(http://www.teropongsenayan.com/92990-jenderal-yoga-tentang-sikon-menjelang-g30s-2-senam-revolusioner)
Sementara itu, situasi perekonomian sangat memprihatinkan. Kehidupan sosial
ekonomi masyarakat sangat sulit. Bahan-bahan kebutuhan pokok
sangat langka, rakyat bahkan dijatah dengan kupon-kupon yang harus ditukar
dengan mengantre berjam-jam. Harga barang dan biaya-biaya hidup lainnya terus meroket, akibatnya inflasi
membubung tinggi.
Kebutuhan bahan bakar minyak dijatah, listrik yang baru terpasang di daerah
perkotaan pun mengalami giliran, mati– hidup. Keuangan negara terus mengalami defisit. Pada
tahun 1964, misalnya, penerimaan negara hanya mencapai 681,328 miliar rupiah, tetapi
pengeluaran pemerintah mencapai 923,444 miliar rupiah, sehingga
terjadi defisit 397,942 miliar rupiah. Dalam tahun anggaran 1965,
keadaan tidak membaik. Penerimaan negara sekitar 800 miliar rupiah,
tetapi pengeluarannya hampir dua kali lipat sehingga defisitnya
makin melebar. Untuk menutup defisitnya, Bank Sentral terus mencetak uang baru, yang merupakan
faktor pendorong inflasi dan nilai rupiah pun makin merosot.
Dalam suasana seperti itu, kegiatan-kegiatan aksi sepihak berupa ancaman,
teror dan kekerasan fisik pun dilakukan oleh ormas-ormas PKI di
beberapa daerah yang menimbulkan suasana ketakutan masyarakat.
Subandrio, pada Kongres Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Serbupri)
menggelorakan istilah senam revolusioner. Ia menyerukan kepada kaum buruh untuk menggunakan
aksi-aksi sebagai “senam revolusioner”, agar otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh
menjadi kuat, untuk kemudian “naar de politieke macht”, menuju kekuatan politik.
Hal lain yang menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat adalah
pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh PKI, bahwa “Ibu Pertiwi sudah hamil tua, yang akan
segara melahirkan satu kekuatan baru.”
Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya pada Hari Ulang Tahun PKI yang ke 45
tanggal 23 Mei 1965, Bung Karno secara berapi-api berpidato, “Saya
sebagai Pimpinan Besar Revolusi dan Mandataris MPRS merangkul PKI.
Sebab, siapa yang bisa membantah, bahwa PKI adalah unsur yang
hebat di dalam penyelesaian revolusi Indonesia. PKI menjalar menjadi
kuat. PKI kini beranggotakan tiga juta orang, simpatisannya 20
juta. Apa sebabnya PKI sampai demikian? Ialah karena PKI adalah
konsekuen progresif revolusioner. Saya berkata, PKI ya sanakku,
ya kadangku, yen mati aku melu kelangan “ (ed. PKI itu adalah
saudaraku, ya kerabatku, kalau mati aku ikut kehilangan).
Dalam suasana yang penuh dengan hawa panas perang urat syaraf serta
rekayasa opini seperti itu, Yoga menjalankan tugasnya melakukan misi
intelijen. Khusus mengenai masalah penyelesaian konfrontasi dengan
Malaysia, pelaksanaan lapangan lebih banyak dilakukan oleh Ali
Moertopo yang dibantu sejumlah perwira lainnya. Tim operasional yang
dipimpin Ali Moertopo melibatkan berbagai kalangan, baik militer, pengusaha dan eksponen
antikomunis lainnya. Usaha yang dilakukan secara sangat berhati-hati itu akhirnya bisa menjalin
kontak dengan kalangan resmi di Malaysia melalui beberapa orang Indonesia yang tinggal di
Malaysia dan Singapura. Ada sejumlah tokoh sipil Indonesia yang bersembunyi di kedua negara itu
setelah peristiwa pemberontakan PRRI. Dengan mereka kontak-kontak
pun dijalin.
Sejumlah pertemuan berhasil dilakukan dengan pihak tertentu di Malaysia yang
juga menginginkan perdamaian dengan Indonesia. Kalangan resmi
Malaysia itu di bawah kendali Wakil Perdana Menteri Tun Abdul
Razak.
Langkah-langkah
Soekarno
Kecurigaan Presiden Soekarno kepada para jenderal yang tidak loyal tampaknya
semakin besar akibat gosokan orang-orang di sekelilingnya. Hal
tersebut terbukti dengan serangkaian pertemuan yang diselenggarakan
Presiden dengan para pembantunya untuk membahas masalah tersebut.
Dalam pertemuan di Istana Tampak Siring, Bali, pada 6 Juni 1965 dibahas pula
masalah itu. Malam hari itu, hadir sejumlah pejabat antara lain
Menlu Subandrio, Chaerul Saleh, Leimena, Jusuf Muda Dalam, Kepala
Polisi Bali Jenderal Syaifuddin, Jaksa Tinggi Bali, Komisaris
Besar Sumirat, dan Brigjen Sabur. Para ajudan juga hadir, seperti
Bambang S. Widjanarko dan AKBP Mangil.
