Rabu, 25 Februari 2015

MENGGANTI SESAJI DENGAN SEDEKAH : Tafsir Suluk Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga (17)



Mengganti Sesaji Dengan Sedekah


Bait 44 :

Yen angidung poma den memetri,
memuleya sego golong lima,
takir ponthang wewadhae,
ulam-ulamanipun,
ulam tasik rawa lan kali,
ping pat iwak bengawan,
mawa gantal iku,
rong supit winungkusan,
apan dadi nyawungkus arta sadhuwit,
sawungkuse punika.

Artinya :

Bila mengidung hendaklah dipahami,
muliakanlah (dengan bersedekah) lima nasi bulat (dibentuk seperti bola), ditempatkan dalam takir ponthang (seperti box kardus sekarang tapi terbuat dari daun pisang dengan dihias pita dua warna),
lauk pauknya,
ikan laut-rawa dan dari sungai kecil,
yang keempat ikan dari sungai besar (bengawan),
disertai gulungan daun sirih,
dua jepit dibungkus,
setiap bungkus ada uangnya juga,
itulah isi sebungkusnya.

Bait 45 :

Tumpangena neng ponthangnya sami,
dadya limang wungkus ponthang lima,
simung sekar cepakane,
loro saponthangipun,
kembang boreh dupa ywa lali,
memetri ujubira,
donganira mahmut,
poma dipun lakonana,
saben dina nuju kalahiraneki,
agung sawabe ika.



Artinya :

Taruhlah semuanya di dalam (takir) pontang,
lima bungkus dalam lima takir,
dihiasi bunga cempaka,
dua setiap pontangnya,
jangan lupa bedak basah yang harum bunga,
diniatkan untuk kemuliaan,
dengan doa-doa yang baik (terpuji),
seyogyanya lakukan,
pada setiap hari kelahiran,
akan besar pengaruh manfaatnya.

Bait 46 :

Balik lamun ora den lakoni,
kadangira pan padha ngrencana,
temah ura saciptane,
sasedyanira wurung,
lawan luput pangarah neki,
sakarepira wigar,
gagar datan antuk,
saking kurang temenira,
madhep laku iku den awas den eling,
tamat ingkang kidungan.

Artinya :

Sebaliknya bila tidak dilaksanakan,
saudara-saudaramu (para malaikat) yang bertugas menjaga dan mendampingimu,
tak kan bertugas dengan baik,
akibatnya keinginanmu tak terwujud,
tujuanmu lepas,
cabar dan tak tercapai,
lantaran kurang bersungguh-sungguh (dan kurang tekun),
menghayati (agama) itu harus selalu ingat dan waspada,
tamatlah kidung ini.

Masyarakat Jawa abad XV yang memeluk agama Syiwa-Buddha, yang memuja roh-roh gaib dan roh leluhur, lazim memberikan sesaji berupa bunga, kemenyan, buah-buahan dan telor rebus, kadang-kadang juga segelas kopi pahit, demi memuja dan berkomunikasi dengan sesembahan atau roh gaib yang ditakuti. Sesaji tersebut diletakkan di perempatan dekat rumah, di sudut-sudut rumah, di bawah pohon dan batu besar dan lain-lain. Kepada Dewa pengatur rejeki termasuk pertanian, yaitu Dewi Sri dan Dewa Sadono,  sesaji ditaruh di sudut-sudut pematang sawah atau ladang. Sesaji-sesaji itu tidak boleh dimakan manusia, dan dibiarkan membusuk atau dimakan binatang.

Adat kepercayaan seperti itu tidak langsung dibuang oleh Walisongo yang gencar menyiarkan agama Islam, melainkan disisipi dengan ruh ajaran keislaman. Istilah sesaji diganti menjadi selamatan, dari asal kata islam itu sendiri, yang memang berarti damai dan selamat sejahtera. Niatnya diubah dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa sesambahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini tetangga, kerabat, fakir miskin dan anak-anak yatim piatu. Sesaji kepada Dewa Sri-Sadono diganti menjadi sedekah bumi. Sesaji kepada Dewa Laut diganti menjadi sedekah laut.

Pada masa kanak-kanak tahun 1950-an kami sangat menyenangi acara sedekah bumi tersebut. Dalam acara yang diselenggarakan sehabis musim panen raya, para petani atau pemilik sawah, membawa sebagian hasil bumi dan makanan matang berupa nasi dengan lauk pauk serta kue ke balai desa. Semuanya dikumpulkan, dibacakan tahlil dan doa-doa, kemudian dibagi dan dimakan oleh penduduk desa bersama-sama. Sesudah itu dilanjutkan menonton pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk, dengan cerita khas Islam Jawa antara lain Jamus Kalimasadha (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci dan Petruk Jadi Ratu. Cerita khas ini disebut cerita carangan atau ranting cerita, dan tidak ditemukan dalam babon induk Mahabharata serta Ramayana, karena memang dikarang oleh para wali khusus untuk dakwah agama Islam.

Tentu saja adat kepercayaan memberikan sesaji itu tidak otomatis hilang. Pada masa kanak-kanak, penafsir masih banyak menjumpai sesaji untuk roh gaib dan roh leluhur.  Tetapi lambat laun semakin berkurang, dan sekarang bahkan hampir hilang, meskipun belum sama sekali. Perbedaan pokok antara sesaji dan sedekah adalah pada niat dan peruntukannya, yang bisa dilihat dari jenis-jenis benda sesajiannya. Benda atau materi sesajian pada umumnya bukan makanan pokok yang enak dimakan manusia seperti nasi dengan lauk-pauknya.

Untuk beberapa jenis materi sesajian, meskipun tidak bisa dimakan misalkan bunga, para Wali juga tidak langsung membuangnya, namun dijadikan penghias makanan seperti halnya bunga, irisan buah dan dedaunan yang dijadikan sebagai hiasan pada sajian makanan dan minuman di hotel-hotel berbintang dan restoran mewah.

Tidak jarang jenis-jenis materi sedekah dan hiasannya juga diberi makna. Bunga misalnya dimaksudkan sebagai tamzil bahwa kehidupan itu harus harum bagaikan bunga. Bunga setaman melambangkan hidup damai dengan sesamanya bagai aneka tanaman bunga di dalam satu taman. Bunga pitu atau tujuh jenis bunga, demi menanamkan keyakinan kuat akan mendapat pitulungan atau pertolongan dari Gusti Allah. Boreh atau bedak dingin yang dulu lazim digunakan kaum wanita, dimaksudkan sebagai hadiah sekaligus melambangkan agar di dalam kehidupan, kita selalu menampilkan wajah yang sejuk dan menarik. Dauh sirih, sebagai persembahan kehormatan kepada kaum ibu yang ketika itu pada umumnya menginang, yaitu mengulum tembakau beserta pinang-sirih, disamping sebagai tamzil menyatunya segala daya upaya dalam mencapai cita-cita, sebagaimana menyatunya urat-urat daun sirih. Sedangkan nasi golong, yakni nasi yang dibentuk bulat bagai bola, adalah tamzil kebulatan tekad.

