartawan tidak bisa lepas dari kerangka pengalaman hidupnya dan pengaruh suasana hatinya. Wartawan menulis “sine ira et studio” sementara pembaca akan mengikuti tulisan wartawan dengan sikap seorang pengamat. Perbedaan pendapat dan perdebatan pasti terjadi. Apakah ini akan mengurangi nilai sejarah tulisan “Tonggak-Tonggak Orde Baru” ini? Saya yakin, tidak. Perdebatan akan memperdalam dan membersihkan makna sejarah peristiwa yang dicatat. Paling sedikit kita diingatkan bahwa peristiwa tersebut memang terjadi. Inilah manfaat utama catatan peristiwa bagi sejarah, seperti yang diwariskan Tacitus di “Annales, Buku XV Bab 44”: peristiwa hukuman mati di bawah Procurator Pontius Pilatus itu memang terjadi.

Semoga kita semua selalu diingatkan bahwa tonggak-tonggak yang dicatat dalam buku ini memang terjadi, dan besar kecilnya makna sejarah peristiwa tersebut terserah kepada pembaca. Yang jelas tulisan Bambang Wiwoho di buku ini , seperti tulisannya dalam buku-bukunya yang lain, telah menanamkan kesadaran akan sejarah dalam bentuk tertulis kepada warga masyarakat yang pewarisan sejarahnya lebih berbentuk komunikasi lisan. *****

Indonesia Harus Belajar Dari Kebaikan Dan Keburukan Masa Lalu

 

Catatan Wartawan Senior Vincent Lingga. panjimasyarakat.com

Indonesia, harus belajar dari kebaikan dan keburukan, kelebihan dan kekurangan masa lalu,termasuk dari Pemerintahan Orde Baru. Dalam melaksanakan dan mewujudkan berbagai kebijakan misalkan,  tidak dapat hanya dikomandokan, apalagi di zaman demokrasi ini. Istilah ekonominya semua kebijakan harus di pasarkan dengan cara yang tepat dan ke target sasaran yang tepat. Demikian benang merah pandangan wartawan senior Vincent Lingga, yang cukup dekat dengan tokoh-tokoh kunci baik semasa Orde Baru maupun Era Reformasi sekarang  ini. Catatan tersebut dituangkan dalam buku trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU, karya wartawan Panji Masyarakat, B.Wiwoho.

Vincent Lingga menilai, buku trilogi ini patut disambut dan sangat dihargai,karena memperkaya sumber referensi dari peristiwa, catatan dan fakta sejarah kehidupan bangsa dan negara, yang disusun dengan cermat dan rapih mencakup periode lebih 30 tahun dari 76 tahun umur Republik ini. Buku semakin bermakna dan penting karena ditulis oleh Wiwoho, bukan hanya sebagai pengamat, tapi bahkan sering sebagai orang dalam (insider) pemerintahan


Vincent Lingga (nomer dua dari kiri) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani sewaktu sidang tahunan ADB di Yokohama Mei, 2017

Vincent Lingga menulis, “Sebagai sahabat, semula saya hanya ingin memberikan endorsement, dukungan semangat saja kepada Wiwoho dalam kerja kerasnya menulis buku trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU. Namun dalam bincang-bincang 26 Agustus 2021 bersama sahabat-sahabat Jasso Winarto, Richard Haryoseputro, Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dan Banjar Chaeruddin, Wiwoho meminta agar kami jangan hanya berbasa-basi sebagaimana endorsement pada umumnya, tapi lebih dari itu, jangan segan-segan untuk memberikan kritik, saran ataupun catatan dan komentar, sehingga bisa memperkaya data dan fakta, bahkan bila perlu mengoreksi isi buku.

“Harapan Wiwoho itu saya coba  penuhi dengan membuat beberapa catatan atau mungkin lebih tepat penekanan-penekanan” sebagai berikut:

Trilogi Pertama: JATUH BANGUN STRATEGI PEMBANGUNAN

1.Bagian II, Bab 10 tentang Koreksi Terhadap Strategi Pertumbuhan.                                                                                  

Bab tersebut menjelaskan  bagaimana Orde Baru sudah sejak dari awal menggunakan konsep trilogi strategi pembangunan dan dengan tepat menentukan  garis prioritasnya sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Pada awalnya karena menghadapi instabilitas politik dan ekonomi yangg carut marut (inflasi lebih 600%), urutan trilogi yang digunakan adalah: 1. Stabilitas Nasional yang dinamis. 2. Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi dan 3. Pemerataan.

Tapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara tidak disengaja menimbulkan kesenjangan (ketimpangan) penghasilan di masyarakat  yang mengancam persatuan nasional. Dengan cepat urutan Trilogi Pembangunan pertengahan 1970an diubah menjadi: 1. Pemerataan. 2. Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi 3. Stabilitas Nasional Yang Dinamis.

Keberhasilan pelaksanaan Trilogi Pembangunan dengan urutan prioritas sangat efektip itu, dimungkinkan juga karena program pembangunan dilaksanakan oleh tim menteri-menteri ekonomi yang kompak dan sehaluan pikir di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro yang sangat berwibawa dan dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto waktu itu.

2. Trilogi Pertama Bagian III Bab 13: Pernah Berhasil Swasembada Beras.

Salah satu program/kebijakan Orde Baru yang sangat berhasil dan bahkan mendapat penghargaan internasional, termasuk dari Organisasi Pangan PBB (FAO) tahun 1985 adalah swasembada beras. Program ini dilaksanakan lewat kebijakan Bimbingan Massal (Bimas) kepada petani yang diberikan oleh para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), tamatan SLTA Pertanian yang direkurt menjadi pegawai Kementerian Pertanian.  

PPL sangat berjasa membimbing  petani menaikkan hasil sawah/ladang nya lewat bibit yang (unggul) tepat, dengan pemupukan dan pestisida yang tepat, efisien dan ramah lingkungan.

Pemerintah menyadari bahwa bahan pangan, terutama beras, mempunyai bobot yang sangat tinggi dalam pembentukan indek inflasi sehingga, selain membangun dan memperluas saluran irigasi, Pemerintah  memberikan perhatian yang luar biasa besar pada program Bimas.

Salah satu penyebab kenapa dalam dua dekade terakhir, Indonesia makin sering tergantung kepada impor untuk  pelbagai bahan pangan seperti beras, kedelai, bawang, jagung, adalah kurangnya perhatian pada program penyuluhan dan bimbingan kepada petani. Bahkan status kepegawaian tenaga PPL, terutama sejak otonomi daerah, sering tidak menentu. Malah status kepegawaian PPL banyak terkatung-katung. Padahal PPL sangat diperlukan oleh petani, baik untuk bercocok tanam (best farm practices) juga untuk memilih tanaman apa yang cocok untuk pelbagai daerah.

Vincent Lingga (paling kiri), sedang menjadi moderator di seminar mengenai kelapa sawit di Jakarta.

 

3.Trilogi Pertama Bagian III Bab 24: Penghargaan  Kependudukan PBB.  

Bab ini dengan jelas menguraikan bagaimana Orde Baru sejak awal pemerintahan, sudah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah kependudukan, terutama pertambahan penduduk yang sangat tinggi. Kebetulan Widjojo Nitisastro, otak konsep pembangunan ekonomi saat itu,  adalah ahli kependudukan yang memilih demografi sebagai topik disertasi doktornya  di Universitas Berkeley, Amerika Serikat.

Logikanya, akan sangat sulit memenuhi kebutuhan rakyat meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi,  kalau pertumbuhan penduduk tidak terkendali. Berapapun produksi beras atau bahan pangan lainnya dinaikkan atau gedung sekolah atau pusat kesehatan dibangun, tidak akan cukup, kalau pertambahan penduduk tetap tinggi.

Maka digalakkanlah  program keluarga berencana sampai ke semua desa lewat lembaga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang berperan bukan hanya sebagai pelaksana kampanye keluarga berencana,  tapi juga sekaligus pembina ibu-ibu dalam perawatan kesehatan anak.” 

Salah satu kelemahan Pemerintah sesudah reformasi (1998) adalah kurang diperhatikannya gerakan keluarga berencana ini, terutama di pedesaan. Hal ini menjadi salah satu sebab tingginya tingkat kemiskinan.

