Minggu, 12 Februari 2017

KETAATAN UMAT KEPADA ULAMA, SEJAUH MANA?



Dua bulan belakangan, lebih-lebih pada hari ini, Rabu 1 Februari 2017,  baik di media masa khususnya televisi,  maupun di berbagai jejaring media sosial, berhamburan pernyataan sejumlah tokoh dan politisi yang menanggapi perdebatan antara Pak Ahok dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Al Mukarrom K.H. Ma’ruf Amin dalam persidangan hari Selasa 31 Januari 2017. Para tokoh tersebut terutama yang kental latar belakang atau pun organisasi keislamannya, mengaku sebagai santri Kyai Ma’ruf Amin.
 
Di kalangan kaum muslimin (dan muslimat) terutama di Indonesia, lazim berlaku adab pergaulan yang mulia, yang diajarkan oleh Al Qur’an dan hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yaitu seseorang yang lebih muda, apalagi santri atau murid seorang ulama, jika berjumpa dan berpamitan selalu mencium tangan yang lebih tua atau ustadz atau ulama.

Sementara itu di dalam tata pergaulan dan hubungan yang menyangkut perbedaan pendapat serta penugasan, berlaku ungkapan “sami’na wa atho’na”, yang artinya kami dengar dan kami taat. Ungkapan ini menunjukkan  sikap hormat dan patuh yang diajarkan kepada seorang muslim untuk hormat dan patuh terhadap ulama. Ungkapan kepatuhan itu berasal dari ayat suci Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 285.

Perihal ulama, Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dalam hadis yang sangat termasyhur, yang diriwayatkan oleh Abdu Dawud, bersabda, “Ulama adalah pewaris Nabi.” Karena menempatkan ulama sebagai pewaris Nabi itulah, maka para ulama sangat dimuliakan di dalam pergaulan. Tangannya dicium, doanya diharapkan, nasihat, petunjuk serta perintahnya ditaati, sami’na wa atho’na.

Doa, nasihat, petunjuk serta perintah para ulama itulah yang sekarang ini sangat dinantikan umat Islam di Indonesia, tatkala satu sama lain tengah dipertentangkan, berprasangka buruk, menzalimi dan menggibah, bahkan bukan hanya sudah saling menyindir, tetapi sudah hendak saling menerkam, dan semuanya gara-gara politik yang mengobarkan pesona harta dan kekuasaan. Karena politik, bisa menyebabkan ada diantara kita yang merasa sok tahu banyak hal, sok memonopoli kebenaran, sehingga tega mengecap buruk saudara seimannya. Naudzubillah. Padahal Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Umar,  “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzalimi dan meremehkannya dan jangan pula menykitinya." (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim)

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari Suwaid bin Hanzalah,
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Saw dan  Wa'i bin Hujr. Waktu itu Wai  dihukum oleh musuhnya. Rupa-rupanya orang-orang merasa enggan untuk membelanya dengan bersumpah bahwa Wa’i saudaranya. Maka saya (Hanzalah) bersumpah bahwa dia (Wa'i) adalah saudara saya. Akhirnya musuh tersebut melepaskannya. Kami kemudian datang kepada Rasulullah Saw menceritakan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah bersabda, ‘Kamu adalah orang yang paling baik dan yang paling jujur diantara mereka. Apa yang kamu lakukan adalah benar. Orang Islam adalah saudara bagi orang Islam yang lain."

Perihal hubungan sesama muslim, junjungan kita Nabi Muhammad SAW mempertegas,  Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan kasih mengasihi adalah seperti satu tubuh, yang apabila ada salah satu anggota tubuh mangaduh kesakitan maka anggota-anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (H.R Bukhari Muslim dari An-Nu’man bin Basyir r.a)

Begitu indahnya persaudaraan secara islami yang mengajarkan untuk saling mengasihi dan melindungi, termasuk menutup aib serta melindungi kehormatan satu sama lain. 

Islam mengajarkan umatnya untuk saling tidak membuka aib yang hanya akan membuat saudaranya terhina. Dan Allah SWT pun memberikan balasan kepada umatnya yang menutupi aib saudaranya sesama muslim, diantaranya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akahirat kelak. Adapun hadits yang menjelaskan adalah, “Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)
 “Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

Sebaliknya siapa yang mengumbar aib saudaranya maka Allah akan membuka aib hingga aib rumah tangganya. “Barang siapa yang menutupi aib saudara muslimnya, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudara muslimnya, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Majah).

Tentang ketaatan kepada ulama tersebut, beberapa  sahabat bertanya, “tetapi, ulama mana yang harus ditaati pada zaman edan sekarang ini?” Para pemikir Islam klasik jauh-jauh hari sudah menyadari dan mengingatkan, bahwa ulama yang paling buruk adalah ulama yang datang ke penguasa, kecuali untuk memperingatkan dan menegur Sang Penguasa. Datang atau didatangi penguasa bukan untuk mengumbar pesona dunianya, bukan untuk makan enak sementara masih banyak umatnya yang kelaparan, apalagi untuk menjadi ulama kes, memperoleh oleh-oleh atau hadiah uang tunai. Oleh karena itu pula pada hemat Al Ghazali, ulama harus tegak menjaga fungsinya sebagai pemegang amanah Allah, penjaga waris Nabi-Nabi dan penegak politik keadilan. Para ulama dan cendekiawan harus bersikap waspada dan jangan menundukkan diri pada politik kezaliman, bahkan jika dianggap perlu harus mengambil sikap uzlah, menjauhkan diri dari segala soal yang berbau politik kekuasaan.


