Mungkinkah
Menegakkan Rahmatan
lil Alamien Jika
Terhadap Yang Dekat
Saja Tidak Peduli?
Ini
adalah sebuah kisah nyata. Rupanya kebiasaan menumpang kendaraan yang lazim
kita jumpai dan lihat di film-film Holywood itu, ternyata bukan hanya
berlangsung di era moderen ini saja, tapi sudah semenjak pertengahan abad ke
18, bahkan mungkin sebelum itu.
Di
suatu petang di musim dingin di bagian utara Virginia, Amerika Serikat, seorang
lelaki tua berjenggot lebat yang memutih lantaran diselimuti salju, menggigil kedinginan
menunggu tumpangan untuk menyeberangi sungai. Dari jauh terdengar sayup-sayup
derap kaki kuda. Bukan hanya satu tapi serombongan. Sekilas wajahnya berbinar
penuh harap. Namun harapan itu sempat sirna tatkala penunggang pertama tak
melirik, apa lagi menengoknya sama sekali. Demikian pula penunggang kedua,
ketiga dan seterusnya sampai akhirnya tinggal penunggang yang terakhir.
Harapan
pak tua timbul kembali melihat sang penunggang dari jauh sudah memperlambat
kuda seraya memperhatikannya. Serentak ia lambaikan tangan menghentikan sang
penunggang terakhir, yang segera berhenti dan membantu mengangkat tubuh renta,
yang setengah membeku dan nyaris tidak bisa bangkit itu. Sang penunggang bukan
hanya membantu menyeberangi sungai, bahkan mengantarkan sejauh beberapa mil ke
pondoknya yang mungil lagi nyaman.
Sambil
membantu pak tua turun, Sang Penunggang bertanya, mengapa pak tua itu tidak
menghentikan penunggang-penunggang kuda sebelumnya, dan memilih menghentikannya
padahal ia yang terakhir? Bagaimana bila ia menolak membantu sementara cuaca
malam sangat dingin?
Pak
tua menjawab, “Aku telah hidup di dunia cukup lama, sehingga bisa mengenali
manusia dengan baik. Ketika para penunggang kuda itu lewat, aku melihat
pandangan mata mereka tidak menampakkan kepedulian terhadap keadaanku. Namun
ketika kulihat pandanganmu, tampak jelas keramahan dan kasih sayang. Aku pun
tahu bahwa jiwamu yang lembut pasti takkan melewatkan kesempatan untuk
menolongku”.
Ucapan
pak tua tersebut menyentak perasaan sang penunggang kuda. “Aku sungguh merasa
bersyukur dengan perkataanmu. Semoga aku tidak terlalu sibuk dengan urusanku
sendiri sehingga lalai dengan kepentingan orang lain.”
Itulah
sebuah tekad atau bahkan mungkin janji untuk peduli terhadap orang lain. Setelah
berkata demikian, Sang Penunggang yang tiada lain adalah Thomas Jefferson, yang
bersama sejumlah teman seperjuangannya, berhasil
memerdekakan Amerika Serikat, dan di kemudian hari berkantor di Gedung Putih
sebagai Presiden yang ketiga, di masa-masa sulit, di mana kekuasaan para
politisi dan parlemen sangat dominan seperti di Indonesia sekarang. (Story by Unknwon Author, yang dihimpun oleh
Drs.Abu ‘Abdillah Al- Husainy, Pustaka Zawiyah).
Silaturahim dan
bertetangga baik.
Bangsa
Indonesia ini sungguh luar biasa. Kita semua, baik muslim maupun bukan, baik
yang puasa maupun yang tidak, baru saja menikmati libur bersama demi merayakan Idul
Fitri, ber halal bi halal dan mudik ramai-ramai guna bersilaturahim dengan
sanak saudara, kaum kerabat dan handai tolan di kampung halaman. Untuk itu kita
rela mengorbankan banyak tenaga, waktu dan uang.
Kata
silaturahmi atau silaturahim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tali
persaudaraan atau tali persahabatan. Semua agama, tradisi dan kearifan-kearifan
lokal di berbagai belahan bumi yang menjunjung tinggi moral dan etika,
menempatkan masalah silaturahim sebagai salah satu ajaran utama. Sedangkan
kunci dari silaturahim tiada lain adalah kepedulian. Dengan peduli, maka kita
mulai memperhatikan orang lain di luar diri dan keluarga kita, baru selanjutnya
diwujudkan dengan mengulurkan tali persaudaraan dalam bentuk berbagai sikap dan
perbuatan baik.
Tuhan
berfirman dalam Surat An Nisaa ayat 36: “
Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang
sedang dalam perjalanan dan budak-budak kamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.”