Trilogi Kedua: MUSUH TERBESAR: KESENJANGAN BERNUANSA SARA & EKSTREMISME

Bagian II Penggalangan Citra di Masa Orde Baru

Orde Baru menyadari pentingnya komunikasi yang tepat dan terukur ke masyarakat dalam negeri dan luar negeri  untuk menjelaskan kebijakan pembangunan dan keberhasilan pembangunan.

Pointnya,  kebijakan tidak  hanya di komandokan ke masyarakat, meskipun Soeharto, dengan latar belakang militer, sebenarnya lebih cenderung menggunakan sistem komando. Dengan kata lain, kebijakan tidak dapat hanya dikomandokan, apalagi di zaman demokrasi ini. “Istilah ekonominya“ semua kebijakan harus di pasarkan dengan cara yang tepat dan ke target sasaran yang tepat.

Semua kebijakan, misalkan reformasi perpajakan,  yang kadang kadang terasa pahit pada awalnya, disosialisasikan dengan cara komunikasi yang tepat dan ke sasaran yang tepat.

Pemerintah bahkan sering menggunakan lembaga-lembaga swasta dan ahli-ahli/profesional strategi komunikasi , termasuk lembaga-lembaga yang dipimpin oleh penulis buku ini (Wiwoho) untuk mendisain strategi komunikasi  guna mengkampanyekan pelbagai kebijakan pemerintah kepada masyarakat banyak.

Sesudah krisis Pertamina 1975 yang sampai merusak kredibilitas negara dan Pemerintah Indonesia di luar negeri, Pemerintah  menggunakan perusahaan kehumasan  Amerika Serikat ( Hill & Knowlton) selama lebih 15 tahun untuk melobi Kongress Amerika. Hill & Knowlton juga ditugaskan untuk menyebarkan atau  memberikan informasi/data dengan perspektif yang luas ke wartawan media massa asing yang ada di Indonesia dan di luar negeri lewat kantor di Jakarta bernama National Development Information Office (NDIO), yang sejak tahun 1993 langsung juga dikelola oleh Wiwoho, di bawah pengawasan Sekretariat Negara.

“Saya bersyukur, dari awal 1977 s/d April 1983, pernah diminta oleh Sekretaris Kabinet Ismail Saleh yang waktu itu juga Pemimpin Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, mendampingi staf Hill &Knowlton di NDIO Jakarta, bahkan  sempat berkantor (in-service training di New York dari Mei s/d Des. 1978.) Pemerintah yang sekarang, pada hemat saya  juga dapat mengambil pelajaran dari uraian strategi komunikasi yang di paparkan dalam buku ini, “ tulis Vincent Lingga.

Buku ini bermakna dan penting

Sebagai penutup, buku trilogi “ Tonggak Tonggak Order Baru” ini patut disambut dan sangat dihargai, karena akan memperkaya pustaka referensi untuk mengambil pelajaran dari peristiwa dan catatan fakta sejarah kehidupan bangsa dan negara Indonesia, yang disusun dengan cermat dan rapih mencakup periode lebih 30 tahun dari 76 tahun umur Republik ini.

Buku semakin bermakna dan penting karena ditulis oleh Wiwoho, bukan hanya sebagai pengamat, tapi bahkan sering sebagai orang dalam (insider) pemerintahan.

Selama Orde Baru, Wiwoho sangat dekat dengan banyak Menteri pembuat kebijakan, tokoh2 militer, agama Islam dan cendekiawan karena dia sering membantu melaksanakan strategi komunikasi untuk memasyarakatkan pelbagai kebijakan Pemerintah, termasuk kampanye reformasi perpajakan terbesar selama 15 tahun mulai 1984.

“Sebagai wartawan LKBN Antara tahun 1967-1983 dan kemudian harian berbahasa Inggris ‘The Jakarta Post’ tahun 1983- sampai sekarang, saya sangat dekat mengikuti sepak terjang Wiwoho sebagai wartawan, kemudian praktisi strategi komunikasi serta pemimpin beberapa lembaga riset swasta yang menggeluti kebijakan Pemerintah, isu-isu pembangunan dan kenegaraan pada umumnya, “ demikian Vincent Lingga.

(Vincent Lingga, Senior Editor, The Jakarta Post).

 

BELAJAR DARI PENGGALANGAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MASA LALU

 panjimasyarakat.com


 
Tribuana Said (berdiri paling kanan) berfoto bersama dengan Presiden filipina Qorazon Aquino (1986 – 1992),  duduk di tengah.

