Senin, 22 Juni 2015

YOGA SUGOMO, KEPALA INTEL PALING LAMA: dari arsip lama.

Selasa, 25 Mei 2010

Yoga Sugomo (1925-2003)

Yoga Sugomo (1925-2003)
Oleh P. Hasudungan Sirait

SOEHARTO kembali melihat seorang pembantu dekatnya pergi. Kali ini seorang yang sangat spesial. Yoga Sugomo meninggal Rabu 23 April 2003 lalu di Jakarta dalam usia memasuki 78 tahun. Arti penting Yoga? Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun.
Kelanggengan power-nya merupakan khasiat pendekatan keamanan yang dikombinasikan dengan pendekatan intelijen, seperti yang dilukiskan George Orwell dalam novel 1948. Dalam hal ini Yoga adalah salah satu figur yang paling ia andalkan terutama pada paruh pertama rezimnya.
Ada sejumlah jenderal yang menjadi pembantu dekat Soeharto saat ia mengonsolidasikan kekuasaannya. Tapi kedekatan mereka berlapis. Pada pertengahan 1970-an, seperti ditulis David Jenkins dalam bukunya, Suharto and His Generals—Indonesia Military Politics 1975-1983 (Cornell University, 1984), the inner core group Soeharto yang terpenting ada empat. Yaitu Yoga Sugomo, Ali Moertopo, Benny Moerdani dan Sudomo. Tiga yang pertama berlatar belakang intelijen militer sedangkan yang terakhir, Sudomo, orang sekuriti.
 
Setelah membersihkan elemen kiri, Orde Baru perlu menjamin posisi serta melempangkan langkahnya. Sejumlah instrumen kekuasaan khas masa darurat digerakkan. Yang paling menonjol adalah Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Opsus (Operasi Khusus) dan Bakin. Ketiga lembaga ini menjalankan fungsi intelijen, dengan kewenangan yang ekstra ordiner khususnya untuk Kopkamtib dan Opsus.
 
Di sini posisi Yoga sangat sentral. Ia pernah menjadi petinggi di Bakin dan Kopkamtib, selain di Gabungan 1 (G-1) Hankam dan Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) Hankam. Saat menjadi Kepala Bakin (Kabakin), tahun 1978 ia dipercaya Soeharto merangkap sebagai Kepala Staf Kopkamtib.
Mengomentari kedudukannya yang luar biasa itu Yoga pernah mengatakan bahwa di negara mana pun belum pernah ada yang berposisi seperti itu, kecuali Himler. Himler adalah direktur SS (Reichsfuhrer), polisi rahasia Nazi. Bedanya, menurut Yoga, Himler bisa berbuat apa saja dan hanya bertanggung jawab kepada Hitler, sedangkan dirinya bertanggungjawab kepada parlemen dan pemerintah (Richard Tanter, Intelligence Agencies and Third World Militerization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989—thesis Ph.D di Monash University, 1991).
 
Kunci kekuatan posisi Yoga Sugomo adalah kedekatan hubungan pribadinya dengan Soeharto. Kedekatan keduanya sudah sejak lama, yaitu ketika mereka masih sama-sama di Teritorium IV-Diponegoro. Hal ini diceritakan dalam kitab Memori Jenderal Yoga (B. Wihoho dan Banjar Chaeruddin—1990).
Dikisahkan bahwa sebagai asisten intelijen (As Intel) Yoga mulai sering berhubungan dengan Soeharto menjelang Pemilu 1955. Saat itu Soeharto menjadi penanggungjawab keamanan Pemilu di Jawa Tengah bagian timur. Namun sejauh itu relasi mereka masih sebatas profesional. Sebuah situasi kemudian membuat afeksi keduanya saling bertaut untuk seterusnya.

Golkan Soeharto
Pertengahan 1956 pimpinan Angkatan Darat (AD) hendak menjadikan Kol. Bambang Supeno sebagai panglima TT-IV Diponegoro menggantikan Kol. M. Bachrum.
Yoga dan sejumlah perwira Diponegoro menolak rencana itu dengan alasan penempatan Bambang Supeno akan merebakkan konflik di lingkungan TT-IV, sebab Bambang Supeno, perwira yang pernah mengajukan keberatan kepada Presiden Soekarno sehubungan dengan rencana AD untuk mengurangi personilnya, sangat dekat dengan Wakil Kepala Staf AD (Wakasad) Zulkifli Lubis.
Lubis saat itu sedang menjadi sorotan karena mencoba menggalang dukungan di sejumlah kesatuan di Jawa Barat. Di samping itu, masih pada pertengahan 1956, anak buahnya menangkap Menlu Roeslan Abdulgani dengan tuduhan memanipulasi dana. Di masa itu kabinet sering jatuh bangun. Para perwira pun berpolitik sehingga kepemimpinan di AD labil.
Yoga yang secara pribadi sebenarnya dekat juga dengan Zulkifli Lubis, bahu-membahu dengan sejumlah perwira Diponegoro untuk menggagalkan pengangkatan Bambang Supeno. Salah satu yang ia lakukan adalah mengkondisikan di lingkungan Divisi Diponegoro dan AD agar Soeharto saja yang menjadi panglima TT-IV.

