Seorang teman bertanya tentang sasahidan yang diajarkan oleh 
guru spiritualnya yang berasal dari Jawa Tengah, yang dipercaya dan 
diyakininya sebagai mantera sakti. Mengapa demikian?
Kata sasahidan berasal dari bahasa Arab “syahida atau syahadat”, yang
 berarti kesaksian atau pengakuan iman. Jadi sebagaimana yang kita 
pahami selama ini, sasahidan atau syahadat adalah ikrar yang menunjukkan bukti bahwa orang yang 
mengucapkan kesaksian tersebut telah beriman atau menjadi mukmin. Bagi 
orang Islam Jawa tempo dulu, dua kalimat syahadat sering disebut 
Kalimasada (kalimat syahadat), atau juga Sasahidan Taukid dan Sasahidan 
Rasul. Sasahidan Taukid, ada juga yang mengucapkan Tokid yaitu “Asyhadu 
an-laa ilaaha illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan – yang haq
 – selain Allah)”. Sedangkan Sasahidan Rasul yaitu, “Wa asyhadu anna 
Muhammadan rasulullah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan 
Allah)”.
Kata sasahidan juga sering dipakai untuk mengawali wirid sifat 20 
(dua puluh) Gusti Allah, sebagai penegasan pengakuan keimanan atas 
keduapuluh sifat tersebut. Misalkan, “Asyhadu Allah kang tanpa wiwitan, 
tanpa wekasan, urip tan kena pati ( Aku bersaksi bahwa Allah tidak 
bermula dan tidak berakhir, lagi hidup kekal selamanya)”. 
Dalam perkembangannya, setelah ulama sekaligus pujangga Keraton 
Kasunanan Surakarta yang tersohor, R.Ngabehi Ranggawarsita (lahir 15 
Maret 1802 dan wafat 24 Desember 1873) menulis kitab atau serat “Wirid 
Hidayat Jati”, muncul sebuah ajaran Sasahidan ajaran Syekh Siti Jenar. 
Dari kitab Wirid Hidayat Jati ini pula, lahir ajaran untuk tidak 
menyebut atau pun memanggil asma Tuhan dengan Allah saja, tetapi 
dianjurkan dengan menambah gelar yang amat sangat terhormat yaitu Gusti,
 sehingga menjadi Gusti Allah.
 Syekh Siti Jenar yang misterius dan legendaris ini dipercaya 
mengajarkan Wirid Sasahidan yang terkenal sampai sekarang, yang pada 
umumnya diajarkan secara lisan dari mulut ke mulut oleh para guru 
spiritual, kebatinan atau pun penganut tasawuf Jawa aliran Syekh Siti 
Jenar. Padahal siapa sesungguhnya Syekh Siti Jenar, tidak ada bukti 
sejarah yang kuat yang menyebutkan. Bahkan apakah benar itu ajaran Syekh
 Siti Jenar ataukah Ranggawarsita? Ataukah pujangga-pujangga penulis 
kisahnya pada empat abad kemudian? Waallahualam.
Kisah tentangnya, pun ajaran-ajarannya, ditulis sekitar tiga atau 
empat abad kemudian. Beliau konon berkiprah pada masa kejayaan Wali 
Songo dan Kesultanan Demak pada awal abad ke 15, namun kisahnya baru 
ditulis dalam “Serat Centini” (periode 1814 – 1823), kitab “Wirid 
Hidayat Jati” sebagaimana di atas dan dalam “Serat Siti Jenar” pada abad
 ke 19.
Wirid Sasahidan yang merupakan inti sari ajarannya tersebut adalah sebagai berikut:
 Ingsun anekseni ing datingsun dhewe
 Satuhune ora ono pangeran among ingsun
 Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
 Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
 Rasul iku rahsaningsun
 Muhammad iku cahyaningsun
 Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
 Iya ingsun kang eling tak kena lali
 Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
 Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
 Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
 Byar
 Sampurna padhang terawangan
 Ora kerasa apa-apa
 Ora ana katon apa-apa
 Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
 Kalawan kodratingsun.
