Pemuda
– pemudi zaman sekarang, tentu sulit membayangkan bagaimana kehidupan orangtua
mereka pada masa-masa sebelum tahun 1970-an. Bahan pakaiannya adalah
tekstil-tekstil sederhana hasil produksi
dari alat tenun bukan mesin (ATBM). Satu dua orang kaya memang mengenakan
pakaian dari bahan wol asal impor. Tapi
sebagian besar masyarakat , khususnya laki-laki, mengenakan celana drill dari
katun, yang sesudah dicuci dan sebelum dijemur, direndam terlebih dahulu dalam
cairan tepung tapioka, agar nanti sewaktu diseterika bisa tampil indah dan tidak nampak kumal.
Di
kala mencuci, pada masa itu tidak bisa langsung membuka keran air seperti
sekarang, namun harus menimba air dari sumur yang digali. Timba yang digunakan
terbuat dari karet bekas ban mobil atau seng, kemudian dituang ke dalam
ember-ember kaleng atau seng, yang jika kurang pandai merawatnya bisa
menyebabkan karatan, dan karat tersebut dapat menempel, membekas di pakaian dan
tak bisa hilang. Lagi-lagi beberapa orang kaya, bisa membeli pompa air manual,
yang digerakkan dengan tangan, bukan pompa mesin listrik seperti sekarang.
Adapun tali ember, terbuat dari karet irisan bekas ban mobil. Sedangkan
tali-temali untuk keperluan lain, terbuat dari sabut kelapa atau ijuk pohon
enau (aren).
Jika
haus, kita tidak minum minuman kaleng atau botol produksi pabrik-pabrik besar.
Untuk air putih kita harus merebus air sumur, yang selanjutnya disimpan di dalam kendi (tempat air bercerat terbuat
dari tanah liat) agar menjadi sejuk. Sedangkan untuk minuman penyegar di siang hari
nan terik, kita sudah sangat puas dengan minuman botol hasil industri kecil
atau rumahan yang disebut limun. Ada
rasa jeruk “orange crus”, saparela, rasa moka atau rasa sirsak ditambah es batu
buatan pabrik, yang di sebagian besar ibukota Kabupaten di Jawa buatan pabrik
es Petojo.
Barang-barang
dan hasil pertanian yang mau dibawa
pergi, dikemas dalam suatu wadah yang disebut keranjang, dunak dan tenggok yang
terbuat dari anyaman bambu hasil kerajinan tangan masyarakat kecil.
Untuk
memperoleh beras dan minyak tanah rakyat harus menukarkan kupon, dengan mengantri panjang pada hari-hari tertentu saja di kelurahan. Beras
dan lauk oleh sebagian besar masyarakat dimasak
di tungku tradisional berbahan bakar kayu, karena kompor gas belum ada dan
kompor minyak tanah baru dimiliki sejumlah kecil masyarakat saja. Sebagai lampu
penerangan di malam hari, sebagian besar
masyarakat memakai aneka jenis pelita, lampu tempel atau lampu pompa tekan
berbahan bakar minyak tanah. Listrik pada masa itu baru sampai di ibukota
kabupaten atau di wilayah perumahan perusahaan
perkebunan besar. Itu pun sering mengalami pemadaman, sehingga tidak jarang
orang-orang yang mandi paginya terburu-buru, sampai dikantor atau sekolahan,
baru sadar setelah kawannya memberitahu lobang hidungnya masih hitam penuh
jelaga dari lampu minyak.
Itulah
secuil gambaran kehidupan di penghujung akhir kekuasaan Orde Lama yang tumbang
pada tahun 1966, yang selanjutnya digantikan Orde Baru yang dipimpin Jenderal
TNI Soeharto. Pada periode peralihan tersebut perekonomian negara ditandai
dengan ketidakseimbangan yang amat
sangat antara pengeluaran dan penerimaan negara. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang waktu itu disebut Anggaran Moneter, mengalami
defisit yang luar biasa.
Jika
pada tahun 1964: Penerimaan Rp.283,386 milyar,- Pengeluaran mencapai Rp.681,328
milyar,- sehingga defisit Rp.397,942 milyar.
Tahun
1965: Penerimaan Rp.923,444 milyar,- Pengeluaran Rp.2.244,105 milyar sehingga
defisit Rp.1.320,661 milyar.
Pada
tahun 1966, selama triwulan I: Penerimaan Rp.333 milyar,- Pengeluaran
sudah
Rp.2.472 milyar sehingga defisit Rp.2.139 milyar,- (Sumber: buku ‘Radius
Prawiro Kiprah, Peran dan Pemikiran’). Sementara menurut Frans Seda dalam
bukunya ‘Simfoni Tanpa Henti’, defisit negara selama 6 bulan sudah melebihi anggaran
pengeluaran negara untuk seluruh tahun, sementara inflasi berlangsung sangat
ganas mencapai 650%. Akibatnya Anggaran Moneter 1966, istilah untuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada saat itu, tidak bisa dipakai lagi sebagai alat
kebijaksanaan.
