Bismillahirrahmanirrahim.
Di masa lalu, pada umumnya orang-orang Jawa yang
beragama Islam mengenal ajaran berdzikir yang bersumber dari Wirid Hidayat
Jati, yaitu sebuah kitab atau serat, yang dihimpun oleh ulama pujangga Karaton
Surakarta, R.Ngabehi Ranggawarsita (1802 – 1873M).
Wirid menurut Ensiklopedia Islam (penerbit Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta) adalah bacaan-bacaan zikir, doa atau amalan-amalan lain yang
dibiasakan membaca atau mengamalkannya terutama setelah salat, namun bisa juga
kapan saja setiap saat. Wirid bisa dilakukan secara jahri atau terucap dengan
suara, maupun secara sirr atau hanya di dalam hati tanpa suara.
Bagi orang Jawa penganut tasawuf, wirid bukanlah sekedar
bacaan doa, namun juga berarti mengingat serta memikirkan Gusti Allah secara
sekaligus.
Ranggawarsita yang tersohor pandai membaca keadaan jauh
ke masa depan itu, menghimpun ajaran-ajaran wirid dari para ulama terdahulu
khususnya yang dikenal sebagai Wali Sanga (sembilan ulama kekasih Gusti Allah)
dari abad 15 – 16. Wiridan-wiridan tersebut disampaikan secara turun-temurun,
dari wali senior ke yunior atau anak muridnya, ke para raja dan bangsawan serta
ulama dari masa ke masa, mulai dari masa Kesultanan Demak, Pajang, Mataram
sampai Keraton Surakarta, pada umumnya secara lesan. Pada tahun 1779 Saka
(Jawa) atau 1850M, Ranggawarsita menghimpun serta menuliskannya dalam huruf dan
bahasa Jawa dengan judul Serat Wirid Hidayat Jati atau Kitab Wirid Petunjuk
Sejati.
Serat Wirid Hidayat Jati berisi delapan wejangan atau
ajaran yaitu (1) Ilham Adanya Dat, (2) Uraian Wahana Dat, (3) Gelaran Keadaan
Dat, (4) Pembuka Tata Mahligai di Dalam Baitul Makmur, (5) Pembuka Tata
Mahligai di Dalam Baitul Mukaram, (6) Pembuka Tata Mahligai di Dalam Baitul
Mukadas, (7) Penetap Kesentaosaan Iman, (8) Sasahidan atau Persaksian.
Kata Dat adalah pengucapan sebagaimana kebiasaan orang
Jawa tempo dulu untuk kata Dzat.
Kali ini mari kita kaji bersama wejangan atau ajaran
pertama yaitu Ilham atau Bisikan Tentang Adanya Dzat, dalam hal ini adalah Dzat
Allah.
Wejangan 1: Wisikan Ananing Dat
“Wejangan
punika dipun wastani wisikan ananing Dat, awit dening pamejanganipun ing
talingan kiwa, wiyosipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang wiwitan,
nukilan saking warahing kitab Hidayat Khkakik, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci datheng
Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah makaten jarwanipun:
‘Sajatine
ora ana apa-apa; awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji; kang
ana dhingin iku Ingsun; ora ana
Pangeran
Nanging Ingsun; sajatine Kang Maha Suci
anglimputi ing sipat Ingsun, anartani ing asman-Ingsun, amratandhani ing apngal-Ingsun.’
”
Artinya
:
Ajaran
1 : Ilham atau Bisikan Tentang Adanya Dzat.