 

Indonesia perlu belajar dari penggalangan komunikasi pembangunan di masa lalu. Demi masa depan, para ahli di perguruan tinggi dan atau lembaga pengkajian independen di negara ini sebaiknya  membuat strategi lengkap untuk menunjang pembangunan nasional di bidang-bidang atau sektor-sektor tertentu, demikian tersirat dari penuturan pengalaman wartawan senior dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Tribuana Said.

Sejarah mencatat dengan tinta emas Reformasi Pajak 1984-1997. “Dan saya bersyukur berkesempatan mendampingi B.Wiwoho dalam kegiatan tersebut serta beberapa kegiatan komunikasi pembangunan lainnya, misalkan membantu Dirjen Pariwisata Yoop Ave mendisain kampanye kunjungan wisata ke Indonesia beserta program Sapta Pesonanya.” Wartawan senior, yang pernah memimpin grup penerbitan Merdeka  dan Waspada serta pendiri Lembaga Pers Dr.Soetomo – itu mengemukakan pengalamannya dalam sambutannya atas buku trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru. Berikut sambutan selengkapnya:

Pengantar.

SABAM Siagian (1932-2016), wartawan senior harian Sinar Harapan, kemudian Suara Pembaruan dan The Jakarta Post (semua terbit di Jakarta), pernah berkata: “Wartawan tanpa komitmen akan bekerja seperti robot. Dalam konteks Indonesia, pers perjuangan yang setia kepada komitmen berarti harus tetap memperjuangkan nasib mereka yang tercecer dan menjadi korban ketidakadilan”. (Kata Pengantar. Cetakan II: xiii dalam Pedoman Uji Kompetensi Wartawan; Penerapan Standard Kompetensi Wartawan. Lembaga Pers Dr. Soetomo. Cetakan III. Juli 2019). Intinya, wartawan harus terus memperjuangkan nasib para anak bangsa yang terlantar dan para korban ketidakadilan.

Seorang yang berlatar belakang puluhan tahun mendirikan kemudian mengelola lembaga komunikasi massa, media pers, dan badan pengkajian isu-isu pembangunan nasional, ditambah telah menulis puluhan buku-buku politik, ekonomi, budaya, agama, sejarah, termasuk buku sejarah di tangan kita saat ini, berisi ratusan halaman mengenai era kepresidenan Suharto sepanjang 32 tahun, Bambang Wiwoho (BW) merupakan sosok wartawan yang tergolong memiliki komitmen profesional yang kuat dan syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang tokoh komunikasi massa dan pers yang sudah teruji.

Lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948, BW adalah mantan wartawan surat kabar harian Golongan Karya, Suara Karya, Jakarta, persisnya wartawan dan redaktur bidang ekonomi-ilmu dan teknologi di masa dua dasawarsa pertama pemerintahan Suharto. Selain itu ia juga bertugas menggali dan menyajikan informasi tentang kegiatan-kegiatan presiden di Istana Merdeka, Istana Negara, dan atau tempat kerja sehari- harinya, Bina Graha. Juga tentang sejumlah pembantu teras kepala negara di kompleks istana itu. Tak ingin meninggalkan dunia pers dan sebagai pemimpin umum (tahun 1996-2001 dan 2019-sampai sekarang), BW melanjutkan penerbitan majalah Panji Masyarakat, Jakarta (kini beralih jadi media online). Didirikan oleh tokoh pers perjuangan dan ulama Buya Hamka bersama beberapa sahabat pada bulan Juli 1959, Panji Masyarakat dibredel Presiden Sukarno pada Mei 1960.


                               Tribuana mendampingi Presiden Soeharto dalam suatu acara.

Meluaskan kiprah

Setelah keluar dari Suara Karya untuk menjadi wartawan freelance dan penulis buku, BW meluaskan kiprahnya dengan memprakarsai, bersama kawan-kawan, berdirinya Yayasan Bina Pembangunan (YBP), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di mana dia merangkap ketua pengelola. Kelompok wartawan tersebut dipercaya oleh Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Menteri Keuangan bersama Direktur Jenderal Pajak) menjadi pelaksana kampanye reformasi perpajakan atau resminya disebut Kampanye Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional, disingkat PSPN, sejak tahun 1984 hingga 1999.

