Kata “wahyu” memiliki makna yang beragam. Yang
paling komprehensif dan sempurna dari seluruh makna tersebut adalah perpindahan
pengetahuan kepada pikiran orang yang dituju secara cepat dan rahasia
sedemikian sehingga tersembunyi dan tidak nampak bagi semua orang.
Kata
wahyu, secara etimologi berasal dari bahasa Arab
waḥā yang berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi. Dalam
pemahaman sehari-hari, kata wahyu adalah kata benda, dengan bentuk kata kerja awha-yuhi,
yang berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat, terkadang dengan
perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk suara tanpa susunan, terkadang
dengan isyarah anggota badan dan terkadang dengan tulisan.
Di
dalam ajaran Islam, wahyu adalah qalam
atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh
makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Sekalipun dalam al-Quran kata wahyu digunakan
untuk selain para nabi, akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut ditujukan
bagi para nabi. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman dalam surah an-Nisa
ayat 163, "Sesungguhnya kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah berikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi kemudiannya, dan kami telah berikan wahyu pula kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak-anak cucunya. Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman.
Dan kami berikan Zabur kepada Daud."
Demikian pula dalam surah Yusuf ayat 3, "Dan kami menceritakan kepadamu kisah
yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran kepadamu dan sesungguhnya kamu
sebelum (kami mewahyukannya) adalah termasuk orang-orang yang belum
mengetahui."
Begitu pun dalam surah al-An'am ayat 19 disebutkan, "Katakanlah siapakah yang lebih kuat
persaksiannya? Katakan, Allah menjadi saksi antara aku dan kamu dan al-Quran
ini diwahyukan kepadaku supaya Dia dengan aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai Al-Quran kepadanya."
Berdasarkan itu maka sebagian besar
ulama sepakat bahwa wahyu adalah petunjuk dari Gusti Allah yang diturunkan
hanya kepada nabi dan rasul. Meskipun demikian Muhammad Abduh
mendefinisikan wahyu di dalam Risalah at-Tauhid sebagai pengetahuan yang
didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa
pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun tidak.
Bagi masyarakat Jawa kebanyakan,
kata wahyu dimaknai sejalan dengan definisi Muhammad Abduh di atas, yaitu apa-apa
yang dianggap sebagai petunjuk dan hadiah dari Gusti Allah, terutama yang
menyangkut pangkat dan kedudukan,
misalkan wahyu kepemimpinan, wahyu keratuan, wahyu keprabon dan wahyu kepresidenan.
Istilah wahyu kepemimpinan itu menjadi populer lantaran menjadi lakon atau
judul dalam kisah pewayangan, yaitu ‘Wahyu Makutoromo”, yang mengkisahkan
delapan ajaran kepemimpinan (hasta brata).
Begitulah, cerita wayang di Jawa
banyak yang sudah berbeda dengan babon induknya di India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Wayang Jawa banyak mengalami akulturisasi dan oleh ulama-ulama yang
disebut Walisongo, dimanfaatkan serta diisi dengan ajaran islami. Demikian pula
dalam praktek hidup bermasyarakat. Raja atau Sultan atau Sunan, dalam gelar
kehormatannya juga diberi tambahan Khalifatullah
Ing Tanah Jawi. Ini sesungguhnya mengandung makna bahwa kepemimpinan itu
bukan hadiah melainkan amanah untuk mengemban tugas selaku utusan Allah di muka
bumi, khususnya di tanah Jawa.
Sayangnya, hakikat amanah tersebut
sering dilupakan dan berganti makna sebagai wahyu yang merupakan hadiah dan
mandat yang tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain, dan ironisnya, karena
merasa sudah memperoleh mandat dari yang Maha Kuasa, maka ia boleh berbuat apa
saja tanpa perlu merasa takut bisa dijatuhkan. Akhirnya menjadilah mereka
pemimpin yang takabur dan lama-kelamaan menjadi tiran. Padahal amanah
kepemimpinan dalam konsep kewahyuan, bisa juga oncat atau pergi meninggalkan yang bersangkutan, yakni apabila yang
bersangkutan tidak menjalankan amanah kepemimpinannya. Hal ini dikisahkan dalam
cerita “ Petruk Dadi Ratu, atau Petruk
Menjadi Raja.” Wahyu Keratuan
kstaria Pandawa oncat setelah mereka tidak amanah, dan jatuh ke punakawan,
rakyat jelata yaitu Petruk. Tapi lantaran Petruk juga tidak memiliki
pengalaman, kemampuan dan wawasan keratuan, maka dengan wahyu itu ia berbuat
seenaknya sehingga wahyunya pun oncat lagi, meninggalkan Petruk dan kembali ke
para ksatria yang memang memiliki wawasan dan terlatih dalam kepemimpinan serta
sudah menyadari kesalahannya (Hikmah Petruk Jadi Ratu: https://islamjawa.wordpress.com/2015/02/12/hikmah-petruk-jokowi-jadi-ratu/).