Dalam
kondisi yang seperti itu, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di
Universitas Indonesia, 8 – 9
Mei 1966, Prof.Dr.Widjojo Nitisastro yang selanjutnya tampil memimpin tim
arsitek perekonomian Orde Baru, mengemukakan dua penyebab kemerosotan
perekonomian Indonesia
yaitu:
1. Selama bertahun-tahun perekonomian kita
terbengkalai dan tidak
memperoleh perhatian yang cukup
memadai.
2. Bahkan dalam menghadapi soal-soal ekonomi,
prinsip-prinsip ekonomi
Seringkali diabaikan,
Oleh
karena itu ia kemudian menyerukan agar kita senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi, antara lain keseimbangan
antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus barang dan arus uang,
penyediaan kesempatan kerja dan pertambahan penduduk usia kerja. Demikian pula
asas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi, asas keadilan dalam
pembagian beban dan pembagian rezeki serta asas perlunya investasi bagi
pertumbuhan ekonomi.
Kondisi
yang seperti itu mendorong Jenderal Soeharto bukan hanya memimpin Komando
Pengganyangan Gerakan 30 September PKI (Partai Komunis Indonesia) saja, tapi
juga tampil mengambil peranan komando stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang
semula menjadi tugas utama Dewan Stabilisasi dan Rehabilitasi Kabinet Ampera
yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Sidang Dewan Stabilisasi dan Rehabilitasi di bawah komando Pak Harto,
dalam catatan Frans Seda dilaksanakan pertama kali di Operation Room Departemen
Pertahanan dan
Keamanan,
berlangsung dari pukul 20.00 sampai 02.00 dini hari. Dalam Sidang ini Pak Harto secara tegas
memberikan dukungan jaminan stabilitas politik serta pengamanan pelaksanaan
kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang akan diambil oleh tim
arsitek ekonomi.
Kehendak
dan tekad politik yang kuat dari Pak Harto melahirkan pondasi kebijaksan ekonomi yang dikenal
dengan “Peraturan-Peraturan 3 Oktober 1966”, yang meletakkan dasar bagi proses
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang di kemudian hari menimbulkan
polemik, kritik bahkan emosi politik yang sempat meledak menjadi Peristiwa
Malari 1974, bahkan tidak berhenti sampai di tahun1974 itu saja, sampai
sekarang pun masih menjadi sumber permasalahan.
Berdasarkan
Peraturan 3 Oktober 1966, pada tanggal 2
November 1966, digariskan pola kebijaksanaan operasional di bidang ekonomi-keuangan, antara lain
berupa Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (RUUPMA) dan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1967.
RUUPMA
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan ditandatangani menjadi UUPMA (UU No.1
Tahun 1967) oleh Presiden Sukarno pada tanggal 10 Januari 1967. Selanjutnya
pada tanggal 3 Juli 1968 Presiden Soeharto menandatangani Undang Undang
Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No.6
Tahun 1968).
Bersamaan
dengan proses penggodogan RUU-PMA, pada bulan November 1967 di Jenewa,
berlangsung konferensi selama tiga hari antara tim ekonomi Orde Baru dengan
perusahaan-perusahaan multi nasional raksasa (Multi National Corporation –
MNC). Konferensi yang dibongkar ke publik oleh wartawan dan peneliti-peneliti
asing ini, sampai sekarang masih terus menjadi bahan perbincangan di kalangan
para aktivis yang kecewa terhadap eksploitasi sumber daya alam serta penguasaan ekonomi Indonesia oleh para MNC tersebut.
Betapa
pentingnya mengetahui kilas balik permasalahan mendasar ini, ijinkanlah saya mengutip catatan yang sering
diungkapkan oleh mantan Menteri Koordinato Ekonomi,
Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) dan juga mantan Menteri Ketua Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie, yang antara lain
dikemukakan dalam Kongres Indonesia Raya 2004, di mana penulis menjadi
Sekretaris Panitia Pelaksana, sekaligus salah satu anggota tim perumus dan tim
penyunting yang kemudian menerbitkannya menjadi buku ‘Indonesia Raya Bangkit
atau Hancur’ sebagai berikut:
“Marilah
sekarang kita telusuri sedikit sejarah hubungan kita dengan negara-negara besar
yang merupakan awal keterpurukan kita. John Pilger, seorang wartawan Australia
yang bermukim di Inggris membuat film dokumenter tentang Indonesia yang juga
dituangkan dalam sebuah buku dengan judul ‘The New Rulers of the World’.Saya
kutip dan terjemahkan secara bebas bagian-bagian dari bukunya yang relevan
untuk pembicaraan hari ini.
Di
halaman 37 tercantum: ‘Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya rezeki
terbesar dari Indonesia,
hasilnya dibagi. TimeLife Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa
yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang
seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan
minyak dan bank. General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International
Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia
yang oleh Rockefeller disebut
‘Indonesian top economists’.
Di
Jenewa, tim ekonomi Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley
Mafia’, karena beberapa diantaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang
menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh
para wakil dari perusahaan-perusahaan multinasional. Butir-butir
yang dijual dari negara dan bangsanya adalah buruh murah yang melimpah,
cadangan besar dari sumber daya alam dan pasar yang besar. Demikian yang
tercantum di halaman 37.
