Senin, 30 Desember 2024

NAPAK TILAS REVOLUSI PERPAJAKAN INDONESIA (1): Membangun Monas Yang Bisa Menjadi Mesin Uang

 


 
Buku 1 dari trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, The Untold Stroy.
 

Pengantar:

Sebulan terakhir ini, jagad politik dan media sosial Indonesia diramaikan dengan isyu pro kontra tentang rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mulai 1 Januari 2025, dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini mengikuti Undang-Undang No:7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2021. Dalam sejarah dunia, masalah perpajakan merupakan hal sangat penting, tetapi juga sekaligus sangat peka. Guna mengetahui dan memahami sejarah perpajakan di tanah air, berikut kami turunkan  tulisan seri dari Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho yang telah dibukukan dalam buku 1 trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, melengkapi tulisan-tulisan lepasnya beberapa waktu terakhir. Selamat mengikuti.

Pernahkah anda mengetahui ada Monumen Nasional selain Tugu Monas yang selama ini kita kenal? Tak banyak yang tahu, karena memang belum banyak dipublikasikan. Adapun yang dimaksud dengan Monumen Nasional tersebut adalah Reformasi Pajak tahun 1983 atau disebut juga sebagai Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Hal itu dikemukakan oleh Presiden Soeharto untuk membangun tekad dan semangat tatkala melakukan PSPN, yang kemudian ditimpali oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, “yang bisa menjadi mesin uang” (Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan  penulis dengan Radius Prawiro dan Salamun AT. Hal yang sama juga disinggung dalam buku Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi, PT, Elex Media Komputindo, 1998: 326 dan Radius Prawiro, Kiprah, Peran, dan Pemikiran, Pustaka Utama Grafiti, 1998 : 245 serta Anne Booth, Ledakan Harga Minyak dan Dampaknya, UI-Press 1994 : 52).

Tentu tidak semudah itu membuat monumen nasional yang bisa menjadi mesin uang. Bahkan sebelum benar-benar terwujud menjadi mesin uang, Presiden Soeharto mengancam Direktur Jenderak Pajak Salamun AT, setelah Dirjen Pajak tersebut memberikan penyuluhan kepada seluruh pimpinan pemerintahan di Istana Negara, Sabtu 16 Pebruari 1985, dengan mengatakan jika pak Salamun tidak mampu menertibkan dan memimpin aparat pajak untuk mewujudkannya, maka Presiden terpaksa akan merumahkan aparat-aparat pajak serta menyewa tenaga-tenaga asing buat menggantikannya. Pak Salamun mengungkapkan  kegalauannya memperoleh ultimatum Pak Harto tersebut kepada kami, pengurus Yayasan Bina Pembangunan.

        Ancaman Pak Harto itu cukup beralasan karena disamping citra buruk aparat pajak, Indonesia juga sudah mulai menghadapi bayang-bayang anjlognya harga minyak dan gas bumi, yang bisa mengakibatkan merosotnya penerimaan negara, sehingga pada gilirannya bisa menyebabkan runtuhnya Pemerintahan bahkan negara. Ancaman yang sama juga terbukti dilakukan Pak Harto dua bulan kemudian, tatkala mereformasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan menyewa jasa lembaga surveyor Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). SGS mulai mengambilalih serta melaksanakan tugas Ditjen Bea dan Cukai berdasarkan Instruksi Presiden no 4 tanggal 11 April 1985, dan berlangsung selama 12 tahun. (B.Wiwoho, buku -1  trilogi The Untold Story, Tonggak-Tonggak Orde Baru,  bagian IV, Penerbit Buku Kompas 2024. Bersambung:  Trauma Pajak Dengan Lebih 100 kali Pemberontakan).

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru #Soeharto  # Radius Prawiro #Salamun AT #Monas.


 

 

 

Sabtu, 28 Desember 2024

CARA PRESIDEN SOEHARTO MEMILIH MENTERINYA (1): MENDALAM TAPI TIDAK HIRUK PIKUK

 

BUKU 2 TRILOGI THE UNTOLD STORY TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU


 

Pengantar: Lima tahun sekali, pasca Pemilihan Presiden, media sosial banyak menyajikan informasi tentang susunan Kabinet Presiden Terpilih. Informasi itu bisa jadi tebak-tebakan, dugaan atau bisa juga harapan, karena bukan berasal dari sumber resmi apalagi dari yang paling berwenang. Berikut ini kami sajikan sebuah  referensi -- merupakan satu-satunya yang ada – tentang bagaimana salah seorang Presiden Republik Indonesia yaitu Presiden Soeharto merekrut para pembantu dekatnya. Referensi ini ditulis oleh Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho di dalam buku 2 dari trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU, yang edisi revisinya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Semoga menjadi bahan bacaan menyegarkan yang relevan dengan keadaan sekarang. Selamat mengikuti.