Jenis-jenis bahan baku sedekah tersebut juga ditemukan dalam bait 44 – 45. Yang bagi masyarakat zaman sekarang sangat asing adalah takir, yaitu wadah makanan yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti kotak segi empat. Di masa lalu sebelum periode Orde Baru, tatkala industri di Indonesia belum berkembang seperti sekarang, berbagai kemasan dibuat secara tradisional dari bahan baku alami. Wadah kemasan untuk menaruh makanan, dibuat dari daun tumbuh-tumbuhan antara lain pisang serta aneka bentuk anyaman bambu. (lihat Jatuh – Bangun Strategi Pembangunan: Pertumbuhan atau Pemerataan, pada buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto” dan blog http://b wiwoho.blogspot.com/2012/09/jatuh-bangun-strategi-pembangunan.html).

Dalam bait 44 – 45 disebutkan jenis lauk-pauk berupa ikan. Ikan adalah tamzil untuk mengajarkan agar orang pandai menyelam bagaikan ikan, dalam hal ini menyelami kehidupan. Di samping itu ikan adalah juga jenis lauk pauk yang sangat mudah diperoleh masyarakat Jawa khususnya di wilayah Pantai Utara. Di kala itu orang yang sehat bisa dengan gampang menjala, menangkap dengan bubu atau memancing ikan di laut, tambak dan hutan bakau. Juga menangkap ikan di sungai kecil, rawa-rawa yang dahulu masih banyak di sekeliling kita serta di sungai-sungai besar yang bermuara di laut Jawa, yang membentang sepanjang pantai pulau Jawa. Dengan demikian anjuran memberikan sedekah pada setiap hari kelahiran tidaklah akan menyulitkan, karena bagi yang mampu bisa membeli dan bagi yang tidak mampu bisa menangkap sendiri.

Bagi orang Jawa, pengetahuan mengenai hari kelahiran sangat penting, terutama weton (berasal dari kata metu yang berarti keluar), yaitu gabungan antara hari yang terdiri dari tujuh mulai Senin sampai Minggu, dengan apa yang disebut pasaran yang terdiri dari lima yaitu Legi, Pahing, Pon Wage dan Kliwon. Sebagai contoh Kanjeng Nabi Muhammad, lahir pada hari Senin dengan pasaran Pon, maka weton Nabi Muhammad saw adalah Senin Pon. Lantaran merupakan gabungan dari tujuh dan lima, weton tersebut berulang setiap selapan dino atau setiap tigapuluh lima hari sekali.

Kebiasaan orang Jawa dahulu kala, untuk melakukan ritual atau peringatan khusus pada wetonannya, pada umumnya dengan memberikan berbagai sesaji kepada dewa sesembahan atau roh-roh gaib. Kebiasaan itulah yang diubah oleh Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar, dengan mengajarkan memberikan sedekah, dan di kemudian hari diajarkan pula berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Baginda Rasul sesuai hadis Muslim berdasarkan riwayat Syu’bah dan Abu Qatadah Al Anshari. Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasanya setiap hari Senin, yang beliau jawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan pada hari itu pula Al Qur’an diturunkan kepadaku.”  Dari hadis tersebut berkembang kebiasaan puasa sunah Senin – Kamis, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa, baik yang Islam maupun bukan.

Perihal sedekah, dalam bait 45 baris keenam dan ketujuh harus diniatkan demi kemuliaan dengan diiringi doa-doa mahmut. Pengunaan kata mahmut yang berasal dari bahasa Arab dan berarti terpuji ini, pada hemat penafsir sengaja dimaksudkan untuk menegaskan pilihan menggunakan doa secara Islami, dan bukan dengan cara yang lain.

Kidung Kawedar terdiri dari 46 (empat puluh enam) bait. Jika bait pertama sampai empat puluh lima berisi keutamaan-keutamaan, pengenalan agama Islam, berbagai tamzil, ajaran dan petunjuk, bait terakhir dan merupakan satu-satunya, mengemukakan risiko bagi siapa yang tidak mau mengikuti ajarannya. Bait 45 mengemukakan kemuliaan bagi yang taat mengikuti ajaran berkat memperoleh pengaruh aura gaib Allah Yang Maha Agung, atau disebut mendapat sawab atau berkah. Sedangkan bait 46 terjadi hal sebaliknya bagi yang kurang tekun apalagi yang tidak mau menjalaninya. Mereka tidak akan dibantu oleh para malaikat penjaga dan pendamping. Karena malaikat hanya mau membantu apabila ada ridho dari Yang Maha Agung. Akibatnya, semua keinginan kita bisa gagal tak terwujud, cita-cita dan tujuan kita lepas, cabar tak tercapai, lantaran kurang bersungguh-sungguh dan kurang tekun dalam menghayati (agama Islam).

Kidung ini diakhiri dengan sebuah petuah agar dalam menghayati ajaran agama (Islam), kita senantiasa awas dan eling. Eling berarti ingat atau zikir, sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan bait 30, agar setiap saat selalu mengingat Gusti Allah. Mengingat-Nya dalam setiap tarikan nafas, dalam keadaan apa saja, bahkan selagi di kamar kecil membuang hajat. Dengan senantiasa mengingat-Nya maka kita pun akan menjadi pandai bersyukur, taat dan mematuhi firman-firman-Nya.

Kata ingat juga dikaitkan dengan kata awas atau waspada. Maknanya dalam mengingat serta mentaati Gusti Allah, kita tetap harus terus awas, terus-menerus waspada, lantaran setan yang sudah mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggoda manusia, tidak akan pernah menyerah sedikit pun. Setiap saat setan akan selalu menggoda manusia, mencari celah dan peluang meski hanya sepersekian mili, sepersekian detik bahkan hanya secercah cahaya, buat menggelincirkan iman manusia. Nasihat agar awas dan eling ini sekarang menjadi sebuah ungkapan yang terkenal, yaitu eling lan waspada, ingat dan waspada.

Demikianlah nasihat penutup dari Sunan Kalijaga melalui Suluk Kidung Kawedar. Semoga dengan ajaran dan nasihatnya, kita bisa menjadi kekasih-kekasih Gusti Allah Yang Maha Pengasih, serta dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang senantiasa beriman dan beramal saleh.

Subhanallaah walhamdulillaah, aamiin. 

