|
BUKU 2 TRILOGI THE UNTOLD STORY TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU |
Pengantar: Lima tahun
sekali, pasca Pemilihan Presiden, media sosial banyak menyajikan informasi tentang
susunan Kabinet Presiden Terpilih. Informasi itu bisa jadi tebak-tebakan,
dugaan atau bisa juga harapan, karena bukan berasal dari sumber resmi apalagi dari
yang paling berwenang. Berikut ini kami sajikan sebuah referensi -- merupakan satu-satunya yang ada
– tentang bagaimana salah seorang Presiden Republik Indonesia yaitu Presiden
Soeharto merekrut para pembantu dekatnya. Referensi ini ditulis oleh Pemimpin
Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho di dalam buku 2 dari trilogi TONGGAK-TONGGAK
ORDE BARU, yang edisi revisinya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Semoga
menjadi bahan bacaan menyegarkan yang relevan dengan keadaan sekarang. Selamat
mengikuti.
Menggali
kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi
justru karena terlalu banyak hal yang menarik
untuk ditulis, baik tentang kekurangan maupun kelebihannya. Kesan pertama tatkala mulai meliput
kegiatan kepresidenan menjelang akhir
1972 adalah, orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman.
Dalam berkomunikasi dengan para
menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau
pandai mendengar.
Bagi orang kebanyakan saja,
tidak mudah menjadi
pendengar yang baik, apalagi bagi seorang penguasa.
Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan
air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan ucapan ataupun keterangan
lawan bicaranya, dan jarang menyela
apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun penulis
melihatnya dalam suatu pertemuan terbuka, mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat. Apalagi menaikkan
satu kaki di atas kursi atau meja.
Sebagai
seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya, tidak banyak basa-basi serta
tidak mudah mengumbar
janji. Dalam berpakaian
di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau
tenun ikat dari bahan katun biasa
yang murah, bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari
bahan sutera tiruan. Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos, kecuali
sedang bermain golf atau
memancing.
Kesantunan yang seperti itu juga sangat
berkesan bagi mantan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan
hal itu kepada penulis dalam satu mobil menuju Lapangan
Udara
Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto
ke Solo, Senin
28 Januari 2008.
“Dua puluh tahun
saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam
pertemuan-pertemuan formal maupun informal,
tidak pernah melihatnya duduk sambil mengangkat kaki. Tidak pernah ma’gerra’-gerra, bicara keras dan bernada
tinggi.’Demikian pula tangannya tidak ikut sibuk ketika sedang
berbicara.” Sikap seperti
itu menurut pak Kiai nampaknya
sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat,
sabar, tenang, pandai
mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.
Dengan
kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai
tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti
sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian
memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.
Cara Pak Harto merekrut
para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut. Sebagai
mantan wartawan yang bertugas di Istana selama hampir delapan tahun dan
mengenal dekat karena berbagai tugas berikutnya antara lain tokoh-tokoh pimpinan Operasi Khusus (Opsus) Ali
Moertopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), serta pemegang rekor
jabatan menteri lebih dari 30 tahun,
alm Radius Prawiro, saya sering memperoleh bocoran dari beliau bertiga, catatan
sebagian daftar 300-an
tokoh-tokoh nasional dan
daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat direkrut untuk mengemban
tugas membantu Presiden. Dari waktu
ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja,
selalu tersedia dan senantiasa dinamis-diperbarui.
Pada
awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang- bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun
daerah, khususnya teman- teman seperjuangannya, sehingga
daftar atau kumpulan
nama tersebut dapat dengan mudah beliau himpun
sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai
informasi. Pak Harto mencermati serta
mendalami informasi tersebut dan menyaring berlapis-lapis.
Jika suatu saat membutuhkan, beliau menugaskan
Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan
cepat dan sangat
rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk,
informasi yang lebih mendalam tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan
tentang siapa teman tidur-sekasurnya
(isteri/suami), siapa sedulur-sesumur (saudara
dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya,
bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan-
loyalitas kepada pimpinan dan
senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran
dan kapasitas pribadinya.
Bagaimana
pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria, serta bagaimana kehidupan rumahtangganya, harmonis atau tidak. Jika pria,
beristeri lebih dari satu atau tidak. Kehidupan
rumahtangga dianggap penting,
karena apabila terhadap
lingkungan yang kecil itu saja seseorang tidak mampu mengelolanya dengan baik, bagaimana mungkin mengelola lingkungan yang jauh lebih besar. Pak Harto ingin
betul-betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di
dekatnya untuk membantu mengelola negara.
