Sebelum kita menukik lebih
tajam, masuk lebih jauh lagi dalam mempelajari Wirid Hidayat Jati, marilah kita
renungkan dan segarkan beberapa hal yang telah kita bahas dalam dua kajian sebelumnya.
Pertama,
ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan untuk mengaji Serat Wirit Hidayat
Jati, selanjutnya saya singkat WHJ, yakni pendekatan hakikat dan pendekatan kajian
ilmiah yang berbasis konseptualisasi, operasionalisasi dan observasi dengan dukungan
kepustakaan yang kuat.
Pendekatan hakikat
mengikuti kaidah-kaidah tasawuf yang terdiri dari tiga pokok ajaran: (1) bulat
hati kepada Gusti Allah, (2) tekun ibadah, (3) berpaling dari godaan pesona
dunia atau tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Satu hal lagi yang
juga sering menjadi pegangan para salik atau pembelajar tasawuf adalah pengalaman dan
testimoni dari guru pembimbing atau mursyidnya. Sebagai contoh adalah tambahan
kata Gusti di depan asma Allah, yang akan kita bahas dalam wejangan WHJ selanjutnya
tentang Sasahidan atau Syahadat, insya Allah.
Kita telah sepakat, dalam
majelis Ngaji Suluk ini memilih pendekatan hakikat yang substantif, namun juga
tidak sama sekali meninggalkan referensi
kepustakaan. Sebagai contoh, disamping kita wajib memegang teguh dan
mendasarkan kajian pada Al Qur’an dan hadis, juga perlu melihat ajaran-ajaran
para Wali Songo yang dijadikan sumber ajaran dari WHJ, khususnya guru serta
pemuka para wali yakni Sunan Bonang dan muridnya, yaitu Sunan Kalijaga. Dari
Sunan Bonang kita bisa mempelajari karya-karyanya seperti Suluk Gentur atau Suluk Bentur, Gita Suluk Lastri, Suluk Khalifah,
Suluk Jebeng dan terutama Suluk Wujil.
Sedangkan dari Sunan Kalijaga kita bisa mempelajari Suluk Kidung Kawedar dan
Suluk Singgah-Singgah.
Berdasarkan susunan
kalimatnya, serat atau karya-karya sastra tasawuf Jawa, dibedakan dalam dua
jenis, yakni sastra suluk yang disajikan dalam bentuk tembang mocopat nan
puitis, serta sastra wirid yang berupa prosa. Secara maknawi, sebetulnya keduanya
disebut sastra suluk yang berarti karya sastra untuk membimbing pembacanya
menapaki jalan menuju Tuhan.
Sebagai prosa, WHJ dengan
mudah bisa mencantumkan sumber-sumber referensi ajarannya yaitu Hidayat Khakaik (Hidayatul Haqaiq), Dakaik
Kalkaik (Daqaiq al-Haqaiq), Bayan Alip, Madinil Asror dan Madinil Malum. Sedangkan sastra suluk
yang puitis berupa tembang mocopat tidak demikian halnya. Namun dari isinya
kita bisa mengetahui misalkan, kesamaan faham ajaran dari suluk-suluk Sunan
Bonang dengan berbagai ajaran Imam Al
Ghazali dan Al-Hikamnya Imam Athaillah Askandary.
Secara lebih khusus pula,
dalam mengaji WHJ seyogyanya juga mengaji karya-karya pengarangnya
(Ranggawarsita) yang sejenis atau membahas masalah yang kuranglebih sama, seperti
Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pamoring
Kawula Gusti dan Suluk Sukma Lelana, serta Serat
Paramayoga dan Serat Jitapsara. Bagi
yang kesulitan membaca dan mengartikan naskah-naskah aslinya, bisa membaca
pendapat Prof.Dr.Simuh dalam buku Mistik
Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (penerbit UI-Press 1988).
Kedua,
dalam
banyak tulisan saya mengenai penyebaran Islam di Pulau Jawa, baik yang di blog,
media massa maupun buku-buku, ada dua hal yang sering saya singgung yaitu
perihal ruh dan pertemuan Islam dengan peradaban Jawa.