1 Muharram 1436 H (25 Oktober 2014).                                                     







Minggu, 22 Februari 2015

HUBUNGAN SEKS & PENGARUHNYA PADA ANAK : SEKS DALAM PERADABAN & KEBUDAYAAN JAWA (3)

Puncak hubungan seks dan pengaruhnya pada sang anak.

Selain menggambarkan perilaku seks binal, Serat Centhini dan sejumlah kitab lain menguraikan pula betapa sakral masalah hubungan seks bagi para priyayi Jawa. Begitu Tambangraras menyerahkan kegadisannya misalkan, maka segera sesudah selesai melakukan hubungan suami – isteri untuk pertama kalinya, keluarganya langsung mengadakan kenduri dan meracik segala macam jamu, sebagaimana diungkapkan antara lain dalam dua bait ini:

“Tan cinatur langening pulang sih, sabab puniku kandha uliya, saru yen kinarya wadheh, yata wau kang ibu, ngrukti titigasan ireki, sakeh kang ila-ila, sadaya rinamut, sarta lan kendhurinira, Nyai Daya sampun reracik ajampi, pentil delima pethak.

Inguregan ingisenan ganthi, mesoyi pucuk lawan majakan, kapulaga lawan cengkeh, isine cubung wulung, mrapat lawe wenang ginodhi, sawuse ingubedan, pan pinipis lembut, slasih ireng jinantonan, myang pon-emponan panginang ketemu giring, ring bathok pauyupan.”

Masalah seks dalam makna memahami dan mempersiapkan hubungan harmonis pria – wanita supaya bisa menurunkan anak yang baik, juga banyak dikupas dalam berbagai kitab Primbon Jawa, terutama yang bersumber dari babon atau kitab induk karangan Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat patih Kasultanan Yogyakarta di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V (tahun 1820 – 1855). Sayang sekali kitab primbon seperti itu sekarang sulit dicari, disamping banyak ditulis ulang secara sembarangan oleh siapa saja, juga lebih dikesankan unsur-unsur mistis dan tahayulnya, sehingga tidak menarik bagi generasi muda sekarang.

Satu hal yang seyogyanya perlu dipahami, sebagaimana diajarkan oleh leluhur penulis, yang dalam versi lain bisa dijumpai pula dalam Serat Centhini, Serat Nitimani, Serat Kawruh Sanggama dan Primbon KPH Cakraningrat tersebut, adalah bagaimana sepasang suami-isteri mempersiapkan diri menjelang berhubungan badan, dan apa yang harus dilakukannya pada saat sanggama, terutama apabila mengharapkan keturunan. Secara hakikat, ajaran ini sama dengan ajaran di dalam Islam, namun rukun dan tatacaranya berbeda.

Inti ajarannya adalah hubungan sanggama tidak boleh dipaksakan, dilakukan dalam kondisi badan sehat, sebelumnya mandi dan gosok gigi atau bersih-bersih badan supaya aroma tubuhnya harum, serta dilangsungkan dalam suasana yang tenang dan nyaman. Selanjutnya berdoa atau shalat hajat dua rekaat, memohon ijin dan pertolongan Gusti Allah, agar hubungan suami isteri yang akan dilakukan diridhoi, dirahmati dan diberkahi, diberi kekuatan lahir batin sehingga berlangsung harmonis, serta dijadikan sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Yang lebih penting lagi, selama bersanggama, hawa nafsu tidak boleh dibiarkan melesat lepas bebas tanpa kendali agar pada saat mencapai orgasme, baik tatkala terjadi pada isteri atau pun suami, masing-masing syukur jika bisa keduanya, hening sejenak sembari berdoa di dalam hati, agar benih yang dipancarkan bisa menjadi anak yang soleh atau solehah dan sejumlah harapan baik lainnya bagi sang anak.

Suasana batin pasangan pria – wanita pada detik-detik saat mencapai orgasme itulah yang diyakini akan menentukan watak anak yang lahir dari persetubuhan tadi. Apatah berwatak ksatria Pandawa seperti Puntadewa, Bima, Arjuna dan Kresna ataukah para Kurawa seperti Duryudana, Dursasana, Burisrawa dan Sengkuni bahkan Rahwana; berwatak Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Bung Karno, ulama, seniman, pedagang ataukah Ken Arok, Damarwulan ataukah berandal ataukah koruptor?

Ibarat sebuah lukisan, suasana batin orang tua sewaktu mencapai puncak hubungan seksual sangat menentukan kualitas kain bahan lukisan. Adapun cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Maka seperti suasana batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang lupa diri lantaran nafsu syahwatnya berkobar tanpa kendali menerjang pagar ayu atau kesusilaan, lahirlah raksasa perkasa nan angkara murka yakni Rahwana atau Dasamuka.

Di dalam legenda dan kepercayaan masyarakat Jawa, ada sejumlah tokoh besar yang lahir akibat hubungan gelap atau pun pemerkosaan. Orang yang melanggar kesusilaan dengan melakukan hubungan gelap, pada umumnya dikuasai dorongan nafsu, semangat dan tekad atau lebih tepat nekad dengan sangat kuat terutama pihak lekaki, sehingga lahirlah anak yang memiliki semangat dan berani nekad. Lebih-lebih apabila setelah lahir, anak hasil kumpul kebo ini bisa dibesarkan serta dididik oleh ibunya selaku orangtua tunggal dengan keprihatinan tinggi. Maka jadilah tokoh-tokoh hasil lembu petengyang mengukir sejarah seperti halnya Ken Arok dan Bondan Kejawan, serta sejumlah tokoh lainnya yang diyakini masyarakat memiliki latar belakang hasil hubungan seks yang sama.

Tentu saja penulis tidak menganjurkan para sahabat melakukan hal yang seperti itu demi memiliki keturunan yang perkasa dan bisa menjadi penguasa ternama. Karena toh kalau anggapan seperti itu benar, berapa persen dari anak-anak hasil hubungan gelap yang bisa berkuasa, dan berapa persen yang gagal total dalam kehidupannya. Saya yakin yang gagal jauh lebih banyak. Lagi pula, keberhasilan menjadi penguasa, tidaklah menjamin yang bersangkutan mencapai ending yang baik.Bahkan tidak jarang kehidupannya berakhir dengan tragis. Naudzubillah.

Semoga urun rembug kita ini, bisa menggugah kesadaran dan membangkitkan keyakinan akan hikmah dan fadilah masalah seks, sebagai bekal ibadah dan amal soleh, terutama demi terbentuknya insan-insan kamil dalam suatu peradaban yang mulia. Allahumma aamiin.

*) Disampaikan pada acara Urun Rembug Kelirumologi “Seks Dalam Peradaban & Kebudayaan Jawa”, yang diselenggarakan Pusat Studi Kelirumologi – Jaya Suprana School of Performing Art, di Balairung Jaya Suprana Institut, Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu 14 Februari 2015.

