Upaya-upaya rekonsiliasi pasca
Pilpres, berlangsung dan mulai muncul ke permukaan sejak “Pertemuan MRT” antara
Capres Jokowi dengan Capres Prabowo Sabtu 13 Juli 2019, yang dilanjutkan dengan
makan siang “disate” Senayan berlatar belakang “jejer wayang dengan
Gunungan di tengah, Punakawan Golongan Hitam – Togog, Bilung plus raksasa di
kiri, serta Punakawan Golongan Putih – Semar, Gareng, Petruk dan Bagong di
sebelah kanan. Pada hari yang sama, Cawapres Sandiaga Uno juga berjumpa dengan
Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi – Eric Tohir.
Pertemuan berikutnya berlangsung
pada hari Rabu 24 Juli 2019 antara Prabowo dengan Megawati Sukarnoputri yang
didamping Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Sekretaris Kabinet
Pramono Anung, serta dua orang putra Megawati yaitu Prananda dan Puan Maharani
dengan menu yang disiapkan khusus oleh Bu Mega yakni nasi plus lauk yang
“digoreng” bersama “bawang” alias nasi goreng. Makan siang di ruang makan
dengan hiasan lukisan Onta, dilanjutkan pertemuan dengan latar belakang “rono”
atau penyekat ruangan berukiran seperti kaligrafi dan vas bunga seperti
bunga plastik.
Pada saat yang sama tokoh Partai
Nasdem Surya Paloh juga makan siang dengan Gubernur Jakarta Anis Baswedan. Dari
pertemuan ini keluar isyu Surya Paloh menjagokan Anis untuk Capres 2024. Sebuah
rangkaian pertemuan yang bisa multi tafsir dan penuh simbol, namun diharapkan
bisa menjadi bibit-bibit rekonsiliasi atau rujuk nasional. Mungkinkah?
Pilpres yang berlangsung pada 17
April 2019, telah menghadirkan banyak peristiwa yang perlu dicermati secara
seksama, terutama potensi-potensi negatif agar kita dengan cepat bisa membuat
antisipasi untuk mengatasinya. Yang paling memprihatinkan adalah data-data
formulir C-1 yang mengindikasikan di daerah-daerah pemukiman dengan mayoritas
Suku-Agama-Ras dan Antargolongan(SARA) tertentu, mayoritas atau secara mutlak
memilih Capres tertentu. Demikian pula propinsi dengan suku tertentu atau
mayoritas agama tertentu memilih Capres tertentu.
Fakta tersebut sangat memprihatinkan
mengingat tidak hanya terjadi di satu dua komunitas pemukiman dan di satu dua
propinsi, melainkan di sejumlah pemukiman dan propinsi, yang apabila tidak
cepat diantisipasi dan distop, niscaya bisa membuat bangsa dan negara ini
terbelah. Sebaliknya bila kita dengan segera mengatasi maka data-data Pilpres
tersebut akan memberikan hikmah besar.
Hal lain yang juga tak kalah menarik
adalah beberapa indikasi yang menunjukkan adanya embrio ataupun bibit-bibit
gerakan rakyat, yang ditunjukkan oleh keikutsertaan masyarakat dalam
kampanye-kampanye dengan mengeluarkan biaya pribadi masing-masing, bahkan
dengan rela berbagi kepada peserta kampanye yang lain.
Gerakan Rakyat tanpa kekerasan,
sangat terkenal ke seantero dunia tatkala tumbuh dan kemudian menggulingkan
Presiden Philipina Ferdinand Marcos tahun 1986. Ciri-ciri kebangkitan
gerakan rakyat selanjutnya yang dikenal sebagai Populisme, dikemukakan oleh
Dr.Christa Deiwiks dari International Conflict Research, Zurich tahun 2009.
Momentum di suatu negara dan
pemerintahan yang bisa memicu bangkitnya Gerakan Populisme, menurut dia ada
tiga. Pertama, situasi krisis sosial dan ekonomi termasuk penguasaan
ekonomi oleh asing, yang dapat menimbulkan penyebab kedua, yakni
kesenjangan ekonomi. Ketiga, kritik tajam terhadap demokrasi dan para
elite, terutama jika dinilai cenderung menjadi alat politik oligarki dan
melahirkan komprador yang anti rakyat serta mengutamakan kepentingannya
sendiri.
