Kamis, 22 Mei 2025

WASPADAI MOBILISASI 60-AN BATALION MILITER ASING DI INDONESIA!

 Catatan Silaturahmi Geopolitik__

Oleh: Irjpenpol (Purn) M.Arief Pranoto



Kunjungan Mayjen TNI (Purn) Prijanto, ex Wagub DKI Jakarta 2007-2011 bersama wartawan senior Bambang Wiwoho di kediaman Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno ---Panglima ABRI ke 9--- pada tanggal 12 Mei 2025 lalu, sekilas seperti silaturahmi biasa antar senior-yunior, atau antara atasan-bawahan, ataupun merajut kembali pertemanan lama, dan lainnya. Namun, siapa sangka bahwa hikmah pertemuan tersebut justru tak lazim. Tidak biasa-biasa saja. Ada hal-hal luar biasa yang wajib dipetik hikmahnya oleh segenap anak bangsa baik yang bersifat keteladanan, keteguhan maupun kewaspadaan nasional.

Pertanyaannya ialah, "Apa keteladanan dan kewaspadaan nasional yang bisa dipetik dalam silaturahmi dimaksud?"

Sebelum diuraikan, kita mundur sejenak daripada kegaduhan publik dan kehebohan di kalangan para elit politik akibat rilis  "8 (delapan) sikap" dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Tidak main-main, Pernyataan Sikap tersebut diteken 300-an pensiunan jenderal dari tiga matra (AD, AL, AU) plus para kolonel, dan turut mengetahui Pernyataan Sikap tersebut ialah Pak Try, Wapres RI ke-6. Old soldiers never die, they just fade away.

Adapun inti dari poin-poin Pernyataan Sikap tersebut sebagai berikut:

1.Kembali pada UUD 1945 Asli;

2. Mendukung program kerja Kabinet Merah Putih, kecuali melanjutkan IKN;                                              

3.Menghentikan Projek Strategis Nasional seperti PIK2, Rempang dan projek-projek serupa;

4. Menghentikan TKA yang masuk di NKRI dan mengembalikan tenaga kerja China ke negeri asalnya;

5. Penertiban pengelolaan tambang berbasis Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945;

6. Melakukan reshuffle terhadap menteri yang diduga korupsi dan masih terafiliasi dengan rezim sebelumnya;

7. Mengembalikan Polri pada fungsi kamtibmas di bawah Kemendagri;

8. Usul penggantian Wapres RI kepada MPR.

 

“SAYA TIDAK JUAL NEGARA”

Jujur saja. Pasca nama Pak Try menjadi bahan pemberitaan (bullying) media sosial karena ikut teken (mengetahui) pada pernyataan delapan butir Forum Purnawirawan TNI,  dengan santai beliau berkata:

"Saya nggak apa-apa kok dikatain macam-macam. Yang penting saya tidak jual negara"

Plong! Tanpa beban. Ini sikap kenegarawanan Pak Try yang patut diteladani kita bersama. Kenapa? Selain siap 'dibenci' oleh rezim bahkan tak populer di mata publik karena memperjuangkan sesuatu; berani ambil risiko terhadap apa yang diperbuat; juga, keteguhan pilihan atas hal-hal yang diyakininya benar (tidak munafik). Itu yang pertama soal keteladanan.

Yang kedua, penekanan Pak Try terhadap delapan butir Pernyataan Sikap yang beliau ikut tanda tangan, titik fokusnya justru di poin ke-1 yakni kembali ke UUD 1945 yang asli untuk disempurnakan melalui teknik adendum. Sedang tujuh butir lainnya, kata beliau, itu dampak dari amandemen empat kali UUD (1999, 2000, 2001, 2002).

Yang ketiga, dari 7 (tujuh) butir lainnya, ada satu yang perlu diwaspadai yakni potensi invasi senyap dari tenaga kerja asing (Red: TKA China), yang jika dimobilisasi tidak kurang dari 60 batalion tentara asing mengancam kita.

Selanjutnya beliau wanti-wanti agar selalu waspada serta mengantisipasi kecenderungan situasi dan kondisi yang semakin memburuk pascaUUD 1945 diamandemen empat kali (1999-2002).