Untuk itu ia menugasi secara khusus anak buahnya, Ali Moertopo. Dalam sebuah tulisan di buku Memori Jenderal Yoga, Ali mengungkapkan bahwa saat menjalankan tugas khusus inilah ia menjadi dekat secara pribadi dengan Yoga.
Bersama Suryo Sumpeno, Yoga kemudian menjadi utusan kelompok penolak Bambang Supeno di TT-IV untuk menemui Wakasad Zulkifli Lubis di Jakarta. Alhasil Letkol Soeharto, Kastaf TT-IV, yang menjadi panglima merangkap Penguasa Perang Daerah (PPD). Pangkatnya segera dinaikkan menjadi kolonel.
Soeharto tak melupakan jasa baik mereka yang telah mendukungnya. Yoga yang sejak tahun 1955 (hingga 1959) menjadi Asisten Intelijen dipercaya merangkap sebagai Wakil Kepala staf Harian PPD. Sedangkan Ali Moertopo yang sebelumnya selalu di pasukan tempur ditarik menjadi staf di Asisten V teritorial. Seorang lagi yang ditarik Soeharto ke staf adalah sahabat Ali Moertopo, Sudjono Humardani. Yoga, Ali dan Sudjono kelak akan selalu di lingkaran dalam Soeharto setelah panglima tersebut menjadi orang nomor satu.

Jalur intel
Kalau membaca memoarnya akan terlihat adanya dua figur yang besar pengaruhnya dalam perjalanan karir Yoga Sugomo. Yakni Zulkifli Lubis dan Soeharto.
Yoga lahir di Tegal pada 12 Mei 1925. Sewaktu masih di bangku kelas III AMS (setara SMU) ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di akademi militer Jepang (Rikugun Shikan Gakko), Tokyo, tahun 1942. Ia masih menjadi siswa di sana saat Sekutu membom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Saat keadaan serba sulit di Jepang, di sana ia diterima bekerja di markas Sekutu sebagai penerjemah. Secara tak langsung di markas itulah ia mulai mengenal dunia intelijen.
 
Setelah dua tahun di markas sekutu ia kembali ke Tanah Air dan bekerja di Kementerian Pertahanan, Yogyakarta. Sesudah Agresi Belanda (Desember 1948) ia menjadi perwira intelijen di Staf Teritorium Militer (STM) merangkap Asisten I (Intelijen) Brigade Gunung Jati, Banyumas. Seusai penyerahan kedaulatan (1949) ia ditarik ke Departemen Pertahanan/ Staf Angkatan Perang, Jakarta. Di sana ia menjadi staf Zulkifli Lubis, Kepala Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Ia segera akrab dengan Lubis, orang yang sering disebut sebagai bapak intelijen Indonesia. Dari Lubis ia mendapat pengetahuan yang luas ihwal situasi politik dalam negeri.
 
Adalah Zulkifli Lubis yang mengirim Yoga belajar ke dinas intelijen Inggris MI-6, di Maresfield. Selulus dari MI-6 ia kembali ke Jakarta dan menjadi anak buah Zulkifli Lubis. Tapi sebentar saja. Ia kemudian dikirim ke Semarang sebagai Asisten I (Intelijen) TT-IV Diponegoro. Waktu itu panglima TT-IV adalah Kol. M. Bachrum. Tak begitu jelas mengapa Zulkifli Lubis melepas anak didik yang telah ia sekolahkan di MI-6 itu ke Diponegoro. Bukankah intel hasil sekolahan profesional sangat ia butuhkan saat itu? Sebuah jawaban yang mungkin adalah untuk membendung penetrasi PKI. Saat itu sejumlah perwira TT-IV merupakan kader PKI.
 