Di
halaman 39 ditulis: ‘Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi
sektor. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler, kata Jeffrey Winters, guru
besar pada Northwestern University, Chicago, dengan mahasiswanya yang sedang
bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari
dokumen-dokumen rahasia konferensi yang
masa rahasianya sudah kadaluwarsa.
Mereka membaginya ke dalam lima
seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan
keuangan di kamar lain lagi; Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh
dirinya dan para investor lainnya. Kita
saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja
yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka
pada dasarnya merancang infrastruktur
hukum untuk berinvestasi di Indonesia.
Saya
tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global dengan
para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat, tetapi para
investor asing ini yang merancangnya
sendiri persyaratan buat
masuknya
investasi mereka ke Indonesia
sambil diantar oleh para teknokrat Indonesia
sendiri.
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry
Kissinger duduk dalam Board Freeport). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan
nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa memperoleh bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat
hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua
Barat dan Kalimantan. Sebuah Undang-Undang
tentang Penanaman Modal Asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat
perampokan (plunder) ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia,
kendali dari ekonomi Indonesia
pergi
ke Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya
adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana
Moneter Internasional dan Bank Dunia.
Kalau
kita percaya John Pilger, Brad Sampson dan Jeffrey Winters, sejak tahun1967
Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan dituntun oleh para elit
bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.” Demikian mantan Menteri Era
Reformasi yang kritis, Kwik Kian Gie, merangkum telaah kritis wartawan serta
pengamat
ekonomi Barat tentang peristiwa penting yang melibatkan tim arsitek ekonomi
Orde Baru, yang memperoleh mandat penuh dari Pak Harto tersebut.
Bertitik-tolak
dari Peraturan 3 Oktober 1966, maka dimulailah rancang bangun ekonomi era Orde
Baru. Hasilnya, jika tingkat inflasi pada tahun 1966 mencapai 650 persen, maka
dalam tahun 1967 bisa dikendalikan menjadi 120 persen dan pada tahun 1968 turun
lagi menjadi 85 persen. Dengan kondisi inflasi yang sudah terkendali, mulai tahun anggaran
1969/70 sampai dengan 1973/74, dilancarkan akselerasi pembangunan
25 (dua puluh lima)
tahun tahap I yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I).
Repelita
menganut strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan. Sudah menjadi
rahasia umum yang dibahas dalam diskusi-diskusi terbuka, para arsitek ekonomi waktu itu memang sangat dipengaruhi pemikiran
W.Arthur Lewis dan W.W.Rostow. Lewis dalam bukunya ‘The Theory of Economic
Growth (1955)’ mengemukakan bahwa
masalah pembangunan adalah masalah pertumbuhan, dan bukan pembagian pendapatan.
Sedangkan Rostow dalam bukunya ‘The Stages of Economc Growth (1960)’ berpendapat, masalah
pembangunan adalah masalah input dan modal
serta teknologi, yang merupakan faktor penentu keterbelakangan.
Segera
terjadi perubahan besar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perusahaan-perusahaan MNC dengan modal besarnya masuk secara leluasa ke dalam perekonomian
nasional. Dan dengan sertamerta pula gaya
hidup masyarakat khususnya kelas menengah atas sontak berubah.
Pabrik-pabrik
tekstil modal Jepang membanjiri pasar dengan bahan-bahan pakaian
yang
halus lagi awet. Pabrik-pabrik perabot rumah tangga melibas tali, ember,
keranjang, tenggok-tenggok tradisional
dan lain-lain dengan berbagai produk berbahan baku plastik. Demikian pula pompa-pompa air
menggantikan timba dan kompor menggantikan tungku-tungku masa lalu. Sementara
itu industri-industri
kecil
yang memproduksi limun bangkrut,
lantaran masyarakat lebih merasa terpuaskan jika menyiram dahaganya dengan minuman botol dan kaleng produksi MNC
khususnya Coca Cola, Fanta, Sprite dan Seven-Up.
Tak
pelak lagi, industri-industri rakyat, industri-industri rumah tangga dan
industri kecil hancur tergilas industri-industri besar MNC. Para
pengamat, wartawan, aktivis dan
mahasiswa terperangah. Mulailah strategi pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan dengan memberi perlakuan istimewa kepada modal asing dan modal
besar dipertanyakan. Pihak-pihak yang mendukung pengutamaan strategi
pertumbuhan, berpendapat yang terpenting adalah menciptakan kue pertumbuhan
dulu, baru sesudah ada kue yang cukup, dilakukan pemerataan. Sebab jika tidak,
apanya yang mau dibagi? Mereka menganut apa yang disebut ‘trickle down theory’, teori kue pembangunan akan otomatis mengucur
ke bawah. Sementara yang kontra menyatakan itu teori yang ‘tricky’, yang penuh
tipu muslihat.
