BAMBANG WIWOHO
Selasa, 13 Oktober 2015
BELAJAR DARI KEARIFAN NUSANTARA: Catatan Suluk Maleman.
BELAJAR DARI KEARIFAN NUSANTARA
PATI – Bangsa Indonesia banyak dinilai sebagai bangsa yang begitu kaya; tidak saja dari sisi kandungan alamnya yang melimpah ruah, namun Indonesia memiliki begitu banyak kearifan. Padahal, seperti umum diketahui, kekuatan sebuah bangsa sangat bergantung pada kearifannya sendiri.
Banyak kearifan yang diwariskan dari nenek moyang bangsa Indonesia, salah satunya adalah sisi kearifan tentang syarat ilmu yang diturunkan di era Wali Songo. Buktinya, dengan sedikit kebijakan dan ilmu, waktu itu Islam dapat diajarkan dan disebarkan begitu pesat.
Bambang Wiwoho, salah satu narasumber dalam Suluk Maleman yang di gelar di rumah Adab Indonesia Mulia Sabtu (16/5) lalu itu mengatakan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijogo memanfaatkan benar kearifan yang ada di masyarakat. Kedua alim ulama itu menyusupi kepercayaan lokal selapis demi selapis dengan ajaran Islam.
‘’Ibaratnya seperti lapisan bawang, lapis demi lapisnya telah diisi dengan inti dari Islam itu sendiri. Jadi mereka masuk tanpa merusak kearifan yang sudah ada sebelumnya,”terang pria yang juga pernah memiliki pengalaman sebagai seorang jurnalis senior ini.
Ritual dan kepercayaan yang sudah ada di masyarakat diubah menjadi entitas kebudayaan baru; yang dari sisi intinya telah diberikan nafas Islam. Hal itulah yang membuat masyarakat bisa menerimanya tanpa pernah terpaksa.
‘’Banyak contohnya, sebut saja sedekah bumi. Awalnya sedekah bumi adalah sesajen untuk Dewi Sri yang diubah sesuaikan sebagai tradisi saling bersedekah dan berdoa kepada Tuhan. Belum lagi perubahan cerita wayang yang sarat akan filsafat dan dakwah,” imbuhnya.
Hal tersebut, dikatakan Anis Sholeh Baasyin sebagai suatu bentuk semangat kreatif dalam berdakwah. Asalkan dasar dari Islam itu tidak tergoyahkan, tentu kreatifitas itu dapat dilakukan. Anis juga mengambil contoh seperti saat membaca Al Quran.
‘’Ketika aturan-aturannya seperti tajwid dan makhrajna benar, tentu tidak apa-apa menggunakan lagu yang berbeda. Seperti halnya perbedaan pengucapan bahasa Inggris yang secara alamiah tercipta lantaran perbedaan dialek,” terang Anis kepada ratusan hadirin yang datang.
Dia juga menjelaskan, agama adalah sesuatu yang universal. Namun tentu saja yang dimaksudkan dengan universal bukanlah seragam. Justru agama itulah yang mewadahi keberagaman.
‘’Wali Songo dulu juga memiliki karakter yang berbeda. Termasuk cara berdakwahnya, tapi hal itu juga tidak pernah membuat perselisihan. Karena mereka sadar benar inti yang dilakukan adalah menjalankan ibadah bukan kemasannya,” imbuhnya.
Ironisnya, saat ini banyak pemeluk Islam yang sudah melupakan kearifan semacam itu. Mereka justru menyikapi agama sebagai sebuah gerakan penyeragaman. Terkadang ada pula yang coba memaksakan diterapkannya satu bahasa dan satu bentuk tertentu, padahal Tuhan tidak pernah memerintahkan berbuat seperti itu.
‘’Tentu ada beragam cara untuk melakukan pendekatan. Dan metode pendekatan itu pastinya berbeda antar daerah,” tambahnya.
Disamping itu, Anis juga memaparkan tiga gelombang Islam Nusantara yang masing-masing punya ciri dan tampilan berbeda. Gelombang pertama adalah gelombang Islam yang inklusif dan secara kreatif menggarap adat dan tradisi yang sudah ada. Ini adalah zaman awal persebaran Islam.
