Senin, 07 Oktober 2019

Ans Gregory, Rasa Ingin Tahunya Besar, Kemauannya Keras.


Hanya sebulan-dua bulan setelah Peristiwa 15 Januari 1974, kantor Harian Suara Karya pindah dari satu kawasan yang dikenal sebagai Komplek Operasi Khusus (Opsus), yang membentang di sepanjang Jalan Tanah Abang III dari no 17 sampai dengan 27, Jakarta Pusat ke Kebayoran Baru di Jakarta Selatan. Di kawasan Tanah Abang III ini berkantor antara lain Kolonel Sugiyanto, Mayor Surojo, Bucuk Suharto dan Koordinator Artis  Safari di no 19,  Kolonel Pitut Suharto di no 23 Pavilion dan pak Ali Murtopo sebagai Komandan Opsus merangkap Deputy, kemudian naik menjadi Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara di no 25 dan 25A.

Beberapa staf bujangan dari kantor-kantor tersebut termasuk saya, mendapat fasilitas kamar di mes no 23, sebuah rumah besar dengan tiga unit bangunan, yaitu rumah induk, pavilion yang juga cukup besar dan memanjang di samping kanan bangunan induk serta satu bangunan panjang lagi di belakang, yang posisinya membentang selebar kaveling no 23. Di mes ini sering menginap tamu dari berbagai daerah seperti Danu Muhammad Hasan, Hermenegildo Martins dan Jose Fernando Soares. Kedua nama terakhir adalah Wakil Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Apodeti Timor Timur. Sementara kamar paling depan dipakai untuk praktek pribadi dokter Kepresidenan, Brigjen Dr.BRM.Marjono. 

Tatkala harus pindah kantor ke Gedung AKA di Jalan Bangka, Kebayoran Baru, karena ingin tetap tinggal di rumah yang berdekatan dengan kantor, beberapa wartawan yang masih bujangan sepakat untuk bersama-sama menyewa rumah yang untuk ke kantor cukup enak dengan berjalan kaki. Akhirnya kami berlima yakni R.Haryoseputro (Redaktur Pelaksana), Yop Pandie (Redaktur Features dan Luar Negeri), B.Wiwoho (Redaktur Ekonomi, Ilmu dan Teknologi merangkap wartawan Istana/Kepresidenan), Karni Ilyas (wartawan bidang hukum) dan Ansel da Lopez (wartawan bidang Pertahanan dan Keamanan), menyewa rumah di Gang Rengas, diseberang Gedung AKA arah jalan Tendean. Di antara kami berlima itu, hanya mas Haryo, demikian kami biasa memanggil, yang sudah menikah, dan mbak Lies isterinya tinggal di Bandung.
Sekitar setahun kami tinggal di Rengas, Bu Yop (panggilan akrab untuk Bung Yop Pandie) merekrut tenaga penerjemah, seorang anak muda dari Flores bernama Ans Gregory da Iry. Entah siapa yang mengajaknya, selang beberapa minggu kawan muda ini sudah bergabung tinggal serumah dengan kami. Jadilah kami bertujuh dalam satu rumah, enam wartawan dan seorang bibi yang mengurus rumahtangga, yang nyaris hanya berjumpa di pagi hari dan waktu makan siang. Selebihnya kami jarang di rumah, entah karena pergi bertugas, melobi sumber berita atau ramai-ramai makan malam di luar nyambung nonton film atau nongkrong di klub malam.

Menjadi wartawan Suara Karya di kala itu tidak sederhana. Secara umum para  wartawan di negara berkembang seperti Indonesia adalah menjalankan perannya selaku penggali dan penyebar informasi sebagaimana layaknya wartawan-wartawan di negara maju, dan bersamaan dengan itu juga harus dengan sadar berusaha meluaskan batas-batas kebebasan. Tetapi peran dan tugas wartawan Suara Karya sebagai wartawan dari media masa organisasi politik Golkar (Golongan Karya) lebih dari itu, lantaran ditambah beban menyukseskan dan mengamankan tugas Golkar sebagai partai/golongan yang menguasai pemerintahan. Untuk itu kami bukan hanya dituntut profesional, melainkan harus juga memiliki kelihaian, cakrawala pandangan yang jauh membentang sekaligus kearifan.