Dalam belasan tahun belakangan ini
setelah Presiden Soeharto lengser keprabon, salah kaprah tentang wahyu tersebut
muncul berkelindan dengan salat tahajud. Beberapa kali kita mendengar seorang
tokoh masyarakat yang menceritakan doa yang dipanjatkan dan pentunjuk yang
diperolehnya dalam salat tahajud, sehingga kemudian yang bersangkutan maju
mencalonkan diri menjadi kandidat pemimpin.
Bagi yang mau merenungkan secara
seksama, empat seri awal dalam tulisan Seri Etika & Kepemimpinan ini,
sesungguhnya sudah dengan gamblang menunjukkan dan membedakan mana kekuasaan
yang diperoleh dengan ambisi dan mana yang diperoleh semata-mata karena amanah.
Pada seri (1) digambarkan kisah
hikmah Lukman tentang bagaimana kita menyikapi amanah kekuasaan yang tanpa
diminta, sementara pada alinea penutup seri (5) mengisyaratkan kekuasan yang
diperoleh karena diminta, karena ambisi, yaitu: “Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerto
berpesan, ‘Jangan kamu berdoa meminta pesona dunia, meminta dijadikan kaya
apalagi berambisi pada pangkat, jabatan dan kekuasaan. Sebab mungkin saja Gusti
Allah mengabulkan, tapi jika seraya itu juga sekaligus memberimu banyak musuh
serta mencabut keberkahan-Nya darimu, lantas apa nikmatnya?’ ”
Jadi
jelas, yang karena amanah apalagi wahyu itu datang sendiri tanpa diminta,
sedangkan yang karena ambisi diraih dengan segala daya upaya termasuk doa atau
memohon kepada Tuhan, ke dukun dan makhluk gaib dari tempat-tempat keramat, rekayasa
dan lain-lain. Meskipun demikian, tidak jarang yang ambisius pun mengemas
dengan mencitrakan dirinya sebagai memperoleh hidayah bahkan amanah kewahyuan.
Sebetulnya
orang-orang arif bijak Jawa juga mengajarkan, bagaimana kita membedakan antara
pemimpin yang memperoleh amanah kewahyuan dan yang bukan, dengan menggunakan
bisikan nurani atau batin yang dikenal sebagai kesan pertama.
Sesungguhnya
Gusti Allah telah membekali batin setiap hambaNya dengan ketajaman dalam
melihat seseorang berupa kesan pertama tatkala baru pertama kali berjumpa atau
melihatnya. Hanya sayang, kita sering tidak peka menangkap bisikan batin kita
sendiri, dan kemudian berdalih dengan menyatakan tidak boleh berprasangka
buruk. Padahal kesan pertama yang dibisikkan oleh batin kita bukanlah untuk
berprasangka buruk kepada seseorang yang baru dikenal, melainkan untuk bersikap
hati-hati, cermat, teliti dan waspada.
Demikianlah
ketika saya mulai berkiprah sebagai wartawan Istana akhir 1972, orangtua saya
mengajarkan hal tersebut seraya menambahkan, bagaimana kita menilai apakah
Pemimpin Pemerintahan akan sukses atau tidak. “Pada saat pengumuman Kabinet, perhatikan
wajah dan gerak-gerik para anggota kabinet itu, kemudian pejamkan matamu,
singkirkan ambisi duniamu dan cobalah bicara dengan qalbumu. Apakah batin dan
perasaan kita senang terhadap mereka, ada rasa ingin membantu secara ikhlas dan
sukarela ataukah sebaliknya. Bila demikian halnya, maka bisa diyakini mereka
akan sukses. Namun bila yang muncul perasaan sebaliknya, maka besar kemungkinan
mereka tidak akan sukses.”