Kamis, 19 Februari 2015

SEKS DALAM PERADABAN & KEBUDAYAAN JAWA (2): Zaman Dulu, Seks Diajarkan Secara Tertulis

Serat Nitimani, secara kata-kata apa adanya bisa diterjemahkan sebagai Memahami Sperma, ditulis selama lima tahun oleh Aryasugada dan selesai pada tahun 1888. Meskipun namanya seperti itu, bahkan dalam bahasa Jawa pun terkesan vulgar, namun isinya tidaklah demikian. Bagian yang menjelaskan salah satu tanda yang menunjukkan pasangan wanita mencapai puncak olah asmara, yang sebagian juga dikutip dalam kitab Kawruh Sanggama, aslinya adalah, “sinenggol pucuking pasta, ing kono dipun turuta, sakarsanireng wanodya, yen pinareng datan lami, wanita amudar prasa, yekti ana wataranya, gara-gara jroning baga, anyendhol pucuking pasta, iku saka kira-kira laraping reca gupala, kabukaning kang wiwara, jenenging Hyang Kamajaya, aliya tandha mangkana, kang sayekti kawistara, kawawas sawarnanira, ing hangga sakojur wanda, angler kaoncatan yitma, lesu ngalumpruk marlupa, kadi-kadi tan kuwawa, anyandhang enaking rahsa, sesambate melas arsa, karya trenyuh ing wardaya. ”Sebuah gambaran tentang wanita yang tengah mencapai klimaks hubungan seks, tetapi diungkapkan dalam bahasa Jawa halus atau kromo inggil, melalui berbagai kiasan. Padahal isinya sederhana, pokoknya tubuhnya lunglai bagaikan pakaian basah yang jatuh dari jemuran, nglumpruk – nglempreg, mendesah-desah bahkan mengeluh tidak karuan seolah-olah hendak mati.

Serat Nitimani yang disajikan dalam bentuk tanya jawab, sesungguhnya adalah sebuah ajaran kehidupan manusia yang dimulai semenjak alam ruh, diturunkan untuk hidup di bumi melalui sepasang manusia, yaitu ibu-bapaknya, untuk suatu tujuan mulia yakni hamemayu hayuning bawana, melestarikan sekaligus membangun alam raya. Hidup di dunia itu hanya sekedar singgah minum sejenak. Lebih sepertiga dari isi kitab ini merupakan kajian tasawuf yang sudah pada tahap hakikat dan makrifat. Sebagian besar di antaranya membahas isi kitab Wirid Hidayat Jati karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Sementara itu hampir dua pertiga bagian membahas hubungan pria – wanita. Sebagian dari itu pada hemat penulis mengambil dari Serat Centhini yang selesai ditulis 64 tahun sebelumnya. Sebagai kitab tasawuf, maka hubungan pria – wanita yang hampir dua pertiga bagian tersebut ditempatkan dalam rangka menyiapkan benih anak manusia menjadi seorang insan kamil nan mulia.

Erotika, seks dan mistis.

Perihal Serat Centhini, ini memang sungguh kitab yang luar biasa, yang berisi mengenai berbagai pernik kehidupan masyarakat Jawa, ada tentang penanggalan Jawa, rumah, makanan, obat-obatan, kebiasaan hidup sehari-hari termasuk seks yang dikupas tuntas mulai dari bagaimana mengenal serta memahami perilaku seks seorang perempuan berdasarkan ciri-ciri fisiknya, sampai bagaimana melakukan adegan sanggama secara liar dan nakal dengan berbagai posisi dan cara, adegan sesama lelaki, satu lelaki dengan dua bahkan tiga perempuan sampai ke adegan sanggama secara mistis dan sakral. Karena itu maka banyak para pengamat sastra Jawa yang menyebut Centhini lebih dahsyat dibanding kitab seks Kamasutra dari India yang sangat mendunia.

“Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra,” kata Elizabeth D. Inandiak, seorang Perancis yang menggubah dan menerjemahkan Serat Centhini ke Bahasa Indonesia dan Perancis. “Saya tak pernah membayangkan sama sekali bahwa seks bisa bergabung dengan mistik, dan itu ada di Centhini” katanya dalam kuliah umum “Erotika Nusantara: Serat Centhini” di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012 (http://historia.co.id/artikel/3/978/Majalah-Historia/Meleburkan_Seks_dan_Mistik).

Sebagai lelaki Jawa yang dibesarkan di daerah Pantai Utara, sedari kecil penulis sering mendengar tentang kesenian tayub, ledhek, ronggeng dan sejenisnya, baik di Jawa terutama di daerah Jawa Timur, Blora, Surakarta, Banyumas dan Jakarta.Namun saya belum pernah dengan mata kepala sendiri menyaksikan secara langsung. Saya hanya tahu dari surat kabar dan majalah serta cerita dari mulut ke mulut. Pada benak saya kesenian jenis itu sangat seronok dan biasanya disertai mabuk-mabukan.

Secara kebetulan pada sekitar akhir 1980-an, di suatu tengah malam, dengan dua orang teman, penulis bepergian dari Pati menuju Solo menembus pegunungan Kendeng melewati daerah Grobogan dan Purwadadi. Di tengah jalan kami menjumpai ada suatu pertunjukkan tayub yang agak ramai. Lantaran belum pernah melihat, tak pelak lagi kami berhenti menonton tiga perempuan penari tayub mengibing di atas panggung dikerubuti sejumlah lelaki, sambil sesekali para lelaki menyawer, memberikan uang saweran kepada para penari perempuannya. Sementara itu masyarakat di bawah panggung, menonton dengan kadang-kadang bersorak sorai menyemangati para penari. Walau begitu, seluruh suasana berlangsung tertib, tidak nampak ada yang minum bermabuk-mabukkan, tidak ada nuansa vulgar, jorok apalagi tidak senonoh. Sungguh berbeda jauh dengan gambaran acara tayuban yang dikisahkan hampir di sepanjang Serat Centhini.

Dalam Serat Centhini, pertunjukkan tayub dengan ronggengnya, bahkan sendratari Panji dengan iringan rebana di rumah Bupati dan di lingkungan pesantren pun, diwarnai tingkah polah beberapa orang untuk mengumbar nafsu seksnya secara liar menerjang norma-norma kesusilaan dan agama yang berlaku.