Agar tidak menyeruak ke
sana-sini tanpa manafaat, apalagi berdebat tanpa putus, saya mengajak berpegang
pada Surat Al-Isra’ ayat 85: “Dan mereka
bertanya kepada engkau tentang ruh. Katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah
diberikan kepada kamu ilmu mengenainya melainkan sedikit.”
Beberapa ayat Qur’an
lainnya yang juga menjelaskan soal ruh adalah :
Al-Araaf (7:172) tentang perjanjian Allah
Swt dengan ruh.
·
As-Sajdah (32:9) tentang peniupan ruh ke
dalam janin manusia.
·
Az-Zumar (39:42) tentang pemeliharaan ruh
oleh Tuhan.
·
Al-Jumu’ah (62:7-8) tentang kematian.
Dari ayat-ayat di atas kita
dapat merumuskan sebuah uraian tentang ruh sebagai berikut: “Allah meniupkan
ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia ketika masih dalam kandungan. Allah
mengambil kesaksian atau membuat perjanjian dengan ruh tersebut tentang keesaan
Allah, dan Allah mengilhami jiwa tersebut dengan kefasiqan, dan Allah
mengujinya dengan kebaikan dan keburukan; dan tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati.
Allah memegang jiwa atau
ruh manusia tatkala tidur dan ketika
mati. Dan apabila Allah mengambil nyawa atau ruh seseorang, tak seorang pun
yang dapat mengembalikan pada tempatnya. Pada hari kiamat jiwa manusia akan mengetahui apa yang diperbuatnya sewaktu
di dunia dan Allah akan menyempurnakan pahala-Nya sesuai dengan amalnya
sendiri-sendiri, tidaklah dirugikan sedikit pun dan tidak pula dianiaya.”
Kita semua sependapat bahwa
manusia terdiri dari dua unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan
jiwa sulit dipisahkan dan dibedakan. Meskipun demikian, sebagian pengikut
tasawuf membedakan ruh dengan jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara
ruh dengan tubuh, dengan jasad lahir. Jadi jiwa adalah kesatuan ruh dengan
jasad.
Perihal pertemuan serta
interaksi antara Islam dan peradaban Jawa, saya gambarkan berlangsung secara
damai dan indah dengan melalui pendekatan budaya. Nilai-nilai Islami menyusup
masuk ke dalam budaya dan adat istiadat Jawa, menggeser setapak demi setapak,
membungkus selapis demi selapis semakin tebal bagaikan kulit bawang.
Ulama-ulama abad permulaan
Islam di Jawa, dengan hebat dan berani
telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk
peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam.
Para ulama melakukan
revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Segenap sendi kehidupan masyarakat
disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru,
melainkan memanfaatkan dan mendayagunakan tradisi serta agenda kegiatan
masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat, yang
bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak
memanfaatkan secara baik.
Prosesi-prosesi terutama
yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai
meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai
sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat,
maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Peristiwa-peristiwa yang bisa
dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai
wahana dakwah dan silaturahmi. Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga
lahirlah wayang kulit nan indah dengan lakon-lakon khas yang Islami. Demikian
pula gamelan, perangkatnya dilengkapi dan diciptakan gending-gending serta
irama baru, yakni tembang mocopat nan indah khas Jawa sebagaimana kita kenal
sampai sekarang.
Tentu tidak semuanya
menjadi sempurna, apalagi jika ditinjau dari kondisi sekarang. Misalkan saja
campur aduk antara Dewa-Dewa dalam agama Hindu dengan manusia bahkan Nabi,
serta antara manusia dengan tokoh wayang yang merupakan ciptaan manusia,
kecuali nanti terbukti apa yang diduga oleh penulis Swis Erich von Daniken yang
menyatakan bahwa perang Baratayudha itu sesungguhnya ada.
Peluang
Multi Tafsir.
Namun demikian semua itu
tidak terjadi seketika dan langsung sempurna.
Perlu waktu dan ada juga
kekurangan-kekurangan yang harus disempurnakan sambil jalan, yang disebabkan
antara lain oleh dua hal. Pertama, sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah
berlangsung menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus
selapis demi selapis. Kedua, budaya dan media tulis apalagi cetak belum
berkembang seperti sekarang, sehingga materi dakwah banyak yang dibawa serta
diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai budaya tutur. Materi dakwah pada umumnya disampaikan dari
mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan akibat bisa berkurang
atau bertambah dari aslinya.