 

TAK BICARA GIBRAN

Nah, dari obrolan mereka bertiga ---Pak Try, Pak Pri, dan Pak Wi--- hampir tidak ada pembicaraan soal poin ke-8 (makzulkan Gibran). Entah kenapa. Mungkin di mata negarawan, upaya permakzulan itu urusan hilir. Hanya residu dari sebuah persoalan hulu. Padahal, untuk poin 8 ---makzulkan Gibran--- justru dianggap besar serta menimbulkan kehebohan politik di publik. Dan membuat beberapa elit politik girap-girap.

Ini bedanya pola pikir antara politisi dan negarawan. Kalau politisi berpikir next election, bagaimana meraih kekuasaan dan bertahan di kursi dst; sedang negarawan berorientasi next generation, bagaimana rakyat makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran, menjadi bangsa terhormat di muka bumi dll. Ya, beda perspektif.

Bahwa poin ke-1 dari  Pernyataan Sikap tersebut (kembali ke UUD 1945) dianggap sebagai titik fokus yang kudu ditekankan, sedang ketujuh butir lainnya hanya dampak dari amandemen empat kali UUD 1945 sehingga UUD kini berubah individulis, liberal dan kapitalistik.

 

60 BATALION TENTARA ASING

Obrolan semakin menarik tatkala Pak Try melemparkan hasil penginderaannya atas situasi kondisi yang berkembang. Relatif tajam. Beliau mewanti-wanti dengan maraknya gelombang TKA khususnya dari China jika dimobilisir bisa kurang lebih 60 batalion tentara.

Dalam geopolitik (dan geostrategi), jika hasil penginderaan atas 60 batalion tadi bersifat A1, sesungguhnya China tengah menerapkan apa yang disebut dengan istilah 'Strategi Kuda Troya', yaitu memasukkan militer ke dalam kedaulatan negara lain secara nirmiliter. Dalam hal ini melalui investasi asing berskema Turnkey Project Management (TPM) di mana mulai dari top management, material, money, man power dst hingga ke kuli-kuli pun diboyong dari negara asal.

Siapa berani menjamin, jika kuli-kuli dalam TPM itu bukan tentara merah?

Demikian catatan kecil silaturahmi geopolitik antara senior yunior dibuat. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Sekadar sharing pemikiran untuk menambah wawasan dan bahan diskusi lebih lanjut.

                                        Terima kasih.

                                        M.Arief Pranoto

                                    210525, Bd Lampung

 #mariefpranoto #prijanto  #trysutrisno #bwiwoho #china #gibran

 

 


 

 

 

Rabu, 30 April 2025

Resensi Buku: STRATEGI PEMBANGUNAN MASA DEPAN

 


 


STRATEGI PEMBANGUNAN MASA DEPAN, Memetik Hikmah Masa Lalu dan Sekarang Demi Mewujudkan Kejayaan Indonesia, demikian tema bedah trilogi atau 3 buku Untold Story Tonggak-Tonggak Orde Baru, karya B.Wiwoho.

Gambaran bangsa dan negara yang mengkhawatirkan, mundur ke belakang, krisis etika, krisis karakter, mengalami deformasi dan dalam banyak hal tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja bahkan mengkhawatirkan, menjadi bahan pembicaraan yang sambung-menyambung dalam acara bedah buku Jumat 11 Oktober 2024 di Kompas Institut Jakarta.

Indonesia menurut para peserta, sedang berada di era deformasi, karena praktik operasionalnya berbanding terbalik dengan makna reformasi itu. Terutama, semenjak diberlakukan UUD NRI 1945 produk Amandemen alias UUD 2002. Wajah negara bangsa ini telah  dicorat-coret sedemikian rupa sehingga tidak terlihat keaslian 'Wajah Indonesia' yang dahulu dikenal guyub, ramah, tepo seliro, toleransi, santun, pekerja keras, gotong royong dan seterusnya. Justru perilaku warganya kini diwarnai sikap beringas, individualis, materialis, pragmatis, hedonis, narsis, liberal lagi kapitalistik. Selain sikap rakyatnya yang berubah drastis, juga ulah para tokoh, elit-elit politik, dan perumus kebijakan yang nyaris tanpa keteladanan. Nampak jelas banyak di antara mereka yang bersemboyan. “Berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.“ Hal tersebut diperparah dengan maraknya 'kemiskinan' di berbagai lini dan sektor yakni miskin mental, miskin moral dan miskin iman atau miskin keyakinan. Satu hal yang menumbuhkan harapan adalah gambaran yang diungkapkan para pembicara, dan juga buku Tonggak-Tonggak Orde Baru, yang kurang lebih sama dengan isi buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, yang ditulis oleh Prabowo Subianto, kini Presiden Republik Indonesia (PT. Media Pandu Bangsa, Januari 2022). Prabowo Subianto yang tatkala menulis buku tersebut menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam bukunya memaparkan banyak data, fakta dan angka-angka yang memperkuat bacaan keadaan.