 

Menggali kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, baik tentang kekurangan maupun kelebihannya. Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar.

Bagi orang kebanyakan saja, tidak mudah menjadi pendengar yang baik, apalagi bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan ucapan ataupun keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun penulis melihatnya dalam suatu pertemuan terbuka, mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat. Apalagi menaikkan satu kaki di atas kursi atau meja.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya, tidak banyak basa-basi serta tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah, bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan. Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos, kecuali sedang bermain golf atau memancing.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada penulis dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo, Senin 28 Januari 2008. “Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal, tidak pernah melihatnya duduk sambil mengangkat kaki. Tidak pernah ma’gerra’-gerra, bicara keras dan bernada tinggi.’Demikian pula tangannya tidak ikut sibuk ketika sedang berbicara.” Sikap seperti itu menurut pak Kiai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar, tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut. Sebagai mantan wartawan yang bertugas di Istana selama hampir delapan tahun dan mengenal dekat karena berbagai tugas berikutnya antara lain tokoh-tokoh pimpinan Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), serta pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro, saya sering memperoleh bocoran dari beliau bertiga, catatan sebagian daftar 300-an tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja, selalu tersedia dan senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang- bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun daerah, khususnya teman- teman seperjuangannya, sehingga daftar atau kumpulan nama tersebut dapat dengan mudah beliau himpun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat membutuhkan, beliau menugaskan Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk, informasi yang lebih mendalam tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan- loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran dan kapasitas pribadinya.

Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria, serta bagaimana kehidupan rumahtangganya, harmonis atau tidak. Jika pria, beristeri lebih dari satu atau tidak. Kehidupan rumahtangga dianggap penting, karena apabila terhadap lingkungan yang kecil itu saja seseorang tidak mampu mengelolanya dengan baik, bagaimana mungkin mengelola lingkungan yang jauh lebih besar. Pak Harto ingin betul-betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara.

Mantan pejabat Opsus/BAKIN sahabat penulis yang menolak disebutkan namanya, menceritakan pada 26 April 2021, penelitian hal- hal seperti itu terhadap seseorang tokoh apalagi calon pejabat penting, merupakan hal wajar dan sudah merupakan prosedur operasi standar pada masa itu. Menurut mantan pejabat yang membidangi masalah penggalangan tadi, penelitian bisa dilakukan dengan cepat tanpa yang bersangkutan mengetahui, dan hampir semua staf atau pejabat BAKIN mampu melakukannya.

Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului pulang kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan Yoga Sugomo yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak penulis menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Perihal kekecewaanya terhadap Pak Harto dan lebih khusus kepada Jenderal Benny Moerdani, ia menceritakan, dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei 1985, Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain:

(1)      Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.

(2)      Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah.

(3)      Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial serta sasaran tembak.

(4)         Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Karena itulah Yoga menyarankan agar Pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Yoga akan mengamankannya.

Saran Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto serta ditolak oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima Angkatan Bersenjata Benny Moerdani yang juga hadir malam itu, melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan, terutama dengan Benny Moerdani. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Soeharto yang ternyata diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya mendukung Pak Yoga.

Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga Sugomo, sehingga memutuskan tidak akan menghadap Pak Harto lagi, jika tidak dipanggil. Semenjak itu pula, pertemuan rutin, hampir setiap Jumat malam di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat, yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti. Pertemuan tersebut digunakan Presiden dan pembantu terdekat untuk mengevaluasi keadaan. Mereka mengolah informasi-informasi penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan, berikut langkah-langkah untuk mengantisipasinya.

Yoga Sugomo yang kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan kedua sejawatnya tadi, menenangkan diri dengan memperpanjang kunjungannya ke Jepang menyertai delegasi Persatuan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jepang pertengahan Juni 1985. Selama dua minggu, Yoga lebih banyak menghabiskan waktunya di hotel dengan berzikir dan sesekali menerima kunjungan serta ngobrol santai dengan tamu- tamu sahabat dekatnya baik sahabat dari Indonesia yang sudah tinggal di Jepang, maupun dari komunitas intelijen. Yoga juga banyak mengajak diskusi soal tasawuf dan aneka dzikir serta wiridan, yang sedang ditekuninya sebagai seorang salik, seorang murid pencari jalan menuju Tuhan, terutama dari sang guru, sang mursyid Abah Anom dari Tasikmalaya.