Setelah bergabung dengan TT-IV yang menjadi kiblat Yoga tampaknya tidak lagi Zulkifli Lubis melainkan Soeharto. Seperti telah disebut, gerakan untuk menolak Bambang Supeno sebagai panglima TT-IV telah mendekatkan Yoga ke Soeharto. Hubungan Soeharto dengan Lubis sendiri saat itu tak begitu jelas seperti apa. Yang pasti, setelah menjadi panglima TT-IV Soeharto pernah mengutus Yoga menemui Lubis di Jakarta untuk meminta agar petinggi AD yang anti-PKI itu menghentikan upayanya menggalang kekuatan militer di daerah. Lubis yang telah dipecat sebagai Wakasad dan memilih bersembunyi menyatakan akan tetap bergabung dengan PRRI-Permesta. Alasannya, ungkap Yoga, pemerintah sudah terlalu condong ke kiri.
 
Pada penghujung 1956 sejumlah daerah bergolak. Pemberontakan PRRI-Permesta kemudian meletus. Zulkifli Lubis menjadi salah satu tokoh sentral gerakan yang menentang Jakarta ini.
Untuk memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta Divisi Diponegoro mengirim dua Resimen Tim Pertempuran (RTP) ke Sumatera Barat. Yoga Sugomo yang sebelumnya selalu di jurusan intelijen meminta agar dirinya diikutkan di satuan tempur. Motif Yoga, seperti ia ungkapkan, adalah untuk mencari pengalaman sekaligus untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan pengikut fanatik Zulkifli Lubis. Soeharto setuju. Yoga dipercaya menjadi komandan RTP II. Kepala Stafnya adalah Katamso. Mereka berangkat ke Bukittinggi awal 1959. Ternyata, setelah beberapa bulan Katamso dipindahkan ke Riau. Sebagai penggantinya Yoga mengusulkan nama Ali ke panglima Diponegoro, Soeharto. Ternyata diluluskan. Saat berduet dengan Yoga-lah, kata Ali, ia mendalami seluk-beluk dunia intelijen.
 
Pada Februari 1961 PRRI/Permesta menyerah secara massal. RTP II kembali ke induknya di Semarang. Ternyata nama divisi itu sudah berubah, dari TT-IV menjadi Kodam VII Diponegoro. Panglimanya juga sudah bukan Soeharto. Panglima baru adalah Pranoto Reksosamodra. Sedangkan Soeharto, ia disekolahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD), Bandung, sebagai hukuman. Ia dituduh memperkaya diri lewat Yayasan Pembangunan Teritorium Empat.
Dianggap sebagai anggota ‘klik Soeharto’ Yoga diasingkan oleh pimpinan baru Diponegoro. Tak tahan, ia pun ribut dengan pimpinan sehingga dihukum. Ganjarannya, sama seperti Soeharto, disekolahkan ke Seskoad Bandung (1961-1962). Selulus dari Seskoad ia diberi dua pilihan: menjadi instruktur Seskoad atau menjadi atase militer. Yoga memilih yang terakhir. Ia menjadi atase militer di Yugoslavia (1962-1965).
 
Di tahun ketiga menjadi atase militer Yoga disuruh pulang oleh Panglima Kostrad Soeharto dengan alasan PKI sudah semakin kuat. Pada Februari 1965 Yoga telah menjadi Asisten I (Intelijen) Kostrad. Tujuh bulan kemudian peristiwa G30S terjadi.
Soekarno tumbang dan Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera. Berkahnya bagi Yoga, ia menduduki pelbagai posisi strategis. Soeharto menugasi dia membentuk Komando Intelijen Negara (KIN) untuk menggantikan BPI (Badan Pusat Intelijen) yang dipimpin Soebandrio. Tahun 1966 KIN terbentuk. Soeharto menjadi Ketua sedangkan Yoga menjadi Kepala Staf Harian. Tahun 1967 KIN menjadi Bakin. Ketuanya masih Soeharto dan wakilnya Brigjen Sudirgo. Setahun berselang Sudirgo, perwira CPM, ditangkap dengan tuduhan terlibat G30S. Yoga menggantikan dia sebagai Wakabakin. Soeharto melepaskan jabatan Kabakin ke Yoga setahun kemudian. Yoga menjadi Kabakin pada 1968-1969.
 
Jabatan lain yang pernah ia pegang di masa penentuan nasib Orde Baru itu adalah Wakil ketua G-1 KOTI (1966-1967), Asisten I Hankam (1967-1968). Setelah tak menjadi Kabakin ia menjadi Ketua G-1 Hankam merangkap Komandan Satgas Intel Kopkamtib, Asisten Intel Kopkamtib dan Kepala Pusat intelijen Strategis Hankam (1969-1971).
Tapi mendadak sebuah sabatose membuat karirnya di jalur resmi intelijen terputus. Dalam perjalan dinas ke Jerman koper stafnya, Sekretaris G-1, hilang di pesawat saat mereka berdua stop-over di Singapura. Koper itu berisi dokumen penting. Akibatnya fatal. Yoga dihukum. Ia menjadi wakil Kepala Perwakilan RI di PBB, New York.
 