Masalah
kepedulian, silaturahim dan hidup bertetangga baik, ternyata tidak bisa
dipisahkan. Kanjeng Nabi Muhammad Saw banyak membahas kedua hal tersebut.
Perawi Hadis, Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi misalnya, mencatat tidak kurang
ada 17 nasehat keteladanan Rasulullah khusus tentang silaturahim dan 9 tentang
bagaimana berbuat baik dan menjalin tali persaudaraan dengan tetangga.
Keduapuluh enam hadis tersebut saling melengkapi satu sama lain, dan cukup
jelas memberikan tuntunan bagaimana mengamalkan firman Allah Swt dalam Surat An
Nisaa di atas, terutama dalam berbuat baik kepada sanak keluarga, kaum kerabat
dan tetangga.
Tidak
banyak hadis yang diungkapkan Baginda Rasul dengan mengulang-ulang menyebut
asma Allah lantaran saking kesalnya. Namun ada dua yang terkenal, yang satu
tegoran keras terhadap pelaku korupsi terutama rasuah atau riswa atau
suap-menyuap, dan yang satu lagi adalah tentang hubungan bertetangga. Abu
Hurairah mengisahkan bagaimana Kanjeng Nabi bersabda: “ Demi Allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”. Siapa ya
Rasulullah? “Yaitu seseorang yang selalu mengganggu keamanan tetangganya”.
Mengenai
ajaran untuk bersilaturahim serta berlaku baik terhadap tetangga, Ibnu Umar dan
Aisyah ra menuturkan betapa Jibril berpesan wanti-wanti, berpesan dengan amat
sangat kepada Rasulullah, agar kita selalu berperilaku baik terhadap tetangga,
sampai-sampai Rasulullah sempat menyangka Jibril akan menyuruh memberi hak
waris kepada tetangga.
Oleh
sebab itu sangatlah beralasan, apabila hampir semua agama dan kaum bijak
bestari mengajarkan betapa penting menjalin hubungan persaudaraan dengan para
tetangga, karena sesungguhnya merekalah saudara terdekat kita, yang akan paling
cepat menolong jika kita tertimpa musibah misalkan kebakaran, dan bukan saudara
kandung kita nan jauh di mata. Naudzubillah.
Sahabat-sahabatku.
Masih
banyak ayat-ayat suci, hadis dan petuah-petuah bijak dari seluruh penjuru dunia
di sepanjang masa mengenai silaturahim, hubungan bertetangga dan berbuat baik
kepada sesamanya. Saya yakin kita semua memahaminya. Hanya saja karena
gelombang globalisasi yang melancarkan perang semesta terhadap segenap anak
manusia, membuat kita sering lupa pada masalah-masalah yang kelihatannya sepele
tersebut. Gelombang globalisasi yang mengaduk-aduk kehidupan kita, bisa
memisahkan masalah keimanan dengan amal saleh. Padahal di dalam Al Qur’an cukup
banyak ayat yang menegaskan pentingnya keterkaitan antara iman dan amal saleh,
karena amal saleh itu memang merupakan realisasi dari iman, merupakan bukti dan
perwujudan dari iman (antara lain Surat
An-Nahl ayat 97 dan Surat Al-Bayyinah ayat 7).
Jika
berbicara mengenai iman saja, maka itu merupakan rahasia antara kita dengan
Tuhan. Tiada seorang pun kecuali diri kita sendiri yang tahu apakah kita
sungguh-sungguh beriman ataukah hanya sekedar kamuflase dan topeng kehidupan.
Akan tetapi bila iman dikaitkan dengan tindakan, dengan perbuatan, dengan
amalan, maka menjadi nampak perwujudannya di dalam perilaku sehari-hari. Dengan
demikian iman menjadi sempurna karena ada buktinya (http://islamjawa.wordpress.com/2013/12/31/seri-tasawuf-salon-kecantikan-jiwa-di-era-globalisasi-1-gelombang-globalisasi-ii/).
Waspadai
Globalisasi.
Mengapa
saya menyebut Gelombang Globalisasi telah mengaduk-aduk kehidupan dan keimanan
kita? Sungguh tidak cukup berbicara globalisasi hanya dalam beberapa menit.
Tetapi intinya, gelombang globalisasi adalah suatu bentuk perang semesta yang
dilancarkan oleh Kapitalisme Global yang mendendangkan musik jiwa, yang
menggempur nilai-nilai dasar negara bangsa, menggerus norma-norma agama,
tradisi dan kearifan lokal.