Pada
periode itu sampai dengan pertengahan dasawarsa tahun 1970-an, memang belum ada
kajian internasional yang bisa dijadikan rujukan utama bagi strategi Pembangunan:
pertumbuhan sekaligus pemerataan. Bahkan Bank Dunia pun baru pada 1977 ( Twenty
Five Years of Economic Development, World Bank 1977), menyimpulkan bahwa
pendekatan pendapatan nasional sebagai tujuan dari politik pembangunan ternyata
terlalu sederhana, dan perlu diperluas dengan sasaran memerangi kemiskinan,
memperbaiki pembagian pendapatan , memenuhi
kebutuhan pokok dan penyediaan lapangan kerja. Nama-nama pakar
internasional seperti Profesor Simon Kusnets, Felix Paukert dan H.T.Oshima,
acapkali jadi sumber rujukan dalam diskusi-diskusi tentang hal itu. Kusnets
yang telah melakukan
pengamatan sejak1954, mulai menginsyafi
adanya hubungan dilematis antara
pertumbuhan ekonomi dan pembagian pendapatan. Perkembangan ekonomi
modern
dan modernisasi sosial yang mengiringinya, adalah suatu revolusi yang
terkontrol dari suatu proses transisi yang sulit, di mana pergeseran-pergeseran
dalam
kelompok-kelompok kepentingan dan perubahan struktural berlangsung cepat
sekali.
Namun
sampai dengan pertengahan 1970an itu,
bahkan di Indonesia masih juga sampai sekarang, para pengambil kebijakan tetap saja
menggunakan kerangka pemikiran Keynes, Lewis dan juga Rostow, yang mengutamakan pada laju pertumbuhan, yang
diukur berdasarkan perkembangan Gross
National Product (GNP). Padahal tak kurang dari Proklamator Bung Hatta, di awal
Repelita I sudah mengingatkan kurang
percaya pada perhitungan GNP, pendapatan per kapita dan semacamnya. Beliau
menyatakan tidak sejalan dengan strategi
pembangunan yang menitikberatkan pada usaha menaikkan GNP saja. Sebab hitungan
itu tidak cocok dengan kenyataan. Ambillah misalnya, tiga orang. Yang pertama
berpendapatan satu juta setahun. Yang kedua tiga ratus ribu. Yang ketiga
duaratus ribu. Apa dalam kenyataannya bisa dikatakan pendapatan mereka
masing-masing setengah juta? Karena itu pada hematnya, usaha mencapai keadilan
sosial harus memperoleh prioritas pertama. Dengan tegas Bung Hatta menyatakan
tidak sependapat dengan mereka yang beranggapan bahwa kue nasional harus besar
dulu baru dibagi.
Felix
Pauker (Majalah Prisma, Februari
1976), dengan menggunakan data-data dari
56 negara juga sampai pada kesimpulan bahwa pembagian pendapatan memang
mengalami ketimpangan yang terus
membesar hingga pendapatan per
kapita
mencapai US$300. Namun setelah titik
kritis ini, ketimpangan akan cenderung mengecil, dan proses ini semakin cepat
lagi setelah pendapatan per kapita mencapai US$1.000. Dilain pihak,
H.T.Oshima meragukan kebenaran hipotese
tersebut setelah meneliti data 7 negara Asia.
Menurut Oshima ketidakmerataan
pendapatan pada tahap pertama pembangunan
bukan merupakan hal yang tidak
bisa dihindarkan di beberapa negara Asia
(Malayan Economic Review, Vol.XV, No.2, September 1970).
Sementara
modal asing dan modal besar membanjir, menerjang industri rumah tangga dan
industri kecil sehingga gulung tikar,
para aktivis dan mahasiswa bergolak untuk melakukan koreksi. Pergolakan diawali dengan sebuah diskusi di
Universitas Indonesia
13 – 16 Agustus 1973, dengan pembicara antara lain Ali Sastroamidjojo, Subadio,
Sjafruddin Prawiranegara dan TB Simatupang.
Adapun tema diskusi yaitu “Meninjau kembali strategi pembangunan dan
kebijaksanaan modal asing, serta masalah ketimpangan dalam pembagian hasil
pembangunan”.
Diskusi
ini segera menggelinding dengan cepat, menjadi sebuah ‘travelling discussion’
ke berbagai kampus dan daerah, yang dimotori oleh Ketua Dewan Mahasiswa
Universitas Indonesia (UI) Hariman Siregar . Bagaikan gelombang laut yang
bergulung sambung-menyambung, melibatkan bukan hanya kalangan mahasiswa tapi
juga tokoh-tokoh masyarakat, dosen, pengacara, wartawan, budayawan dan
lain-lain. Meskipun pada awalnya diskusi-diskusi tersebut hanya dihadiri oleh
beberapa puluh orang saja, tapi karena bersifat terbuka, diliput oleh wartawan
dan terjadi terus-menerus, diikuti oleh lintas generasi dan lintas disiplin
dengan tema sentral yang sama, serta menyentuh titik-titik rawan dari keresahan
sosial, maka dengan cepat membentuk suatu gerakan yang berpotensi eksplosif.
Sebagai
wartawan muda yang di siang hari bertugas meliput kegiatan Kepresidenan dan
penugasan-penugasan khusus, saya tertarik mengikuti gerakan tersebut, terutama
diskusi-diskusi yang diselenggarakan di malam hari antara lain diskusi
“Penilaian Situasi Terakhir” tanggal 6 November 1973 di Computer Centre UI,
diskusi “Untung Rugi Modal Asing di Indonesia yang diselenggarakan di Balai
Budaya, Jakarta yang menelorkan “Ikrar Warganegara Indonesia”, renungan akhir tahun 31 Desember 1973 di
halaman kampus UI Salemba. Bahkan tatkala Ketua IGGI JP Pronk berkunjung ke Indonesia pada periode itu, saya
juga ditugasi untuk mengikutinya,
meliput semenjak kedatangannya di Bandar Udara Kemayoran , yang disambut oleh
para demonstran, sampai dengan
kunjungannya ke berbagai tempat dan wilayah.