Ia juga memenuhi undangan makan siang dari mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda, sambil bicara santai bersendau gurau sebagaimana layaknya seorang sahabat. (B.Wiwoho, buku ke-2  Tonggak-Tonggak Orde Baru, Penerbit Buku Kompas: 1-7. Bersambung: Mengutamakan Loyalitas dan Setiakawan) ***

 

    #Soeharto  # Takeo Fukuda  # Ali Moertopo  # Yoga Sugomo    #Ali Yafie  #Tien Soeharto #Benny Moerdani  # Sudharmono #Opsus # BAKIN  # Radius Prawiro # Majelis Ulama Indonesia

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru

 

                                                                

 

 

 

 

 

 

 

(5)       

 

 

 

 

 

Senin, 25 Desember 2023

Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.

 

Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.

Seorang Purnawirawan Perwira Tinggi (Pati) bintang empat, sampai Desember 2023 ini menurut yang bersangkutan,  telah menulis 53 judul buku, 27 di antaranya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK). Luar biasa. Pati itu ialah Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara periode 2002 – 2005, kelahiran 17 Desember 1947. 


Dua bukunya yang terbaru yaitu “Keamanan Nasional dan Penerbangan”  dan “Pesawat Terbang itu Berbahaya” yang diterbitkan oleh PBK, diluncurkan Jumat 15 Desember 2023 di Djakarta Theater, dalam suatu forum bedah buku yang bertema  “Jaga Angkasa, Jaga Nusa Bangsa”, dengan menampilkan para pembicara antara lain Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, wartawan Parni Hadi, Guntur Soekarnoputra dan sejarawan Peter Carey.

Bagi bangsa dan negara, buku tentang pengetahuan, jejak langkah serta pengalaman seseorang pejabat yang sudah purna tugas, sangat besar arti dan manfaatnya. Karena dari buku-buku seperti itu masyarakat terutama generasi penerus bisa belajar banyak hal, baik yang positif maupun yang negatif, kelebihan dan kekurangan; kita bisa melihat sejumlah tonggak-tonggak perjalanan bangsa. Tentu kita tidak bisa berharap semua buku seperti itu bebas dari hal-hal subyektif dan 100 persen akurat.

Jika bangunan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara diibaratkan sebuah kompleks gedung pencakar langit, maka kesaksian, pengetahuan serta pengalaman seseorang, tentulah pada posisi di mana yang bersangkutan pernah berada atau bertugas. Bisa jadi di bagian depan gedung, di belakang, di lantai dasar, di lantai paling atas, atau pernah berada di mana-mana meski hanya sebentar. Sementara seseorang yang lain berada di posisi atau titik yang berbeda, dengan bidang tugas dan sudut pandang yang lain pula bahkan berseberangan. Perbedaan ataupun hal-hal yang kurang akurat - jika ada - tidak jadi masalah, dan sangat biasa dalam proses penyusunan sejarah. Setidaknya kesaksian-kesaksian yang diungkapkan dalam buku-buku tersebut bisa saling melengkapi serta mengoreksi,  dan menjadi bahan kajian para ahli sejarah, yang secara bersama akan memutuskan dalam suatu “Mahkamah Sejarah”.

Bagi pribadi tokoh yang bersangkutan, menulis jejak langkah dan tonggak-tonggak perjalanan kehidupannya, juga besar arti dan manfaatnya. Orang yang sudah purna tugas dan lansia, lanjut usia, perlu punya kesibukan guna mengisi waktu kosongnya. Sedangkan menulis buku adalah kesibukan yang positif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Penerbang, penulis buku dan musisi.

Kembali ke tokoh kita, Chappy Hakim, di masa mudanya adalah penerbang Angkatan Udara yang tamat dari Akademi Angkatan Udara (1971), Sekolah Penerbang (1973), Sekolah Instruktur Penerbang (1982) serta berbagai jenjang pendidikan dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri.