Terbilang lama Yoga di New York (1971-1974). Saat karir intelijennya sudah seperti berakhir, prahara terjadi di Jakarta yaitu Peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari 1974). Lima hari setelah Malari, Soeharto menyuruh Yoga pulang ke Jakarta. Ia kembali ditugasi memimpin Bakin menggantikan Sutupo Yuwono. Sutopo Yuwono, yang dalam konteks pertarungan kubu Pangkopkamtib Sumitro versus kubu Ali Moertopo dianggap sebagai pendukung Sumitro, didubeskan ke Belanda sebagai hukuman. Yoga kembali memimpin Bakin sampai ia pensiun tahun 1989. Sebuah rekor terlama, 14 tahun. Sepeninggal Yoga, pamor Bakin merosot. Fungsi eksekutifnya diambil-alih BAIS, lembaga yang dirancang oleh Benny Moerdani.

*penulis adalah Ketua Dewan Redaksi majalah Tapak

Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/26/sh04.html

BELAJAR DARI 100 HARI SBY - NAPOLEON - ROOSEVELT.

Belajar Dari 100 Hari SBY - Napoleon - Roosevelt : dari arsip lama.

Dalam 5 tahun terakhir ini kita sering mendengar istilah Program 100 Hari SBY. Dari mana istilah ini? Ternyata istilah ini berasal dari Jenderal Perancis yg amat terkenal yaitu, Napoleon Bonaparte. Begitu ia dapat meloloskan diri dari pengasingannya di Pulau Elba Maret 1815, ia merancang program perang 100 hari.
Dalam kemiliteran, program perang harus dirancang secermat mungkin, karena menyangkut banyak aspek dan jiwa manusia. Napoleon boleh merencanakan, tapi Gusti Allah yang menentukan. Di tengah cuaca Eropa yg mulai nyaman itu. Tuhan Sang Maha Sutradara punya skenario lain, yaitu memerintahkan balatentaranya dari kepulauan Nusantara, Gunung Tambora, agar meletus sedahsyat-dahsyatnya. Maka selama periode 10 – 15 April1815 Tambora meletus, dengan puncak letusan pada 12 April 1815. Inilah menurut para ahli, letusah terdahsyat selama 10.000 tahun, empat kali lipat dari letusan Gunung Krakatau. Letusan ini menimbulkan gempa vulkanik sebesar 7 SR serta memuntahkan asap pekat setinggi 43 km. Akibatnya selama tahun 1816 terjadi dunia tanpa musim panas. Di seluruh dunia matahari tertutup, bahkan di sebagian Eropa curah hujan dingin hampir berlangsung sepanjang tahun.
Bagi Jenderal Napoleon, sungguh itu merupakan bencana. Prajuritnya yg sedang bergerak dalam Pertempuran Waterloo, menjadi tak berdaya, sehingga akhirnya pada 18 Juni 1815 ia kembali tertangkap. Bagitulah, Program Perang 100 Hari Napoleon, dikalahkan sesungguhnya bukan oleh tentara Inggris dan Rusia, tapi oleh Balantera Allah dari Nusantara.
Tokoh dunia berikutnya yang menggunakan istilah Program 100 Hari adalah Presiden Amerika Serikat ke 32: Franklin D. Roosevelt, dikenal dengan FDR. Apakah FDR sedang menghadapi situasi perang? Jawabnya ya. AS tengah menghadapi perang besar dibidang sosial ekonomi, “Great Depression”, yang mengancam kehidupan rakyat dan bangsanya. Demikianlah, pada tahun 1933, dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, ia melancarkan program-program pemulihan situasi, agar AS keluar dari jurang resesi dengan melakukan reformasi ekonomi, sosial dan politik.
Apakah Program 100 hari yang kemudian dikenal sebagai New Deal, segera dapat mengentaskan AS dari resesi besar? Tentu saja tidak. Program 100 Hari FDR dipakai pertama-tama untuk mengokohkan kepemimpinannya, menggalang dukungan rakyat, menegakkan disiplin masyarakat, membangun harapan dan membuat 15 Undang-Undang
yang akan dijadikan sebagai arah dan pedoman bergerak bersama keluar dari jurang resesi.
FDR yang fisiknya lemah karena terserang folio pada tahun 1921, ternyata berhasil membawa negara raksasa AS mengalahkan “Great Depression”, dengan melancarkan program-program penghematan nasional yang dimulai dari atas, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan harga-harga produk pertanian, meningkatkan daya beli rakyat, membangun infrastrukstur dan menghentikan spekulasi pasar uang. Semboyannya yang amat terkenal adalah: “ Action now. We must act and act quickly.” Model Program 100 Hari ini selanjutnya dipakai oleh Presiden-Presiden AS berikutnya sampai dengan Obama sekarang.