Gerakan
ini juga merumuskan sebuah petisi menyambut peringatan Sumpah Pemuda, yang
dibacakan di Taman Makam Pahlawan pada tanggal 24 Oktober 1973, yang berisi
antara lain:
1.Strategi pembangunan perlu ditinjau
kembali. Strategi yang baru hendaknya
menciptakan keseimbangan di bidang
politik, sosial dan ekonomi.
2. Rakyat harus dibebaskan dari
ketidakpastian hukum, korupsi serta
penyelewengan-penyelewengan kekuasaan.
3.Perlunya refungsionalisasi lembaga-lembaga
penyalur pendapat rakyat.
4.Penentuan masa depan adalah hak dan
kewajiban generasi muda. (buku: ‘Memori
Jenderal Yoga’ oleh B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin).
Hampir
seluruh kegiatan, tema serta topik-topik diskusi gerakan tersebut menjadi bahan perhatian wartawan dan
pemberitaan media massa, dan terus
mengemuka sampai ke dalam briefing RAPBN 1974/75, hari Minggu malam 6 Januari
1974 di kantor Bappenas, Taman Suropati dan liputan Pidato Kenegaraan Presiden
Soeharto mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1974/75 di DPR keesokan harinya.
Hari berikutnya lagi saya memperoleh kehormatan mewawancarai Menko Ekuin
merangkap Ketua Bappenas Prof.Dr.Widjojo Nitisastro tentang mengapa Pemerintah
bersikukuh dengan kebijakan “trickle down theory”, yang memang pada saat itu
tidak ada pilihan lain. Berbeda dengan keadaan sekarang, tatkala kita sudah
berhasil melakukan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Sampai
akhir hayatnya, Pak Widjojo dikenal sebagai pejabat yang “pelit” memberikan
keterangan pers apalagi wawancara khusus.
Saya beruntung beberapa kali memperoleh
kehormatan mewawancari bahkan mengikuti kunjungan kerjanya ke luar negeri. Pak Widjojo juga dikenal sebagai
seorang pejabat tinggi yang hidup
sederhana. Kesederhanaannya tercermin dari suasana dan perangkat ruang
kerja serta rombongan kunjungan
kerjanya, yang hampir tidak pernah membawa staf apalagi ajudan. Akibatnya saya menyertainya bagaikan seorang
pemuda mendampingi sang ayah yang
bepergian jauh sendirian, dengan penuh perhatian dan rasa hormat.
Menanggapi
gerakan dan tututan mahasiswa, pada hari Jumat 11 Januari 1974 Presiden
Soeharto di Bina Graha, menerima delegasi 90 pengurus Dewan Mahasiswa dari
berbagai kampus di Indonesia. Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam
itu, Hariman Siregar selaku pimpinan delegasi , disamping menyampaikan Petisi
24 Oktober, juga mengemukakan kerisauan mahasiswa atas kesenjangan sosial
ekonomi masyarakat yang semakin
melebar. Bila kesenjangan ini tidak
segera diatasi, dia kuatir bisa terjadi seperti pergolakan akibat berbagai
kesenjangan di Pakistan,
yang kemudian berakhir dengan pecahnya negeri tersebut menjadi Pakistan untuk Pakistan Barat dan Bangladesh
untuk Pakistan Timur.
Pak
Harto dengan pembawaannya yang tenang dan tetap tersenyum, berusaha
menenteramkan para mahasiswa dengan menjelaskan
program-program pembangunan, sebagaimana sudah dituangkan dalam Repelita I. Pembangunan
tidaklah segera akan memberi kepuasan dan pemenuhan secara menyeluruh. Semua
orang berhasrat untuk segera menikmati hasil-hasil pembangunan. Akan tetapi
mengusahakan pembangunan memerlukan sikap hidup yang berani mengurangi
konsumsi, berani menabung dan memupuk
modal serta rela membayar pajak. Pembangunan sungguh memerlukan cucuran
keringat, kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil. Sementara itu hasil pembangunan
tidak akan segera terasa. Hasil jerih payah hari ini baru akan bisa dirasakan
beberapa waktu kemudian. Oleh karena itu janganlah mengharap terlalu banyak
dalam waktu yang terlalu pendek. Yang
penting kita semua mengetahui ke arah mana bangsa dan negara ini kita bawa.
Meyakini apa yang diharapkan dapat terjadi di hari esok.
Di
akhir acara beliau menyerahkan buku-buku Repelita I kepada mahasiswa,
masing-masing terdiri dari 5 buku yaitu Buku I, IIA, IIB, IIC dan Buku III, dan
tidak seperti biasanya, dalam kesempatan itu ia memeluk sang tamu, Hariman
Siregar.
