Rabu, 21 Agustus 2019

PANCASILA JATIDIRI BANGSA: Pancasila Harus Kembali Masuk ke Batang Tubuh UUD.

Pancasila Harus Kembali Masuk  ke Batang Tubuh UUD.



Buku Pancasila Jatidiri Bangsa yang ditulis oleh sejumlah ahli yang kompeten dan berpengalaman, diluncurkan Kamis 15 Agustus  2019 di Gedung Pembelajaran Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, oleh Dekan Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada Dr.Eko Suwardi.

Buku ini membahas tentang upaya mengaktualisasi serta mengimplemantisikan  Pancasila yang merupakan jatidiri bangsa,  dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian terlebih dulu harus diperjuangkan agar Pancasila kembali masuk ke Undang-Undang Dasar (UUD) serta dijabarkan secara jelas di dalam pasal-pasal di batangtubuh UUD.

Sebagaimana sudah menjadi pembicaraan meluas antara lain dibahas dalam acara Bedah Buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM di Balai Senat UGM tanggal 13 Maret 2019, Pancasila di dalam UUD yang berlaku sekarang sebagai hasil Amandemen tahun 2002, hanya merupakan semangat atau ruh di dalam Pembukaan UUD, yang tidakdijabarkan lebih lanjut di dalam pasal-pasal di batang tubuh, bahkan beberapa pasal bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.

Buku Pancasila Jatidiri Bangsa  ini juga memuat pandangan-pandangan yang yang muncul di acara bedah buku dan yang berkembang sesudahnya, baik yang disampaikan secara langsung maupun yang dalam bentuk makalah tertulis dan catatan.

Disunting oleh Guru Besar UGM Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dibantu wartawan/penulis sekaligus aktivis B.Wiwoho, buku ini memuat pandangan-pandanga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Prof.Dr.Kaelan, Prof.Dr.Sudjito Atmoredjo, Dr.Arqom Kuswanjono, purnawirawan TNI/Polri Jenderal Widjojo Soejono, Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, Letjen Sayidiman Suryohadiprojo, Mayjen Prijanto, Irjen Pol Taufieqoerachman Ruky, aktivis legendaris Hariman Siregar dan Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat sendiri.

Diluncurkan dalam rangka memperingati 74 tahun Kemerdekaan Indonesia, buku mengajak kita semua menyegarkan ingatan akan  semangat dan cita-cita yang melatarbelakangi Proklamasi Kemerdekaan kita yakni:
  1. Rakyat Indonesia yang multi etnis-agama-golongan, hidup secara harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
  2. Rakyatnya cerdas, berjatidiri, berbudaya dan berakhlak mulia.
  3. Tatatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan berkeadilan hukum secara taat asas.
  4. Tatanan politiknya menjunjung tinggi sistem perwakilan dan permusyawaratan yang antara lain dengan terwakilinya suku/etnis, adat-budaya, golongan dan agama yang ada di Indonesia dalam lembaga legislatif/perwakilan rakyat.
  5. Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.
Semua semangat dan cita-cita kemerdekaan tersebut pada 18 Agustus 1945 telah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berlandaskan pada Pancasila. Oleh Bung Karno Pancasila diperas menjadi Trisakti yakni (1) Berdaulat di bidang politik (2) Berdikari di bidang ekonomi (3) Berkepribadian di bidang kebudayaan. Ketiganya diperas lagi menjadi gotongroyong.

Bagaimana keadaan Indonesia setelah 74 merdeka? Indonesia tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam tata hubungan dan pergaulan antar bangsa yang sangat dipengaruhi oleh globalisasi yang bertumpu pada kekuatan modal dan tekonologi super canggih, yang terus berkembang pesat sebagaimana halnya dengan revolusi digital sekarang ini. Globalisasi mempengaruhi Negara-Negara Bangsa yang ada termasuk Indonesia, yang dapat mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menganut (a) sistem pasar bebas; (b) sistem sosial politik demokratis yang individualistik; (c) sistem sosial budaya yang lepas bebas.

