Rabu, 15 Juli 2015

NAWACITA KINI JADI DUKACITA


RMOL. Keresahan atas situasi bangsa kini mulai merebak di mana-mana. Kinerja Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla selama delapan bulan ini dinilai mengecewakan, menyimpang dari janji-janji kampanye (Nawacita), gagal mewujudkan Trisakti, dan membuat situasi ekonomi-nasional semakin bertambah buruk.

Untuk mencari solusi itu aktivis lintas generasi berkumpul melakukan Rembuk Nasional yang diselenggarakan di Jalan Tebet Timur Dalam No 43, Jakarta, Kamis (9/7) malam.  

Dalam forum rembuk nasional tersebut Ketua Umum DPP IMM Beni Pramula menyampaikan muara dari persoalan bangsa hari ini, yaitu karena lemahnya kepemimpinan nasional yang membuat orientasi pembangunan dan pengelolaan pemerintahan tidak sesuai dengan ideologi Trisakti dan Nawacita. Padahal hal ini kerap didengang-dengungkan oleh Jokowi saat kampanye presiden. 

"Nawacita itu kini jadi dukacita. Kita ingin melanggengkan keterpurukan atau cabut mandat?" tanyanya kepada forum. Sontak para peserta Rembuk Nasional secara serentak tanpa komando menyahut "Turunkan!". 

Lebih lanjut, Beni mengulas mengenai Negeri Kepulauan yang luas wilayahnya tiga daratan Eropa, berpenduduk 250 juta, di tengah-tengah perubahan besar, persaingan global, dan era keterbukaan yang sangat berpotensi akan mengancam eksistensi Indonesia. Dalam situasi itu, bangsa harus ditopang pemimpin yang benar-benar mumpuni secara kualitas dan ketokohan, bukan pesuruh dari produk pencitraan. 

"Presiden atau pemimpin tidak bisa lahir secara instan. Presiden atau pemimpin tidak bisa lahir dari sebuah proses rekayasa media. Presiden atau pemimpin tidak bisa hanya dari hasil proses pencitraan. Pemimpin polesan cenderung menipu karena dari kemasannya saja sudah direkayasa. Produk yang dihasilkan dari kepemimpinan yang seperti ini akan cenderung korum dan menuia persoalan kebangsaan yang lebih besar," sambung presiden Pemuda Asia Afrika itu. 

Kegaduhan politik, penistaan antar umat beragama, harga kebutuhan pokok yang melambung, hingga rakyat kecil yang diacuhkan pemimpin yang sibuk mengurusi politik merupakan segenap problematika negeri ini. Sayangnya, kata Beni, semua itu justru semakin diperparah dengan pembiaran pemerintah terhadap para korporat yang secara leluasa merampok uang rakyat. 

Tidak hanya itu, kasus korupsi yang makin sulit diatasi lantaran ada kongkalikong hukum. ketergantungan Indonesia yang semakin ekstrem pada produk luar negeri, kini mengantarkan bangsa ini pada fase yang sangat membahayakan.

"Apalagi, dalam situasi global di mana kapitalisme sedang menghadapi pasang surut. Untuk menanggulangi hal itu, maka sudah seharusnya kiblat bangsa segera diluruskan. Salah satu caranya adalah memperbaiki akar masalah dari semua problematika ini regulasi dan masalah ‘leadershipnya’," tegas Beni.

Selain merumuskan petisi keprihatinan, kelompok kerja juga akan merumuskan berbagai isu strategis yang dihadapi bangsa saat ini.

Acara yang dimoderatori oleh Ketua Umum Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK) Bursah Zarnubi ini, dihadiri oleh sekitar 80 aktivis lintas generasi, mulai dari yang senior seperti Bambang Wiwoho, Ariyadi Achmad, Syahganda Nainggolan, Laode Ida, Hatta Taliwang, Yayat Biaro, Wahyono, Haris Rusli Moti, Djoko Edhy Abdurachman, Yamin Tawary, dan Sudjana Sulaiman, hingga aktivis muda seperti Ketua Presidium PP PMKRI Lidya Natalia, Ketua Umum DPP IMM Beni Pranula, Ketua Umum GPII Karman BM, aktivis Pandu UI Patriot, dan Sekjen LMND Hendrik Kurniawan.

Dalam acara ini para aktivis secara bergantian menyampaikan pandangan kritis dan keprihatinan tentang situasi ekonomi politik saat ini. Beberapa peserta diskusi menyampaikan desakan untuk melakukan gerakan cabut mandat Jokowi karena berbagai kebijakan pemerintah telah membuat kehidupan rakyat kecil tambah susah. Pandangan ini antara lain disampaikan oleh Beni Pramula Ketua Umum IMM Hatta Taliwang dan Ketua Umum GPII Karman BM.