“Wejangan ini disebut ilham atau
bisikan tentang adanya dzat, karena oleh yang menyampaikannya dibisikkan di
telinga kiri, isinya disebutkan di dalam dalil ilmu (penulis: yang dimaksud
dalil adalah ayat suci Al Qur’an) yang pertama, kutipan dari ajaran kitab
Hidayatul Khakaik, menjelaskan wahyu Tuhan yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi
Muhammad Rasulullah, demikian
terjemahannya:
‘Sesungguhnya
tidak ada apa pun; sebab tatkala masih berupa angkasa belum ada satu apa pun;
yang ada mula-mula adalah Aku, tiada Tuhan selain Aku; sesungguhnya Yang Mahasuci meliputi sifat-Ku, menyertai
Nama-Ku, menunjukkan kepada perbuatan-Ku.’ ”
Inti wejangan dari wirid ini adalah
yang diketik dalam huruf miring, sedangkan kalimat sebelumnya adalah kata
pengantar. Di dalam sejumlah serat atau kitab dakwah Jawa, juga disebut kitab
atau serat suluk, kadang-kadang
ditemukan nama kitab dari bahasa Arab yang ditulis dengan ejaan Jawa. Dalam
Wirid Hidayat Jati ini misalkan Hidayat Khakaik (Hidayatul Haqaiq) dan Dakaik kalkaik
( Daqaiq al-Haqaiq), namun kutipan-kutipan kalimatnya seringkali tidak
dicantumkan secara utuh, melainkan lebih sekedar inti sarinya. Untuk itu
penulis menyarankan agar kita cukup arif memahaminya. Hal itu bisa dimaklumi
karena pada zaman itu, berbagai ajaran dan karya sastra di masyarakat Jawa
lebih pada sastra tutur dan belum sastra tulis, sehingga berbagai ajaran
disampaikan secara tutur atau lesan secara berantai, dari mulut ke mulut,
termasuk ajaran-ajaran agama Islam.
Intisari wejangan pertama Wirid
Hidayat Jati pun demikian pula halnya. Susunan kalimat dalam wejangan ini
menggambarkan firman Gusti Allah, tentang diri dan sifat-Nya, yang mestinya
bersumber dari Al Qur’an. Karena kitab ini adalah juga kitab pelajaran tentang
tasawuf, maka marilah kita pelajari dan selami wejangan ini dengan pendekatan
hakikat atau substantif, dan bukan dengan pendekatan bacaan ilmiah yang harus
akurat dalam hal sumber referensi.
Lantas bagaimana orang-orang tua
Jawa atau penghayat tasawuf tempo dulu memahami dan menghayati wirid ini?
Wejangan pertama ini memberitahu kita “tentang alam semesta yang semula
tidak ada, semuanya masih sunyi dan hampa (awang-uwung), yang paling
dahulu ada adalah Aku (Allah). Tiada apa dan siapa pun, bahkan tiada Tuhan
selain Aku (Allah). Jadi tidak ada sesuatu pun yang mendahului adanya Aku
(Allah). Inilah yang disebut dalam ajaran agama Islam sebagai qidam (terdahulu atau tidak ada yang mendahului), dan
sifat-Ku Yang Mahasuci adalah sumber dari segala sesuatu.” Apa yang kemudian
harus kita hayati dari pemahaman tersebut? Allah
Yang Maha Hidup Dengan Sendiri-Nya, lagi Mahasuci.
Wejangan 2: Wahananing Dat
“Wejangan
punika dipun wastani Wedharan Wahananing Dat, awit dene pamejanganipun amarah
urut-urutan dumadining Dat, sipat, wahananipun
kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping kalih, nukilan saking sarahing
kitab Dakaikalkaik. Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng
Nabi Muhammad Rasulullah. Karaos ing dalem rahsa makaten jarwinipun:
‘Sajatine Ingsun dat Kang Amurba Amisesa
kang kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing
kodrat Ingsun. Ing kono wus kanyatan pratandhaning apngal-Ingsun kang minangka
bebukaning iradat-Ingsun.
Kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing
sajroning alam ngadam-makdum ajali abadi. Nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca
aran Mirhatul-kayai, nuli nyawa aran Roh Ilapi, nuli damar aran Kandil,
nuli sesotya aran darah, nuli
dhindhing jalal aran kijab. Iku kang minangka warananing kalarat-Ingsun.’ ”
Artinya:
Ajaran ke
2: Tentang Wahana atau Sarana Dzat
“Wejangan ini dinamakan Uraian
Wahana Dat, karena menjabarkan urut-urutan terjadi Dat, sifat dan wahananya
seperti yang disebut dalam dalil-dalil ilmu yang kedua, kutipan dari kitab
Dakaikalkaik, menjelaskan wahyu Tuhan Yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi
Muhammad Rasulullah, yang bisa dirasakan di dalam rahsa (bisa berarti inti
nurani dan bisa juga berarti rahasia), sebagaimana berikut:
‘Sesungguhnya
Aku Dzat Yang Makakuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu, jadi
seketika, sempurna atas kodrat-Ku. Di situ menunjukkan pertanda perbuatan-Ku,
yang merupakan pembuka iradat-Ku. Yang pertama Aku ciptakan pohon
Sajaratulyakin (pohon kepercayaan atau keyakinan), tumbuh di dalam alam
keabadian (atau kelanggengan). Kemudian cahaya bernama Nur Muhammad (cahaya
yang terpuji). Selanjutnya kaca Mirhatul-hayai ( kaca untuk bercermin supaya
punya rasa malu). Kemudian pelita bernama Kandil (cahaya dalam cahaya :An-Nur/24:35).