Guna menunjang kampanye tersebut, seorang profesional seperti BW memerlukan lobi dan jejaring strategis dari tingkat Pusat hingga sejumlah daerah penting. Tetapi berkat kinerjanya bertahun-tahun sebagai praktisi pers dan pegiat komunikasi massa, buat BW soal lobi dan jejaring tinggal menambah atau memperbarui daftar nama-nama elit politik- ekonomi-budaya nasional di Ibukota. Dalam daftarnya itu tercatat nama- nama para menteri dan mantan menteri dalam kabinet (khususnya menteri-menteri ekonomi dan keuangan serta para pejabat eselon satu mereka), para penasihat dan pembantu khusus presiden, serta para pemuka partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di lingkungan non-pemerintah daftar lobi dan jejaring meliputi para direktur utama dan direktur perusahan negara dan swasta nasional terpenting. Berikutnya, para pakar nasional dari dalam dan luar perguruan tinggi terkemuka, para akademisi, serta para tokoh masyarakat dan aktivis LSM di Pusat dan daerah-daerah selaku pemangku kepentingan.

Begitupun, semua itu tidak cukup jika suara rakyat tidak betul-bertul terwakili, sebab bagi BW pajak adalah uang rakyat. (Catatan: Selama satu dasawarsa terakhir daftar lobi dan jejaring wartawan merupakan salah satu materi uji kompetensi bagi tiap peserta Uji Kompetensi Wartawan, disingkat UKW, yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Untuk informasi lengkap, lihat dewanpers.or.id).

Tentu pantang dilupakan adalah rekan-rekan sejawat BW di media pers, seperti para pimpinan redaksi dan wartawan senior surat kabar nasional berpengaruh. Sebagian dari rekan-rekan pimpinan redaksi, selain para wartawan/reporter di pos liputan Istana Merdeka, Istana Negara dan Bina Graha, serta di kementerian-kementerian terkait, juga merupakan mitra aktif kampanye reformasi perpajakan dalam bentuk pemberitaan isu-isu penting dan penulisan opini di media masing-masing.

Beberapa di antara rekan-rekan wartawan peliput kegiatan presiden tersebut sebenarnya sudah sejak pertengahan tahun 1970-an membahas gagasan untuk mendirikan lembaga yang bergerak di bidang komunikasi informasi dan pengkajian pembangunan. Gagasan tersebut sempat pula dikonsultasikan secara intensif antara lain dengan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Drs. Radius Prawiro, Yoga Sugomo, Drs. Moerdiono, Harmoko, serta Zulharman Said, dan lain-lain. Kecuali Zulharman (1933-1993), pendiri sekaligus penerbit surat kabar ekonomi, Neraca, Jakarta, para tokoh  tersebut adalah pejabat-pejabat tinggi terkemuka pemerintah. YBP akhirnya diresmikan berdiri dengan akte notaris tanggal 16 Desember 1983. Para pendiri disepakati hanya dari unsur wartawan (pada mulanya tercatat nama-nama wartawan Sudjono, Aswab Mahasin, Darmansyah Darwis, Riyanto D.W. dan BW).


 Tribuana Said selaku panitia lomba penulisan perpajakan (no 2 dari kiri) mengumumkan para pemenang sayembara, didampingi Direktur Jenderal Pajak Dr.Fuad Bawazir dan Kepala Pusat Penyuluhan Perpajakan Ditjen PajaYohad Hardjosumitro. (kanan) serta B.Wiwoho (kiri).

Berikutnya, YBP membentuk Pusat Pengkajian Perpajakan dan Keuangan (Center for Fiscal and Monetary Studies, disingkat CFMS). CFMS dinyatakan sebagai pengembangan Kelompok Pengamat/Penyuluh Pepajakan yang dibentuk sebelumnya dan telah mendapat pengukuhan dari menteri keuangan pada 27 Februari 1987. CFMS juga menerbitkan jurnal berkala berisi esei-esei tentang masalah-masalah perpajakan dan fiskal.

