Keutamaan Ayat Kursi
Bait
31 :
Dudur molo teng ayatul kursi,
lungguh neng atining surah
ngam-ngam,
pangleburan lara kabeh,
usuk-usuk ing luhur,
ingkang aran wesi
ngalarik,
nenggih nabi Muhammad,
kang wekasan iku,
atunggu ratri lan
siang,
kinedhepan ing tumuwuh
padha asih,
tundhuk mendhak maring
wang.
Artinya
:
Penyangga
bubungan (rumah) adalah ayat Kursi,
di
dalam inti surat Al Anaam,
pelebur
segala penyakit,
usuk
(kasau) yang di atas,
yang
disebut deretan jalur besi,
yaitu
Kanjeng Nabi Muhammad,
nabi
yang terakhir,
menjaga
siang malam,
menghadap
umat yang tumbuh rasa sayang,
tunduk
merunduk padaku (Nabi Muhammad saw).
Seperti halnya bait sebelumnya, bait 31 ini juga sarat
makna dan keutamaan. Namun demikian ada dua versi untuk kalimat pada baris
pertama. Satu versi menyebut dudur molo sedangkan
versi lain dudut molo. Kata dudur tidak
ditemukan pada kamus bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Jawa pergaulan sehari-hari
pada umumnya, namun Raden Wiryapanitra dalam Serat Kidungan Kawedar terbitan Dahara Prize menyebut dudur molo sebagai kayu penyangga
bubungan rumah. Sedangkan versi dudut
molo, bisa berarti mencabut atau membersihkan (dudut) molo yang bisa berarti noda, penyakit atau dosa. Jika
melihat baris keempat yang berbunyi usuk-usuk
ing luhur, yaitu kayu kasau penyangga genting yang di atas, nampaknya yang
benar adalah dudur molo. Disambung baris kelima yaitu ingkang aran wesi ngalarik, semakin memperkuat tafsir pemakaian
tamzil bangunan rumah untuk menyebutkan kedudukan ayat Kursi dan Surat Al
Anaam.
Meskipun terdapat dua versi, pemakaian ayat Kursi bisa
diterima pada keduanya. Ia bisa saja diibaratkan balok penyangga bubungan
rumah, tapi bisa juga sebagai pembersih penyakit dan noda kehidupan. Mari kita
coba pahami ayat ke 255 Surat Al Baqarah ini:
“Allaahu laa ilaaha
illaa huwal hayyul qayyuumu, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, lahuu maa
fis samaawaati wa maa fil ardhi, man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi idznihii,
ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum, wa laa yuhiithuuna bi syai-im min
‘ilmihii illaa bi maa syaa-a, wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha, wa laa
ya-uuduhuu hifzhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.”
Mengenai ayat ini, Prof.Dr.Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Mishbah menulis sebagai berikut: “Allah
(1); Tidak ada Tuhan (penguasa Mutlak dan yang berhak disembah) kecuali Dia
(2); Yang Maha Hidup (3); Maha Kekal (4); yang terus-menerus mengurus
makhluk-Nya (5); Dia (6); tidak dikalahkan oleh kantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya (7); apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tiada yang
dapat memberi syafaat di sisi-Nya (8); tanpa izin-Nya (9); Dia (Allah) (10);
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya (11); melainkan apa yang dikehendaki-Nya
(12); Kursi (ilmu/kekuasaan)-Nya (13); meliputi langit dan bumi. Dia (14);
tidak lelah memelihara keduanya dan Dia (15); Maha Tinggi (16); lagi Maha Besar
(17).”
Ayat Kursi menurut Prof.Dr.Quraish Shihab adalah ayat
yang paling agung di antara seluruh ayat-ayat Al Qur’an. Karena dalam ayat ini disebutkan
tidak kurang enam belas kali, bahkan tujuh belas kali, kata yang menunjuk
kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa.
Angka-angka di dalam tanda kurung yang tercantum pada
terjemahan di atas, adalah kata-kata yang menunjuk kepada Allah swt. Jumlahnya,
jika redaksi ayatnya dibaca, hanya enam belas. Tetapi sebenarnya berjumlah tujuh
belas, sebab yang satu tersirat, yaitu pada kalimat : laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa atau angka (15).
Pada bait 30 kita telah dikenalkan dengan bacaan zikir Ya Hu Allah dan Surat Al Ikhlas. Melalui ayat Kursi, bait ini memperkenalkan lebih
jauh tentang siapa Allah yang dikidungkan sebelumnya itu. Dalam satu ayat yang
terdiri dari lima puluh kata ini, terdapat tujuh belas kata yang menunjuk
kepada Allah.