Bung Karno mengemukakan dalam pertemuan tersebut bahwa para jenderal
hendaknya tidak hanya memikirkan taktik dan strategi militer
saja, melainkan juga perlu mengerti strategi dunia, khususnya strategi
politik di Asia Tenggara. Pandangan adanya bahaya dari utara
(China) merupakan visi Nekolim (Neo kolonialisme) yang harus
ditolak. Poros Jakarta-Peking merupakan pandangan strategis yang
harus diikuti oleh para Jenderal.
Pendapat yang berkembang dalam pertemuan tadi antara
lain menyatakan, pandangan sejumlah perwira AD telah
mempersulit pelaksanaan kebijaksanaan Bung Karno di tingkat bawah.
Ini menyebabkan timbulnya pengelompokan-pengelompokan di kalangan AD, ada yang setia dan ada yang menolak
pandangan Bung Karno.
Menanggapi pendapat tersebut, Bung Karno mengatakan perlunya perombakan di kalangan pimpinan AD. Presiden
juga memerintahkan Jenderal SyaifuddinJuntuk melakukan
pengecekan
sejauh mana kebenaran berita mengenai Dewan Jenderal.
Sedangkan Subandrio menyarankan Presiden memanggil Letjen Ahmad
Yani untuk ditanya mengenai jenderal-jenderal yang tidak
loyal.
Jenderal-jenderal yang disebut-sebut tidak loyal antara
lain A.H. Nasution, S. Parman, Sutoyo, dan M.T. Haryono. Mereka
dianggap tidak mau mengikuti garis politik Bung Karno, dengan
indikasi keengganan mereka bekerja sama dengan kaum komunis.
Bung Karno sendiri semakin memantapkan langkahnya mempererat hubungan RI-China dengan mengirim sejumlah delegasi ke negara komunis itu. Pada bulan Juli, ia
mengadakan pertemuan dengan PM Chou En Lai di Shanghai. Pertemuan
tersebut menghasilkan kesepakatan perlunya penciptaan hubungan
berporos Jakarta-Phnom Penh-Peking. Demikian pula rencana
pemberianbantuan senjata bagi pembentukan Angkatan Kelima di Indonesia sebagaimana saran Menteri Luar Negeri China, Chen Yi
tatkala berkunjung ke Indonesia November 1964, akan segera
dilaksanakan.
Selain pertemuan Bung Karno-Chou En Lai yang bersifat
tertutup, diselenggarakan pula pertemuan besar antara pejabat
kedua negara. Kunjungan Bung Karno, disertai antara lain Aidit, Ali
Sastroamidjojo, Syaifuddin Zuhri, dan Kusumowidagdo.
Pembicaraan mengenai bantuan senjata tersebut ternyata dilanjutkan oleh misi Omar Dhani ke RRC. Misi juga
memberitahukan pemerintah RRC mengenai rencana Indonesia membantu dua
pesawat MiG kepada Pakistan. Bantuan pesawat itu
menguntungkan China karena berarti memperkuat Angkatan Udara
Pakistan dalam menghadapi India, negara yang dianggap musuh RRC.
Misi Omar Dhani berhasil membawa pulang bantuan
senjata. Sebuah pesawat Hercules milik AURI dan kapal laut
Gunung Kerinci digunakan untuk mengangkut senjata dari RRC. Senjata itulah yang kemudian dibagi-bagikan kepada para anggota Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani).
Pembagian senjata dilakukan di Senayan. Suatu hari di
Istana Bogor, Bung Karno menerima laporan pembagian senjata
itu dari Brigjen Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa. Ikut mendengarkan
laporan Sabur adalah Leimena, Kolonel Saelan, Komisaris Besar Sumirat, Mangil, dan Bambang Widjanarko.
Di kemudian hari diketahui, sesuai penuturan Bambang Widjanarko dalam suatu pemeriksaan, Bung Karno tidak menyalahkan pembagian senjata itu. Bung Karno,
katanya, pernah menyatakan seharusnya tenaga-tenaga
revolusioner itu dipersenjatai. Sisa-sisa senjata yang belum dibagikan
tersimpan di gudang TNI-AU Mampang. Jumlah senjata yang sudah
datang dari
RRC sebanyak 3.000 pucuk, tetapi baru sebagian yang
dibagikan.
Sempat terjadi insiden tembak menembak antara mereka yang menggunakan senjata
RRC tersebut dengan pasukan Kostrad di sekitar Senayan dan Hotel Indonesia. (B.Wiwoho:Nomer
2 dari 5, dikutip dari buku : Jenderal Yoga, Loyalis Di Balik Layar halaman 54
– 58).