Kedua hal itu membuka
peluang timbulnya multi tafsir terutama pada masalah-masalah yang samar dan dianggap
masih kurang lengkap oleh masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi,
yang pada saat itu sudah memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama
lain khususnya Syiwa-Buddha. Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya
aneka penafsiran antara lain adalah yang bersinggungan dengan kehidupan
spiritual dan meditasi, masalah ruh, ketuhanan dan rincian hidup, kebetulan
semua itu ada di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan
Kedua sampai dengan Kedelapan.
Aneka tafsir, metode
gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik,
spiritual bahkan klenik juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan dalam
berbagai serat dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat
politik partisan, berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak
jarang pengutipannya menyimpang dari teks asli.
Akan halnya masalah-masalah
yang samar, Prof Simuh mengutip pendapat ahli sejarah dan kebudayaan
Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “
Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum
klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan
dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi
orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang
demikian, maka kesallah hatinya.”
Menurut Prof Simuh, dalam
WHJ juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian
yang menyimpang. Misalkan :”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan
dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya
sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku
cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).
Ketiga,
satu
pemahaman hakikat yang disepakati oleh para penganut tasawuf Jawa, baik yang
mengikuti faham manunggaling kawula Gusti versi al Halaj (dan Syeh Siti Jenar)
maupun yang bukan, yaitu Gusti Allah Yang Maha Suci itu adalah Maha Hidup (Urip),
yang menghidupkan hamba-hamba dan makhlukNya (Kang Gawe Urip), serta
yang mengatur kehidupan hamba-hambaNYa (Kang Nguripi). Keyakinan akan ketiga
hal tentang hidup ini harus ditanamkan secara kuat pada diri kita, membentuk
sikap dan perilaku yang tawakal
(berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah dalam segala hal) dan tawadhu
(rendah hati).
Maka manusia hidup harus rendah
hati, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan takabur, karena hidup dan kehidupan
atau jalan hidup kita itu sangat tergantung pada Yang Mahahidup. Kita sungguh
tidak tahu kapan dan bagaimana Yang Mahahidup akan menghentikan hidup kita;
kapan hendak mencabut semua milik mulai dari kesehatan yang kita banggakan, kepandaian
yang kita sombongkan, harta benda serta kekuasaan yang kita pamerkan dan
sebagainya. Semua bisa terjadi dan berlangsung dalam sekejab.
Betapa luar biasa kekuasaan Dzat
Allah tersebut, sehingga dalam banyak doa dan sabdanya, Kanjeng Nabi Muhammad
sering mengawali dengan kalimat seperti: “ Demi
Dzat yang jiwaku senantiasa dalam genggaman-Nya”, atau “Demi Dzat yang membolak-balikkan hati”,
atau "Demi Dzat yang Maha Pengasih”
dan lain-lain. Semuanya menggambarkan betapa seluruh nasib, kehidupan dan jiwa
raga kita senantiasa di dalam genggaman kekuasan Gusti Allah.
Oleh sebab itu maka kita harus
senantiasa berserah diri sekaligus bergantung kepada Yang Menghidupkan dan
Menghidupi kita, dengan usaha atau ikhtiar yang sesuai dengan aturan-aturan
dari Yang Mahahidup, senantiasa berdoa memohon perkenan, perlindungan dan
pertolongan-Nya, serta meniatkannya demi bekal ibadah dan amal saleh. Yang
Mahahidup dengan kuasa dan kehendak-Nya akan menghidupi serta mengatur
kehidupan kita sesuai persepsi atau persangkaan kita kepada-Nya. Dalam rangka
itu kita diijinkan membulatkan cipta dan karsa kita, mengungkapkan cita-cita
dan keinginan kepada-Nya. Sesudah itu selanjutnya, berserah diri akan kuasa dan
kehendak-Nya.