Bagaimana SBY. Tatkala pada masa Kepresidenannya yang pertama tahun 2004 ia mengumumkan Program 100 Hari, saya sungguh terkejut. Perang apa gerangan yang hendak dia lancarkan? Siapa musuhnya? Globalisasi, Neolib, kemelaratan, kesenjangan sosial, mafia hukum ataukah masa lalu? Bukankah SBY adalah produk masa lalu? Taruna militer yang dididik dan dibesarkan oleh Orde Baru? Menjadi salah satu tokoh kunci dalam Kabinet-Kabinet Orde Reformasi? Ataukah retorika ala AS semata-mata? Hanya beliau dan Gusti Allah yang tahu. Tapi yang jelas, situasi yang dihadapinya selaku Presiden adalah situasi produk masa lalu dimana beliau bersama para pembantu dekatnya juga berasal mula.
Kini dalam masa jabatannya yang kedua, SBY bersama sejumlah arsitek kepercayaannya selama lebih 5 tahun terakhir, kembali melancarkan Program 100 Hari. Saya berprasangka baik saja, dengan berharap, karena sebelumnya banyak kecaman terhadap langkah-langkah kebijakan yang dianggap neolib, SBY akan seperti FDR, memberikan keteladanan dalam penghematan nasional serta melakukan perombakan besar terhadap sejumlah Undang-Undang produk Orde Reformasi yang pada hematnya saya, telah menempatkan Indonesia pada Gelombang Liberalisme III. Gelombang Liberalisme I berlangsung pada tahun 1870 – 1900, Gelombang Liberalisme II adalah
periode Orde Baru.
Gelombang Liberalisme III menurut saya lebih mengerikan dibanding dua gelombang sebelumnya. Karena tekanan kapitalisme global dengan strategi globalismenya, para elit Orde Reformasi telah membuat beberapa UU dan kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk air tanah) pada cengkeraman neoliberalisme dan globalisme serta takluk pada instrument mekanisme pasar bebasnya.
Hal ini mengakibatkan negara tidak cukup lagi memiliki kuasa atas pengelolaan kekayaan kita yang melimpah, dan telah mulai mengakibatkan perusakan serta eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata.
Saya boleh berharap dari Program 100 Hari SBY. Tapi entah ini kehendak Gusti Allah atau kebetulan (tapi adakah kebetulan secara ilmu fikih?), harapan saya telah dibuyarkan oleh Kasus Bibit – Chandra, Kasus Bank Century, pembelian mobil mewah untuk para menteri, renovasi pagar Istana, renovasi rumah dinas DPR hampir sebesar Rp.1milyar,- per rumah, pembelian komputer anggota DPR Rp.20 juta per orang, rencana pembelian pesawat terbang Kepresidenan dan kenaikan gaji pejabat negara.
Duuuhhh Gusti……..
01/02.2010. (copas dari blog B.Wiwoho, Taswuf Jawa : https://islamjawa.wordpress.com/2010/02/02/100-hari-sby-%E2%80%93-napoleon-%E2%80%93-roosevelt/ ).

SAPU BERSIH REFORMASI OLEH ORDE BARU; dari arsip lama B.Wiwoho

[INDONESIA-L] GATRA - Sapu Bersih R

From: apakabar@access.digex.net
Date: Thu Nov 12 1998 - 11:57:00 EST
----- Forwarded message from apakabar@access.digex.net -----

From owner-indonesia-l@indopubs.com Thu Nov 12 15:52:58 1998
>From owner-indonesia-l@indopubs.com Thu Nov 12 15:52:58 1998
Received: from indopubs.com (indopubs@indopubs.com [192.41.9.64])
        by pony-1.mail.digex.net (8.8.8/8.8.8) with ESMTP id PAA16514
        for <apakabar@access.digex.net>; Thu, 12 Nov 1998 15:52:57 -0500 (EST)
Received: from localhost (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id NAA23062; Thu, 12 Nov 1998 13:52:49 -0700 (MST)
Received: by indopubs.com (bulk_mailer v1.9); Thu, 12 Nov 1998 13:52:49 -0700
Received: (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id NAA23046; Thu, 12 Nov 1998 13:52:46 -0700 (MST)
Date: Thu, 12 Nov 1998 13:52:46 -0700 (MST)
Message-Id: <199811122052.NAA23046@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@access.digex.net
Subject: [INDONESIA-L] GATRA - Sapu Bersih Reformasi
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

X-URL: http://www.gatra.com/IV/52/BUK-52.html

   
                                            Nomor 52/IV, 14 November 1998
                                                                         
   BERITA BUKU
   
Sapu Bersih Reformasi

Buku-buku di seputar reformasi terus bermunculan. Sayang, masih banyak
bekutat dengan masa lalu.

