Wejangan keempat, kelima dan keenam Serat Wirid Hidayat
Jati (WHJ) yang akan kita kaji lebih lanjut ini merupakan satu kesatuan, yang
apabila berdiri serta diamalkan sendiri-sendiri tidak akan banyak faedahnya.
Namun untuk membahasnya sekaligus dalam satu kali pertemuan, rasanya juga tidak
cukup. Apalagi ketiga wejangan ini penuh kontroversi, banyak versi dan
penafsiran, serta penuh aura mistis yang oleh orang-orangtua zaman dulu, tidak
boleh diajarkan secara sembarangan dan harus bertahap.
Inti hakikat wejangan yang menggambarkan kedudukan atau
singgasana Gusti Allah di dalam diri manusia itu adalah sebagai berikut:
Wejangan
Keempat:
“Sajatine
Ingsun anata malige ana sajroning Betalmakmur, iku omah enggoning parameyan
Ingsun, jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning sirah iku dimak, yaiku
utek; kang ana antaraning utek iku manik; sajroning manik iku budi; sajroning
budi iku napsu; sajroning napsu iku suksma; sajroning suksma iku rahsa;
sajroning rahsa iku Ingsun; ora ana Pangeran, nanging Ingsun Dat kang nglimputi
ing kahanan jati.”
Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai di dalam Baitulmakmur,
itulah rumah tempat kesenangan-Ku, yang berada di dalam kepala Adam. Di dalam
kepala itu ada dimak atau otak; yang ada di antara otak itu manik; di dalam manik
ada budi; di dalam budi ada nafsu; di dalam nafsu ada suksma, di dalam suksma
ada rahsa; di dalam rahsa itulah Aku; tiada Tuhan, selain Aku Dzat yang
menguasai dan meliputi seluruh keadaan yang sejatinya.”
Wejangan
Kelima:
“Sajatine
Ingsun anata malige ana sajroning Betalmukaram, iku omah enggoning lalarangan
Ingsun, jumeneng ana ing dadhaning Adam.
Kang ana ing sajroning dadha iku ati; kang ana ing antaraning ati itu
jantung; sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, yaiku
angen-angen; sajroning angen-angen iku suksma;
sajroning suksma iku rahsa; sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana
Pangeran, nanging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati.”
Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai yang ada di dalam
Baitulmuharam. Itulah rumah tempat larangan-Ku, yang berada di dalam dada Adam.
Di dalam dada ada hati; yang ada di antara hati itu jantung; di dalam jantung
ada budi; di dalam budi ada jinem (ruangan rahasia di dalam Istana) yakni
angan-angan. Di dalam angan-angan ada suksma; di dalam suksma ada rahsa; di
dalam rahsa ada Aku. Tiada Tuhan selain Aku yang menguasai seluruh keadaan yang
sebenarnya.”
Wejangan
Keenam:
“Sajatine
Ingsun nata malige ana sajroning Betalmukadas, iku omah enggoning pasucen-Ingsun,
jumeneng ana ing kontholing Adam; kang ana sajroning konthol iku pringsilan,
kang ana ing antaraning pringsilan iku nutpah, yaiku mani; sajroning mani iku
madi; sajroning madi iku wadi; sajroning wadi iku manikem; sajroning manikem
iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, Dat kang nglimputi ing kahanan jati,
jumeneng ing sajroning nukat gaib,
tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat, wakidiyat,
alam arwah, alam misal, alam ajesam, alam insan kamil, dadining manungsa
sampurna yaiku sajatining sipat-Ingsun.”
Artinya:
“Sesungguhnya Aku menata mahligai di dalam
Baitulmukadas, itulah rumah suci-Ku, ada di dalam alat kemaluan (penis) Adam;
yang ada di dalam penis itu pelir, di antara buah pelir itu nutfah, yakni air
mani; di dalam mani itu madi; di dalam madi itu wadi, di dalam wadi ada
manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itulah Aku; Tiada Tuhan
salin Aku, Dzar yang menguasai keadaan yang sejati, berkedudukan di nukat gaib,
turun menjadi johar awal. Di sana sebagai wahana alam akadiyat, wahdat,
wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajesam, alam insan kamil; terjadinya
manusia yang sempurna itu adalah sesungguhnya sifat-Ku.”
Sahabat-sahabatku.
Sebelum membahas lebih
lanjut, ijinkan saya mengutip kembali apa yang sudah saya sampaikan di dalam
bahasan yang ketiga, yaitu peringatan sejumlah ahli sastra Jawa mengenai
anjuran agar kita hati-hati dalam menyikapi aneka tafsir, metode
gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik,
spiritual bahkan klenik yang juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan
dalam berbagai serat dan suluk.
Akan halnya masalah-masalah
yang samar tersebut , Prof Simuh mengutip pendapat ahli sejarah dan kebudayaan
Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “
Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum
klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan
dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi
orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang
demikian, maka kesallah hatinya.”
Menurut Prof Simuh, dalam
WHJ juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian
yang menyimpang. Misalkan :”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan
dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya
sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku
cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).