Artinya:
 Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
 Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
 Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
 Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
 Rasul itu rasa-Ku
 Muhammad itu cahaya-Ku
 Akulah yang hidup tidak terkena kematian
 Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
 Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
 Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
 Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
 Byar
 Sempurna terang benderang
 Tidak terasa apa-apa
 Tidak kelihatan apa-apa
 Hanya aku yang meliputi seluruh alam
 Dengan kodrat-Ku
Di samping Wirid Sasahidan tadi, sering pula kita menjumpai wiridan 
syahadat atau sasahidan yang lain, misalkan “Syahadat Sakarat Wiwitane 
Pati (Syahadat Sakarat Permulaan Kematian)”. Syahadat ini dianjurkan 
untuk jadi bacaan wirid bagi orang-orang yang mendekati ajal, atau 
orang-orang yang sudah bisa melihat akan akhir hayatnya, yang berbunyi:
 “Ashadu ananingsun, 
 anuduhake marga kang padhang, 
 kang urip tan kena ing pati, 
 mulya tan kawoworan, 
 eling tan kena lali, 
 iya rasa iya rasulullah, 
 sirna manjing sarira ening, 
 sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine,
 angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. 
Artinya:
 Aku bersaksi tentang keberadaanku, 
 yang menunjukkan ke jalan yang terang, 
 yang hidup dan tidak akan mati (kekal abadi), 
 yang mulia dan tidak ternodai, 
 yang senantiasa ingat dan tidak memiliki sifat lupa, 
 iya rasa ini ya Rasulullah, 
 hilang masuk meresap ke badan yang hening, 
 hilang menyatu dengan keabadian menguasai perbuatan baiknya, 
 angan-angannya senantiasa menghadap Sang Pangeran (Gusti Allah)”.
Tak kalah menarik dari sasahidan ala Jawa Tengahan, di daerah yang 
konon banyak disebut sebagai daerah asal Syekh Siti Jenar, yaitu Cirebon
 juga tercipta berbagai Syahadat, antara lain Syahadat Gunung Jati dan 
Syahadat Urip. Syahadat Cirebon – Gunung Jati misalkan:
 Niat ingsun syahadat cirebon,
 lir gua gunung jati,
 cameti astana popoh,
 penggotekan petaunan,
 murup mancur cahyane Allah,
 rat jagat urip innsun,
 ngadeg aken Cirebon kersane Pangeran
 lailaha ilallah muhammadurrasulullah,
Sedangkan Syahadat Urip berbunyi:
 Asyhadu urip tan kena ing pati, 
 ilaha raga tan kena ing lara,
 illallah wit tanpa wiwitan, 
 dzat les dzat les tanpa wekasan, 
 sahadat jati tegang pati, 
 sahadat kagawa mati, 
 les pangeran tandana , 
 kari yahu tanda sawiji, 
 kalbu putih tanpa dzat les, 
 pangeran muliya kang putih ratna gumilang 
 numawa rasa mulya menter putih, 
 rat kerat.
Jika Syahadat Gunung Jati menggambarkan tentang niat, tekad dan 
semangat sekaligus doa untuk mendirikan Kesultanan Cirebon yang 
dilimpahi nur ilahi serta ditutup dengan dua kalimat syahadat, maka 
Syahadat Urip merupakan inti sari dari gabungan Wirid Sasahidan dan 
Syahadat Sakarat Wiwitane Pati. 
Kelima contoh Sasahidan tadi, yaitu tiga versi Surakarta dan dua 
versi Cirebon, menunjukkan adanya berbagai jenis persaksian. Ada 
kesaksian tentang sifat-sifat Gusti Allah, ada tentang “manunggaling 
kawulo – Gusti (wahdatul wujud atau penyatuan hamba dengan Allah)”, ada 
tentang niat dan doa untuk mendirikan Cirebon (Kesultanan) dan ada pula 
tentang penguatan tauhid sebagai persiapan menghadapi kematian. Namun 
dari sekian banyak sasahidan, yang paling terkenal karena disamping 
digunakan sebagai judul wiridan, juga merupakan inti ajaran wahdatul 
wujud dari Syekh Siti Jenar, yaitu Wirid Sasahidan tersebut. Hanya saja,
 banyak pro kontra tentang makna dan hakekat wirid ini. Bahkan di antara
 sesama penganut tasawuf. Sedangkan sasahidan yang lain sudah mulai 
dilupakan.
Mengenai pertanyaan apakah berbagai sasahidan itu, khususnya 
sasahidan Sifat Dua Puluh, benar merupakan mantera sakti? Terpulang 
kepada kita, sebagaimana kita juga selama ini menyikapi serta meyakini 
berbagai bacaan wirid atau zikir yang lazim diamalkan, misalkan wiridan 
asmaul husna.
 Semoga berkenan.
 Subhanallah walhamdulillah. 
Beji, 25 September 2012.