Tentu
tidak mudah mengukur potensi sukses seseorang atau sesuatu kepemimpinan dengan
rasa batin, karena itu sangat subyektif dan tergantung kepekaan batin seseorang,
serta kemampuan meredam pesona dunia saat berbicara dengan qalbunya. Tetapi ada
dua tolok ukur. Satu tolok ukur diajarkan para leluhur Jawa, dan satu lagi diajarkan
langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sebagaimana sabdanya, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya
kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memberikan baginya para menteri
yang jujur, yang jika lupa (atau salah), maka menteri itu akan mengingatkannya,
dan bila ia ingat (atau benar) maka mereka akan membantunya. Sebaliknya,
apabila Allah berkendak selain itu, maka Allah akan menyediakannya baginya
menteri yang jahat, yang bila ia lupa (atau salah), maka mereka tidak
mengingatkannya, dan bila ingat (benar) maka mereka tidak membantunya” (HR.
Abu Daud).
Tolok
ukur yang diajarkan leluhur Jawa yang pada hakikatnya merupakan kearifan Nusantara, mengajarkan seorang pemimpin yang
memperoleh amanah dari Gusti Allah tanpa meminta, memiliki tanda-tanda antara
lain, (1) orangnya tawadhu, rendah hati dan sederhana bagaikan Prabu Puntadewa
(https://islamjawa.wordpress.com/2014/04/22/pemimpin-ideal-versi-sunan-kalijaga/ dan https://islamjawa.wordpress.com/2013/04/11/suluk-tembang-dakwah-walisongo-3-lagu-gundul-gundul-pacul-bukti-kejenakaan-ulama/);
(2) dicintai dan dihormati oleh sesamanya, didengar dan diikuti ucapannya; (3)
karena ia dipilih oleh Gusti Allah dan bukan berkuasa karena kemauannya
sendiri, maka segala urusannya dimudahkan dan dibantu Allah. Gusti Allah juga akan
selalu membantu dia memenuhi kebutuhan rakyatnya, memberikan pertolongan dan
menaklukkan musuh-musuhnya. Pemimpin yang memperoleh wahyu juga bagaikan
menggenggam kunci perbendaharan bumi sehingga bumi tempatnya berpijak, bagaikan
gudang pangan dan rejeki yang senantiasa terbuka lebar demi mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Maka berlakulah ungkapan sebagai
berikut:
Negara panjang apunjung pasir wukir loh
jinawi,
gemah ripah, toto tentren karto raharjo,
panjang dawa pocapane,
punjung luhur kawibawane,
tulus kang sarwo tinandur,
gemah ingkang alampah dagang layar
Terjemahan bebasnya:
Negara
besar yang ternama yang dianugerahi kekayaan alam di lautan, di gunung dan
buminya,
masyarakatnya
tertata tertib hidup damai-tenteram, adil makmur sejahtera,
jadi
contoh dan pembicaraan baik sampai jauh ke masa depan,
dihormati
dan berwibawa,
apa
saja yang ditanam (dan dikerjakan) tumbuh subur (terwujud),
daya
beli rakyatnya tinggi (barang dagangan terasa murah),
perdagangan
dan pelayarannya (lalu lintas dan perhubungan) berkah.
Nah
begitulah saudaraku, kiat-kiat untuk membaca tanda-tanda apakah seseorang itu
memperoleh amanah atau wahyu kepemimpinan atau bukan. Yang paling mudah adalah
dengan mengunakan kedua tolok ukur tadi sekaligus. Hal ini sejalan dengan
nasihat Luqman dalam tulisan seri (1), yakni karena Gusti Allah akan membantu
dan melindungi orang yang dianugerahi amanah wahyu kepemimpinan, termasuk memudahkan
segala urusannya serta memilihkan para pembantu (atau menteri) yang jujur,
cakap, setia dan tulus. Bukan para pembantu yang bak burung pemakan bangkai
yang selalu siap mematuk dan mengais bangkai-bangkai kesalahan pemimpinnya.
Yang senantiasa mengincar bahkan membuat peluang kebijakan bagi kepentingan
pribadinya. Silahkan mencoba mempraktekkan. Berikutnya: MACHIAVELLI PUN TIDAK SUKA PEMIMPIN YANG MENCLA-MENCLE.