Gelombang kedua mulai lebih eksklusif dan sudah mencoba membawa semangat ‘pemurnian’ sehingga mulai menciptakan jarak dengan tradisi yang ada. Gelombang ini mulai muncul setelah perang Diponegoro.
Gelombang ketiga lebih berwarna Arabisasi, sehingga cenderung konfrontatif terhadap warisan budaya yang ada sebelumnya. Era ini menguat sejak tahun 1980an hingga sekarang.
Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Walisongo, menambahkan bahwa hilangnya kearifan itu dapat juga diartikan sebagai hasil pendangkalan proses penafsiran. Banyak masyarakat yang hanya melihat di permukaan tanpa pernah menilik dari sisi intinya.
‘’Contoh paling mudah adalah di film-film tentang Walisongo. Hampir setiap film tentang wali justru terkesan lebih menonjolkan sisi pertarungan dan perkelahian. Padahal wali tentu tidak serendah itu,” tegasnya.
Dikatakannya, Islam di Nusantara sempat mengalami hambatan dalam persebarannya. Selama hampir 800 tahun mulai dari tahun 674 masuknya saudagar Islam pertama kali ke Kalingga hingga tahun 1440 sebelum masuknya Sunam Ampel belum banyak pribumi yang mau menganut ajaran Islam.
‘’Dari sejumlah catatan termasuk catatan Marcopolo disebutkan umat Islam di Jawa justru di dominasi warga Cina Islam. Bukan pribumi. Barulah di era sunan itu Islam mampu disiarkan secara pesat ke kalangan pribumi,” tambahnya.
Secara keilmuan, kearifan bangsa ini justru banyak yang diakui dan disegani bangsa lain. Dalam setiap kearifan itu terkandung ilmu dan pemikiran yang bahkan melampui masanya.
‘’Mungkin belum banyak yang mengetahui, ternyata Jawa pada saat dulu mampu memproduksi meriam berukuran besar bahkan jauh sebelum Portugis datang ke Nusantara. Salah satu tempat pembuatannya justru ada di Jepara,” ungkapnya.
Dari banyaknya bukti itulah dirinya menyayangkan bila saat ini banyak masyarakat yang justru meninggalkan kearifan bangsanya sendiri. Hal itu dikatakannya sebagai salah satu hasil proses adu domba agar terjadi perpecahan diantara umat muslim.
Bambang Wiwoho atau yang akrab dipanggil Pak Wie menambahkan dalam surat Al Hujurat ayat ke 13 sudah jelas ditekankan bahwa Allah menciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Perbedaan itu tentu tidak dimaksudkan untuk saling membenci namun justru untuk saling berlomba berbuat kebaikan.
‘’Ketika Islam Nusantara yang arif bisa dibangkitkan, tentu bukan tidak mungkin Indonesia juga akan bangkit. Termasuk umat Islam pada umumnya,” harapnya.
Tema diskusi "Berlajar Pada Sunan Kalijaga, Belajar Pada Kearifan Nusantara" yang digelar hingga Minggu (17/5) sekitar pukul 02.00 kemarin begitu atraktif. Pagelaran musik dari Sampak GusUran kian mencairkan situasi dialog yang dihadiri ratusan peserta itu. (Catatan Anis Sholeh Baasyin).
KEKUASAAN ITU IBARAT MENUNGGANG HARIMAU: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (4)
KEKUASAAN ITU IBARAT
MENUNGGANG HARIMAU: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (4).
Tatkala
rezim kekuasaan berpindah dari Orde Baru ke Orde Reformasi, Puang Kyai Ali
Yafie dengan lembut menasihati saya mengenai dua hal yang saling berkaitan. Pertama, sebuah kalimat bijak dari Bugis
yang berbunyi, “aja mureppe, i arung
maloloe, aja to mureppe, i to so gi
barue” . Artinya, jangan dekat-dekat dengan Raja Muda, dan juga jangan
dekat-dekat dengan orang kaya baru. Kedua,
nasehat Imam Al Mawardi (Imam Besar pada masa Khalifah Al Qadir Billah dan
Khalifah Al-Qaimu Billah di Baghdag abad ke 11 Masehi), tentang lima hal yang
dapat mengubah perilaku yaitu kekuasaan, harta benda, penyakit, usia dan teman
pergaulan. Dari kelima hal tersebut yang paling besar pengaruhnya dan bisa
dengan cepat mengubah perilaku adalah kekuasaan dan harta benda. Raja Muda
dalam petuah Bugis tadi bisa diartikan pula sebagai kekuasaan, sedangkan orang
kaya baru adalah harta benda.