Hal itu hampir tidak pernah luput dari pembicaraan kami, baik apabila sedang makan malam di luar atau bahkan jika ada yang penting, tetap dibicarakan di tengah hingar bingar suara musik yang keras, dan lebih-lebih jika sedang malas keluar malam. Di kalangan wartawan Suara Karya, kami berlima (belum termasuk saudara Ans Gregory), sudah dikenal sebagai “wartawan tembus tembok” di bidang tugas kami masing-masing. Suatu hal yang langka waktu itu, bagi kami sangat mudah menemui atau menelpon langsung sumber-sumber berita termasuk pejabat setingkat menteri, tokoh penting atapun pengusaha besar. Tidak jarang kami melakukan liputan-liputan investigasi yang mengkritik keras kebijakan Pemerintah, dengan  teknis penyajian yang membuat Pemerintah terpaksa harus menerima kenyataan dan kemudian melakukan koreksi, tanpa bisa marah dan menindak kami.

Geng Rengas, adalah Geng Pasukan Khusus Suara Karya yang diakui bukan hanya oleh Suara Karya, tetapi juga oleh teman-teman media lain. Kami sungguh bekerja tanpa mengenal waktu, dan setiap saat siap menyajikan berita-berita ekslusif apabila tidak ada acara atau peristiwa yang liputannya layak dijadikan berita utama halaman depan surat kabar. Di belakang hari kami bertiga (Karni Ilyas, Ansel da Lopez dan B.Wiwoho) mengundurkan diri dari Suara Karya, karena merasa bagaikan anak muda yang ingin keluar dari rumah guna mencari lapangan permainan yang lebih luas dan menantang.
Di dalam lingkup pergaulan serta lingkungan kerja yang seperti itulah, saudara Ans Gregory tumbuh mengawali karier wartawannya di belantara ibukota Republik Indonesia. Saya melihat, saudara saya Ans Gregory ini merupakan anak muda yang rasa ingin tahunya besar, dan kemauannya keras. Dan seperti kami bertiga, akhirnya ia pun mengundurkan diri dari Suara Karya demi mencari dan membangun lapangan permainan yang lebih besar dan lebih menantang. Semua itu dipaparkan dengan sangat menarik, sangat apik dalam otobiografinya ini.

Wartawan pasti bisa menulis berita. Namun tidak banyak yang bisa menulis feature dan liputan investigasi. Lebih-lebih lagi, sangat sedikit wartawan yang bisa menulis buku. Berita feature adalah laporan peliputan dengan gaya bahasa yang santai, yang bersifat informatif, mendidik, menghibur dan menggugah simpati. Saudara Ans Gregory, bersyukur termasuk golongan yang mampu menulis sejumlah buku.

Di dalam otobiofrafinya ini, ia tidak sekedar menuangkan perjuangannya dari anak desa di pelosok timur negeri, sampai menjadi orang yang sukses di ibukota negara, tetapi juga menuangkan kisah-kisah tentang sejumlah langkah dan sebagian kebijakan Pemerintah Orde Baru. Dari sini kita bisa banyak belajar, apa yang baik untuk ditiru dan apa yang jangan ditiru. Saya berharap banyak sahabat-sahabat wartawan yang minimal di hari tuanya menulis buku, sehingga dapat menjadi salah satu sumber informasi sejarah bangsa Indonesia. Mari, jangan biarkan diri kita hanya pandai bertutur, mengulang-ulang bagai orang pikun sehingga membosankan anak cucu dan handai tolan, tetapi menulislah. Semoga, dan selamat untuk saudaraku Ans Gregory dan Iry.


INFO BUKU : PENERBIT BAJAWA PRESS, Yogyakarta, Juli 2019. 15 x 23 CM, 424 halaman.