Lantaran diungkapkan dalam bentuk tembang-tembang puisi macapat, serta dalam bahasa peralihan Jawa Tengahan ke Jawa Baru, bagi masyarakat sekarang, Centhini tidak mudah dipahami. Namun jika sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan penulis belum pernah membacanya, sulit membayangkan bagaimana mengungkapkan aneka macam adegan serta perilaku seks dan sanggama yang benar-benar vulgar sesuai apa adanya itu, ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh orang kebanyakan termasuk anak-anak. Apalagi bila dipengggal-penggal diambil hanya bagian adegan-adegan sanggamanya saja, niscaya menjadi bacaan yang amat sangat porno.

Tetapi bagi orang dewasa, jika disajikan secara utuh disertai ulasan yang membahas segi-segi buruk dan baiknya, Centhini patut dibaca. Terutama apabila sebagaimana diungkapkan Elizabeth Inandiak, kecabulan dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan pesinden. “Pembacaan Serat Centhini sejatinya memang ditembangkan. Dengan demikian, para pembaca tak tenggelam ke lautan kata-kata kotor dan cabul sehingga keindahan erotika Serat Centhini tetap dapat ditangkap.”

Beberapa pelajaran dan hikmah akibat seks bebas misalkan, digambarkan pada diri tokoh penganut seks bebas Kulawirya, yang menderita penyakit kelamin raja singa atau syphilis. Sementara itu kecerobohan orangtua dalam melakukan hubungan-hubungan seks, sehingga menjadi bahan intipan dan tontonan rutin tiga anak gadisnya yakni Banem, Banikem dan Baniyah, membuat ketiga anak gadisnya liar tak mengenal rasa malu. Akibatnya, mereka langsung bernafsu mencoba mempraktekkan persanggamaan kedua orangtuanya, tatkala menerima tamu pria yang menginap di rumahnya.

Sebagaimana kelaziman yang berlangsung semenjak runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak, pengajaran-pengajaran dari orangtua ke anak atau dari pandita dan ulama kepada para santrinya, dilakukan dengan menggubah serat atau kitab, bahkan juga suluk, dalam bentuk tembang-tembang macapat. Isi kandungan serat atau kitab adalah bebas, bisa langsung berupa ajaran-ajaran, tapi bisa pula merupakan kisah roman sejarah seperti halnya Serat Damarwulan. Sedangkan suluk, yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti cara atau jalan, berisi ajaran mengenai cara mendekatkan diri kepada Gusti Allah (berbagai tulisan mengenai suluk, bisa dilihat dalam https://islamjawa.wordpress.com). Dengan aneka tembang macapat yang digubah oleh para wali, berbagai hal dan tata nilai kehidupan, diajarkan kepada masyarakat secara halus lagi indah, mengikuti rasa seni di kedalaman batin setiap insan.

Kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini menjadi milik pasangan Amongraga dan Tambangraras. Amongraga, putra tertua Sunan Giri, duduk berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam pertama pernikahannya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup jauh. Riuh-rendah tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih terdengar, sedangkan suasana di dalam kamar sangat tenang dan damai.

Amongraga tak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan terus begitu hingga malam keempat puluh. Selama itu, Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada istrinya agar persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati. Sebelum tibanya malam itu, keduanya hanya saling menatap dan berbicara. Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan mistiknya. Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah ketelanjangannya.

Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang diambil dari mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi. Sedangkan ajaran asmaragama bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karena asmaragama, banyak yang menganggap Serat Centhini sebagai Kamasutra Jawa. “Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra, ”kata Elizabeth Inandiak.

Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama empat puluh malam, pun juga dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam api asmara. Dan mencapai puncaknya pada malam ke empatpuluh. Saat itulah, mereka menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah puncak erotika. Inandiak menyebut itu sebagai paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa Arab). “Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia),”. Sesuatu yang pada hematnya menjadi padanan kata paling tepat untuk erotika dan tidak ditemukan dalam alam pikiran orang Barat melalui pembacaannya terhadap karya sastra mereka. “Sepanjang pengetahuan saya, mudah-mudahan saya salah, tak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan seks dan mistik seperti ini,” katanya menutup diskusi. (BERSAMBUNG)

Rabu, 18 Februari 2015

SEKS DALAM PERADABAN & KEBUDAYAAN JAWA (1) : Untuk Membentuk Insan Kamil Nan Mulia.

Kitab Pararaton.

1. “Demikianlah Bhatara Brahma mencari-cari pasangan untuk bersetubuh, maka adalah sepasang pengantin baru, sedang saling mencintai dengan mesra, yang pria bernama Gajahpara, yang wanita bernama Ken Endok, mata pencahariannya bertani. Ken Endok pergi ke sawah mengirim makanan suaminya Gajahpara, nama sawahnya Ayuga, sedangkan tempat kediamannya bernama Pangkur.
Turunlah Bhatara Brahma menyetubuhi Ken Endok, tempat persetubuhan itu bernama Tegal Lalateng.Dewa Brahma berpesan kepada Ken Endok, ‘Janganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi. Jika engkau bersetubuh dengan suamimu, suamimu akan meninggal, karena kecampuran dengan anakku itu. Nama dari anakku nanti Ken Arok. Dialah yang kelak membawa perubahan besar di Pulau Jawa.”
2. “Adalah seorang pencari tuak di hutan milik penduduk desa Kapundungan, dia mempunyai seorang anak perempuan cantik. Anak ini ikut ayahnya ke hutan. Oleh Ken Arok gadis ini diperkosa di tengah hutan, nama hutan itu Adiyuga.”
3. “kebetulan bertemulah Ken Arok dengan anak gadis penghulu desa Tugaran yang sedang bertanam kacang di ladang. Maka anak gadis itu diperkosa oleh Ken Arok. Lamalah hal ini berlangsung. Itulah sebabnya biji-biji kacang di Tugaran besar-besar dan enak rasanya.”

Petikan di atas mengisahkan tiga peristiwa hubungan seks dari enam masalah yang terkait dengan seks dalam kitab Pararaton, yaitu kitab yang menceritakan tentang Ken Arok, Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit, abad XIII sampai dengan XV.

Para sahabat, topik pembicaraan kita kali ini adalah “Seks Dalam Peradaban & Kebudayaan Jawa. ” Pengertian seks di sini tentu bukanlah semata-mata terbatas pada makna jenis atau alat kelamin, melainkan segala hal yang berkaitan dengan masalah seks, baik itu masalah seksual, seksualitas atau pun kehidupan seks masyarakat Jawa, yang sudah menjadi adat istiadat dan membudaya.

