Senin, 03 Desember 2018

Wirid Hidayat Jati (4): Kediaman Gusti Allah Dalam Diri Manusia


Wejangan keempat, kelima dan keenam Serat Wirid Hidayat Jati (WHJ) yang akan kita kaji lebih lanjut ini merupakan satu kesatuan, yang apabila berdiri serta diamalkan sendiri-sendiri tidak akan banyak faedahnya. Namun untuk membahasnya sekaligus dalam satu kali pertemuan, rasanya juga tidak cukup. Apalagi ketiga wejangan ini penuh kontroversi, banyak versi dan penafsiran, serta penuh aura mistis yang oleh orang-orangtua zaman dulu, tidak boleh diajarkan secara sembarangan dan harus bertahap.
 
Inti hakikat wejangan yang menggambarkan kedudukan atau singgasana Gusti Allah di dalam diri manusia itu adalah sebagai berikut:

Wejangan Keempat:
“Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Betalmakmur, iku omah enggoning parameyan Ingsun, jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning sirah iku dimak, yaiku utek; kang ana antaraning utek iku manik; sajroning manik iku budi; sajroning budi iku napsu; sajroning napsu iku suksma; sajroning suksma iku rahsa; sajroning rahsa iku Ingsun; ora ana Pangeran, nanging Ingsun Dat kang nglimputi ing kahanan jati.”

Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai di dalam Baitulmakmur, itulah rumah tempat kesenangan-Ku, yang berada di dalam kepala Adam. Di dalam kepala itu ada dimak atau otak; yang ada di antara otak itu manik; di dalam manik ada budi; di dalam budi ada nafsu; di dalam nafsu ada suksma, di dalam suksma ada rahsa; di dalam rahsa itulah Aku; tiada Tuhan, selain Aku Dzat yang menguasai dan meliputi seluruh keadaan yang sejatinya.” 

Wejangan Kelima:
“Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Betalmukaram, iku omah enggoning lalarangan Ingsun, jumeneng ana ing dadhaning Adam.  Kang ana ing sajroning dadha iku ati; kang ana ing antaraning ati itu jantung; sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, yaiku angen-angen; sajroning angen-angen iku suksma;  sajroning suksma iku rahsa; sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran, nanging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati.”

Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai yang ada di dalam Baitulmuharam. Itulah rumah tempat larangan-Ku, yang berada di dalam dada Adam. Di dalam dada ada hati; yang ada di antara hati itu jantung; di dalam jantung ada budi; di dalam budi ada jinem (ruangan rahasia di dalam Istana) yakni angan-angan. Di dalam angan-angan ada suksma; di dalam suksma ada rahsa; di dalam rahsa ada Aku. Tiada Tuhan selain Aku yang menguasai seluruh keadaan yang sebenarnya.”

Wejangan Keenam:
“Sajatine Ingsun nata malige ana sajroning Betalmukadas, iku omah enggoning pasucen-Ingsun, jumeneng ana ing kontholing Adam; kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana ing antaraning pringsilan iku nutpah, yaiku mani; sajroning mani iku madi; sajroning madi iku wadi; sajroning wadi iku manikem; sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, Dat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng  ing sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat, wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajesam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajatining sipat-Ingsun.”

Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai di dalam Baitulmukadas, itulah rumah suci-Ku, ada di dalam alat kemaluan (penis) Adam; yang ada di dalam penis itu pelir, di antara buah pelir itu nutfah, yakni air mani; di dalam mani itu madi; di dalam madi itu wadi, di dalam wadi ada manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itulah Aku; Tiada Tuhan salin Aku, Dzar yang menguasai keadaan yang sejati, berkedudukan di nukat gaib, turun menjadi johar awal. Di sana sebagai wahana alam akadiyat, wahdat, wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajesam, alam insan kamil; terjadinya manusia yang sempurna itu adalah sesungguhnya sifat-Ku.”

Sahabat-sahabatku.
Sebelum membahas lebih lanjut, ijinkan saya mengutip kembali apa yang sudah saya sampaikan di dalam bahasan yang ketiga, yaitu peringatan sejumlah ahli sastra Jawa mengenai anjuran agar kita hati-hati dalam menyikapi aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik yang juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan dalam berbagai serat dan suluk.

Akan halnya masalah-masalah yang samar tersebut , Prof Simuh mengutip pendapat ahli sejarah dan kebudayaan Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “ Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang demikian, maka kesallah hatinya.”

Menurut Prof Simuh, dalam WHJ juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian yang menyimpang. Misalkan :”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).

Syamsul Alam dalam buku “Hidayat Jati Kawedar Sinartan Wawasan Islam”, penerbit PT.Citra Jaya Murti, Surabaya 1991, tentang wejangan ke 4 ini dan juga dalam beberapa hal yang lain, menegaskan kuranglebih sebagai berikut:  “ Saya menyarankan agar kita merenungkan dengan hati yang suci, apakah betul, pendapat yang menyatakan bahwa Gusti Allah berkedudukan di kepala manusia (Baitulmakmur). Apakah juga betul bahwa mahligai Dzat itu dinamakan rumah Allah (Baitullah)? Sesungguhnya  Gusti Allah itu meliputi segala hal dan alam semesta. Tempat di mana saja yang oleh umatnya dipakai untuk sembahyang memuliakanNya, bisa disebut rumah Allah, dan tidak khusus hanya di kepala manusia, tidak juga hanya di dadha dan lain-lain. Adapun sebutan Baitullah yang asli bersumber dari firmanNYa (Al Qur’an) sebagai pusat arah shalat secara lahiriah adalah di Mekah. Sedangkan secara arah batiniyah itu ditujukan langsung kepada Gusti Allah yang berada di mana-mana.”