Dampak ketiga sistem yang bisa memicu krisis kehidupan tersebut,  menukik ke Trisakti Bung Karno, dan sudah mulai kita saksikan dan rasakan pada individu-individu masyarakat yang hedonis-individualis, pragmatis –materialis  serta narsis, dengan praktek-praktek ekonomi konglomerasi dan oligarkis serta sistem politik yang juga individualistik, semuanya  bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan keagamaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menganut asas gotongroyong dan kekeluargaan dalam masyarakat-masyarakat adat Nusantaranya, melalui musyawarah mufakat dalam mewujudkan kehidupan bersama yang rahmatan lil alamin, yang hamemayu hayuning bawono  atau  menjaga hubungan nan serasi timbal balik antara manusia – alam semesta dengan segenap isinya dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan dasar kedua sila tersebut manusia Indonesia diharapkan bisa mewujudkan kehidupan masyarakat yang kokoh bersatu, yang menghayati prinsip kemanusiaan dalam perikehidupan bersama, dalam tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial tinggi.

Menyikapi situasi dan kondisi yang seperti itu, Sri Sultan Hamengkubuwono  X mengharapkan kepada para ahli filsafat dan hukum ketatanegaraan untuk dapat menunjukkan “jalan selamat” yang bisa mengakomodasi aspirasi semua elemen bangsa melalui proses take and give  yang elegan, sehingga nilai-nilai Pancasila secara eksplisit tertuang dalam pasal-pasal UUD 1945 yang disempurnakan.

Upaya kembali ke UUD 1945  diharapkan tidak hanya guna Meneguhkan  Kembali Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa, tetapi juga benar-benar menjadi kaidah penuntun, sekaligus motor penggerak bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah peradaban baru Great Indonesia   yang lebih baik dan bermartabat di mata dunia.

Bedah Buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945, diharapkan pula  oleh Ngarso Dalem bisa menjadi pancadan dasar pemantapan nilai-nilai Pancasila sebagai Ruh Nilai ke-UGM, sehingga UGM dapat mengadakan bentuk-bentuk sebagai aktualisasi misi UGM sebagai Universitas Pancasila.
Prof.Kaelan, Prof.Soedjito, Dr.Arqom , aktivis Hariman Siregar dan para Jenderal Purnawirawan TNI/Polri – Widjojo Soejono, Agustadi, Taufieq Ruky dan Prijanto – dalam kapasitas keilmuan dan pengalaman panjang masing-masing, dalam buku ini menyoroti berbagai kelemahan dan hal buruk yang timbul akibat perubahan UUD 1945 Asli yang tidak sesuai dengan Pancasila tersebut, dan sama-sama menyerukan agar kita kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 Asli, untuk selanjutnya disempurnakan mengantisipasi perkembangan zaman dengan cara adendum. Sedangkan Jenderal Sayidiman yang dikenal sebagai cendekiawan TNI dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (1974 – 1978), menggambarkan mengenai masyarakat Pancasila yang kita cita-citakan dan bagaimana kita harus membangunnya.

Prof.Gunawan  Sumodiningrat sementara itu memaparkan bagaimana upaya kita bangsa Indonesia pada umumnya dan civitas akademika UGM pada khususnya, untuk mengaktualisasi dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan nyata, dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Melalui program-program Kuliah Kerja Nyata, Guru Besar Membangun Desa,  dan berbagai program kegiatan serta jaringan alumninya, diharapkan bisa dilakukan gerakan  pembangunan desa-desa yang berwawasan kebangsaan, yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari.

Ketidaksesuaian UUD 1945 hasil Amandemen dengan nilai-nilai Pancasila adalah kesalahan besar. Oleh karena itu demi menyelamatkan masa depan Indonesia, diperlukan upaya legal konstitusional untuk mengembalikan keadaan. Indonesia harus kembali kepada ideologi sendiri, yaitu Pancasila. Demikian Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono dan Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo.

Hadir dalam peluncuran ini antara lain sejumlah guru besar UGM, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruky, kedua penyunting dan puluhan Kepala Desa di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. *****

Yogyakarta, Kamis 15 Agustus 2019

Senin, 12 Agustus 2019

MENGAPA KITA HARUS KEMBALI KE PANCASILA & UUD 1945.

Lima ratusan tokoh masyarakat yang terdiri dari para Purnawirawan Perwira Tinggi TNI – Polri, cendekiawan, aktivis organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa, hari Rabu 6 Februari 2019 menemui Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna menyampaikan aspirasi dan menyerukan agar Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk diadendum, serta menetapkan Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum secara jelas di dalam UUD 1945 yang diadendum tersebut. Mereka diterima oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan di ruang Nusantara IV Gedung MPR.