Pengetahuan tentang sesuatu budaya dan peradaban yang berlangsung jauh di masa silam, pada umumnya diperoleh dari bukti-bukti sejarah, baik yang tertulis dalam suatu kitab, prasasti, peninggalan benda sejarah seperti relief candi maupun cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut. Demikianlah, kisah perilaku seseorang dalam memenuhi hasrat seksualnya di abad XIII, dalam hal ini Ken Arok, Tunggul Ametung dan bahkan Dewa Brahma, dikisahkan dalam kitab Pararaton di atas.
Sejarah tentang seks, adalah sama panjangnya dengan kisah kehidupan dan perdababan manusia, semenjak penciptaan Adam-Hawa, disambung perseteruan Habil dan Khabil putera Adam, dan terus berlanjut sampai di awal tahun 2015 sekarang yang mewarnai kasus perseteruan POLRI vs KPK.

Kuda liar yang harus dikendalikan.

Ulama-ulama tasawuf menggambarkan hasrat seks sebagai nafsu yang bak kuda perkasa. Nafsu itu diperlukan agar manusia hidup dinamis hamemayu hayuning bawono atau rahmatan lil alamien, namun ia tidak boleh bagaikan kuda liar yang melonjak-melonjak, berlarian tiada arah tujuan menerjang serta merusak apa saja. Oleh karena itu nafsu termasuk nafsu seks harus dikendalikan secara baik lagi tepat guna.

Hasrat seks yang seperti kuda liar di masa Kerajaan Singasari tersebut oleh raja-raja Majapahit yang merupakan keturunan dari Ken Arok, dikendalikan melalui Perundang-Undangan Majapahit (Prof.Dr.Slamet Muljana, penerbit Bhratara, 1967). Ada enam kejahatan yang disebut tatayi, salah satunya adalah merusak kehormatan wanita, yang pelakunya diancam dengan pidana mati. Demikian pula masalah perkawinan, warisan dan gangguan terhadap perempuan yang sudah bersuami, diatur serta dilindungi oleh Undang-Undang.

Bukti sejarah tentang gambaran kehidupan seks dalam peradaban dan kebudayaan Jawa, sudah ada semenjak abad IX, sebagaimana terpahat dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Borobudur memiliki 1460 panel relief dan 504 stupa. Dari panel relief sebanyak itu, ada 160 panel yang sengaja ditimbun tanah karena reliefnya dianggap vulgar dan cabul. Panel-panel itu terletak di bagian paling bawah, yang disebut Kamadhatu, yang sekaligus dijadikan sebagai pondasi candi. Panel relief yang tersembunyi ini menggambarkan adegan Sutra Karmawibhangga atau hukum sebab-akibat kehidupan, yakni gambaran perbuatan yang mengikuti hawa nafsu manusia, seperti bergosip, membunuh, menyiksa dan memperkosa. Juga ada adegan-adegan seks dalam berbagai posisi.

Kehidupan seks di masyarakat mana pun di dunia ini semenjak zaman baheula sampai kini, pada hemat saya sama saja. Ada yang berlangsung bebas, ada yang binal dan liar, namun secara umum dan formal ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral. Gambaran campur aduk tersebut dijumpai juga di Jawa, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Serat Centhini (Centini) yang oleh para sastrawan dianggap sebagai ensiklopedi Jawa.

Serat Centhini yang ditulis oleh para pujangga Keraton Kasunanan Surakarta selama lima tahun dari semenjak 1809 sampai 1814 setebal lebih 4000 halaman, mengisahkan berbagai aspek kehidupan dengan latar belakang kehidupan masyarakat pada masa kekuasaan Sultan Agung tahun 1613 – 1645.
Sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, Raden Rangga Prawiradirja, seorang pejabat Keraton Yogyakarta yang ditugaskan menjadi wedana di Madiun pada 1755 – 1784, menggubah cerita roman sejarah yang menjadi sangat legendaris, dengan latar belakang situasi di kerajaan Majapahit pada sekitar terjadinya Perang Paregreg awal 1400. Cerita roman sejarah itu dinamakan Serat Damarwulan, yang disusun dalam bentuk tembang-tembang macapat nan merdu. Di dalamnya disisipkan sejumlah adegan seks antara lain sebagai berikut:
“Swarga nraka sampun pisah gusti, dhuh mas mirah atma jiwaningwang, pupujan ingsun mas angger, sagunging para arum, samya sanget ageng kang brangti, harjasa luwih, Raden Damarsantun, amatek asmaragama, para putri wus marem kadya saresmi, kena asmaragama.”

Bait itu mengisahkan bagaimana Raden Damarwulan memenuhi dahaga seks semua isterinya, yaitu permaisuri dan para selirnya sekaligus dengan menggunakan ajian asmaragama, yaitu suatu ajian yang membuat semua isterinya merasa sudah melakukan hubungan seks secara memuaskan, padahal yang disetubuhi hanya salah seorang saja, bahkan bisa tidak seorangpun.

Pada bagian lain dikisahkan pula bagaimana Sang Raja menggauli pertama kali gadis pingitannya dari desa, yang semula agak takut-takut, tapi kemudian berlangsung sampai mandi keringat sambil sang gadis mendesah mesra:
“Ken Warsiti mingser semu ajrih, glis sinambut pan kanuswa-kuswa, binekta tilam sarine, Nata ndhatengken kayun, lan Warsiki karon ing resmi, angga tan padya muga, cipta lir binanjut, riwe kumyus aturasan, ngesah asih Warsiki sesambat mati, Sang Nata wlas tumingal.”

Meskipun mengisahkan persanggamaan, kedua bait di atas didendangkan dalam irama tembang Dandhanggula yang bernuansa meditatif kontemplatif, sehingga tidak terkesan vulgar.
Kitab Kawruh Sanggama yang ditulis oleh Raden Bratakesawa tahun 1926 menyebutkan, salah satu tanda yang menunjukkan seorang wanita mencapai kepuasan seks adalah “pratandhanipun malih manawi wanita wau sampun madhar prasa, sariranipun ngalumpruk marlupa kados oncat yitmanipun sarta asasambat ingkang damel trenyuh ing manahipun priya. Tumrap wanodya ingkang sampun asring-asring leledhang ing taman lambang sari, asring sambat pejah, boten purun pisah, sasaminipun kados inggih-inggiha. Tubuhnya terpuruk tiada daya, nyawanya bagaikan melesat meninggalkan raga, mendesah mengeluh minta pertolongan sehingga membuat terharu hati lelaki. Bagi wanita yang sudah terbiasa melepas birahi di taman cinta, bahkan sering mengeluh rasanya seperti hendak mati, tak mau berpisah seperti sungguh-sungguh saja.”

Cara memuaskan pasangan wanita dan tanda-tanda tatkala mencapai klimaks hubungan seks, menjadi kewajiban dan harus dipahami oleh seorang lelaki. Karena itu maka diajarkan dalam kitab Kawruh Sanggama (Pengetahuan tentang Sanggama) dan Serat Nitimani dengan cara yang indah dan tidak vulgar. Serat Nitimani menurut pengarang kitab Kawruh Sanggama, juga menjadi salah satu sumber rujukannya.(bersambung).