Tatkala menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara berlangsung suatu peristiwa yang jika salah menangani, bukan tidak mungkin bisa terjadi pertempuran dengan Amerika Serikat (AS). Peristiwa itu dikenal sebagai “Kasus Bawean”, 3 Juli 2003. Hari itu ada Armada Ketujuh Amerika Serikat, yang salah satunya berupa Kapal induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson yang sedang berlayar dari arah Barat ke Timur bersama dua kapal Fregat dan sebuah Kapal perusak Angkatan Laut Amerika Serikat. Ketika berada di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), 5 pesawat tempur jenis F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat, terbang dan melakukan manuver yang cukup membahayakan penerbangan sipil, dan terlihat secara visual oleh awak pesawat Boeing 737-200 Bouraq Indonesia Airlines yang sedang menuju Surabaya, sekitar pukul 15:00 WIB. Kejadian itu  dilaporkan ke Pemandu lalu lintas udara Bali, yang  kemudian diteruskan kepada Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, Marsekal Muda Wresniwiro dan selanjutnya ke Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim.

Pesawat AS tersebut terbang dan melakukan berbagai manuver. Karena tidak memiliki izin dan tidak berkomunikasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan penerbangan, dua pesawat F16 TNI AU terbang dari Lanud Iswahyudi Madiun untuk melaksanakan identifikasi. Pesawat-pesawat tempur itu saling berhadapan dan sempat terjadi perang elektronika antara keduanya. Dua dari lima Hornet AL AS mengambil sikap bermusuhan (hostile) dan melakukan aksi "jamming" terhadap F-16 TNI AU. Perang ECM (Eletronic Counter Measure) dilawan dengan menghidupkan perangkat anti-jamming, sehingga usaha untuk menutup "mata" pesawat-pesawat TNI AU gagal. Kelima Hornet AL AS terpantau dengan jelas di radar kedua Falcon TNI AU, dan mereka bisa saja melepaskan rudal AIM-9 Sidewinder. Sikap bermusuhan Hornet, baru mereda ketika Falcon 1, melakukan manuver rocking-the-wing, yang menandakan bahwa Falcon 2 tidak mengancam mereka. (Chappy Hakim & Supri Abu, Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, 2019 dan Chappy Hakim, Imelda Bachtiar, ed. Dari Segara Ke Angkasa, Dari Prajurit Udara Ke Penulisan Dan Guru, 2018).

Peristiwa tadi mengilhami Chappy Hakim menulis beberapa buku, salah satunya yaitu Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, membahas secara khusus masalah jalur udara di atas ALKI.

Alur Laut Kepulauan Indonesia adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing di atas laut tersebut secara damai dan normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI yang terdiri dari 3 jalur. ALKI I melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, Samudra Hindia. ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok. ALKI III Melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Samudra Hindia (B.Wiwoho, buku 3 Trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU hal 242, Elmatera 2021).

 


Kasus Bawean baru satu kasus dalam masa jabatan Chappy Hakim sebagai prajurit TNI selama 34 tahun. Dari pengalaman selama itu pula ia telah menulis 53 buku, dan insya Allah akan masih terus menulis sambil menjadi musisi. Melalui tulisan-tulisannya, Chappy ingin melihat bangsanya maju, memiliki harga diri sekaligus disegani bangsa-bangsa lain, menggalang pertahanan keamanan nasional yang kuat lagi tangguh, dan secara lebih khusus lagi membangun  penerbangan nasional yang handal.

Bagaimana Chappy Hakim mengatur waktunya agar tidak jenuh dengan terus menulis? Ia juga mempertahankan hobbynya semenjak remaja untuk relaksasi, yakni bermain musik. Bersama grup bandnya, The Playsets, Chappy menjadi vokalis sekaligus memainkan saxophone dan kadang-kadang gitar, bersama timnya yaitu Alam pemain drum, Ari pemain bas, Roy pada gitar, Djoko dan Yance bermain saxophone, Finggo pemain gitar dan Nadjib Oesman di keyboard/piano. Selama ini The Playsets sering tampil di Klub Eksekutif Persada Halim Perdanakusuma dan Lagoon Lounge Hotel Sultan. Jika sudah begitu, ia nampak sangat menikmati, sangat asyik dan seperti lupa pada segala hal kecuali bermusik-ria.

Semoga bermunculan “Chappy-Chappy Hakim” lain,  tokoh-tokoh di berbagai bidang kehidupan yang mau, bisa dan tekun menuliskan, mendokumentasi melalui berbagai cara, pengetahuan dan pengalamannya sehingga menjadi sumber pengetahuan masyarakat luas, terutama generasi masa depan negeri maritim Nusantara ini. Meski terlambat, selamat ulang tahun ke 76 pak Chappy, sehat bahagia berkah melimpah. Amin. (B.Wiwoho , https://panjimasyarakat.com/2023/12/22/marsekal-chappy-hakim-menulis-53-buku/)