Dengan tema pertemuan “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945”, delegasi besar ratusan tokoh masyarakat yang diprakarsai oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia itu, menyerahkan rumusan hasil kajian dan dokumentasi yang dituangkan ke dalam 3 (tiga) buku. Pertama “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disertai Adendum” yang disusun oleh suatu tim terdiri dari 25 orang antara lain terdapat beberapa mantan Kepala Staf Angkatan. Kedua “Bangkit  Bergerak Berubah Atau Punah” yang merupakan perkiraan keadaan dan ajakan untuk mengantisipasinya, yang ditulis oleh sejumlah pengamat dan dirangkum oleh Mayjen Purn Prijanto. Ketiga, “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945”, yang merupakan kumpulan kajian, tulisan  dan pendapat dari sejumpah negarawan senior bahkan sangat sepuh antara lain Sayidiman Suryohadiprojo (92 th) dan Widjojo Soejono (91 th), para aktivis dan  pakar hukum tata negara serta catatan perjuangan berbagai organisasi masyarakat dan kampus dalam memperjuangan agar kita kembali ke Pancasila dan UUD 1945.

Buku ketiga setebal 388 halaman ini dihimpun oleh aktivis dan wartawan senior B.Wiwoho.
Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) adalah suatu Gerakan Moral dan Intelektual yang dicanangkan pada 7 Januari 2018, dengan visi Indonesia Yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Aman, Tentram, Adil dan Makmur. Demi mewujudkan visi tersebut GKI mencanangkan salah satu misinya “Mengedukasi dan mengajak Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan.”

Bertindak sebagai juru bicara delegasi yaitu Mayjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2003 -2007, Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo – Kepala Staf Angkatan Darat tahun 2007 – 2009, aktivis pejuang Hariman Siregar, pakar hukum tata negara Dr.Soetanto Soepiadhy SH.MH. serta mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat yang juga Wakil Gubernur DKI Jaya Mayjen TNI (Purn) Prijanto.

Negara Hanya Akan Dikuasai Kaum Pemodal.
Para jurubicara, sebagaimana juga mereka kemukakan di dalam buku, berbicara blak-blakan, sangat terbuka dan terang-terangan sebagaimana pula dirasakan dan dibicarakan masyarakat luas mengenai berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk perkiraan keadaan yang akan timbul apabila demokrasi yang berdasarkan individualisme dan liberalisme, terus diberlakukan.
Demokrasi seperti itu menurut Taufiequrachman Ruky melahirkan pertarungan yang liar dan keras, yang hanya akan melahirkan segelintir elit penguasa. Demokrasi seperti yang sekarang berlaku adalah demokrasi berbiaya tinggi yang membuat uang menjadi sangat berkuasa. Artinya orang kaya, kaum pemodal dan kapitalislah yang akan menguasai partai-partai politik dan bukan rakyat, dan selanjutnya mereka  akan menguasai bangsa dan negara Indonesia.

Tentang Pancasila, Taufieq Ruky menyatakan, belakangan banyak beredar slogan dan ungkapan “Aku Pancasila” serta tuduhan terhadap kelompok lainnya sebagai  tidak paham Pancasila bahkan anti Pancasila, anti NKRI. “Pancasila yang mana yang mereka maksudkan? Pahamkah mereka yang mengaku Pancasilais, bahwa Pancasila yang digagas Bapak Bangsa Kita Bung Karno, dan dikukuhkan secara resmi sebagai Dasar Negara dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, semenjak tahun 2002 sudah tidak lagi menjadi Dasar Falsafah Negara dan tidak lagi menjadi sumber kebijaksan bagi penyelenggaraan Pemerintahan serta pengelolaan negara?”

Jenderal (Purn) Agustadi oleh karena itu menyatakan, Pancasila sebagai dasar negara perlu dirumuskan dalam batang tubuh UUD. Di dalam Pembukaan UUD, susunan Negara memang disebutkan terdiri dari lima dasar, tetapi belum diberi nama Pancasila. Karenanya penegasan  nama Pancasila sebagai Dasar Negara itu perlu disebutkan di salah satu pasal dalam batang tubuh.
Mengenai sistem Pemilu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat yang juga pernah menjadi anggota DPR/MPR selama tujuh tahun ini  menyarankan agar disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni sistem perwakilan sebagaimana dalam sila keempat. Pemilu ditujukan hanya untuk memilih anggota DPR dan DPR-Daerah, sedangkan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh MPR, DPRD Propinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Tokoh aktivis yang juga merupakan salah satu tokoh Gerakan Reformasi 1998 Hariman Siregar menyoroti reformasi yang telah di bajak menuju pembusukan politik dan ekonomi. Pembusukan politik merupakan persoalan kompleks  bernuansa patologis dalam dinamika kehidupan bernegara akibat merapuhnya  institusi-institusi demokrasi oleh banalitas politisi. Realitas sosial yang centang-perentang dan krisis  moral di ruang publik adalah penyebab paling menentukan timbulnya  pembusukan politik.