   GONJANG-ganjing lengser-nya Soeharto dari kepresidenan tak hanya
   menjadi bahan gunjingan dan melahirkan hujatan. Melainkan juga menjadi
   pemantik reformasi, bahkan berkembang menjadi euforia massa yang
   menarik untuk diamati.
   
   Gairah reformasi tak hanya melahirkan gelombang demonstrasi, juga
   menawarkan peluang bisnis, setidaknya bagi usaha penerbitan buku.
   Lahirnya buku-buku bernuansa reformasi memang berbeda dari tren buku
   sejarah di zaman Orde Baru, yang sering dikotori dengan kepentingan
   rezim penguasa. "Kesaksian sejarah harus tulus. Fakta itu suci,
   sementara interpretasi lahir dari keinginan pribadi," ujar Julius Pour
   ketika meluncurkan bukunya yang berjudul Jakarta Semasa Lengser
   Keprabon, di Gedung World Trade Center Jakarta, Kamis pekan lalu.
   
   Julius Pour, Direktur Hubungan Masyarakat Grup Kompas-Gramedia,
   agaknya tak ingin ketinggalan gerbong euforia reformasi. Setelah
   dikipasi para kolega -bahkan bosnya, Jakob Oetama- pria kelahiran
   Klaten, Jawa Tengah, ini tergerak untuk mewujudkan buku yang sebagian
   besar bersumber dari kliping koran, majalah, dan tabloid yang terbit
   di Ibu Kota. "Apa yang saya lakukan mirip bermain jigsaw, mencoba
   menyusun kembali potongan-potongan kertas bergambar menjadi bentuk
   yang utuh," katanya.
   
   Pour mengaku terinspirasi buku Anwar Sadat, The Last Hundred Days,
   karya bersama wartawan Jerman, Konrad Muller dan Mark Willem Blaisse.
   Buku tersebut mengisahkan 100 hari kehidupan terakhir Anwar Sadat
   sebelum diberondong dengan peluru pada acara parade militer Mesir
   tahun 1981.
   
   Sebagai sebuah peluang bisnis, agaknya penciuman PT Elex Media
   Komputindo, sang penerbit, tidak meleset. Pada edisi perdana, 7.500
   eksemplar langsung terjual habis. "Tapi ini bukan semata menjawab
   peluang bisnis. Saya hanya ingin anak-cucu kita mendapatkan jalan
   cerita yang sesungguhnya tentang lengser-nya Soeharto," kata Julius
   Pour.
   
   Pour memulainya dengan penerbangan kenegaraan terakhir Soeharto menuju
   Konferensi Tingkat Tinggi G-15 VIII, yang diselenggarakan di Kairo, 9
   Mei lalu. Ia dengan lincah menyenggol soal letter of intent dengan
   Dana Moneter Internasional (IMF), pernyataan siap mundurnya Soeharto,
   jatuhnya korban mahasiswa Trisakti, dan akhirnya bermuara pada
   pengalihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie.
   
   Buku-buku serupa yang bermuatan analisis sejarah politik Orde Baru dan
   Orde Habibie juga diluncurkan Kelompok Editor, sebuah perkumpulan
   informal para penyelenggara media massa di Jakarta. Kelompok Editor
   meluncurkan tiga buku seputar lengser-nya Soeharto dan kemungkinan
   anasir Orde Baru kembali menguasai kancah perpolitikan di Indonesia.
   
   Ketiga buku tersebut, Agenda Politik Nasional: Prospek Pemilu 1999,
   Untuk Presiden Habibie: Menyapulah Dengan Sapu yang Bersih, dan Pesta
   Pora Rezim Soeharto: Rekaman Dokumentasi Media, diluncurkan di Hotel
   Ambhara Jakarta, Jumat malam pekan lalu.
   
   Buku pertama Kelompok Editor mencoba mengupas agenda politik nasional,
   Sidang Istimewa MPR November 1998, Pemilihan Umum Mei 1999, dan Sidang
   Umum MPR 1999. Buku ini kumpulan makalah pengamat politik, seperti
   Andi Mallarangeng dari Universitas Hasanuddin (Ujungpandang), Hermawan
   Sulistyo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Riswandha Imawan
   dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta).
   