Kemudian permata bernama Darah. Kemudian dinding agung bernama hijab, yang
merupakan dinding kehadirat-Ku.’ ”
Dalam praktek belajar, murid atau
salik atau seseorang yang sedang belajar tasawuf, dianjurkan untuk mempelajari
Wejangan kedua ini dengan bimbingan guru, agar tidak terjebak dan berkutat pada
uraian-uraian tentang kodrat dan iradat Allah seperti halnya pohon
sajaratulyakin sampai dengan darah dan dinding hijab, melainkan cukup dipahami
seperlunya.
Adapun
yang harus kita hayati dari pemahaman wejangan ini ialah Gusti Allah yang
Mahakuasa menciptakan dan menjadikan sesuatu, terutama menghidupkan kita
Wejangan
3 : Gelaran Kahananing Dat.
“Wejangan punika dipun wastani
gelaran kahananing Dat, awit dening pemejanganipun ambabar ingkang dados
kanyataan anasiring dat sipat, inggih punika nalika Pangeran Kang Mahasuci
karsa amujudaken sipatipun. Gumelar kahananipun kasebut ing dalem daliling
ngelmi ingkang kaping tiga, nukilan saking kitab Bayan Humirat mupakat kaliyan
kitab Bayan Alip, kitab Madinil Asror, kitab Madinil Malum, inggih punika
bangsanipun kitab tasawup sadaya. Sami
amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Mahasuci dhateng Kanjeng Nabi
Rasulullah karaos ing dalem rahsa. Makaten jarwanipun:
‘Sajatining
manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa. Karana Ingsun
anitahaken Adam, asal saka anasir patang prakara: (1) bumi, (2) geni, (3)
angin, (4) banyu. Iku kang dadi kawujudaning Sipatingsun. Ing kono Ingsun
panjingi mud’ah limang prakara: (1) nur, (2) rahsa, (3) roh, (4) napsu, (5)
budi. Iya iku minangka warananing wajah-Ingsun Kang Mahasuci.’ “
Artinya:
Ajaran
ke 3 : Uraian Keadaan Dzat
Wejangan ini dinamakan gelar
(uraian) keadaan Dzat, karena
menjabarkan unsur-unsur sifat, yakni tatkala Allah Yang Mahasuci hendak
mewujudkan sifatnya. Uraian keadaan Dzat tersebut ada di dalam dalil ilmu yang
ketiga, kutipan dari kitab Bayan Humirat sejalan dengan kitab Madinil Asror dan
kitab Madinil Malum, yaitu jenis-jenis kitab tasawuf. Semuanya menjelaskan
wahyu Tuhan Yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah yang terasa
di dalam rahsa. Begini uraiannya:
‘Sesungguhnya manusia itu adalah
rahasia-Ku. Dan Aku ini rahasia manusia. Sebab aku menciptakan Adam yang
berasal dari unsur empat hal: (1) bumi (atau tanah), (2) api, (3) angin, (4)
air. Itu adalah perwujudan dari sifat-sifat-Ku. Di situ Aku memasukkan intisari lima hal : (1) nur,
(2) rahsa, (3) roh, (4) nafsu, (5) budi. Itu semua merupakan dinding Wajah-Ku
Yang Mahasuci.’ “
Seperti halnya Wejangan ke 2,
Wejangan ke 3 ini juga harus dipahami dan dihayati dengan bimbingan seorang
mursyid, seorang guru yang sepadan. Namun secara garis besar kita bisa
memahami, pertama, rahasia hubungan timbal balik antara Gusti Allah dan manusia
khususnya diri seseorang dan lebih khusus lagi diri kita. Kedua, Gusti Allah
sangat berkuasa menciptakan manusia yang berasal dari empat unsur dengan sifat-sifat
dasar tanah, api, angin dan air. Ketiga, Gusti Allah memasukkan sehingga
menyatu pada diri manusia lima intisari kehidupan yang bisa menggerakkan
kehidupan yakni nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.