Sabtu, 14 Februari 2015

PERAYAAN VALENTINE, MUSIK JIWA KAPITALISME GLOBAL YANG HARUS DIWASPADAI


Hari Valentine Itu Peringatan Untuk Santo Velentinus.

Tulisan ini adalah tulisan lama yang berjudul "Berhala Baru, Gaya Hidup Hedonarsis," yang kami angkat kembali dengan judul baru, terkait dengan perayaan Hari Velentine, guna memberikan gambaran apa yang ada dibalik gegap gempitanya perayaan tersebut, agar kita tidak ikut mabuk menari mengikuti  gendang orang lain. Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa menganugerahkan hidayahNya kepada kita bangsa Indonesia. Aamiin.


Gaya hidup hedonis dan narsis (hedonarsis) yang banal, yang memuja pesona dunia, harus kita akui tengah melanda masyarakat kita. Marilah coba kita kaji beberapa peristiwa yang sempat menjadi topik hangat pemberitaan media massa. Rita misalkan, bukan nama sebenarnya tapi dari peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, adalah seorang mahasiswi berusia 19 tahun. Siang itu, bukannya di perpustakaan untuk belajar, ia nongkrong di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. Tak jauh dari mejanya, duduk beberapa orang, salah satu di antaranya  pengusaha tajir bernama Abu Fatah, juga nama yang disamarkan.

Singkat kata mereka berkenalan dan berjanji malam hari bertemu di sebuah hotel berbintang lima.Tapi siapa menyangka malam itu di kamar hotelnya, mereka digerebek dan ditangkap petugas-petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rupanya Abu Fatah sedang menjadi target pengawasan atas dugaan korupsi berjamaah, yang dipantau ketat oleh KPK.

Begitulah jika Gusti Allah sudah membiarkan tabir penutup aib hamba-hamba-Nya tersingkap.Rita adalah seorang mahasiswi muda beliau dari keluarga sederhana, yang tak menyadari kemampuan ekonomi serta statusnya sebagai wanita dan mahasiswa, bergaya hidup bak orang kaya. Sementara Abu Fatah, adalah putera seorang ulama, alumni pondok pesantren dan bagian dari jaringan persahabatan tokoh-tokoh partai yang berlabel Islam, yang sedang hidup bergelimang pesona dunia.

Contoh kisah yang kedua, mahasiswa Ridho Ramanda, juga nama yang disamarkan, adalah seorang putera pejabat tinggi ternama, yang mengalami kecelakaan di jalan tol Jagorawi, pagi-pagi sekali pukul 05.45, setelah semalaman bergadang merayakan pesta tahun baru 2013 Masehi, yang tidak ada di dalam kamus kegiatan islami. Lantaran mengantuk, Ridho yang berusia 22 tahun ini menabrak mobil lain sehingga menewaskan dua orang dan mencederai tiga orang lainnya.

Kasus yang menyerupai Ridho, dialami oleh Abu Jamal, pun nama yang disamarkan, pelajar di bawah umur dengan usia 13 tahun yang ngebut dengan mobilnya di jalan tol pukul 00.45 sehingga mencelakai kendaraan lain dan merenggut tujuh nyawa manusia serta melukai sejumlah orang.

Ketiga contoh tadi, menggambarkan betapa gaya hidup generasi muda kita telah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya pada keluarga mereka, tapi harus kita akui bahwa kekuasaan, kekayaan, harta benda dan pesona dunia telah menyilaukan matahati kehidupan banyak rumahtangga masyarakat kita dewasa ini. Padahal kita yakin mereka adalah keluarga-keluarga muslim yang pasti sering mengumandangkan tasbih, menyebut asma Allah nan Maha Suci serta shalawat nabi.

Namun memang tidak mudah menangkap energi api ajaran islami dibanding menangkap abunya.  Sebagaimana dikisahkan perawi hadis Bukhari, suatu hari tatkala Baginda Rasul sedang berwudhu, para sahabat berebut menampung limbah atau musta’mal air tetesan wudhu yang mengalir dari sela-sela jari tangan Rasulullah. Para sahabat tersebut memanfaatkan air limbah itu buat membasuh muka masing-masing.

Kanjeng Nabi terkejut melihat air limbah wudhunya dipakai mambasuh muka para sahabat yang bersih itu.Beliau bertanya, “Wahai sahabat-sahabatku, apa yang sedang kalian lakukan? Mengapa air kotor bekas wudhuku kalian pakai membasuih muka?” Salah seorang menjawab, “Kami sedang menunjukkan rasa cinta kami kepadamu ya Rasulullah.”  Kanjeng Nabi menggeleng dan bersabda, “ Tidak para sahabatku tercinta, bukan seperti itu cara kalian membuktikan cinta kepadaku. Jika memang kalian bena-benar mencintaiku, maka patuhilah ajaranku, dan kerjakan sunahku.”Beliau kemudian menegaskan, “Barangsiapa mencintai sunahku, berarti dia mencintaiku.Dan barangsiapa mencintaiku, pasti akan bersamaku di dalam surga.”

Sahabatku, kita sering secara gegap gempita merayakan hari-hari besar Islam, memperingati maulud atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, bahkan mengumandangkan atau membaca shalawat setiap hari.Tentu itu semua bagus. Namun akan jauh lebih bagus lagi dan bermakna apabila kita bisa memetik hikmah dengan meneladani perilaku kehidupan mulianya, serta mentaati sabda, hadis dan sunahnya. Lebih jauh lagi, jangan sampai mulut kita mengumandangkan shalawat dan jari kita menghitungnya ratusan, bahkan ribuan,  tapi perilaku kita menyimpang dan bertentangan dengan hadis serta sunahnya.

Tiga contoh peristiwa di atas, jelas-jelas menggambarkan betapa pragmatisme dan hedonarsis telah mempengaruhi kehidupan generasi muda penerus masa depan bangsa dan umat. Mereka hanyalah beberapa titik pada puncak gunung es berhala-berhala modern, penghamba pesona dunia, sebagai akibat bergesernya filosofi dan tata nilai kehidupan dari idealisme dan akhlak mulia, ke pragmatisme-materialisme yang berkembang semakin banal.Sebagian generasi muda kita telah menganut slogan kehidupan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga.Hidup sekali, mati sudah pasti, karena itu nikmatilah dunia selagi kita hidup.”

Pergeseran filosofi dan tata nilai kehidupan ini, memang dirancang secara sengaja oleh Kapitalisme Global, yang secara sadar dan terpola, membentuk suatu tata dunia baru dengan gaya hidup masyarakat yang menekankan pentingnya kekuatan modal, ilmu dan teknologi, yang selanjutnya menghasilkan aneka produk gaya hidup moderen dalam segala bentuknya, baik yang berupa jasa maupun barang.