Syamsul Alam dalam buku “Hidayat Jati Kawedar Sinartan Wawasan Islam”, penerbit PT.Citra
Jaya Murti, Surabaya 1991, tentang wejangan ke 4 ini dan juga dalam beberapa
hal yang lain, menegaskan kuranglebih sebagai berikut: “ Saya menyarankan agar kita merenungkan
dengan hati yang suci, apakah betul, pendapat yang menyatakan bahwa Gusti Allah
berkedudukan di kepala manusia (Baitulmakmur). Apakah juga betul bahwa mahligai
Dzat itu dinamakan rumah Allah (Baitullah)? Sesungguhnya Gusti Allah itu meliputi segala hal dan alam
semesta. Tempat di mana saja yang oleh umatnya dipakai untuk sembahyang
memuliakanNya, bisa disebut rumah Allah, dan tidak khusus hanya di kepala
manusia, tidak juga hanya di dadha dan lain-lain. Adapun sebutan Baitullah yang
asli bersumber dari firmanNYa (Al Qur’an) sebagai pusat arah shalat secara
lahiriah adalah di Mekah. Sedangkan secara arah batiniyah itu ditujukan
langsung kepada Gusti Allah yang berada di mana-mana.”
Di dalam buku saya “Islam Mencintai Nusantara,
Jalan Dakwah Sunan Kalijaga”, saya mencoba membahas sastra-sastra suluk yang menggambarkan
hubungan Gusti Allah dan manusia tatkala masih dalam alam ruh, serta gambaran
tentang singgasana dan kediaman Allah di Baitul Makmur, Baitul Muharram dan
Baitul Muqaddas atau Masjidil Aqsa. Di Baitul Makmur, para malaikat setiap hari
silih berganti memohon ampun dan bertawaf seperti orang bertawaf di Ka’bah.
Dari baitul Makmur pula Allah bertitah serta mengatur alam raya, dunia akhirat
dan para makhlukNya.
Baitul Muharram digambarkan sebagai rumah
tempat Allah menyendiri, tempat terlarang sehingga bahkan malaikat pun tidak
boleh masuk. Sedangkan Baitul Muqaddas adalah tempat yang disucikan.
Ketiga rumah Gusti Allah tersebut banyak
diulas dalam kajian-kajian kebatinan Jawa, namun tidak demikian halnya di dalam
Al Qur’an maupun hadis. Dalam kedua sumber rujukan utama umat Islam itu, Baitul
Haram atau rumah suci tiada lain adalah ka’bah yang berada di Mekah, yang
disebut dalam Surat Al Maidah dan sebelumnya juga dalam Surat Ali Imron ayat
96. “Ja’ alallaahul ka’batal baital
haraama qiyaamal lin naasi, (Allah telah menjadikan ka’bah rumah suci itu
sebagai pusat peribadatan manusia,” (Al Maidah: 97).
Sedangkan mengenai Baitul Makmur, Surat
At-Thur : 4 – 6 Gusti Allah berfirman, “dan demi
Baitul Makmur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam
tanahnya terdapat api,” . Uraian lebih lanjut tentang Baitul Makmur diterangkan oleh Kanjeng
Nabi Muhammad Saw tatkala mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’rajnya. Beliau
bersabda, “Saat melewati langit ke tujuh,
aku diangkat menuju Baitul Makmur. Padanya datang setiap hari 70.000 malaikat
yang tidak akan kembali lagi. Mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana
penduduk bumi berthawaf di Ka’bah. Demikianlah Baitul
Makmur, ia adalah ka’bah bagi penduduk langit ke tujuh. Di situ terlihat Nabi
Ibrahim Al Khalil alihisshalatu wasalam menyandarkan badannya (Shahihain).
Ada pun Baitul Maqdis, disebut dalam hadis
riwayat Muslim dari Abu Dzar, Baginda Rasul menyatakan Baitul Maqdis di
Palestina itu adalah rumah suci yang kedua di bumi, yang dibangun 40 tahun
setelah Baitul Haram.
Di dalam Suluk Kidung Kawedar yang menjadi pokok
bahasan buku Jalan Dakwah Sunan Kalijaga di atas, manusia yang masih berupa ruh
dan berada di alam ruh digambarkan kekuatan dan perjalanannya sampai ditiupkan
ke rahim ibu. Kidung Kawedar juga bisa
disebut Kidung Hartati, yaitu Kidung yang memiliki karsa yang utama. Karsa
adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Ruh
ini dianugerahi arta daya, yakni kebijaksanaan dan kekuatan batin termasuk rasa
belas kasih.
Demikianlah pada hemat saya, WHJ
menggambarkan, Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, membekali
manusia dengan hakikat kediamannya, dan bukan kediaman dalam gambaran rumah
tinggal secara fisik. Hakikat kediaman itu adalah Baitul Makmur di kepala dan
otak, Baitul Muharram di dada dan kalbu, serta Baitul Muqaddas di dalam
kemaluan berupa inti sari benih kehidupan. Para penganut spiritual non muslim
terutama Barat yang diilhami oleh aliran spiritual Mesir Kuno juga mengenal hakikat
energi dengan posisi tubuh yang seperti itu, yaitu hakikat energi pikiran yang
dilambangkan sebagai garam dan berada di kepala; hakikat energi nabati atau perasaan yang dilambangkan
sebagai merkuri dan berada di sekitar ulu hati; serta hakikat energi hewani
yang dilambangkan dengan sulfur berada di wilayah organ seks.
Insya Allah di sesi berikutnya, sebelum
menyelam lebih dalam ke lautan hakikat kediaman Gusti Allah pada diri manusia,
kita akan bahas bagaimana orang-orang Mesir Kuno dan Orang Barat mengolah potensi
“energi ketuhanan” tersebut menjadi “emas spiritual”, sehingga membawa mereka
menjadi bangsa yang maju. Juga bagaimana pandangan para penganut tasawuf pada
umumnya serta Islam Kejawen tentang hal
itu.
B.Wiwoho
Suluk Hamemayu (Hamemayu Hayuning Bawono)
Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk Nusantara,
Beji – Depok, Minggu Wage, 25 November 2018 atau 16 Mulud 1952 Saka atau 17
Rabiul Awal 1440H.