Apakah tiga penyebab Gerakan Rakyat
itu bisa atau telah merembes ke Indonesia? Mari kita coba kaji dengan
menyegarkan kembali ingatan akan semangat dan cita-cita yang
melatarbelakangi Proklamasi Kemerdekaan kita yakni:
1. Rakyat Indonesia yang multi
etnis-agama-golongan, hidup secara harmonis dalam suasana
kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa
lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip
kesetaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
2. Rakyatnya cerdas, berjatidiri,
berbudaya dan berakhlak mulia.
3. Tatanan masyarakatnya berkeadilan
sosial dan berkeadilan hukum secara taat azas.
4. Tatanan politiknya menjunjung
tinggi sistem perwakilan dan permusyawaratan yang antara lain dengan
terwakilinya suku/etnis, adat-budaya, golongan dan agama yang ada di
Indonesia dalam lembaga legislatif/perwakilan rakyat.
5. Pemerintahannya dikelola oleh
birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi
serta amanah.
Semua semangat dan cita-cita
kemerdekaan tersebut pada 18 Agustus 1945 telah dirumuskan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yang berlandaskan pada Pancasila.
Bagaimana keadaan Indonesia setelah
74 merdeka sekarang ini? Indonesia tidak berada di ruang hampa, melainkan
dalam tata hubungan dan pergaulan antar bangsa yang sangat dipengaruhi oleh
kekuatan modal dan tekonologi super canggih yang terus berkembang pesat, yang
menggelorakan gelombang musik jiwa yang mendendangkan : (1) penggalangan alam
pikiran agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas; (2) pemujaan pada
pesona dunia; (3) kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir. Gelombang musik jiwa
tersebut mempengaruhi Negara-Negara Bangsa yang ada termasuk Indonesia, agar
menerima serta menghayatinya dengan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara sehingga menganut (a) sistem pasar bebas; (b) sistem sosial politik
demokratis yang individualistik; (c) sistem sosial budaya yang lepas bebas.
Dampak ketiga sistem yang bisa
memicu krisis kehidupan tersebut, sudah mulai kita saksikan dan rasakan
pada individu-individu masyarakat yang hedonis-individualis, pragmatis
–materialis serta narsis, dengan praktek-praktek ekonomi konglomerasi dan
oligarkis serta sistem politik yang berbiaya tinggi, individualistik, oligarkis
dan melahirkan para elit yang cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri.
Semuanya bertentangan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan
keagamaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menganut asas
gotongroyong dan kekeluargaan dalam masyarakat-masyarakat adat Nusantaranya
melalui musyawarah mufakat dalam mewujudkan kehidupan bersama yang rahmatan
lil alamin, yang hamemayu hayuning bawono atau menjaga
hubungan nan serasi timbal balik antara manusia – alam semesta dengan segenap
isinya dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan dasar kedua sila tersebut
manusia Indonesia diharapkan bisa mewujudkan kehidupan masyarakat yang kokoh
bersatu, yang menghayati prinsip kemanusiaan dalam perikehidupan bersama, dalam
tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial tinggi.
Dalam sikon bangsa yang cenderung
terbelah dan telah mulai melahirkan bibit-bibit gerakan rakyat itulah, rakyat
berharap para elit cepat melakukan rekonsiliasi nasional yang dapat merajut
kembali persatuan Indonesia. Itu dapat diwujudkan apabila para elit
sungguh-sungguh tulus ikhlas dan rela berkorban demi bangsa dan negara, salah
satu diantaranya yang sangat mendesak adalah membubarkan para relawan dan
buzzer media sosial masing-masing. Jika untuk yang satu ini saja tidak, rasanya
mustahil rujuk nasional akan terwujud. Bahkan yang terjadi, pagelaran wayang
justru akan dimulai. Gunungan yang berada di tengah dicabut, Golongan
Hitam (kiri) dan Golongan Putih (kanan) akan beraksi, saling tusuk bagaikan
sate-menyate dan akan saling menggoreng. Naudzubillah.
(https://panjimasyarakat.com/2019/07/26/rekonsiliasi-nasional-mulai-dari-mana/)