Sebagian besar aktivis yang hadir setuju dengan gagasan itu, untuk kemudian menyusun rencana strategis yang berkesinambungan guna merespon situasi kebangsaan yang akhir-akhir ini cukup memprihatinkan.[wid]
Sent from Yahoo Mail on Android

PETISI KEPRIHATINAN LINTAS GENERASI.

Suasana Rembuk Nasional Aktivis Lintas Generasi di Tebet, Kamis (9/7) Suasana Rembuk Nasional Aktivis Lintas Generasi di Tebet, Kamis (9/7) Foto: Sayangi.Com/Emil
Jakarta,Sayangi.Com- Forum rembuk nasional aktivis lintas generasi yang diselenggarakan di Jl. Tebet Timur Dalam No.43, Jakarta, pada Kamis (9/7), menyampaikan sejumlah kritik keras terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang selama 8 bulan ini dinilai mengecewakan, menyimpang dari janji-janji kampanye (Nawacita), gagal mewujudkan Trisakti, dan membuat situasi ekonomi-nasional bertambah buruk.
Di akhir acara, para aktivis sepakat untuk membuat "petisi keprihatinan rakyat Indonesia" yang akan dirumuskan oleh 32 anggota kelompok kerja.
Selain merumuskan petisi keprihatinan, kelompok kerja juga akan merumuskan berbagai isu strategis yang dihadapi bangsa saat ini, mulai dari manajemen pemerintahan yang amburadul, terus melemahnya nilai tukar rupiah yang dikhawatirkan bisa membawa Indonesia kembali menghadapi situasi krisis ekonomi seperti 1998, lembaga-lembaga negara yang bekerja tanpa sinergi, kekuatan modal yang semakin mendikte kebijakan Pemerintah, hingga DPR yang terjebak dalam perdebatan tidak produktif karena masing-masing fraksi terlihat hanya membela kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat.
Acara yang dimoderatori oleh Ketua Umum Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK) Bursah Zarnubi ini, dihadiri oleh sekitar 80 aktivis lintas generasi, mulai dari yang senior seperti Bambang Wiwoho, Ariyadi Achmad, Syahganda Nainggolan, Laode Ida, Hatta Taliwang, Yayat Biaro, Wahyono, Haris Rusli Moti, Djoko Edhy Abdurachman, Yamin Tawary, dan Sudjana Sulaiman, hingga aktivis muda seperti Ketua Presidium PP PMKRI Lidya Natalia, Ketua Umum DPP IMM Beni Pranula, Ketua Umum GPII Karman BM, aktivis Pandu UI Patriot, dan Sekjen LMND Hendrik Kurniawan.
Dalam acara yang berlangsung mulai pukul 16.30 hingga pukul 22.00 WIB itu, para aktivis bergantian menyampaikan pandangan kritis tentang situasi ekonomi politik saat ini. Kabinet Jokowi-JK dinilai tidak kompak, para menteri berjalan sendiri-sendiri, banyak peraturan pemerintah diubah kembali padahal baru dua hari diumumkan, dan Presiden Jokowi terlihat tidak cakap mengatasi situasi yang ada, dan bahkan seperti linglung dalam memberikan komando pemerintahan karena terbelenggu kepentingan pemodal dan partai-partai pendukungnya.
Beberapa peserta diksusi menyampaikan desakan untuk melakukan gerakan cabut mandat Jokowi karena berbagai kebijakannya telah membuat kehidupan rakyat kecil tambah susah. Pandangan ini antara lain disampaikan oleh Hatta Taliwang dan Ketua Umum GPII Karman BM.
Tetapi sebagian besar aktivis yang hadir tidak setuju dengan gagasan itu, dan lebih memilih untuk melakukan gerakan moral untuk menyadarkan semua komponen bangsa bahwa Indonesia saat ini menghadapi situasi bahaya dan karena itu Pemerintahan Jokowi harus kembali kepada Nawacita dan Trisakti.
Ketua Presidium PP PMKRI Lidya Natalia mengingatkan para peserta diskusi untuk melepaskan kepentingan politiknya dalam menilai situasi nasional yang ada, dan mengajak untuk mengatasi masalah yang ada dari akarnya. Lidya menyatakan kecewa pada Jokowi karena gagal mewujudkan Trisakti, tapi menurutnya, sebagian masalah bangsa saat ini juga merupakan masalah struktural yang merupakan warisan Pemerintahan terdahulu.
Diskusi juga menyoroti isu reshuffle kabinet. Sebagian besar aktivis berpendapat, kabinet saat ini perlu dibongkar karena gagal mewujudkan Nawacita dan Trisakti. Ketua Umum DPP IMM Beni Pranula menyebut kabinet Jokowi-JK sebagai kabinet terburuk dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Tetapi, beberapa aktivis juga mengingatkan bahwa reshufflle kabinet tidak akan ada gunanya jika hanya untuk mengakomodir kepentingan parpol dan pemodal. Salah-salah, reshuffle kabinet justru bisa menimbulkan goncangan politik baru.
"Kalau publik nanti memberikan respons negatif terhadap reshuffle kabinet yang dilakukan Jokowi, maka Presiden akan kehilangan kepercayaan dari rakyat pemilihnya. Rakyat bisa mengambil kesimpulan, jangan-jangan masalah kekacauan kabinet bukan pada menterinya, tapi pada Presidennya sendiri," kata Herdi Sahrazad.