   Buku kedua mencoba mendedahkan skenario kembalinya Soeharto melalui
   antek-antek Orde Barunya. Sang penulis, B. Wiwoho, memilih analogi
   tipu muslihat Mahapatih Gadjah Mada di zaman Majapahit ketika
   mengembalikan tahta Jayanegara. Mundurnya Soeharto, dalam kacamata
   Wiwoho, tak lebih dari suksesi yang sengaja disarukan. Dengan
   pengandaian kembalinya tahta Jayanegara, rezim Soeharto bisa kembali
   menancapkan kukunya melalui Golongan Karya sebagai alatnya. Dan pada
   gilirannya, kaum reformis akan kembali diberangus.
   
   Sedangkan buku karya dua wartawan, Yop Pandie dan H. Sakimin
   Kartoredjo, berjudul Pesta Pora Rezim Soeharto: Rekaman Dokumentasi
   Media, menegaskan bahwa rezim Soeharto masih berlanjut. Habibie
   sebagai pemegang tongkat estafet Soeharto memang dinilai lebih
   egaliter. Dibuktikannya dengan gebrakan pembebasan tahanan politik,
   pengenduran atas kebebasan pers, dan pencabutan Daerah Operasi
   Militer. Tapi disebut-sebut pula rancangan ketetapan tentang
   pemeriksaan terhadap Soeharto yang kandas dalam rapat pleno Badan
   Pekerja MPR.
   
   Dibandingkan dengan buku Julius Pour yang bersifat deskriptif, buku
   yang diterbitkan Kelompok Editor lebih condong ke analisis dan opini.
   "Sayang, sebagian besar buku yang terbit itu lebih banyak bekutat
   dengan masa lalu, dan sangat sedikit yang memberikan analisis ke masa
   depan," kata Prof. Dr. Ichlasul Amal, Rektor Universitas Gadjah Mada,
   yang didaulat sebagai tukang bedah buku Kelompok Editor.
   
   J. Eko Setyo Utomo
   
                                         

----- End of forwarded message from apakabar@access.digex.net -----

Senin, 08 Juni 2015

KESIMPULAN TAFSIR SULUK KIDUNG KAWEDAR




Tatkala agama Islam mulai gencar didakwahkan pada abad XV – XVI, pulau Jawa yang masih banyak hutan belantara dan semak belukarnya, bukanlah negeri jahiliyah yang rendah peradabannya. Di balik dan di antara hutan-hutan belantara tersebut, terdapat sejumlah monumen-monumen bukti pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah.

Di bidang pelayaran dan perdagangan, berbagai sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Pustaka Ilman, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012,  menyatakan pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad keiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.

ukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa” ini berlayar  ke Afrika dengan selamat  dan kini disimpan di Musium Kapal Samudraraksa di Borobudur (http://www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur-Dapat-Memberdayakan-Budaya  dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/kapal-kapal-sriwijaya.html ).  Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”,  diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010. (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).

Pencatat sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.

Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).

Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).

Pun demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI itu. Pamor Kerajaan Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, sedang memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.

Sejarah panjang peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulisnya bisa dilihat antara lain di buku Atlas Walisongo.
Dalam halaman 374 buku tadi bahkan digambarkan secara ekstrem kesombongan orang Jawa Majapahit. Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum balatentara Demak menyerbu  Girindrawardhana di Majapahit, mencatat antara lain sebagai berikut:
“Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya sehingga Malaka, Aceh dan semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu memandang orang bukan Jawa lebih rendah.”

Bersamaan dengan masa peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit yang memudar ke Kadipaten Demak yang semakin membesar, berlangsung pula suasana peralihan di bidang keagamaan dan kepercayaan. Pada masa kejayaan Majapahit, masyarakat menganut agama Hinddu yang mengutamakan pemujaan pada Dewa Syiwa serta agama Buddha. Kedua agama tadi berjalan seiring dengan kepercayaan masyarakat terhadap ruh-ruh halus. Mereka juga sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengkaitkan hampir semua aspek kehidupan dengan hal tersebut.

Dalam suasana kehidupan yang seperti itulah agama Islam yang sudah bersemi di pusat kerajaan Majapahit, semakin disebarkan secara meluas oleh para ulama, yang kemudian dikenal sebagai para wali dan diberi sebutan atau nama panggilan Sunan. Dua dari para wali itu adalah Sunan Bonang dan muridnya yaitu Sunan Kalijaga, dikenang masyarakat sampai sekarang karena jago  berdakwah dengan menggunakan media kesenian, terutama berupa musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa.