Pada hematnya, sejarah reformasi yang menjadi penerobos kebuntuan dan antitesa dari segala kerusakan di masa sebelumnya, memakan dirinya sendiri, dilumat kembali oleh krisis politik dan moral. Tak berjalannya kanal-kanal  demokrasi dan terciduknya pemimpin lembaga tinggi negara serta para kepala daerah oleh Komisi Pemberanasan Korupsi, menandai rusaknya sistem politik-kenegaraan.

Reformasi yang kita mau adalah reformasi yang tidak sekedar pemilu lima tahunan, melainkan berfungsinya pilar-pilar penyangga demokrasi yakni penegakkan hukum yang adil, partai politik yang modern, pers yang sehat dan masyarakat sipil yang konsisten, yang semuanya membawa pada perbaikan taraf hidup rakyat.

Namun Hariman Siregar menyayangkan, reformasi yang kemudian mengasilkan Amandemen UUD, kental nuansa liberalismenya dan tercerabut dari akar budaya bangsa. Amandemen UUD membuat rakyat terpecah belah dan sekaligus produk yang membuat orang asal ngomong, bohong, fitnah, adu domba dan sombong. Prinsipnya bikin gesekan sosial. Pemilihan capre cawapres saja, patut dinilai tidak sehat, transkasional, jegal-menjegal yang penuh dengan nafsu haus kekuasaan.

Pakar hukum tatanegara yang khusus datang dari Surabaya, Dr.Soetanto Soepiadhy SH.MH sementara itu menilai, perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya penyimpangan ketatanegaraan dan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat, serta penyimpangan terhadap cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu bisa memicu konflik baik horizontal maupun vertikal, dan solusi untuk mencegahnya adalah dengan kembali ke UUD 1945.

Tulisan dan pandangan tokoh-tokoh dalam 3 (tiga) buku tersebut yaitu (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Diserai Adendum; (2) Bangkit Bergerak Berubah aatau Punah dan (3) Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 sangat jelas, lugas dan tanpa tedeng aling-aling lagi mengupas keadaan sekarang kajian perkiraan keadaan ke masa depan.  Sepanjang kegiatan  mengkritisi UUD Amandemen semenjak awal 2000-an, baru kali ini tokoh-tokoh masyarakat tersebut bicara sekeras dan seterbuka seperti itu secara tertulis,  baik tentang orang-orang munafik yang sekarang sok Pancasilais sampai pada gambaran bahaya yang akan segera timbul jika UUD Amandemen terus dijalankan khususnya dalam Pemilihan Umum.                       

Oleh sebab itu para tokoh mengusulkan:                                                                                      
1). Jangan gunakan istilah UUD 1945 untuk UUD yang diamandemen, tetapi gunakan istilah UUD 2002.                                                                                                                                
2). Pancasila tidak ada di dalam UUD 2002. Bahkan pasal-pasal dalam batangtubuhnya bertentangan dengan sila-sila sebagaimana yang menjiwai serta dituangkan dalam Pembukaan UUD.                                                                                                                               
3). Karena itu Pancasila harus dirumuskan dan dijabarkan secara tegas di dalam pasal-pasal dalam batang tubuh UUD, dan untuk itu UUD 2002 harus dibatalkan dan dikembalikan ke UUD 1945 untuk selanjutnya diadendum secara cermat, seksama dan hati-hati, demi mengantisipasi perkembangan zaman sekaligus  menjabarkan dan mengamalkan Pancasila secara operasional di dalam UUD.

Alhamdulillah buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 ini memperoleh sambutan dari masyarakat yang luar biasa, sehingga setelah peluncuran di Gedung MPR disusul dua kali dilakukan bedah buku  yakni 15 Februari 2019 di Jakarta Theatre untuk para aktivis dengan hadiran lebih 600 orang dan 13 Maret 2019 bedah buku oleh Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM dengan hadiran memenuhi ruangan yang berkapasitas lebih 300 orang