Pesona Kekuasaan.
Kekuasaan
itu sungguh ibarat harimau. Memiliki dan duduk di atas tahta kekuasaan, ibarat
menaiki punggung harimau. Kelamaan duduk tidak nyaman, karena akan menimbulkan
kejenuhan dan membangkitkan perlawanan. Tetapi mau turun juga “sulit”.
Salah-salah kita sendiri yang akan
diterkam oleh harimau kekuasaan kita. Oleh karena itu orang-orang bijak
mengajarkan, begitu kita mulai mendaki jalan kekuasaan, pelajari dan kuasai
pulalah jalan turunnya. Di samping itu kita pun harus teguh menempatkan
kekuasaan hanya sebagai salah satu sarana mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu
sendiri.
Bahwa kekuasaan itu penting, tidak
ada yang membantahnya. Mari coba kita renungkan contoh sederhana ini. Seorang
rakyat biasa, marah dan mengecam keras kebobrokan suatu lembaga negara, serta
berkali-kali mengirimkan kecamannya ke media-media massa. Namun demikian, tidak
satu pun media massa yang memuatnya. Setahun kemudian, ucapan dan kalimat yang
sama persis dilontarkan oleh seorang Menteri. Hanya dalam tempo beberapa menit ,
berbagai media massa on-line telah memuat “kepretan” Menteri tersebut.
Begitu pula radio, televisi dan media cetak, selama sebulan menggoreng pernyataan tersebut.
Masyarakat heboh dan para pengamat sibuk membuat analisa dan pernyataan.
Ucapan dan kalimat yang diungkapkan
seorang rakyat tadi, sama persis dengan yang dilontarkan Menteri. Namun
masyarakat dan media massa memberikan tanggapan yang berbeda. Mengapa bisa
begitu? Ya, itulah bedanya ucapan seseorang yang tidak memiliki kekuasaan,
dengan orang lain yang memiliki kekuasaan.
Betapa besar pengaruh suatu
kekuasaan, sehingga wajar bila Imam Al Mawardi dan orang-orang bijak Bugis
menasihati kita agar hati-hati menyikapinya. Kekuasaan bisa dengan sekejap
membuat orang lupa diri dan sombong. Padahal kesombongan adalah dosa pertama
yang dilakukan oleh hamba Allah, yakni setan tatkala menolak perintah-Nya untuk
sujud kepada manusia, lantaran merasa lebih hebat. Akibatnya setan mendapat
murka Allah sehingga diusir dari surga dan dari sisi-Nya.
Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerto
berpesan, “Jangan kamu berdoa meminta pesona dunia, meminta dijadikan kaya
apalagi berambisi pada pangkat, jabatan dan kekuasaan. Sebab mungkin saja Gusti
Allah mengabulkan, tapi jika seraya itu juga sekaligus memberimu banyak musuh
serta mencabut keberkahan-Nya darimu, lantas apa nikmatnya?” Berikutnya: Kekuasaan, Kepemimpinan & Tanggungjawab.
GODAAN HARTA, TAHTA & WANITA : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (3).
GODAAN
HARTA, TAHTA & WANITA : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (3).
Luqman yang namanya diabadikan menjadi nama surat dalam
Al Qur’an, dan juga Kanjeng Nabi Muhammad, telah melarang kita untuk berambisi
pada jabatan, kedudukan dan kekuasaan.
Namun demikian toh tetap banyak orang yang tetap loba dan tamak buat
memperolehnya. Di awal abad 21 ini misalkan, kita menyaksikan di negeri kita, para
elite politik yang semula bersahabat dan saling mendukung, hanya dalam kurun waktu
beberapa bulan bahkan minggu, sudah bisa berbalik saling mendongkel lagi
menjelekkan satu sama lain.