Dari ayat Kursi pula keluar ungkapan yang sangat
terkenal di dalam bahasa Jawa yaitu Gusti
Allah ora sare, Gusti Allah tidak tidur. Artinya Gusti Allah mengetahui apa
saja, meskipun manusia mencoba
menyembunyikan sesuatu terhadap manusia yang lain. Ungkapan ini lazim dikeluarkan
oleh seseorang yang tidak berdaya terhadap perbuatan zalim orang lain kepada
dirinya. Maknanya sangat luas, terutama untuk menenangkan dirinya sendiri
dengan meyakinkan hatinya, bahwa Gusti Allah pasti akan menolongnya dengan
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Menurut para ahli tafsir Al Qur’an, yang dimaksudkan
dengan “kursi Allah” dalam ayat ini ialah gambaran tentang kekuasaan-Nya Yang
Maha Besar dan kerajaan-Nya Yang Maha Luas. Jadi bukanlah kursi seperti yang
kita kenal sehari-hari.
Kitab Al Qur’an
dan Tafsirnya yang disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agama Republik
Indonesia 1989/1990 menyatakan, dalam ayat Kursi ini Allah swt menjelaskan
bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan tiada Tuhan selain Dia, hanya Dia
sajalah yang berhak disembah. Adapun tuhan-tuhan yang lain yang disembah oleh
sebagian umat manusia dengan alasan yang tidak benar, memang banyak jumlahnya.
Akan tetapi Tuhan yang sebenarnya hanyalah Allah semata-mata. Hanya Dialah yang
hidup abadi, yang ada dengan sendiri-Nya, dan Dia pulalah yang selalu mengatur
makhluk-Nya tanpa ada kelalaian sedikit pun.
Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Allah swt. tidak pernah
mengantuk. Orang yang berada dalam keadaan mengantuk tentu hilang kesadarannya,
sehingga tidak akan dapat melakukan perkerjaannya dengan baik, padahal Allah
swt. senantiasa mengurus dan memelihara makhluk-Nya dengan baik, tidak pernah
kehilangan kesadaran atau pun lalai. Karena Allah tidak pernah mengantuk, sudah
tentu Ia tak pernah tidur, karena mengantuk adalah permulaan dari proses tidur.
Dan orang yang tidur akan lebih banyak kehilangan kesadaran dibanding orang
yang mengantuk.
Sifat Allah yang lain yang disebutkan dalam ayat ini
ialah Dia yang mempunyai kekuasaan dan yang memiliki apa yang ada di langit dan
di bumi. Dialah yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tak terbatas,
sehingga Dia dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya. Semuanya ada ada dalam
kekuasaan-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun dari makhluknya meski pun nabi-nabi
dan para malaikat dapat memberikan pertolongan kecuali dengan izin-Nya, apalagi
patung-patung yang oleh orang-orang kafir dianggap sebagai penolong mereka.
Tentang ayat Kursi, Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar
menulis, maka kalau banyak kita dengar keterangan para ahli agama yang selalu
menganjurkan membaca ayat ini, maksudnya adalah untuk meningkatkan ibadah kita,
dengan langsung menghadapkan jiwa raga kepada-Nya, tanpa perlu memakai syafaat
dan perantaraan. Memang berpahala siapa yang membaca dan memahami maksudnya,
sebab di dalamnya tersimpul tauhid yang sedalam-dalamnya. Adapun kalau hanya
dibaca-baca saja, untuk obat sakit kepala, untuk menjadi jimat penangkal
bahaya, maka samalah artinya dengan kata pepatah: “Asing biduk kalang diletak”. Artinya menjawab sesuatu hal yang
tidak ditanyakan.
Sementara itu Prof.Dr.Quraish Shihab berpendapat,
pengulangan tujuh belas kata yang menunjuk nama Allah, bila dicamkan dan
dihayati akan memberi kekuatan batin tersendiri bagi pembacanya. Ibrahim Ibnu
Umar al-Biqa’i menurutnya, memberi penafsiran “supra rasional” menyangkut ayat
Kursi. Pada hemat ulama ini dalam tafsirnya, Nazhm ad-Durar, “Lima puluh kata adalah lambang dari lima puluh kali
shalat yang pernah diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. ketika beliau berada
di tempat yang maha tinggi dan saat dimi’rajkan. Lima puluh kali itu
diringankan menjadi lima kali dengan tujuh belas rekaat sehari semalam. Di sisi
lain, perjalanan menuju Allah ditempuh oleh malaikat dalam lima puluh ribu
tahun menurut perhitungan manusia ( Surat Al Ma’arij 70:4)” Dari sinilah
pakar tafsir itu mengaitkan bilangan ayat Kursi dengan perlindungan Allah.