 

SOLUSI STRATEGIS SISTEMIS

Catatan bedah buku tersebut diolah dan dilengkapi dengan hasil  perumusan yang oleh tim yang terdiri dari  dr.Hariman Siregar, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno,SH. Dr. (H.C) Heppy Trenggono, M.Kom Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, Dr. Herdi Sahrasad Paulus Tri Agung Kristanto B. Wiwoho, dan kini diterbitkan menjadi buku oleh Penerbit Panji Masyarakat. Ukuran buku 21 cm x 15 cm. Tebal 194 hlmn (xii + 182).

Untuk mengatasi berbagai kondisi kritis yang diuraikan di bagian depan, sekaligus mencegah terjadinya bahaya perpecahan bangsa, buku baru ini menegaskan kita harus memiliki serta melaksanakan kebijakan strategis yang menyeluruh dan terpadu, bukan hanya bersifat tambal sulam, emosional dan manipulatif yang tidak menyentuh akar utama persoalan, yakni mengembalikan kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara sesuai dan sejalan dengan semangat serta cita-cita proklamasi kemerdekaan sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, yang harus menjiwai seluruh pasal-pasal dalam batang tubuh UUD. Langkah selanjutnya adalah menjabarkan pasal-pasal tersebut ke dalam berbagai UU dan peraturan turunannya, antara lain penguasaan modal dan sumber daya alam yang bisa membangun peta kompetisi di antara sesama anak bangsa secara sehat, seimbang dan berkelanjutan, yang disertai penguasaan teknologi dan kemampuan menghadapi dengan baik kapitalis global, artificial intelligence dan kecenderungan pertumbuhan yang eksponensial dalam banyak hal. Yang juga tak kalah penting adalah secara sungguh-sungguh tidak pandang bulu kita harus memberantas KKN dengan antara lain melaksanakan dan menegakkan UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.




Secara garis besar, solusi strategis sistemis itu bisa di kelompokkan sebagai berikut:

1). Membangun kepemimpinan nasional yang kuat, yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan harapan rakyat, yang menjiwai dan beriorientasi pada keadilan sosial dan pem bangunan karakter bangsa, serta memiliki kemampuan untuk melakukan rancangbangun sosial yang baik dan memadai; yang juga bisa membuat serta melaksanakan paradigma baru dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan bangsanya, sehingga bisa keluar dari keterpurukan yang semakin parah, akibat paradigma lama yang mengekor peradaban bangsa-bangsa lain.

2). Memulihkan, menjaga dan meningkatkan keamanan dan ke tertiban umum, di samping tetap memberikan perhatian yang serius terhadap masalah perbatasan wilayah ke daulatan negara.

3). Tata Pemerintahan yang amanah, akuntabel dan meningkat kan kualitas serta aksesibilitas pelayanan publik.

4. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dengan me ningkatan kesejahteraan sosial rakyat, mengatasi kesenjangan sosial ekonomi dan membentuk masyarakat yang sehat termasuk mengantisipasi dampak di masa depan akibat 4 dari 10 generasi muda mengalami stunting dan lain lain.

Dalam membentuk masyarakat yang sehat diperlukan antara lain: (a). tersedianya sarana dan pelayanan kesehatan yang mencukupi; (b). pembangunan lingkungan hidup dan sanitasi serta komunitas sadar hidup sehat ; (c). perbaikan gizi; (d). mencegah timbulnya wabah dan antisipasinya serta pemberantasan penyakit menular; (e). pembinaan dan pengawasan yang kuat terhadap obat obatan, makanan dan minuman.

5). Membangun ekonomi kerakyatan dan kemandirian ekonomi, pro people – pro poor, dengan melaksanakan secara konsisten dan konsekuen pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat 1 – 3, termasuk di antaranya mendisain dan menggalang kembali konsep Perusahaan Inti Rakyat, serta menjadikan perusahaan-perusahaan besar bagaikan lokomotif yang bergerak secara terintegrasi harmonis dengan gerbong gerbong UMKM. Seiring dengan itu digerakkan pembangunan yang dimulai dari desa, yang berbasis ekonomi kreatif dan berkelanjutan.

6). Menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten dan kon sekuen, termasuk dalam membasmi KKN, dan secara lebih khusus lagi menegakkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta membuat UU tentang Pembuktian Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan serta UU Perampasan Aset Tindak Pidana.

7). Mengembangkan sistem pendidikan nasional dan pembi naan kebudayaan yang: (a) berjatidiri kokoh serta bisa  mengambil hikmah dari sejarah bangsa-bangsa khususnya sejarah nasional kita sendiri; (b) Mencermati serta mengantisipasi revolusi budaya dan perkembangan gaya hidup generasi muda masa depan, yang bukan tidak mungkin akan membentuk suatu peradaban baru. Sejalan dengan itu kita harus kembali menggalang karakter bangsa yang kokoh. Dunia pendidikan mempunyai tanggung jawab mewujudkan karakter yang baik, dengan menanamkan pemahaman akan etika dan moral sebagai pedoman bagi para generasi muda Indonesia Emas dalam mewujudkan pembangunan karakter bangsa yaitu jujur, bertanggung jawab, disiplin, visioner, adil, kerjasama, dan peduli (7 Budhi Utama). (c) Mampu mengejar, mengikuti dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya smart technology dan articial intelligence yang kini sedang melesat pesat, eksponensial. Kita perlu segera menyadari kelemahan generasi milenial dan Gen Z kita dewasa ini, meskipun mereka digolongkan sebagai native digital , yaitu generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, dimana teknologi tertanam dalam kehidupan sehari-hari, tetapi justru paling rentan terhadap risiko pengangguran. Padahal seharusnya dengan digital informasi tidak terbatas, kreativitas menjadi lebih bagus dan lebih inovatif. Tetapi itu tidak terjadi, artinya mereka hanya sebagai pengguna digital, dan bukan sebagai inovator digital, tidak menciptakan kolaborasi. Pemanfataan digital masih sangat rendah, masih lebih sekadar hiburan. Berbeda dengan di negara-negara tetangga, dengan digital mereka lebih rajin belajar. Padahal dilihat dari statistik, penetrasi internet kita sudah 77% dari total penduduk Indonesia, (d) Mengembangkan pendidikan kaderisasi pemimpin bangsa  yang diinisiasi oleh negara maupun masyarakat sipil. Pemimpin yang berkualitas dan berjiwa demokratis sangat penting bagi masa depan demokrasi itu sendiri. Namun ia tidak lahir dengan tiba-tiba. Ia lahir dari proses pendidikan baik formal dan informal. Demokrasi bukan sesuatu yang sekedar mengikuti kehebatan orang-orang pintar, dan tidak juga boleh terbawa arus kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang bodoh. Karena itu menyelenggarakan pendidikan bagi lahirnya generasi penerus bangsa adalah tanggung jawab bersama bangsa ini. Baik negara maupun masyarakat sipil perlu bahu membahu untuk mewujudkan pendidikan kaderisasi pemimpin bangsa ini.

8). Menata kembali sistem politik dan ketatanegaraan yang mampu mengikuti perkembangan dan tantangan zaman serta globalisasi, namun tetap berlandaskan pada semangat dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 – 18 Agustus 1945, serta mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman selama Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi khususnya pasca Amandemen UUD 2002. Dalam mengantisipasi tantangan zaman dan globalisasi yang terus berkembang, kita harus bisa mengatasi serta menangkal berbagai bentuk perang modern dengan perang asimetrisnya beserta divisi divisi tempurnya, demikian pula dalam menghadapi radikalisme dan ekstremisme beserta ancaman terorisme dan kejahatan-kejahatan internasional-global lainnya .

9). Mengembangkan hubungan kerjasama internasional melalui politik luar negeri yang bebas aktif sesuai dengan yang telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, demi terwujudnya tata dunia baru yang harmonis dan sederajat, yang rahmatan lil alamin – rahmat bagi semesta alam, yang hamemayu hayuning bawono – menjaga dan melestarikan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa pada alam semesta ini dengan segenap isinya. Dalam kaitan ini, Indonesia harus mencermati perkembangan geopolitik dunia yang berpotensi, bahkan cenderung berubah secara dinamis dan cepat.

Buku Strategi Pembangunan Masa Depan  ini merangkum dengan rapi pandangan kritis para peserta yang terdiri dari para tokoh lintas generasi, yang nama-namanya dicantumkan dalam kulit sampul belakang. Untuk sementara, buku dicetak dengan sistem PoD atau dicetak sesuai pesanan, dengan harga per buku Rp150.000, Pemesanan ke  WA: 812-3530-6821 (Nafisa Sukmajati). 0811873332 dan 081235306821 ***

 

#strategipembangunan    #b.wiwoho      #harimansiregar #prabowo     #tedjoedhi     #gunawansumodiningrat  #ordebaru   #reformasi   #pagarlaut     #bentengperdikan #pancasila    #panjimasyarakat   #panjimasbook    

 

 

Sabtu, 22 Februari 2025

PERSIAPAN LAHIR BATIN MENYAMBUT PUASA RAMADAN

 

 



Beberapa hari lagi kita akan memasuki sebuah Lorong Waktu, yang dikenal sebagai bulan suci Ramadan. Di bulan ini umat Islam menyucikan diri dengan menjalankan aneka ibadah seperti berpuasa, salat tarawih serta sedekah. Di Indonesia lebih khas lagi, ditambah bersilaturahmi  ke sanak saudara terutama mengunjungi orang tua. Dengan itu semua diyakini sangat mudah untuk mendapatkan pahala Allah Swt.

Ibadah puasa Ramadan dilaksanakan umat Islam menaati pertintah Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 183 :"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Namun demikian, ijinkan penulis mengingatkan sebuah hadis  Kanjeng Nabi Muhammad Saw. riwayat Ath-Thabrani yang menyatakan  “Banyak orang yang bepuasa, namun tidak mendapatkan  apa-apa dari puasanya tersebut, kecuali hanya rasa lapar dan haus saja.”  Selain itu menurut Kanjeng Nabi : "Setiap amalan anak Adam itu untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya."  (Hadis riwayat Bukhari).

Kedua hadis di atas mengingatkan agar kita membekali diri, lahir batin, sehingga bisa memperoleh mutiara, hikmah dan hakikat puasa Ramadan, dan bukan hanya sekedar mendapatkan lapar dan haus. Puasa oleh para ulama fikih, dimasukkan ke dalam kelompok ibadah mahdah bersama jenis-jenis ibadah lain seperti salat dan haji. Ibadah berasal dari kata al ‘ibadah yang berarti pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan, merendahkan diri dan doa. Dengan demikian ibadah adalah segala hal yang dilakukan, diniatkan dan dipersembahkan sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebagai Tuhan yang disembah. (Ensiklopedi Hukum Islam).

Seorang budak disebut al-‘abd karena rendahnya martabat yang bersangkutan di depan sang tuan. Seorang manusia di depan Allah Swt. disebut sebagai al-‘abd karena manusia harus mengabdikan diri kepada Gusti Allah. Maka hakikat ibadah adalah ketundukan, kepatuhan dan kecintaan yang sempurna kepada Allah Swt. Tindakan merendahkan diri di mata Allah ini lazim dilakukan oleh para pengamal tasawuf, yang sering menyebut dirinya sebagai seorang hamba yang fakir dan bodoh, karena memang pada hakikatnya manusia itu lahir polos tanpa membawa dan memiliki apa-apa, tanpa bisa apa-apa kecuali menangis. Harta benda, keluarga, ilmu dan segala yang ada padanya di kemudian hari sesungguhnya adalah milik Gusti Allah Yang Mahaagung, yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya, yang sewaktu-waktu akan diminta kembali oleh-Nya.

Masyarakat awam selama ini mengenal ada dua macam ibadah, yaitu ibadah mahdah dan ibadah muamalah. Namun banyak juga ulama fikih yang membagi ibadah dalam 3 macam:

1). Ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ciri-ciri ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui Al-Qur’an dan hadis. Contoh: salat, puasa, zakat dan haji.

2). Ibadah ghair mahdhah atau lebih populer disebut ibadah muamalah, yang berarti ibadah yang berkaitan dengan pergaulan, adalah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama makhluk (hablum minallah wa hablum minannaas). Jadi di samping hubungan vertikal sebagaimana ibadah mahdah, juga ada hubungan horizontal. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, seperti ayat yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya …” (Surat Al-A’Raaf:56).

Ibadah muamalah sangat diperlukan guna mengatur kegiatan manusia dalam menemukan kebaikan bersama dan mengurangi kezaliman atas manusia lain, termasuk melalui penguasaan dan pemanfaatan alam raya secara semena-mena. Berbeda dengan teks dalil dalam ibadah mahdah yang bersifat tetap, khusus dan sudah terinci, teks dalil ibadah muamalah bersifat umum, sehingga membuka peluang untuk ijtihad, menafsirkan secara lebih rinci dan berkembang sesuai dengan zaman dan tempat. Hal itu sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Bila dalam urusan agama ( para ulama menafsirkan sebagai aqidah dan ibadah mahdah) contohlah aku. Tapi, dalam urusan duniamu (teknis mu’amalah), kamu lebih tahu tentang duniamu.” (H.R. Muslim).

3).Ibadah zi al-wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus yakni mahdah dan gair mahdah. Dalam ibadah ini, sebagian maksud dan tujuan persyariatannya dapat diketahui dan sebagian lainnya tidak dapat diketahui. Contohnya adalah nikah dan idah.

Demikianlah wahai sahabatku, puasa yang termasuk dalam ibadah mahdah itu sangat penting dan hukumnya wajib. Namun  kalau sekadar menahan makan minum dan syahwat serta tidak melakukan perbuatan maksiat selama bulan Ramadan saja, tidaklah cukup. Karena di samping harus melaksanakan ibadah mahdah yang seperrti itu, ternyata masih banyak lagi hal-hal yang menuntut amal perbuatan, amal saleh kita melalui ibadah muamalah. Memberantas korupsi yang dampaknya luas dan sangat luar biasa jahatnya bahkan lebih jahat dibanding terorisme, membasmi ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat – berbangsa dan bernegara, memerangi penyebab-penyebab kemiskinan, melawan perusakan alam dan lingkungan, demikian pula melawan kezaliman, kemunafikan dan kemungkaran, yang boleh jadi bahkan sedang bersimaharajelala di diri kita, yang justru mungkin tidak kita pahami dan sadari, adalah juga ibadah.

Marilah kita menyiapkan diri lahir-batin,  bukan sekedar menyiapkan makanan untuk sahur, berbuka ataupun pakaian baru serta aneka materi lainnya.

Semoga dengan rida Allah Yang Mahakuasa kita bisa melaksanakan. Amin.

*) Diolah dari buku MUTIARA HIKMAH PUASA, AGAR TIDAK HANYA MENDAPATKAN LAPAR & HAUS, B.Wiwoho,  Penerbit Panji Masyarakat (panjimasyarakat.com atau panjimasbook.com).

 

#mutiara hikmah puasa                                                       #ramadan   #ibadah mahdah    #ibadah muamalah      #ibadah zi al-wajhain   #ghair mahdhah  #lapar dan haus #b.wiwoho

 

 

 

Senin, 30 Desember 2024

NAPAK TILAS REVOLUSI PERPAJAKAN INDONESIA (1): Membangun Monas Yang Bisa Menjadi Mesin Uang

 


 
Buku 1 dari trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, The Untold Stroy.
 

Pengantar:

Sebulan terakhir ini, jagad politik dan media sosial Indonesia diramaikan dengan isyu pro kontra tentang rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mulai 1 Januari 2025, dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini mengikuti Undang-Undang No:7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2021. Dalam sejarah dunia, masalah perpajakan merupakan hal sangat penting, tetapi juga sekaligus sangat peka. Guna mengetahui dan memahami sejarah perpajakan di tanah air, berikut kami turunkan  tulisan seri dari Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho yang telah dibukukan dalam buku 1 trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, melengkapi tulisan-tulisan lepasnya beberapa waktu terakhir. Selamat mengikuti.

Pernahkah anda mengetahui ada Monumen Nasional selain Tugu Monas yang selama ini kita kenal? Tak banyak yang tahu, karena memang belum banyak dipublikasikan. Adapun yang dimaksud dengan Monumen Nasional tersebut adalah Reformasi Pajak tahun 1983 atau disebut juga sebagai Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Hal itu dikemukakan oleh Presiden Soeharto untuk membangun tekad dan semangat tatkala melakukan PSPN, yang kemudian ditimpali oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, “yang bisa menjadi mesin uang” (Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan  penulis dengan Radius Prawiro dan Salamun AT. Hal yang sama juga disinggung dalam buku Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi, PT, Elex Media Komputindo, 1998: 326 dan Radius Prawiro, Kiprah, Peran, dan Pemikiran, Pustaka Utama Grafiti, 1998 : 245 serta Anne Booth, Ledakan Harga Minyak dan Dampaknya, UI-Press 1994 : 52).

Tentu tidak semudah itu membuat monumen nasional yang bisa menjadi mesin uang. Bahkan sebelum benar-benar terwujud menjadi mesin uang, Presiden Soeharto mengancam Direktur Jenderak Pajak Salamun AT, setelah Dirjen Pajak tersebut memberikan penyuluhan kepada seluruh pimpinan pemerintahan di Istana Negara, Sabtu 16 Pebruari 1985, dengan mengatakan jika pak Salamun tidak mampu menertibkan dan memimpin aparat pajak untuk mewujudkannya, maka Presiden terpaksa akan merumahkan aparat-aparat pajak serta menyewa tenaga-tenaga asing buat menggantikannya. Pak Salamun mengungkapkan  kegalauannya memperoleh ultimatum Pak Harto tersebut kepada kami, pengurus Yayasan Bina Pembangunan.

        Ancaman Pak Harto itu cukup beralasan karena disamping citra buruk aparat pajak, Indonesia juga sudah mulai menghadapi bayang-bayang anjlognya harga minyak dan gas bumi, yang bisa mengakibatkan merosotnya penerimaan negara, sehingga pada gilirannya bisa menyebabkan runtuhnya Pemerintahan bahkan negara. Ancaman yang sama juga terbukti dilakukan Pak Harto dua bulan kemudian, tatkala mereformasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan menyewa jasa lembaga surveyor Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). SGS mulai mengambilalih serta melaksanakan tugas Ditjen Bea dan Cukai berdasarkan Instruksi Presiden no 4 tanggal 11 April 1985, dan berlangsung selama 12 tahun. (B.Wiwoho, buku -1  trilogi The Untold Story, Tonggak-Tonggak Orde Baru,  bagian IV, Penerbit Buku Kompas 2024. Bersambung:  Trauma Pajak Dengan Lebih 100 kali Pemberontakan).

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru #Soeharto  # Radius Prawiro #Salamun AT #Monas.


 

 

 

Sabtu, 28 Desember 2024

CARA PRESIDEN SOEHARTO MEMILIH MENTERINYA (1): MENDALAM TAPI TIDAK HIRUK PIKUK

 

BUKU 2 TRILOGI THE UNTOLD STORY TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU


 

Pengantar: Lima tahun sekali, pasca Pemilihan Presiden, media sosial banyak menyajikan informasi tentang susunan Kabinet Presiden Terpilih. Informasi itu bisa jadi tebak-tebakan, dugaan atau bisa juga harapan, karena bukan berasal dari sumber resmi apalagi dari yang paling berwenang. Berikut ini kami sajikan sebuah  referensi -- merupakan satu-satunya yang ada – tentang bagaimana salah seorang Presiden Republik Indonesia yaitu Presiden Soeharto merekrut para pembantu dekatnya. Referensi ini ditulis oleh Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho di dalam buku 2 dari trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU, yang edisi revisinya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Semoga menjadi bahan bacaan menyegarkan yang relevan dengan keadaan sekarang. Selamat mengikuti.

 

Menggali kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, baik tentang kekurangan maupun kelebihannya. Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar.