Para ulama mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara menembang, bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.

Dengan memanfaatkan serta mengembangkan kesenian Jawa yang ada, disertai berbagai contoh perikehidupan sehari-hari yang menarik, mereka menyusup halus secara bijak dalam kehidupan masyarakat luas, mempengaruhi, menggeser setapak demi setapak atau membungkus selapis demi selapis agama, kepercayaan dan adat istiadat lama.

Salah satu dari sejumlah tembang yang dipercaya masyarakat sebagai ciptaan para wali, adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam, yang dikenal dengan tiga nama yaitu Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi atau juga Kidung Sariro Ayu.

Kepada masyarakat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis tadi, Sunan Kalijaga menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama dhandanggula yang bernuansa meditatif-kontemplatif, yang dikemas bagaikan sebuah mantera sakti guna mengatasi segala problem kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dengan kesenian dan tembang-tembang itu, Islam diperkenalkan bukan sebagai suatu gerakan yang agresif mengobarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Islam sesuai dengan arti katanya, adalah suatu agama yang penuh dengan penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang justru berusaha menyelamatkan manusia dengan perilaku silm atau salam atau damai. Islam diturunkan guna menebarkan cinta dan kasih sayang, menggalang perdamaian serta kesejahteraan, bukan untuk perang dan mengalirkan darah.

Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nahl (16) ayat 125: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.”  Sungguh luas kandungan ayat ini. Sangat mulai nilainya namun sering dilupakan. Bersama beberapa ayat yang lain, ayat ini menunjukkan bahwa Islam menghormati sepenuhnya kemerdakaan berpendapat dan berkepercayaan.
Gusti Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 256 : “Tiada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dibanding jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada yang disembah selain Allah dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat, yang tidak akan putus.”

Lebih jauh ditegaskan dalam Surat Yunus (10) ayat 99 : “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya semuanya menjadi orang-orang yang beriman?”.  Kemudian Al Kafirun (109) ayat 6 : “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Demikianlah, sudah barang tentu dengan karomah, wibawa serta keteladanan perilaku dan kehidupannya yang baik, Sunan Kalijaga meyakinkan masyarakat akan fadilah dan keutamaan Kidung Kawedar, yang sesungguhnya tiada lain adalah sebuah kidung dakwah.

Yang menarik dari urutan kandungan isi Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan Rukun Islam khususnya syahadat dan shalat, melainkan dengan memperkenalkan terlebih dulu tokoh-tokoh panutan di dalam Islam serta beberapa istilah penting. Sesudah itu menyusup masuk ke dalam filosofi kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan itu pengenalan terhadap tokoh-tokoh panutan terus ditambah. Selanjutnya barulah diperkenalkan Rukun Iman, Rukun Islam dan pokok-pokok ajaran tasawuf dengan kebiasaan berzikirnya.

Menjadi pelajaran berharga bagi kita generasi sekarang dan mendatang, keberhasilan para ulama abad XV – XVI dalam mengislamkan pulau Jawa, demikian pula nampaknya ulama-ulama lain di Nusantara, bukanlah dengan membongkar total sekaligus ataupun menendang agama, kepercayaan, adat istiadat lama apalagi budaya dan kearifan lokal, tetapi dengan secara bijak menyusup halus, menggeser setapak demi setapak  dan membungkus selapis demi selapis dengan agama dan tata nilai baru. Hal itu bisa kita lihat dari adat budaya berbagai suku di Nusantara yang beragama Islam, yang tidak dijumpai dalam adat budaya bangsa-bangsa Arab, misalkan upacara adat tepung tawar di Aceh dan Melayu, serta persembahan kapur sirih yang dilakukan oleh suku-suku lain.

Tak pelak lagi, para wali yang berdakwah di Nusantara sangat menghayati hakikat dari Surat Al Hujuraat (49) ayat 13 : “ Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Jelas bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak menciptakan umat manusia sejagat raya hanya menjadi satu suku, satu bangsa dan satu agama, melainkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tentu saja dengan adat budaya masing-masing sebagai ciri sesuatu suku atau pun sesuatu bangsa.

Kembali kepada keberhasilan dakwah para ulama dalam mengislamkan Nusantara khususnya Jawa, tentu tiada gading yang tak retak. Tiada sesuatu yang langsung sempurna paripurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan. Bahkan bila perlu melakukan pembaharuan-pembaharuan dengan cara yang bijaksana dan lebih baik pula.

Allaahumma aamiin.