Minggu, 12 Juli 2015

KAJI ULANG UUD 45 (PENAMAAN YANG MANIPULATIF) YANG SUDAH DIAMANDEMEN. Catatan : B.Wiwoho



Tentang wacana kembali kepada UUD 45 Asli yang sekarang ramai diwacanakan terutama oleh generasi muda, saya pribadi menjadi bersyukur. Akhirnya apa yang kami gulirkan semenjak akhir 2003 telah bagaikan bola salju makin lama makin besar.
Pada akhir 2003, 17 (tujuh belas) anak bangsa yang disesepuhi oleh Prof.Kyai Ali Yafie dan Jenderal Purn Try Sutrisno berhimpun dalam Barisan Kebangkitan Indonesia Raya (BKRI). Tujuh belas orang itu antara lain Surjadi Soedirdja, Marsudi W Kisworo, Achmad Mubarok, Amran Zamzami (alm), Widjajono Partowidagdo (alm) dan saya.

Pada awal Januari 2004, bertempat di Persada – Halim Perdanakusuma, BKRI meluncurkan buku kecil “Dokumen Perenungan Nasib Bangsa: Rapatkan  Barisan Untuk Kebangkitan Indonesia Raya”. Selanjutnya 18 – 20 Mei 2004 menyelanggarakan Kongres Indonesia Raya bertempat di Balai Sudirman dan Gedung RRI. Hasil Kongres diterbitkan menjadi buku “Indonesia Raya Bangkit atau Hancur”.

Segera sesudah itu BKRI diperluas menjadi Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) yang dideklarasikan di Gedung Cawang Kencana. Bergabung dalam GKIR antara lain FPP-45 dengan topkohnya Saiful Sulun, Indemo dengan tokohnya Hariman Siregar, Asosiasi Pejuang Indonesia dengan tokohnya Nugroho Djajusman, Forum Rektor dengan tokohnya Sofian Effendi dan lain-lain.

Dari berbagai pertemuan dan kajian yang kemudian diterbitkan dalam buku “Polemik Cabut Mandat SBY: Suatu Transformasi dari Masyarakat Nrimo ke Masyarakat Peduli Nasib Bangsa”, GKIR menyimpulkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat itu (dan masih sampai saat ini), siapa pun yang menjadi Presiden tidak akan bisa mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara yang semakin besar, berat dan kompleks, bahkan jika tidak segara diatasi bisa membawa kepada kehancuran bangsa.

Untuk itu kami berpendapat harus segera dilakukan kaji ulang UUD, karena UUD baik yang UUD 45 asli maupun yang sekarang, yang menurut Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie sudah berubah 300%,bukanlah kitab suci, sehigga bisa diubah, diperbaiki dan disempurnakan. Merujuk pendapat Prof Jimly tadi nama UUD 45 Amandemen pada hemat saya manipulatif: buku “Pak Harto Anak Desa Membangun Kepentingan Nasional” dan Ancaman Presiden Soeharto/TNI Terhadap Siapa Saja Yang Mau Mengubah UUD’45, http://bwiwoho.blogspot.com/2013/03/penggalangan-citra-di-masa-orde-baru-4.html). Pakar Hukum Tatanegara Maria Farida dalam buku  “Polemik Cabut Mandat SBY” juga menyatakan, dengan amandemen tersebut sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru dan bukan hanya mengubah UUD 45.

Mengapa kami memakai istilah Kaji Ulang? Karena pada sepuluh tahun yang lalu, belum banyak orang yang percaya UUD Amandemen akan membuat situasi ketatanegaraan tumpang tindih bahkan cenderung kacau. Sementara itu masyarakat masih mengecap Orde Baru kepada siapa saja yang menginginkan kembali pada UUD 45 Asli.

Salah satu syarat kaji ulang UUD adalah untuk sementara, UUD dikembalikan kepada UUD 45 ++, maksudnya UUD 45 yang asli namun sudah dengan perubahan tentang masa jabatan Presiden yang dibatasi hanya boleh dua kali. Selanjutnya UUD 45 ++ kita sempurnakan secara hati-hati, teliti dan seksama dengan menjaga kesinambungan antara mukadimah dengan batangtubuhnya. Penyempurnaan dilakukan dengan sistem adendum yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia, dan bukan hanya oleh segelintir elit apalagi hanya oleh partai-partai politik di parlemen. Penyempurnaan harus visioner jauh ke depan, termasuk mengantisipasi kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat, yang bisa mengubah tatanan sosial masyarakat. Itulah tantangan kita ke depan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridai, merahmati dan memberkati kita. Aamiin.
Beji 12 Juli 2015.