Dengan dukungan media massa yang berbasis teknologi canggih, mereka menggalang citra gaya hidup yang menekankan pada kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas. Sebuah contoh gaya hidup yang tidak islami namun bisa marak di Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama Islam ini, adalah perayaan Hari Kasih Sayang setiap tanggal 14 Pebruari, yang dikenal sebagai Hari Valentine.Penggalangan citra super luar biasa ini, ditandai aneka produk dengan ciri warna dasar merah jambu, gambar simbol hati, bunga mawar dan coklat. Padahal hari Valentine adalah hari peringatan Gereja Katholik Roma untuk martir Santo Valentinus, yang digagas dan dicetuskan  oleh Paus Gelacius I pada tahun 496, buat menandingi Hari Raya Lupercalia yang dilangsungkan setiap 15 Pebruari oleh Bangsa Romawi Kuno. Karena itu, untuk apa kita bangsa Indonesia terutama umat Islam harus ikut-ikutan merayakannya? Tentu bagi yang beragama Kristen Katholik silahkan saja, asalkan tidak sampai terjebak ikut mendendangkan musik jiwa Kapitalisme Global. Mengapa?

Kapitalisme Global telah menciptakan musik jiwa yang mampu membuat nilai tukar sebagai tujuan utama, dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran termasuk tradisi luhur bangsa-bangsa dan agama. Musik jiwa ini menurut Herbert Marcuse (One Dimensional Man,dalam berbagai tulisan di internet antara lain ungumerahmuda.blogspot.com, Abdul Muin Angkat blog dan Manusia Satu Dimensi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000 ) bahkan telah menjadi sumber kekuasaan baru pasca Perang Dunia II, yaitu kekuasaan selera dan gaya hidup, yang dikemas dengan penggalangan citra, iklan dan promosi secara besar-besaran. Ia menyerbu ke segenap pelosok dunia, termasuk Indonesia, yang secara kebetulan sedang mengalami lompatan-lompatan budaya.

Kapitalisme Global dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas, menawarkan kebebasan berfikir, berbicara dan berkesadaran, telah menggilas nalar, budi luhur dan kearifan-kearifan tradisional, selanjutnya memobilisasi masyarakat secara total.

Kapitalisme Global telah melancakan perang semesta, sebagaimana perang yang paling dikuatirkan Rasulullah Saw, yaitu bukan perang fisik seperti Perang Badar, melainkan perang di wilayah batin dan jiwa manusia. Perang semesta merupakan perang moderen yang paling dahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh serta meriam-meriam, melainkan perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.

Perang semesta bisa dengan cepat dan tanpa disadari target sasarannya, menyingkirkan budaya, nilai-nilai agamis dan tata nilai lainnya, sekaligus membangun alam pikiran baru yang terpadu secara total, yang pada hakekatnya membangun gaya hidup yang individualistis, pragmatis, hedonis, materialistis dan narsis.

Dengan musik jiwa dan gaya hidup, Kapitalisme Global telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir dan menghisap individu-individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa, budaya termasuk film dan musik, industri periklanan, penggalangan citra, manajemen dan cara-cara berfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi sistem represif yang melenyapkan negativitas, kritik dan perlawanan. Sistem yang seperti ini membentuk masyarakat industri maju lintas negara yang moderen, dengan pola pemikiran yang berdimensi satu, yang tidak mengenal alternatif.

Di dalam ketatanegaraan dan politik praktis, hal itu bisa dilihat dari fenomena partai-partai, yang secara ideologis tidak lagi memiliki perbedaan. Mereka seolah-olah menawarkan perbedaan dan perubahan, namun sejatinya tidak ada bedanya antara partai satu dengan yang lain.

Manusia moderen mengira dirinya benar-benar hidup bebas dalam dunia yang menawarkan aneka kemungkinan untuk dipilih, diraih dan diwujudkan, padahal kebebasan yang dikehendakinya sesungguhnya hanyalah apa yang sudah didiktekan oleh Kapitalisme Global kepadanya.

Ketiga contoh peristiwa yang mengawali tulisan ini, dengan gamblang menggambarkan serangkaian perilaku masyarakat yang mengabdi pesona dunia dengan kebebasannya. Demikian pula berbagai fakta di persidangan kasus-kasus korupsi yang hampir setiap hari digelar beberapa tahun belakangan ini, menunjukkan keterlibatan para tokoh dari lintas profesi dan pilar kekuasaan, mulai dari pengusaha, legislatif, eksekutif sampai dengan yudikatif. Mereka menunjukkan perilaku mengejar kekuasaan dan kekayaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara. Mau serba enak secara instan, sehingga mengabaikan ajaran-ajaran moral dan agama.Kesalehan hanya sebatas formalitas bahkan dijadikan sebagai topeng.Puji-pujian terhadap Yang Maha Kuasa dan Kanjeng Nabi hanyalah penghias bibir belaka.

Sahabatku, tasawuf mengajarkan para penganutnya untuk membangun akhlak luhur dan budi mulia, hidup bersih, sederhana dan mengabdi, yang tidak silau apalagi memuja pesona dunia.Islam diturunkan bukan untuk meluapkan kebebasan individual dan kepentingan diri, melainkan mengabdi pada kebersamaan dan harmonisasi dalam mewujudkan rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya bagi manusia, bahkan bukan hanya untuk sesama muslim. Karena itu Rasulullah senantiasa menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau hidup sangat sederhana, zuhud dan wara, lembut lagi penuh kasih sayang terhadap sesamanya, sampai-sampai semua benda perlengkapan hidupnya, juga binatang piaraannya diberi nama serta panggilan kesayangan. Beliau juga sangat menjaga perasaan orang lain, sebagaimana contoh sederhana yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik dengan membiarkan, tidak mengajak yang ketiganya.”

Maka, marilah sama-sama kita renungkan dan hayati gumaman isteri beliau, Siti Aisyah, di pinggir makam Rasulullah pada malam pertama setelah pemakaman:

“ Wahai laki-laki yang tak pernah mengenakan sutera.
Wahai laki-laki yang tak pernah tidur di atas tilam nan lembut.
Wahai laki-laki yang hingga saat meninggalnya belum pernah
kenyang dengan roti gandum yang lezat-lezat.
Wahai laki-laki yang menyukai dipan kasar dibanding ranjang mewah.
Wahai laki-laki yang sering beberapa malam tidak tidur karena takutnya pada neraka (yang mengancam umatnya).”

(Sumber: K.H.Abdurrahman Arroisi dalam 30 Kisah Teladan dan K.H.Firdaus AN dalam Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah).