Korupsi
Adalah Musuh Rakyat, Musuh Bangsa dan Negara. Hari-hari
ini kita menyaksikan di berbagai media formal maupun non formal, kemarahan Gubernur
Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menangkap basah beberapa orang kernet truk menyuap
petugas Dinas Perhubungan di Jembatan Timbang Subah, Batang, Minggu 27 April
2014. Menyaksikan perbuatan terkutuk dan hina di depan matanya tersebut, Ganjar
yang lembut itu menjadi naik pitam. Kamera wartawan dan rombongan merekam
peristiwa tersebut dan menyebarluaskan di berbagai media termasuk Youtube.
Sebelumnya kita juga pernah menyaksikan liputan berita
kemarahan yang sama dari Wakil Gubernur DKI Jaya Ahok Basuki Tjahaja Purnama dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Tetapi apa reaksi masyarakat
membaca serta menyaksikan berita-berita tersebut? Cenderung dingin dan mungkin
geli. Di media Youtube, tayangan-tayangan kemarahan Ganjar selama dua hari baru
dikunjungi tidak lebih dari 6.000 kali, jauh di bawah kunjungan tayangan gosip operasi
sabun seorang artis. Seorang kenalan pegawai negeri, bahkan berkomentar enteng,
“sial saja tuh orang Perhubungan.”
Sungguh kita tak boleh lelah dan berhenti mengobarkan
perang melawan korupsi. Ketika membuka sebuah diskusi di Mesjid Agung Al-Azhar,
Jakarta 19 April 1998, yang dihadiri tokoh-tokoh muda yang beberapa hari
kemudian menjadi tokoh-tokoh Reformasi, selaku Pemimpin Umum Majalah Panjimas,
saya menembakkan peluru terhadap gaya hidup koruptor, khususnya para pejabat
pemerintah yang jauh melebihi kewajaran dan gaji yang diterimanya. (Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, penerbit Bina Rena Pariwara, hal 171).
Korupsi dengan praktek-praktek pungutan liar,
suap-menyuap, komisi, hadiah dan mark-up telah semakin mempersulit kehidupan
masyarakat. Di sektor swasta, korupsi menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
menurunkan daya saing produk nasional, mempersempit ruang usaha serta lapangan
kerja dan pada gilirannya mengakibatkan pengangguran yang kemudian berujung
pada kebodohan dan kemiskinan.
Di sektor Pemerintahan khususnya dalam pelayanan publik,
bagian porsi anggaran yang benar-benar jatuh ke rakyat semakin mengecil,
pembangunan prasarana dan sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, pengairan
dan berbagai kesejahteraan sosial lainnya makin terabaikan. Akibatnya aneka
bencana alam dan wabah penyakit bermunculan.
Korupsi di lingkungan pemerintahan juga mengakibatkan
misalokasi dana dan sumber daya alam nasional serta penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan untuk
rakyat, bahkan kembali menempatkan Indonesia dalam cengkeraman kapitalisme
global yang menggoyahkan sendi-sendi kedaulatan ekonomi nasional.
Korupsi dan kesalahan paradigma pembangunan yang menempatkan
sumber daya alam sebagai barang modal bagi pertumbuhan ekonomi semata-mata,
juga mengakibatkan lingkungan hidup kita rusak parah, suhu udara harian meningkat, banjir
dan tanah longsor. Karena korupsi maka sumber daya alam kita yang melimpah, mulai
berubah dari berkah menjadi kutukan, menimbulkan berbagai azab dan bencana yang
susul-menyusul terus beruntun seperti tiada akhir.
Di bidang moral keagamaan, korupsi adalah perbuatan
zalim yang dimurkai Tuhan Yang Maha Adil, serta merusak moral dan akhlak para
pelaku serta siapa saja yang menikmatinya.
Menyadari betapa besar dampak negatif korupsi, penulis
bersama sejamlah tokoh dan
cendekiawan yang tergabung dalam Gerakan Kebangkitan
Indonesia Raya (GKIR), langsung melalui tangan sesepuh GKIR, yaitu mantan Wakil
Presiden Try Sutrisno, tanggal 5 Oktober 2004, menyerahkan satu bundel pokok-pokok
pikiran yang disajikan dalam bentuk kertas polos tanpa kop dan identitas serta
disket kepada calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bundel tersebut
terdiri dari beberapa artikel antara lain 3 artikel yaitu: (1). Analisa Strategis Masa Depan
Pemerintahan Pasca Pilpres 2004; (2). Pokok-Pokok Pikiran Tentang Kabinet Periode 2004 – 2009; (3). 8 Prioritas
Pemerintahan Baru Menuju Kebangkitan Indonesia Raya.
Butir kedua dari 8 Prioritas Pemerintahan Baru tersebut adalah
Mengakselerasi Pelaksanaan Tata Pemerintahan Yang Amanah Melalui Program
Pemberantasan Korupsi Secara Sistematis dan Terpola, Preventif dan Represif,
yang terdiri dari 6 langkah utama, yakni: (1) Penataan sistematik untuk menutup
berbagai peluang birokrasi yang memungkinkan terjadinya korupsi; (2) Melakukan shock therapy dan deterrent effect yang positif; (3) Menghilangkan hambatan-hambatan prosedural
dalam penanganan kasus-kasus korupsi;(4) Membangun dan mengembangkan mekanisme kontrol
sosial yang kuat; (5) Mengembangkan budaya dan tata nilai yang mengutamakan
prestasi idiil dibanding materiil; (6) Lain-lain tindakan yang memperkuat upaya
di atas antara lain law enforcement
di bidang perpajakan.
Pokok-pokok pikiran yang disusun oleh berbagai ahli
multi disiplin yang berpengalaman termasuk intelijen tersebut, disampaikan
dengan tulus dan ikhlas, dan untuk itu GKIR dan Pak Try Sutrisno menolak
memberikan usulan calon anggota Kabinet tatkala SBY menawarkannya.
Kini sudah hampir genap 10 tahun SBY memerintah.
Sementara itu korupsi bukan mereda, apalagi terbasmi. Justru orang-orang dekat
SBY serta tokoh-tokoh elit nasional dan daerah, satu persatu masuk penjara karena korupsi,
dengan besaran korupsi yang semakin fantastis. Semua itu tentu tidak bisa
disalahkan sepenuhnya kepada SBY. Kita semua bertanggungjawab, karena kita
selama ini bersikap permisif dan toleran terhadap korupsi dan para koruptornya,
bahkan tidak jarang memberikan predikat dermawan kepada mereka.
Marilah kita pahami dan sadari bahaya korupsi yang akan
menggilas, menghancurkan serta melumat
masa depan anak cucu kita. Marilah kita bertekad untuk memerangi korupsi, mulai
dari diri kita sendiri, misalkan jangan ikut-ikutan jadi koruptor atau membantu
koruptor, jangan berpesta dengan koruptor dan sejalan dengan kode etik
kehormatan Akademi Militer Amerika Serikat di West Point yang berbunyi, “ a
cadet will not lie, cheat, steal or tolerate those who do,” maka jangan
sedikitpun bersikap toleran terhadap korupsi, para koruptor dan hadiah atau pun
sumbangan dari mereka, apalagi untuk membangun parasana dan sarana ibadah.
Semoga. (B.Wiwoho, 30 April 2014).