Bagi orang kebanyakan saja, tidak mudah menjadi pendengar yang baik, apalagi bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan ucapan ataupun keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun penulis melihatnya dalam suatu pertemuan terbuka, mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat. Apalagi menaikkan satu kaki di atas kursi atau meja.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya, tidak banyak basa-basi serta tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah, bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan. Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos, kecuali sedang bermain golf atau memancing.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada penulis dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo, Senin 28 Januari 2008. “Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal, tidak pernah melihatnya duduk sambil mengangkat kaki. Tidak pernah ma’gerra’-gerra, bicara keras dan bernada tinggi.’Demikian pula tangannya tidak ikut sibuk ketika sedang berbicara.” Sikap seperti itu menurut pak Kiai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar, tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut. Sebagai mantan wartawan yang bertugas di Istana selama hampir delapan tahun dan mengenal dekat karena berbagai tugas berikutnya antara lain tokoh-tokoh pimpinan Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), serta pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro, saya sering memperoleh bocoran dari beliau bertiga, catatan sebagian daftar 300-an tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja, selalu tersedia dan senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang- bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun daerah, khususnya teman- teman seperjuangannya, sehingga daftar atau kumpulan nama tersebut dapat dengan mudah beliau himpun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat membutuhkan, beliau menugaskan Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk, informasi yang lebih mendalam tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan- loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran dan kapasitas pribadinya.

Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria, serta bagaimana kehidupan rumahtangganya, harmonis atau tidak. Jika pria, beristeri lebih dari satu atau tidak. Kehidupan rumahtangga dianggap penting, karena apabila terhadap lingkungan yang kecil itu saja seseorang tidak mampu mengelolanya dengan baik, bagaimana mungkin mengelola lingkungan yang jauh lebih besar. Pak Harto ingin betul-betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara.

Mantan pejabat Opsus/BAKIN sahabat penulis yang menolak disebutkan namanya, menceritakan pada 26 April 2021, penelitian hal- hal seperti itu terhadap seseorang tokoh apalagi calon pejabat penting, merupakan hal wajar dan sudah merupakan prosedur operasi standar pada masa itu. Menurut mantan pejabat yang membidangi masalah penggalangan tadi, penelitian bisa dilakukan dengan cepat tanpa yang bersangkutan mengetahui, dan hampir semua staf atau pejabat BAKIN mampu melakukannya.

Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului pulang kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan Yoga Sugomo yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak penulis menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Perihal kekecewaanya terhadap Pak Harto dan lebih khusus kepada Jenderal Benny Moerdani, ia menceritakan, dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei 1985, Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain:

(1)      Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.

(2)      Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah.

(3)      Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial serta sasaran tembak.

(4)         Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Karena itulah Yoga menyarankan agar Pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Yoga akan mengamankannya.

Saran Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto serta ditolak oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima Angkatan Bersenjata Benny Moerdani yang juga hadir malam itu, melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan, terutama dengan Benny Moerdani. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Soeharto yang ternyata diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya mendukung Pak Yoga.

Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga Sugomo, sehingga memutuskan tidak akan menghadap Pak Harto lagi, jika tidak dipanggil. Semenjak itu pula, pertemuan rutin, hampir setiap Jumat malam di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat, yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti. Pertemuan tersebut digunakan Presiden dan pembantu terdekat untuk mengevaluasi keadaan. Mereka mengolah informasi-informasi penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan, berikut langkah-langkah untuk mengantisipasinya.

Yoga Sugomo yang kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan kedua sejawatnya tadi, menenangkan diri dengan memperpanjang kunjungannya ke Jepang menyertai delegasi Persatuan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jepang pertengahan Juni 1985. Selama dua minggu, Yoga lebih banyak menghabiskan waktunya di hotel dengan berzikir dan sesekali menerima kunjungan serta ngobrol santai dengan tamu- tamu sahabat dekatnya baik sahabat dari Indonesia yang sudah tinggal di Jepang, maupun dari komunitas intelijen. Yoga juga banyak mengajak diskusi soal tasawuf dan aneka dzikir serta wiridan, yang sedang ditekuninya sebagai seorang salik, seorang murid pencari jalan menuju Tuhan, terutama dari sang guru, sang mursyid Abah Anom dari Tasikmalaya.

Ia juga memenuhi undangan makan siang dari mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda, sambil bicara santai bersendau gurau sebagaimana layaknya seorang sahabat. (B.Wiwoho, buku ke-2  Tonggak-Tonggak Orde Baru, Penerbit Buku Kompas: 1-7. Bersambung: Mengutamakan Loyalitas dan Setiakawan) ***

 

    #Soeharto  # Takeo Fukuda  # Ali Moertopo  # Yoga Sugomo    #Ali Yafie  #Tien Soeharto #Benny Moerdani  # Sudharmono #Opsus # BAKIN  # Radius Prawiro # Majelis Ulama Indonesia

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru

 

                                                                

 

 

 

 

 

 

 

(5)