Meskipun
para pengurus Dewan Mahasiswa sudah bertemu Presiden, ketidakpuasan mahasiswa
terus berkobar, di samping karena kebijakan Repelita I yang memang masih lebih
mengutamakan pertumbuhan dan mengesampingkan pemerataan, juga karena gerakan itu sendiri sudah
menggelinding bukan hanya menjadi gerakan mahasiswa semata-mata, tapi juga
sudah diikuti oleh lintas profesi dan usia. Suasana ibukota Jakarta, semakin hari semakin panas dengan berbagai
aksi demontrasi, yang terkesan
mengerucut menjadi anti modal Jepang. Padahal pada Senin malam 14 Januari 1974,
Perdana Menteri Jepang Tanaka
direncanakan akan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma dalam rangka
kunjungan kenegaraan di Indonesia.
Dalam
suasana seperti itu, pada sore hari saya memperoleh informasi, secara mendadak
Presiden Soeharto memanggil tiga pejabat penting Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal
Panggabean, Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Sumitro dan Menteri
Penerangan Mashuri. Keluar dari pertemuan di kediaman Presiden di Jalan
Cendana, Jakarta itu, tidak seperti biasanya yang nampak garang, Jenderal
Sumitro nampak agak lesu, dan kepada beberapa wartawan yang mencegatnya ia
hanya mengatakan, “saya pasrah”. Pertemuan menurut Menteri Penerangan membahas
situasi terakhir, khususnya pengamanan penyambutan tamu negara yang akan tiba
dua jam lagi, yang menurut informasi akan dihadang oleh para demonstran.
Pertemuan
tiga Jenderal bintang empat ( Soeharto, Panggabean, Sumitro) ditambah Menteri
Penerangan Mashuri itu ternyata tidak bisa menghentikan gerakan masyarakat yang
dimotori para mahasiswa. Memang pada malam itu, ratusan demonstran gagal
menghadang Perdana Menteri Tanaka di Halim, namun pada keesokan
harinya, demontrasi yang terus
berlangsung, berubah menjadi huru-hara yang membakar Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai
Peristiwa Malari (Lima Belas Januari).
Buku ‘Memori Jenderal Yoga’ menyebutkan,
peristiwa tersebut mengakibatkan paling kurang 11 orang meningggal, 177
orang mengalami luka
berat,
120 lainnya luka ringan dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187
sepeda motor rusak/terbakar serta 144 bangunan rusak karena pelemparan batu
atau pembakaran. Kerugian harta benda lain sulit dihitung, tapi sedikitnya 160
kg emas hilang dari sejumlah toko
perhiasan.
Meskipun
para mahasiswa dan pelajar menegaskan tidak melakukan perusakan dan pembakaran,
Dewan Mahasiswa dan Pelajar se-Jakarta segera
menyataan sikap ksatria mereka yang
tidak akan cuci tangan. Buntut dari
Peristiwa Malari, sejumlah tokoh masyarakat, budayawan, para aktivis dan
tokoh-tokoh mahasiswa juga ikut ditahan, termasuk Hariman Siregar yang beberapa
hari sebelumnya dipeluk Pak Harto di Bina Graha.
Kerusuhan
sosial yang membakar Jakarta
tatkala sedang berlangsung kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang tadi,
mempermalukan aparat intelijen, ketertiban dan keamanan, yang dengan segera
dilakukan perombakan besar. Meskipun Pak Harto pasti juga merasa malu dan
kecewa sebagaimana kemudian ditersirat dalam pidato akhir tahun 1974, yang
menyebut peristiwa tadi sebagai peristiwa pengacauan, toh beliau memperhatikan
dengan seksama aspirasi mahasiswa yang menuntut dilakukannya koreksi terhadap strategi
pembangunan yang terlalu mengutamakan pertumbuhan.
Dalam
Sidang Kabinet seminggu setelah Peristiwa Malari, yaitu Selasa 22 Januari 1974,
Pemerintah menggariskan kebijakan terobosan yang cukup mendasar di bidang
penanaman modal dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dibidang penanaman modal ditetapkan agar
penanaman modal asing harus berbentuk usaha patungan
dengan pemodal pribumi. Selanjutnya pada tanggal 11 Pebruari 1974, dibentuk
Dewan Pembina Pengembangan Pengusaha Pribumi, dan kemudian dalam memasuki
Repelita II (1974 – 1979) dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengakhiri
kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan.
Guna
mendukung permodalan pengusaha pribumi, sektor informal dan bakul-bakul kecil
di pedesaan , diputuskan bahwa kredit investasi hanya diperuntukkan bagi
pengusaha pribumi. Juga diperkenalkan
model pembiayaan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) sebesar Rp.5juta, Kredit Desa dan Kredit Candak Kulak dari
Rp.10.000,- sampai dengan Rp.100.000,-
serta skema asuransi kredit melalui P.T.Asuransi Kredit Indonesia
(Askrindo).
Sedangkan
untuk memeratakan pembangunan ke daerah sampai ke pelosok desa, dialokasikan
anggaran pembangunan yang dikenal
sebagai Proyek Instruksi
Presiden
(Proyek Inpres) Daerah Tingkat (Dati) I,
Inpres Dati II, Inpres Desa, Inpres Kesehatan , Inpres Pembangunan
Sekolah Dasar dan Inpres Pasar.