Musik
jiwa tersebut berusaha keras membentuk tatanan masyarakat dunia baru, dengan
menggalang alam pikiran kita agar terpadu secara total pada dimensi
rasionalitas, yang memuja pesona dunia dengan menciptakan kebutuhan-kebutuhan
palsu. Masyarakat tata dunia baru ini terdiri dari individu-individu masyarakat
yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis. Individu-individu
yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, tanpa peduli terhadap orang lain
dan lingkungan sekitarnya (http://bwiwoho.blogspot.com/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.
html).
Marilah
kita coba mawas diri, menilai diri kita sendiri masing-masing, sejauh mana
sikap-sikap individual yang buruk tersebut sudah mempengaruhi diri kita.
Naudzubillah.
Sahabat-sahabatku.
Baru
saja kita merayakan Idul Fitri. Dalam kaitan Idul Fitri ini masyarakat
Indonesia memiliki kebiasaan yang oleh para ulama dinilai baik, yakni saling
menyatakan “Minal ‘Aidin wal Faizin”. Ungkapan
ini sebenarnya adalah doa agar Gusti Allah Swt menjadikan kita sebagai
orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan. Kembali ke mana? Ke fitrah,
yakni asal kejadian atau kesucian atau agama yang benar.
Menurut
Prof.Dr.Quraish Shihab (Lentera Hati,
Penerbit Mizan), setelah mengasah dan mengasuh jiwa, yaitu berpuasa sebulan
penuh, setiap muslim diharapkan dapat kembali ke asal kejadiannya dengan
menemukan jatidirinya, yaitu kembali suci sebagaimana ketika baru dilahirkan,
serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut
keserasian hubungan, al aidin al
mu’amalah, yakni keserasian hubungan antara sesama manusia, lingkungan dan
alam semesta.
Demikianlah
dengan puasa, kita diharapkan mengingat kembali tugas kita selaku khalifah fil ard, yaitu hamemayu hayuning
bawono atau mewujudkan rahmatan lil alamien, mewujudkan keserasian hubungan
manusia-lingkungan-alam, yang harus dimulai dari lingkaran kehidupan yang terkecil
yaitu diri sendiri; selanjutnya menjangkau lingkaran yang semakin besar yakni
keluarga dan rumahtangga, orang-orang terdekat seperti tetangga dan teman kerja,
masyarakat luas, lingkungan dan alam semesta.
Masalahnya
bagaimana mungkin kita bisa menjalin kerserasian hubungan dengan masyarakat
luas, lingkungan dan alam semesta beserta segenap isinya, kalau perilaku kita
hedonis-individualis-pragmatis-materialis dan narsis, yang tidak lagi peduli
terhadap orang lain dan terhadap siapa pun, baik itu lingkungan, tetangga,
teman kerja bahkan terhadap alam semesta? Apakah sudah benar, kita jauh-jauh
bersilaturahim ke sanak saudara nan jauh di kampung, sementara silaturahim
dengan tetangga diabaikan? Apakah benar acara mudik yang menuntut pengorbanan berhari-hari
perjalanan itu adalah silaturahim yang sesuai dengan nilai-nilai kegamaan,
ataukah bukannya suatu upaya pemuasan atas sikap hedonis-individualis-pragmatis-materialis
dan narsis. Hanya diri kita dan Allah Swt saja yang tahu.
Mungkinkah
kita bisa berbuat baik, bisa bersilaturahim secara al aidin al mu’amalah, melaksanakan tugas kehidupan kita selaku khalifah fil ard, jika kepada yang
terdekat dan nampak sehari-hari saja kita tidak peduli dan tidak bisa menjalin
hubungan baik? Mungkinkah memintal tali persaudaraan yang terjulur jauh
memanjang, sementara yang dekat tidak terhubung?
Khusus
bagi para elit nasional, mungkinkan
mereka peduli kepada Jakobus di pedalaman Papua, peduli kepada si Agam dan si
Inong di pedalaman Aceh Tenggara, jika terhadap orang-orang dekatnya, terhadap
tetangganya, terhadap orang-orang yang pernah dekat dan membantunya saja mereka
tidak peduli? Bahkan lalai, dilupakan dan tidak bisa mempertahankan tali
silaturahim?
Semoga
saja, Tuhan Yang Maha Pengasih memaafkan kita semua khususnya penulis, serta
menganugerahi kita terutama para pemimpin bangsa, sikap kepedulian terhadap
sesamanya yang tulus dan tinggi, minimal sebagaimana tekad Thomas Jefferson di
bagian awal tulisan ini. Aamiin. (B.
Wiwoho)
Beji,
Depok 16 Agustus 2014.