Fenomena itu mengingatkan akan nasihat Sang Guru kepada
Antigone dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termasyhur: “…….dari semua kejahatan yang bagai cacing
mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa.
Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan
tenggorokan orangtuanya.”
Orang-orang tua Jawa di masa lalu, terutama yang
berpendidikan, sering berpesan kepada anak keturunannya agar bersikap hati-hati
dan tidak tergoda pada tiga hal, yaitu harta, tahta dan wanita (Tiga Ta). Yang
dimaksud dengan tahta tidak otomatis berarti tahta kerajaan, melainkan pangkat,
jabatan atau kedudukan. Dalam rangka itu pula mereka jarang memberikan nama
anak cucunya dengan nama-nama yang terkait dengan hal tersebut terutama harta
dan tahta. Mereka memilih nama yang menggambarkan kualitas kehidupan, keindahan
atau alam. Bahkan satu periode menggunakan nama-nama binatang yang dikagumi seperti
nama suku Indian di Amerika. Misalkan dari kata dasar bagio atau kebahagiaan;
mulyo dari kata kemuliaan; kusumo atau retna yang berarti bunga; ayu, edhi,
indah atau endah untuk menggambarkan keindahan;
untuk menggambarkan sifat alam diberikan nama bayu (angin), samudro
(samudera) wukir (gunung), guntur, mega, taufan, surya, chandra; untuk binatang
diberikan nama mahisa, danu, esthi, dwipa, elang, singo, gajah, kebo dan
lain-lain.
Godaan “Tiga
Ta” tersebut mudah membuat kita “melik anggendong lali”, mudah membuat
kita lupa diri, lupa pada tata nilai, lupa akan baik buruk – halal haram,
sehingga bisa menjerumuskan kita pada kenistaan. Godaan “Tiga Ta” di dalam
amalan tasawuf disebut sebagai pesona dunia yang gampang membawa yang menghambanya ke neraka,
sebaliknya merintangi jalan ke surga.
Akan hal itu Kanjeng Nabi Muhammad, sebagaimana hadis yang
cukup populer yang dijadikan titik tolak bahasan Al Ghazali dalam mukadimah
bukunya, Minhajul Abidin,
mengingatkan: “Perhatikan, surga itu
dikepung oleh segala macam kesukaran. Sedangkan neraka dikelilingi oleh segala
hal yang menarik.” Lebih lanjut beliau
menegaskan: “Perhatikan, jalan ke surga
itu penuh rintangan dan menanjak. Sedangkan jalan ke neraka itu mudah lagi
rata.” (Hadis ini telah kami bahas cukup panjang
dalam link https://islamjawa.wordpress.com/2014/03/28/surga-dikepung-kesulitan-neraka-dikelilingi-kemudahan/).
Pesona dunia memang menggiurkan. Ia nampak di depan
mata, gemerlap, penuh sanjung dan puja puji, menggairahkan dan cepat bisa
dinikmati. Sedangkan surga? Masih nun jauh di sana, tak nampak di depan mata
kasar dan hanya bisa dilihat dengan mata batin. Sementara itu mata batin juga
susah digunakan bila batin kita dipenuhi pesona dunia.
Oleh karena itu wahai sahabatku, marilah saling
mengingatkan agar bisa menjaga batin kita tidak dipenuhi dengan pesona dunia,
bahkan sesekali mengosongkan dan membersihkan batin serta kehidupan kita dari
pesona dunia, antara lain dengan menghayati secara sungguh-sungguh berbagai
ibadah wajib, dan secara rutin pula mengerjakan ibadah-ibadah sunah seperti
puasa dan salat malam beserta muhasabah dan tafakurnya. Semoga Gusti Allah Swt.
senantiasa mendekap kita dengan kasih sayang dan barokah-Nya, serta menjadikan
kita hamba-hambaNya yang senantiasa mengingat-Nya. Aamiin. (Tentang harta,
sudilah membuka seri tulisan “5 Hal Yang
Dapat Dengan Cepat Mengubah Perilaku” antara lain dalam https://islamjawa.wordpress.com/2010/10/15/menukar-persahabatan-dengan-pesona-dunia/, https://islamjawa.wordpress.com/2010/10/20/harta-benda-bagai-pisau-bermata-1000/ Berikutnya: Kekuasaan Itu Ibarat Menunggang Harimau.