Berbeda dengan kelima unsur tersebut
(yang bersumber dari tiga kitab yang disebut sebelumnya) , sejumlah ulama
menyebut tiga komponen diri yaitu akal atau cipta, qalbu atau rahsa dan nafsu
atau karsa (lihat B.Wiwoho dalam buku-buku 1.Memaknai
Kehidupan, 2.Bertasawuf di Zaman Edan, dan (3) Islam Mencintai Nusantara, Jalan
Dakwah Sunan Kalijaga). Ketiga komponen diri itu akan kita jumpai apabila
kita mengaji Wejangan Wirid Hidayat Jati ke 4 sampai 6.
Demikianlah Gusti Allah adalah Yang
Mahahidup (urip) yang menghidupkan
hamba-hamba dan makhluk-Nya (kang gawe
urip), serta yang memberikan bekal, sarana, jalan dan mengatur kehidupan hamba-hamba-Nya, kepada kita (kang nguripi). Keyakinan akan ketiga hal
tentang hidup ini harus kita tanamkan secara kuat pada diri kita membentuk
sikap dan perilaku yang tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah
dalam segala hal) dan tawadhu (rendah hati).
Maka manusia hidup harus rendah
hati, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan takabur, karena hidup dan
kehidupan atau jalan hidup kita itu sangat tergantung pada Yang Mahahidup. Kita
sungguh tidak tahu kapan dan bagaimana Yang Mahahidup akan menghentikan hidup
kita.
Dengan mengutip ajaran Kanjeng Nabi
Muhammad dan gurunya, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa kehidupan kita ini
sesungguhnya hanya terdiri dari tiga tarikan nafas saja. Satu tarikan telah
lewat membawa amal perbuatan yang dikerjakan tatkala menarik nafas itu. Satu
nafas sedang dijalankan, dan satu nafas lagi belum tahu apakah kita bisa
melakukan karena kemungkinan datangnya ajal saat sedang bernafas yang kedua
tadi. Jika demikian halnya maka secara hakikat, sesungguhnya hanya satu tarikan
nafas saja yang kita miliki, bukan jam, bukan hari. Umur kita secara hakikat
hanyalah satu tarikan nafas.
Betapa luar biasa kekuasaan Dzat
Allah tersebut, sehingga dalam banyak doa dan sabdanya, Kanjeng Nabi Muhammad
sering mengawali dengan kalimat antara lain: “ Demi Dzat yang jiwaku senantiasa dalam genggaman-Nya”, atau “Demi Dzat yang membolak-balikkan hati”,
atau “Demi Dzat yang Maha Pengasih”
dan lain-lain. Semuanya menggambarkan betapa seluruh nasib, kehidupan dan jiwa
raga kita senantiasa di dalam genggaman kekuasan Gusti Allah.
Oleh sebab itu maka kita harus senantiasa
berserah diri sekaligus bergantung kepada Yang Menghidupkan dan Menghidupi
kita, dengan usaha atau ikhtiar yang sesuai dengan aturan-aturan dari Yang
Mahahidup, senantiasa berdoa memohon perkenan, perlindungan dan
pertolongan-Nya, serta meniatkannya demi bekal ibadah dan amal saleh. Yang
Mahahidup dengan kuasa dan kehendak-Nya akan menghidupi serta mengatur
kehidupan kita. Dalam rangka itu kita diijinkan membulatkan cipta dan karsa
kita, mengungkapkan cita-cita dan keinginan kepada-Nya. Sesudah itu
selanjutnya, berserah diri akan kuasa dan kehendak-Nya.
Demi menggalang penghayatan yang
seperti itu, kita dianjurkan untuk membiasakan pada setiap saat dalam berbagai
keadaan dan di mana pun berada, berdzikir menyebut setidaknya dua asma Allah
yakni Yaa Hayyu –Yaa Qayyuum (Yang Mahahidup
– Yang Mahaberdiri Dengan Sendiri-Nya), dengan segenap pemahaman, keyakinan dan
penghayatan sebagaimana uraian di atas. Yakinilah, “hasbunallah wa nikmal wakil, cukuplah Allah yang menjadi penolong
kami”. Inilah maqam mulia yang diidamkan para salik, yang bersuluk mengenal
Gusti Allah dengan sebenar-benarnya mengenal. Allahumma aamiin. (B.Wiwoho).
Suluk
Hamemayu
(Hamemayu Hayuning Bawono).
Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk
Nusantara, Beji – Depok, Minggu Kliwon 29 Juli 2018 atau 16 Dulkangidah 1951
Saka atau 15 Dzulqaidah 1439H.