“Kalau di hadirat Allah gangguan tidak mungkin akan menyentuh seseorang, dan
setan tidak akan mampu mendekat, bahkan akan menjauh, maka menghadirkan Allah
dalam benak dan jiwa melalui bacaan ayat Kursi, yang sifatnya seperti diuraikan
di atas, dapat menghindarkan manusia dari gangguan setan, serta memberinya
perlindungan dari segala macam yang ditakutinya.
Demikian penjelasan ulama ahli tafsir al-Biqa’i, yang
sekaligus penulis jadikan penegas atas hikmah dan keutamaan sebagaimana yang
diajarkan Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar.
Setelah mengajarkan ayat Kursi, baris kedua sampai
dengan keempat bait 31 Kidung Kawedar mengajarkan Surah Ngam-ngam yang tiada
lain adalah Surat Al An’aam. Surat keenam dalam Al Qur’an yang arti katanya
adalah binatang ternak ini, dinamakan seperti itu karena di dalamnya disebut
kata “an ‘aam” yang berhubungan dengan adat istiadat kaum musyrikin, yang
mempercayai bahwa binatang ternak dapat dipergunakan buat mendekatkan diri
kepada tuhan mereka.
Kitab Al Qur’an
dan Terjemahannya, yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik
Indonesia 1990/1991 menyatakan, kandungan Surat Al An’aam terdiri dari empat
pokok masalah yaitu:
Pertama: keimanan, memuat bukti-bukti keesaan Allah
serta kesempurnaan sifat-sifat-Nya; kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw;
penyaksian Allah atas kenabian Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Nuh, Daud, Sulaiman,
Ayyub, Yusuf, Musa, Harun, Zakaria, Yahya, Isa, Ilyas, Alyasa’, Yunus dan Luth.
Juga penegasan tentang risalah, wahyu serta hari pembalasan dan kebangkitan,
kepalsuan kepercayaan orang-orang musyrik dan keingkaran mereka terhadap hari
kiamat.
Kedua: hukum-hukum, berisi larangan mengikuti
adat-istiadat yang dibuat-buat oleh kaum Jahiliyah; makanan yang halal dan yang
haram; wasiat-wasiat Al Qur’an, tentang tauhid, keadilan dan hukum-hukum yang
lain. Juga menegaskan larangan mencaci-maki berhala orang musyrik demi mencegah
agar mereka tidak membalas dengan mencaci-maki Allah.
Ketiga: kisah-kisah, menceritakan kisah umat-umat yang
menentang para rasul; kisah pengalaman Nabi Muhammad saw. dan para nabi pada
umumnya; serta cerita Nabi Ibrahim as. membimbing kaumnya tentang tauhid.
Keempat: lain-lain, memuat sikap kepala batu kaum
musyrikin, cara seorang nabi memimpin umatnya; bidang-bidang kerasulan dan
tugas para rasul; tantangan kaum musyrikin untuk melemahkan rasul; kepercayaan
orang-orang musyrik terhadap jin, setan dan malaikat; beberapa prinsip
keagamaan dan kemasyarakatan serta nilai hidup dunia.
Begitu tinggi kandungan ajaran Surah Ngam-ngam (Al An’aam)
dan relevansinya dengan keadaan masyarakat Jawa pada saat itu, sehingga Sunan
Kalijaga mengajarkannya sesudah Surat Al Ikhlas dan ayat Kursi. Apa yang
diungkapkan semenjak bait pertama, menjadi gamblang setelah mempelajari dan
memahami zikir Ya Hu Allah, Surat Al
Ikhlas, ayat Kursi dan Surat Al An’aam.
Dari ajaran berzikir Ya Hu Allah itu pula, bersemai
ajaran shalat daim pada masyarakat Islam di Jawa, yaitu zikir yang tidak pernah
berhenti, bahkan terus menerus menyertai tarikan nafas, yang iramanya dilatih
sesuai kata hati (Pengembaraan Batin
Orang Jawa di Lorong Kehidupan
halaman 118). Shalat daim dimaksudkan buat melatih agar kalbu kita senantiasa
dipenuhi dengan ingatan terhadap Gusti Allah, sehingga selanjutnya pikiran dan
perbuatan kita selalu mengikuti jalan yang diridhoi-Nya, selalu dalam ketaatan
dan bimbingan-Nya. Aamiin.
Baris keenam sampai dengan kesepuluh bait 31, adalah
penegasan atas kenabian Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, yang
sudah diungkapkan dalam Surat Al An’aam, beserta segala keagungan dan
keutamaannya.
Shollu ‘ala Nabi,
Ya Nabi salam
alayka,
Ya Rasul salam
alayka,
Ya Habib salam
alayka.