Demi menggalang penghayatan yang
seperti itu, kita dianjurkan untuk membiasakan pada setiap saat dalam berbagai
keadaan dan di mana pun berada, berzikir menyebut setidaknya dua asma Allah
yakni Yaa Hayyu –Yaa Qayyuum (Yang Mahahidup
– Yang Mahaberdiri Dengan Sendiri-Nya), dengan segenap pemahaman, keyakinan dan
penghayatan sebagaimana uraian di atas. Yakinilah, “hasbunallah wa nikmal wakil,” cukuplah Allah yang menjadi penolong
kita. Inilah maqam mulia yang diidamkan para salik, yang bersuluk mengenal
Gusti Allah dengan sebenar-benarnya mengenal. Allahumma aamiin.
Keempat, seperti
halnya mengaji sastra suluk dan serat wirid lainnya, mengaji serat WHJ sama
dengan mempelajari tasawuf. Oleh sebab itu
sebelum mempelajari lebih dalam khususnya yang ingin memahami dan
mengamalkan hakikatnya, hendaklah terlebih dulu mempelajari dasar-dasar serta
pemahaman yang baku dan berlaku umum tentang tasawuf dan tarekat antara lain maknanya,
adab pergaulannya, pengertian tentang uzlah, zuhud, wara, berzikir, mengatasi
berbagai penyakit hati, takhali, tahalli dan tajali.
Belajar tasawuf menurut Prof K.H.Ali
Yafie (buku Bertaswuf di Zaman Edan),
bagaikan masuk ke rumah sakit atau masuk ke salon kecantikan jiwa. Bila
diibaratkan masuk ke rumah sakit, seorang salik, bagaikan
pasien yang
harus terlebih dulu melakukan pemeriksaan menyeluruh atau check-up. Dalam bahasa tasawuf ini
disebut tahliil al-qalb atau tahliil an-nafs. Setelah itu ditentukan
terapinya yang disebut dawaa’ al-qalb atau dawaa’ amraadhh al-qalb. Proses terapi ini disebut pelatihan atau
riyaadah antara lain berpuasa dan melakukan wirid, yakni melatih berzikir
secara istiqomah.
Jika diibaratkan masuk ke salon kecantikan, maka kita mengenal tahapan
awal yang berupa pembersihkan wajah dari berbagai kotoran termasuk debu-debu
kehidupan. Sesudah bersih, tahap berikutnya adalah membuat pondasi tata rias,
baru sesudah itu dilakukan tata rias seperti bedak, celak mata, merapikan alis
dan bulu mata, bayangan hidung, pemerah bibir dan lain sebagainya.
Tahap awal lazim disebut takhalli atau pembersihan dan
pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Tahap kedua disebut tahalli
atau mengisi kembali dengan sifat-sifat terpuji. Hasil kedua tahapan ini adalah
tajalli, yaitu manusia baru dengan
wajah batin yang indah dan sempurna, yang mampu meresapi rasa ketuhanan dan
memiliki sifat, moral serta perilaku mulai sebagaimana diajarkan dalam asmaul
husna. Apakah kita sudah menjalaninya, atau sudah siapkah kita menjalaninya?
Kelima, untuk mempelajari
tasawuf ataupun ilmu batin, termasuk halnya WHJ ini, Ranggawarsita dalam Suluk Pamoring Kawula-Gusti berpesan melalui tembang Dandanggula bait
7, 8 dan 9 bahwa seorang murid harus sabar, tekun, tidak boleh terburu-buru
apalagi sangat bernafsu untuk segera bisa berhasil.
Selanjutnya dalam bait-bait yang
lain, Ranggawarsita berpesan kepada guru agar dalam menyampaikan ajaran,
berikanlah semua yang kita ketahui, namun harus secara bertahap, sesuai dengan
tingkatan murid masing-masing. Sedangkan kepada para murid hendaknya berlatih
pula bertapa dalam tujuh jenis dan tingkatan. Mempelajari ilmu batin haruslah
dengan tatacara yang tepat, sebab apabila tidak kita justru bisa tersesat ke
alam para demit dan jin. Naudzubillah.
Semoga dengan ridho, rahmat dan
berhkahNya, kita dimasukkan ke dalam golongan hamba-hambaNya yang mengenalNya,
dengan sebenar-benarnya mengenal. Aamiin.
(B.Wiwoho).
Suluk Hamemayu
(Hamemayu
Hayuning Bawono).
Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk
Nusantara, Beji – Depok, Minggu Legi 28 Oktober 2018 atau 18 Sapar 1952 Saka
atau 18 Safar 1440H.
.9.