Adapun anggota pengurus CFMS adalah Drs.Soemarso SR sebagai ketua dengan anggota pengurus lainnya, yaitu Drs. Bomer Pasaribu SH, DR Guritno Mangkoesoebroto, BW, H. Agus Tagor, saya, dan beberapa pegiat lainnya (Pengurus CFMS periode 1988-1991 disahkan di Jakarta, pada 13 September 1988).

Satu lagi organisasi yang ditangani oleh YBP adalah lembaga non-struktural pemerintah, National Development Information Office, disingkat NDIO. NDIO telah beroperasi jauh sebelum tahun 1980-an. Selama 16 tahun (1977-1993) sebuah perusahaan Amerika di New York bernama Hill & Knowlton (disingkat H&K), yang bergerak di bidang komunikasi dan public relations, dikontrak tiap tahun oleh pengelola NDIO masa itu untuk menyusun strategi komunikasi dan melakukan kegiatan-kegiatan guna membangkitkan kesadaran serta apresiasi terhadap ekonomi Indonesia dan prospek-prospek yang menarik bagi hubungan kemitraan di bidang-bidang perdagangan, investasi dan ekonomi.

Setelah kontrak dengan H&K berakhir pemerintah menyerahkan pengelolaan dan pelaksanaan program kerja NDIO kepada BW sebagai direktur dengan tugas pokok “Penggalangan Citra Baik Indonesia di Luar Negeri”. BW didukung Tribuana Said sebagai sekretaris eksekutif dan beberapa penasihat adhoc serta staf redaksi dan sekretariat. Di samping melakukan lobi serta penggalangan terhadap komunitas diaspora dan para simpatisan atau pemerhati Indonesia, BW dan tim meneruskan program rupa-rupa publikasi berkualitas ditambah video dalam bahasa Inggris dan pendistribusiannya ke seluruh perwakilan diplomatik Indonesia dan mitra ekonomi Indonesia di luar negeri, serta korps diplomatik dan pengusaha asing di Indonesia. Apabila diperlukan, NDIO juga membantu persiapan acara-acara pejabat Indonesia di forum internasional, termasuk pengorganisasisan event-event internasional di Indonesia.

Meski pun sudah sejak awal 1966 berkerja di beberapa penerbitan Grup Merdeka (di harian Merdeka awalnya redaktur berita (1967-1974), kemudian pemimpin redaksi (1974-1979, menyusul 1995-1999); harian berbahasa Inggris Indonesian Observer (redaktur dan penulis tajuk pengganti 1967-1979); majalah mingguan berita Topik (pemimpin umum 1972-1979), dan majalah bulanan Keluarga (wakil pemimpin umum 1981- 1982), saya dan BW belum saling mengenal.


 Tribuana (paling kanan) sedang rapat Centre for Fiscal and Monetary Studies, di sampingnya, anggota DPR Bomer Pasaribu, B.Wiwoho dan Dr,Guritno Mangkusuwondo dan Yullia Himawati.

Setelah menyelesaikan dua studi pasca-sarjana berturut-turut di Belanda tahun 1979-1981 dan kembali ke Jakarta, saya menemui ketua PWI Jaya, Zulharmans, dengan niat mengundurkan diri sebagai anggota pengurus PWI Pusat. Pasalnya, saya telah keluar dari Grup Merdeka sejak berangkat ke Belanda tahun 1979. Tetapi Zulharman langsung mengucapkan tiga kata: “Salah kau… Tri!” dan terus mengemukakan pendapatnya tentang PWI, kurang lebih sebagaimana kemudian dicanangkan dalam Keppres Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional 9 Februari terkait “fakta-fakta sejarah pers nasional sebagai pelaku komunikasi perjuangan mulai dari masa kebangkitan dan pergerakan nasional dan sebagai pelaku komunikasi pembangunan pada masa sekarang dan yang akan datang”, dan seterusnya (Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: CV Haji Masagung, 1988: 8). Singkat cerita, saya urung berhenti sebagai anggota pengurus PWI Pusat.

Pada acara penutupan kongres PWI ke-17 tahun 1983 di Manado, Zulharman mengumumkan susunan pengurus PWI Pusat lima tahun ke depan dengan dia sendiri menjabat ketua umum dan saya wakil sekretaris jenderal. Hasil kongres tersebut mengingatkan saya pada pembicaraan kami hampir dua tahun sebelumnya. Adakah hal tersebut berkaitan dengan tugas- tugas saya sebagai wakil sekretaris jenderal PWI Pusat, antara lain mendukung BW dalam gerakan pembaruan sistem perpajakan nasional, dll.? Wallahu a’lam bishawab.