Demikianlah wahai sahabat-sahabatku, semoga kita semua dikarunia hidayah untuk senantiasa taat kepada Gusti Allah SWT dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dengan mematuhi perintah serta mengikuti keteladanannya, khususnya dalam memuliakan para ulama selaku pewarisnya, memuliakan saudara-saudara kita dengan saling mengasihi dan melindungi satu sama lain. Semoga, Allahumma aamiin. (Ingin membedakan ulama baik dan buruk, lihat : ULAMA dan PENGUASA, https://islamjawa.wordpress.com/2016/10/20/ulama-dan-penguasa/).


Rabu, 01 Februari 2017

MASIHKAH PARA SANTRI SAMI’NA WA ATHO’NA KEPADA PARA ULAMA? SEMOGA.


    
Dua bulan belakangan, lebih-lebih pada hari ini, Rabu 1 Februari 2017,  baik di media masa khususnya televisi,  maupun di berbagai jejaring media sosial, berhamburan pernyataan sejumlah tokoh dan politisi yang menanggapi perdebatan antara Pak Ahok dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Al Mukarrom K.H. Ma’ruf Amin dalam persidangan hari Selasa 31 Januari 2017. Para tokoh tersebut terutama yang kental latar belakang atau pun organisasi keislamannya, mengaku sebagai santri Kyai Ma’ruf Amin.
 
Di kalangan kaum muslimin (dan muslimat) terutama di Indonesia, lazim berlaku adab pergaulan yang mulia, yang diajarkan oleh Al Qur’an dan hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yaitu seseorang yang lebih muda, apalagi santri atau murid seorang ulama, jika berjumpa dan berpamitan selalu mencium tangan yang lebih tua atau ustadz atau ulama.

Sementara itu di dalam tata pergaulan dan hubungan yang menyangkut perbedaan pendapat serta penugasan, berlaku ungkapan “sami’na wa atho’na”, yang artinya kami dengar dan kami taat. Ungkapan ini menunjukkan  sikap hormat dan patuh yang diajarkan kepada seorang muslim untuk hormat dan patuh terhadap ulama. Ungkapan kepatuhan itu berasal dari ayat suci Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 285.

Perihal ulama, Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dalam hadis yang sangat termasyhur, yang diriwayatkan oleh Abdu Dawud, bersabda, “Ulama adalah pewaris Nabi.” Karena menempatkan ulama sebagai pewaris Nabi itulah, maka para ulama sangat dimuliakan di dalam pergaulan. Tangannya dicium, doanya diharapkan, nasihat, petunjuk serta perintahnya ditaati, sami’na wa atho’na.

Doa, nasihat, petunjuk serta perintah para ulama itulah yang sekarang ini sangat dinantikan umat Islam di Indonesia, tatkala satu sama lain tengah dipertentangkan, bahkan bukan hanya sudah saling menyindir, tetapi sudah hendak saling menerkam, dan semuanya gara-gara politik yang mengobarkan pesona harta dan kekuasaan. Padahal Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Umar,  “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzalimi dan meremehkannya dan jangan pula menykitinya." (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim)

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari Suwaid bin Hanzalah,
"Kami pernah keluar bersama Rasulullah Saw dan  Wa'i bin Hujr. Waktu itu Wai  dihukum oleh musuhnya. Rupa-rupanya orang-orang merasa enggan untuk membelanya dengan bersumpah bahwa Wa’i saudaranya. Maka saya (Hanzalah) bersumpah bahwa dia (Wa'i) adalah saudara saya. Akhirnya musuh tersebut melepaskannya. Kami kemudian datang kepada Rasulullah Saw menceritakan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah bersabda, ‘Kamu adalah orang yang paling baik dan yang paling jujur diantara mereka. Apa yang kamu lakukan adalah benar. Orang Islam adalah saudara bagi orang Islam yang lain."

Perihal hubungan sesama muslim, junjungan kita Nabi Muhammad SAW mempertegas,  Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan kasih mengasihi adalah seperti satu tubuh, yang apabila ada salah satu anggota tubuh mangaduh kesakitan maka anggota-anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (H.R Bukhari Muslim dari An-Nu’man bin Basyir r.a)

Begitu indahnya persaudaraan secara islami yang mengajarkan untuk saling mengasihi dan melindungi, termasuk menutup aib serta melindungi kehormatan satu sama lain.
Islam mengajarkan umatnya untuk saling tidak membuka aib yang hanya akan membuat saudaranya terhina. Dan Allah SWT pun memberikan balasan kepada umatnya yang menutupi aib saudaranya sesama muslim, diantaranya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akahirat kelak. Adapun hadits yang menjelaskan adalah, “Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)
 “Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).

Sebaliknya siapa yang mengumbar aib saudaranya maka Allah akan membuka aib hingga aib rumah tangganya. “Barang siapa yang menutupi aib saudara muslimnya, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudara muslimnya, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Majah).
Demikianlah wahai sahabat-sahabatku, semoga kita semua dikarunia hidayah untuk senantiasa taat kepada Gusti Allah SWT dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dengan mematuhi perintah serta mengikuti keteladanannya, khususnya dalam memuliakan para ulama selaku pewarisnya, memuliakan saudara-saudara kita dengan saling mengasihi dan melindungi satu sama lain. Semoga, Allahumma aamiin.