Rabu, 02 Oktober 2019

REKONSILIASI NASIONAL, MULAI DARI MANA?



Upaya-upaya rekonsiliasi pasca Pilpres, berlangsung dan mulai muncul ke permukaan sejak “Pertemuan MRT” antara Capres Jokowi dengan Capres Prabowo Sabtu 13 Juli 2019, yang dilanjutkan dengan makan siang “disate” Senayan  berlatar belakang “jejer wayang dengan Gunungan di tengah, Punakawan Golongan Hitam – Togog, Bilung plus raksasa di kiri, serta Punakawan Golongan Putih – Semar, Gareng, Petruk dan Bagong di sebelah kanan. Pada hari yang sama, Cawapres Sandiaga Uno juga berjumpa dengan Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi – Eric Tohir.
Pertemuan berikutnya berlangsung pada hari Rabu 24 Juli 2019 antara Prabowo dengan Megawati Sukarnoputri yang didamping Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, serta dua orang putra Megawati yaitu Prananda dan Puan Maharani dengan menu yang disiapkan khusus oleh Bu Mega yakni nasi plus lauk yang “digoreng” bersama “bawang” alias nasi goreng. Makan siang di ruang makan dengan hiasan lukisan Onta, dilanjutkan pertemuan dengan latar belakang “rono” atau penyekat ruangan berukiran seperti kaligrafi  dan vas bunga seperti bunga plastik.
Pada saat yang sama tokoh Partai Nasdem Surya Paloh juga makan siang dengan Gubernur Jakarta Anis Baswedan. Dari pertemuan ini keluar isyu Surya Paloh menjagokan Anis untuk Capres 2024. Sebuah rangkaian pertemuan yang bisa multi tafsir dan penuh simbol, namun diharapkan bisa menjadi bibit-bibit  rekonsiliasi atau rujuk nasional. Mungkinkah?
Pilpres yang berlangsung pada 17 April 2019, telah menghadirkan banyak peristiwa yang perlu dicermati secara seksama, terutama potensi-potensi negatif agar kita dengan cepat bisa membuat antisipasi untuk mengatasinya. Yang paling memprihatinkan adalah data-data formulir C-1 yang mengindikasikan di daerah-daerah pemukiman dengan mayoritas Suku-Agama-Ras dan Antargolongan(SARA) tertentu, mayoritas atau secara mutlak memilih Capres tertentu. Demikian pula propinsi dengan suku tertentu  atau mayoritas agama tertentu memilih Capres tertentu.
Fakta tersebut sangat memprihatinkan mengingat tidak hanya terjadi di satu dua komunitas pemukiman dan di satu dua propinsi, melainkan di sejumlah pemukiman dan propinsi, yang apabila tidak cepat diantisipasi dan distop, niscaya bisa membuat bangsa dan negara ini terbelah. Sebaliknya bila kita dengan segera mengatasi maka data-data Pilpres tersebut akan memberikan hikmah besar.
Hal lain yang juga tak kalah menarik adalah beberapa indikasi yang menunjukkan adanya embrio ataupun bibit-bibit gerakan rakyat, yang ditunjukkan oleh keikutsertaan masyarakat dalam kampanye-kampanye dengan mengeluarkan biaya pribadi masing-masing, bahkan dengan rela berbagi kepada peserta kampanye yang lain.
Gerakan Rakyat tanpa kekerasan, sangat terkenal ke seantero dunia tatkala tumbuh dan kemudian menggulingkan Presiden Philipina  Ferdinand Marcos tahun 1986. Ciri-ciri kebangkitan gerakan rakyat selanjutnya yang dikenal sebagai Populisme, dikemukakan oleh Dr.Christa Deiwiks dari International Conflict Research, Zurich tahun 2009.
Momentum di suatu negara dan pemerintahan yang bisa memicu bangkitnya Gerakan Populisme, menurut dia ada tiga. Pertama, situasi krisis sosial dan ekonomi termasuk penguasaan ekonomi oleh asing, yang dapat menimbulkan penyebab kedua, yakni kesenjangan ekonomi. Ketiga, kritik tajam terhadap demokrasi dan para elite, terutama jika dinilai cenderung menjadi alat politik oligarki dan melahirkan komprador yang anti rakyat serta mengutamakan kepentingannya sendiri.
Apakah tiga penyebab Gerakan Rakyat itu bisa atau telah merembes ke Indonesia? Mari kita coba kaji dengan menyegarkan kembali ingatan akan  semangat dan cita-cita yang melatarbelakangi Proklamasi Kemerdekaan kita yakni:
1. Rakyat Indonesia yang multi etnis-agama-golongan, hidup secara harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
2. Rakyatnya cerdas, berjatidiri, berbudaya dan berakhlak mulia.
3. Tatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan berkeadilan hukum secara taat azas.
4. Tatanan politiknya menjunjung tinggi sistem  perwakilan dan permusyawaratan yang antara lain dengan terwakilinya  suku/etnis, adat-budaya, golongan dan agama yang ada di Indonesia dalam lembaga legislatif/perwakilan rakyat.
5. Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.
Semua semangat dan cita-cita kemerdekaan tersebut pada 18 Agustus 1945 telah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berlandaskan pada Pancasila.
Bagaimana keadaan Indonesia setelah 74 merdeka sekarang ini?  Indonesia tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam tata hubungan dan pergaulan antar bangsa yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal dan tekonologi super canggih yang terus berkembang pesat, yang menggelorakan gelombang musik jiwa yang mendendangkan : (1) penggalangan alam pikiran agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas; (2) pemujaan pada pesona dunia; (3) kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir. Gelombang musik jiwa tersebut mempengaruhi Negara-Negara Bangsa yang ada termasuk Indonesia, agar menerima serta menghayatinya dengan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menganut (a) sistem pasar bebas; (b) sistem sosial politik demokratis yang individualistik; (c) sistem sosial budaya yang lepas bebas.
Dampak ketiga sistem yang bisa memicu krisis kehidupan tersebut,  sudah mulai kita saksikan dan rasakan pada individu-individu masyarakat yang hedonis-individualis, pragmatis –materialis  serta narsis, dengan praktek-praktek ekonomi konglomerasi dan oligarkis serta sistem politik yang berbiaya tinggi, individualistik, oligarkis dan melahirkan para elit yang cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri.
Semuanya  bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan keagamaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menganut asas gotongroyong dan kekeluargaan dalam masyarakat-masyarakat adat Nusantaranya melalui musyawarah mufakat dalam mewujudkan kehidupan bersama yang rahmatan lil alamin, yang hamemayu hayuning bawono  atau  menjaga hubungan nan serasi timbal balik antara manusia – alam semesta dengan segenap isinya dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan dasar kedua sila tersebut manusia Indonesia diharapkan bisa mewujudkan kehidupan masyarakat yang kokoh bersatu, yang menghayati prinsip kemanusiaan dalam perikehidupan bersama, dalam tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial tinggi.
Dalam sikon bangsa yang cenderung terbelah dan telah mulai melahirkan bibit-bibit gerakan rakyat itulah, rakyat berharap para elit cepat melakukan rekonsiliasi nasional yang dapat merajut kembali persatuan Indonesia. Itu dapat diwujudkan apabila para elit sungguh-sungguh tulus ikhlas dan rela berkorban demi bangsa dan negara, salah satu diantaranya yang sangat mendesak adalah membubarkan para relawan dan buzzer media sosial masing-masing. Jika untuk yang satu ini saja tidak, rasanya mustahil rujuk nasional akan terwujud. Bahkan yang terjadi, pagelaran wayang justru  akan dimulai. Gunungan yang berada di tengah dicabut, Golongan Hitam (kiri) dan Golongan Putih (kanan) akan beraksi, saling tusuk bagaikan sate-menyate dan akan saling menggoreng. Naudzubillah.

(https://panjimasyarakat.com/2019/07/26/rekonsiliasi-nasional-mulai-dari-mana/)