Mantan pejabat
Opsus/BAKIN sahabat penulis yang menolak disebutkan namanya, menceritakan pada 26 April 2021,
penelitian hal- hal seperti itu
terhadap seseorang tokoh apalagi calon pejabat penting, merupakan hal wajar dan sudah merupakan prosedur operasi
standar pada masa itu. Menurut
mantan pejabat yang membidangi masalah penggalangan tadi, penelitian bisa dilakukan dengan
cepat tanpa yang bersangkutan
mengetahui, dan hampir semua staf atau pejabat BAKIN mampu melakukannya.
Sejalan
dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin
sedikit, banyak yang mendahului pulang kepangkuan
Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan Yoga Sugomo yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun
mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan,
semenjak itu tidak lagi
berlanjut. Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak penulis menenangkan diri ke Jepang hampir
selama 2 minggu.
Perihal kekecewaanya terhadap Pak Harto
dan lebih khusus
kepada Jenderal Benny
Moerdani, ia menceritakan, dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei
1985, Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara
lain:
(1) Pak Harto yang sudah akan mencapai usia
67 pada Pemilihan Umum tahun
1988 dan sudah menjadi Kepala
Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.
(2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto,
yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah.
(3) Bisnis keluarga
dan putera-puterinya yang terus membesar
bisa menjadi sumber kecemburuan sosial serta sasaran
tembak.
(4)
Sumber dan jaringan
informasi serta rekrutmen
pak Harto yang
secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Karena
itulah Yoga menyarankan agar Pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada
tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan
siapapun kader yang ditunjuk,
Yoga akan mengamankannya.
Saran
Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto serta ditolak oleh
Menteri Sekretaris Negara
Sudharmono dan Panglima
Angkatan Bersenjata Benny Moerdani yang juga hadir malam itu,
melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan,
terutama dengan Benny Moerdani.
Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Soeharto
yang ternyata diam-diam
mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya mendukung Pak Yoga.
Peristiwa malam itu sangat
menyakitkan hati Yoga Sugomo, sehingga
memutuskan tidak akan menghadap Pak Harto lagi, jika tidak dipanggil. Semenjak itu pula,
pertemuan rutin, hampir setiap Jumat malam
di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat, yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti. Pertemuan tersebut digunakan Presiden dan pembantu terdekat untuk mengevaluasi
keadaan. Mereka mengolah informasi-informasi
penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan, berikut
langkah-langkah untuk mengantisipasinya.
Yoga Sugomo
yang kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan kedua
sejawatnya tadi, menenangkan diri dengan memperpanjang kunjungannya ke Jepang
menyertai delegasi Persatuan Alumni Mahasiswa
Indonesia di Jepang pertengahan Juni 1985. Selama
dua minggu, Yoga lebih banyak menghabiskan
waktunya di hotel dengan berzikir dan sesekali menerima kunjungan serta ngobrol santai
dengan tamu- tamu sahabat
dekatnya baik sahabat dari Indonesia yang sudah tinggal di Jepang, maupun dari
komunitas intelijen. Yoga juga banyak mengajak diskusi soal tasawuf dan aneka dzikir serta wiridan, yang sedang
ditekuninya sebagai seorang salik, seorang murid pencari jalan menuju
Tuhan, terutama dari sang guru, sang mursyid
Abah Anom dari Tasikmalaya.
Ia juga memenuhi undangan
makan siang dari mantan Perdana
Menteri Jepang Takeo Fukuda, sambil
bicara santai bersendau gurau sebagaimana layaknya
seorang sahabat. (B.Wiwoho,
buku ke-2 Tonggak-Tonggak Orde Baru,
Penerbit Buku Kompas: 1-7. Bersambung: Mengutamakan Loyalitas dan Setiakawan)
***
#Soeharto
# Takeo Fukuda # Ali Moertopo # Yoga Sugomo #Ali Yafie
#Tien Soeharto #Benny Moerdani #
Sudharmono #Opsus # BAKIN # Radius
Prawiro # Majelis Ulama Indonesia
#Tonggak-Tonggak Orde Baru #Orde
Baru
(5)