Kebijakan
pemerataan pembangunan itu dipertegas dan dirumuskan dalam strategi pembangunan
yang semula diwacanakan: pertumbuhan –
pemerataan – pemantapan menuju keadilan sosial, tapi pada pengantar RAPBN 1977/78 Pak Harto memperkenalkan sebagai
Trilogi Pembangunan yaitu (1) Stabilitas nasional yang dinamis. (2) Pertumbuhan
ekonomi tinggi. (3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Sejalan
dengan itu Badan Koordinasi Penanaman Modal memerinci dan menetapkan
jenis-jenis usaha apa saja yang hanya diperuntukkan bagi usaha kecil dan
koperasi. Jenis-jenis itu tertutup bagi modal asing dan modal besar. Demikian
pula Departemen-departemen teknis khususnya Departemen Perindustrian,
menindaklanjuti dengan mendorong pengembangan industri kecil, kerajinan dan
rumah tangga. Pusat-pusat industri kecil dikembangkan di berbagai daerah.
Dalam
periode Kabinet 1983 – 1988, dibentuk unit kerja Usaha Peningkatan Penggunaan
Produksi (barang dan jasa) Dalam Negeri (UP3DN) yang aktif memerinci serta mengarahkan produk dan jasa-jasa apa
saja yang harus dipenuhi
dan memakai
produk dalam negeri. Belanja atau pengadaan barang dan jasa Pemerintah serta Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) diawasi secara ketat.
Selaku
pengurus Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia, beberapa kali saya dipanggil rapat oleh
Menteri Muda UP3DN Ginanjar Kartasasmita, untuk membahas kemungkinan bagi anggota kami
memproduksi geotekstil di dalam negeri, yang akan dipergunakan sebagai hamparan
landasan pembangunan jalan tol Cengkareng. Setelah kami kaji secara mendalam
dan ternyata perusahaan anggota kami tidak ada yang sanggup, barulah kontraktor
jalan tol tersebut diijinkan mengimpor. Contoh lain lagi, kami juga diajak berunding dan didorong untuk bisa
memproduksi di dalam negeri, kemasan atau kantong-kantong plastik jumbo
berkapasitas sampai dengan satu ton.
Dengan
cara-cara seperti ini, tumbuh dan berkembang pengusaha-pengusaha muda nasional
yang beberapa diantaranya sekarang telah menjadi pengusaha besar yang sukses.
Sejalan
dengan itu semua, gerakan menabung yang sudah dimulai pada Repelita I semakin
ditingkatkan. Jenis-jenis tabungan
masyarakat di perbankan dan kantor pos diperbanyak, dengan
keringanan-keringanan bea adminstrasi dan manajeman, agar tabungan-tabungan
kecil yang dimiliki masyakarat bawah tidak habis digerogoti oleh beban-beban
administrasi dan manajemen bank atau lembaga keuangan di mana mereka menabung.
Lebih dari itu, kepada para penabung justru diberikan insentif berupa undian
berhadiah.
Pola
hidup sederhana juga digalakkan. Kunjungan-kunjungan ke daerah yang memang
diperlukan, dianjurkan memakai pola inspeksi mendadak. Rombongan kunjungan
kerja dibatasi, upacara-upacara disederhanakan. Bahkan pesta-pesta keluarga
pegawai negeri dan TNI/Polri khususnya pesta perkawinan pun dibatasi, termasuk
jumlah undangannya. Saya tidak sempat mencari data yang tepat, tapi seingat saya
paling banyak sekitar 250 (duaratus limapuluh) undangan, dan tidak boleh di
tempat-tempat mewah seperti hotel dan sejenisnya. Pada masa itu, balai-
balai
pertemuan mewah hanya ada di hotel-hotel. Balai-balai pertemuan mewah seperti
Bidakara, Balai Sudirman, Balai Kartini
dan Balai Sidang Senayan sekarang ini, belum ada.
Strategi
Pembangunan yang dinamakan Trilogi Pembangunan itu, meskipun pemerataan di jadikan butir ketiga, namun
dalam berbagai pengarahannya Pak Harto menegaskan agar di dalam pola oprasionalnya
didahulukan, dijadikan batu pijakan. Sebagai contoh, dalam pidatonya tatkala
meresmikan dua pabrik teh di Panglejar, Bandung,
18 Mei 1984, Presiden berkata: “Watak
kerakyatan pembangunan harus kita camkan sedalam-dalamnya dalam jiwa kita.
Harus tercermin jelas dalam keseluruhan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan”.
Sayang
sekali, berbagai kebijakan yang pada awalnya berjalan baik itu, tidak
berlangsung lama. Selalu saja tantangangannya adalah bagaimana melaksanakan
secara konsekuen dan konsisten. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN)
Jenderal Yoga Sugomo, yang selama sebelas tahun hampir pada setiap Jumat malam
di kediaman Pak Harto, Jalan Cendana 8, selalu menyampaikan analisa keadaan
terakhir serta perkiraan keadaan ke depan, tak jemu mengemukakan potensi
ancamannya, yaitu dua hal bersumber dari aparat dengan sistemnya dan satu lagi
berpa “intruder” atau pengganggu-pengganggu di sekeliling kita.