Di dalam buku saya “Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga”, saya mencoba membahas sastra-sastra suluk yang menggambarkan hubungan Gusti Allah dan manusia tatkala masih dalam alam ruh, serta gambaran tentang singgasana dan kediaman Allah di Baitul Makmur, Baitul Muharram dan Baitul Muqaddas atau Masjidil Aqsa. Di Baitul Makmur, para malaikat setiap hari silih berganti memohon ampun dan bertawaf seperti orang bertawaf di Ka’bah. Dari baitul Makmur pula Allah bertitah serta mengatur alam raya, dunia akhirat dan para makhlukNya.

Baitul Muharram digambarkan sebagai rumah tempat Allah menyendiri, tempat terlarang sehingga bahkan malaikat pun tidak boleh masuk. Sedangkan Baitul Muqaddas adalah tempat yang disucikan.

Ketiga rumah Gusti Allah tersebut banyak diulas dalam kajian-kajian kebatinan Jawa, namun tidak demikian halnya di dalam Al Qur’an maupun hadis. Dalam kedua sumber rujukan utama umat Islam itu, Baitul Haram atau rumah suci tiada lain adalah ka’bah yang berada di Mekah, yang disebut dalam Surat Al Maidah dan sebelumnya juga dalam Surat Ali Imron ayat 96. “Ja’ alallaahul ka’batal baital haraama qiyaamal lin naasi, (Allah telah menjadikan ka’bah rumah suci itu sebagai pusat peribadatan manusia,” (Al Maidah: 97).

Sedangkan mengenai Baitul Makmur, Surat At-Thur : 4 – 6 Gusti Allah berfirman, “dan demi Baitul Makmur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya  terdapat api,” . Uraian lebih lanjut tentang Baitul Makmur diterangkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw tatkala mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’rajnya. Beliau bersabda, “Saat melewati langit ke tujuh, aku diangkat menuju Baitul Makmur. Padanya datang setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi. Mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi berthawaf di Ka’bah. Demikianlah Baitul Makmur, ia adalah ka’bah bagi penduduk langit ke tujuh. Di situ terlihat Nabi Ibrahim Al Khalil alihisshalatu wasalam menyandarkan badannya (Shahihain).

Ada pun Baitul Maqdis, disebut dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar, Baginda Rasul menyatakan Baitul Maqdis di Palestina itu adalah rumah suci yang kedua di bumi, yang dibangun 40 tahun setelah Baitul Haram.

Di dalam Suluk Kidung Kawedar yang menjadi pokok bahasan buku Jalan Dakwah Sunan Kalijaga di atas, manusia yang masih berupa ruh dan berada di alam ruh digambarkan kekuatan dan perjalanannya sampai ditiupkan ke rahim ibu.  Kidung Kawedar juga bisa disebut Kidung Hartati, yaitu Kidung yang memiliki karsa yang utama. Karsa adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Ruh ini dianugerahi arta daya, yakni kebijaksanaan dan kekuatan batin termasuk rasa belas kasih.

Demikianlah pada hemat saya, WHJ menggambarkan, Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, membekali manusia dengan hakikat kediamannya, dan bukan kediaman dalam gambaran rumah tinggal secara fisik. Hakikat kediaman itu adalah Baitul Makmur di kepala dan otak, Baitul Muharram di dada dan kalbu, serta Baitul Muqaddas di dalam kemaluan berupa inti sari benih kehidupan. Para penganut spiritual non muslim terutama Barat yang diilhami oleh aliran spiritual Mesir Kuno juga mengenal hakikat energi dengan posisi tubuh yang seperti itu, yaitu hakikat energi pikiran yang dilambangkan sebagai garam dan berada di kepala; hakikat energi  nabati atau perasaan yang dilambangkan sebagai merkuri dan berada di sekitar ulu hati; serta hakikat energi hewani yang dilambangkan dengan sulfur berada di wilayah organ seks.  

Insya Allah di sesi berikutnya, sebelum menyelam lebih dalam ke lautan hakikat kediaman Gusti Allah pada diri manusia, kita akan bahas bagaimana orang-orang Mesir Kuno dan Orang Barat mengolah potensi “energi ketuhanan” tersebut menjadi “emas spiritual”, sehingga membawa mereka menjadi bangsa yang maju. Juga bagaimana pandangan para penganut tasawuf pada umumnya serta Islam Kejawen tentang  hal itu.

B.Wiwoho
Suluk Hamemayu (Hamemayu Hayuning Bawono)
Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk Nusantara, Beji – Depok, Minggu Wage, 25 November 2018 atau 16 Mulud 1952 Saka atau 17 Rabiul Awal 1440H.