“Revolusi” perpajakan

Sinyal gerakan reformasi perpajakan nasional telah dimulai oleh pemerintah, pertama, dalam pembahasan rencana Garis-garis Besar Haluan Negara bulan Maret 1983 dan, kedua, dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto di DPR/MPR pada 16 Agustus 1983. Tiga bulan kemudian Menteri Keuangan Radius Prawiro mengajukan tiga RUU PSPN Paket I ke Sidang Paripurna DPR, sementara dua RRU dalam Paket II diajukan dua tahun berikutnya pada 4 November 1985. Dengan kata lain pada kedua waktu dalam tahun 1983 telah diluncurkan “revolusi” perpajakan di era Indonesia merdeka, setidaknya langkah tersebut layak dielu-elukan sebagai kelanjutan Revolusi Nasional 1945. Sebab, dengan menyampaikan dua paket RUU yang perlu disepakati dengan parlemen, pemerintah hendak menyingkirkan bukan saja sistem perpajakan kuno, melainkan juga tiga warisan rezim kolonial Belanda (Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944).

Paket I PSPN disahkan pada 31 Desember 1983. Terdiri dari UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, mulai berlaku 1 Januari 1984; UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mulai berlaku 1 Januari 1984; dan UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mulai berlaku 1 April 1985. Paket II terdiri dari UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan mulai berlaku 1 Januari 1986 dan UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai juga mulai berlaku 1 Janauari 1986.

Lalu, bagaimana hasil pelaksanaan kampanye PSPN? Terlepas dari sejumlah hambatan-hambatan yang dihadapi, dan harus diatasi di tahun- tahun mendatang, kampanye pembaruan perpajakan telah berhasil melipatgandakan baik jumlah Wajib Pajak maupun penerimaan negara dari pajak dalam jumlah yang juga terus meningkat pesat. Dari data yang ada terbukti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bisa menjadi “mesin uang”. Berarti sejarah mencatat dengan tinta emas kemajuan negara (salah satu lembaga riset fiskal di Jakarta bukan menyebutnya kemajuan negara melainkan “Tinta Emas Reformasi Pajak (1984-1997)”. Dan tidak dapat disangkal, sejarah juga mencatat jasa BW dan kawan-kawan dalam pengkajian, persiapan, peluncuran dan hasil-hasil pelaksanaan kampanye pajak tersebut. Saya bersyukur berkesempatan mendampingi BW dalam kegiatan tersebut serta beberapa kegiatan komunikasi pembangunan lainnya, misalkan membantu Dirjen Pariwisata Yoop Ave mendisain kampanye kunjungan wisata ke Indonesia beserta program Sapta Pesonanya.

Berikutnya bagaimana ke depan? Apakah para ahli di perguruan tinggi dan atau lembaga pengkajian independen di negara ini sudah siap membuat strategi lengkap untuk menunjang pembangunan nasional di bidang-bidang atau sektor-sektor tertentu? Tanpa negara perlu mengundang para pakar asing? Sebutlah salah satunya pemulihan pariwisata nasional pasca pandemi Covid 19. Contoh-contoh lain: Pemulihan dan modernisasi pelayanan kesehatan nasional pasca pandemi Covid 19; Pembangunan sistem transportasi nasional melalui rute-rute jalan tol, dll. Ada beberapa pertanyaan lain yang perlu kita bahas.                                                      Mungkin pada lain kesempatan.                                                                

(Tribuana Said memulai karir pers di Medan sejak kembali dari studi di London dan Bonn tahun 1963. Seperti ditulis dalam bukunya, Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI (Penerbit Sinar Harapan, 1983), menjelang pertengahan tahun 1964 konflik pers  Pro-PKI vs Anti-PKI makin memanas. Puncaknya, awal 1965 Presiden Sukarno menekan grup Anti-PKI, termasuk memerintahkan pembredelan pers BPS yang anti-PKI seperti harian Waspada. Waspada baru terbit kembali 17 Agustus 1966, sementara Tribuana sebelumnya telah pindah ke harian Merdeka, Jakarta).