Yang
bersumber dari aparat adalah pertama, para birokrat kita belum bisa membuktikan
dirinya sebagai abdi masyarakat, yang gaji berikut kemudahan-kemudahan yang
mereka nikmati berasal dari pajak rakyat. Mereka belum, dan sebab itu harus
benar-benar memahami strategi pembangunan tersebut, serta melaksanakan secara
konsisten dan konsekuen. Kedua, sistem komunikasi dan
penerangan
pembangunan belum mampu merangsang interaksi antara pemerintah dan masyarakat ,
apalagi menggerakkan peranserta dan swadaya masyarakat.
Adapun
yang berupa pengganggu adalah bisnis kroni keluarga pejabat mulai dari tingkat
pusat sampai daerah, yang saling berkelindan dan saling menguntungkan
dengan aparat, sehingga
acapkali melahirkan perlakuan-perlakuan istimewa yang mudah mengobarkan
kecemburuan sosial. Yang sangat menyolok pada saat itu adalah berbagai
kebijakan monopoli atas beberapa komiditi perdagangan. Sepak terjang mereka
melahirkan istilah-istilah olok-olokan seperti “rent seeker economy” dan
“profit before investasi” atau “profit before operation”.
Tentu
tidak mudah membuat analisa seperti itu untuk disajikan kepada Presiden.
Staf-staf pak Yoga Sugomo harus bekerja keras mengumpulkan bukti fakta-fakta
dan perkiraan keadaan secara cermat, yang dikemas secara indah agar Pak Harto
bisa menerima tanpa harus tersinggung.
Dalam beberapa hal misalkan masalah monopoli, dengan didukung oleh
sejumlah Menteri dan pejabat tinggi lainnya, akhirnya bisa meyakinkan Pak Harto
sehingga kemudian menghapuskannya.
Tetapi tidak selamanya Pak Yoga berhasil, sampai suatu saat pada sekitar
pertengahan tahun 1985, merasa jemu dan
bahkan patah arang (lihat tulisan: “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para
Menterinya”).
Demikianlah,
tidak mudah menjaga pengelolaan negeri ini agar istiqomah, agar konsisten dan
konsekuan dalam menjalankan strategi pembangunan yang mengusung sekaligus tiga
sasaran yaitu pertumbuhan – pemerataan – stabilitas nasional. Tidak mudah
membuat rakyat kecil bisa tertawa
bahagia, menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dalam suasana adil, makmur sejahtera. Selalu saja strategi
itu jatuh bangun, pasang-surut berebut mana yang paling utama. Bahkan sampai
sekarang, sangat terasa perekonomian negeri ini sudah seperti dijajah kembali
oleh kekuatan asing, yang justru kebih
mengkhawatirkan dibanding di zaman
Orde Baru, karena jalan permadani merahnya
dihamparkan oleh para elite melalui
berbagai perangkat hukum dan perundang-undangan. Kalau toh ada
pengusaha-pengusaha nasional yang berjaya, dari heboh kasus pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
semenjak tahun 1997, sampai dengan gambaran
di
tahun 2012 ini, secara kasat mata orang bisa menghitung jumlah mereka dan siapa
mereka, yaitu-itu saja yang tak lebih dari hitungan dua digit.
Maka
sungguh tidak terkejut kita membaca di harian Kompas, Rabu 5 September 2012,
penilaian dua pakar ekonomi dunia yang menyatakan pertumbuhan ekonomi tidak
menjamin pemerataan. Kedua pakar itu
adalah Eric Maskin, penerima
Penghargaan
Nobel Ekonomi tahun 2007, dan Kaushik Basu, Guru Besar Ekonomi Universitas
Cornell, Amerika Serikat. Mereka datang
ke Jakarta guna
mengikuti Konferensi Asosiasi
Pembangunan Manusia dan Kapabilitas.
Menurut
mereka, mengukur pembangunan hanya dari produk domestik bruto atau GNP dan
pertumbuhan ekonomi, menghilangkan kenyataan ada ketimpangan di masyarakat
dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini disebabkan produk domestik bruto
hanya melihat pendapatan secara rata-rata dan pertumbuhan ekonomi, dan tidak
melihat manfaat pada pembangunan manusia.
Mereka
juga menyimpulkan, globalisasi merupakan salah satu penyebab ketimpangan
kesejahteraan, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Globalisasi dapat menaikkan pendapatan
rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. Globalisasi
menguntungkan hanya tenaga kerja terlatih dan terdidik.
Sekarang
terpulang kepada kita segenap anak bangsa, bagaimana kita mengambil pelajaran dan memetik hikmah dari masa lalu. Akankah
kita kembali jatuh bangun, terperosok pada lubang kesalahan yang sama? Celakanya adalah jika pertumbuhan
yang dikejar itu bertumpu pada obral hasil sumber daya alam secara mentah
tanpa diolah di dalam negeri terlebih dulu menjadi produk akhir, seperti yang sekarang berlangsung, maka yang
sesungguhnya terjadi adalah eksploitasi
yang mengakibatkan kerusakan alam
yang dahsyat, sekaligus pemiskinan nasional yang luar biasa cepat.
Naudzubillah.
(B.WIWOHO).
Beji,
12 September 2012.