Jumat, 02 Oktober 2015
Awas, Para Jenderal dan Aktivis Ingatkan NKRI Hancur Tanpa Ideologi
TEROPONGBerita
Awas, Para Jenderal dan Aktivis Ingatkan NKRI Hancur Tanpa Ideologi
Kamis, 01 Oktober 2015 - 09:56:17
Oleh Aris Eko, TEROPONGSENAYAN
Sumber foto : Ariady Achmad/TeropongSenayan
Sejumlah
Mantan Perwira Tinggi TNI AD dan Aktivis Diskusi 'Curah Pendapat
Sokoguru Konstitusi' Rabu malam (30/9/2015) di kantor PPAD, Jakarta.
Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan membuat NKRI hancur dan
terkubur. Inilah penilaian yang mencuat dalam diskusi 'Curah Pendapat
Sokoguru Konstitusi' Rabu malam (30/9/2015) di kantor PPAD, Jakarta.
"Negara tanpa ideologi pasti hancur !" ujar Jenderal (Purn) TNI AD Djoko Santoso dalam diskusi itu. Ideologi yang dimaksud, menurut Djoko adalah yang digunakan sebagai dasar falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut penilaian mereka, para pemimpin negara, politisi dan elit pemerintahan kini lebih banyak menjadikan Pancasila sebagai 'pemanis mulut'. Artinya tidak sungguh-sungguh menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Indikasinya, menurut mereka, berbagai kebijakan dan program pemerintah dan penguasa lebih mencerminkan pelaksanaan ideologi liberal dan kapitalis. Bahkan mereka menilai NKRI kini sudah dicengekeram kapitalis dan liberalis.
Inilah yang amat mengkhawatirkan. "Negara ini dalam situasi krisis, namun para penguasa hampir semua tidak perduli," ujar Mayjend (Purn) TNI AD Prijanto. Dia menilai ini akibat penguasa sudah menjadi kaki tangan pemilik modal.
Selain Jenderal (Purn) TND Djoko Santoso yang juga mantan Panglima TNI dan Mayjend (Purn) Prijanto, diskusi juga dihadiri juga kalangan aktivis seperti Ariady Achmad, Bambang Wiwoho, Bursah Zarnubi.
Hadir pula M Yasin Kora, Iwan PIliang, Muchtar Effendi Harahap, B Soemarno, Syahganda Nainggolan, Edwin Soekowati, Heppy Trenggono, Djoko Edhi SA, M Hatta Taliwang, Has Cahyo, Iskandarsyah Siregar dsbnya.(ris)
"Negara tanpa ideologi pasti hancur !" ujar Jenderal (Purn) TNI AD Djoko Santoso dalam diskusi itu. Ideologi yang dimaksud, menurut Djoko adalah yang digunakan sebagai dasar falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut penilaian mereka, para pemimpin negara, politisi dan elit pemerintahan kini lebih banyak menjadikan Pancasila sebagai 'pemanis mulut'. Artinya tidak sungguh-sungguh menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Indikasinya, menurut mereka, berbagai kebijakan dan program pemerintah dan penguasa lebih mencerminkan pelaksanaan ideologi liberal dan kapitalis. Bahkan mereka menilai NKRI kini sudah dicengekeram kapitalis dan liberalis.
Inilah yang amat mengkhawatirkan. "Negara ini dalam situasi krisis, namun para penguasa hampir semua tidak perduli," ujar Mayjend (Purn) TNI AD Prijanto. Dia menilai ini akibat penguasa sudah menjadi kaki tangan pemilik modal.
Selain Jenderal (Purn) TND Djoko Santoso yang juga mantan Panglima TNI dan Mayjend (Purn) Prijanto, diskusi juga dihadiri juga kalangan aktivis seperti Ariady Achmad, Bambang Wiwoho, Bursah Zarnubi.
Hadir pula M Yasin Kora, Iwan PIliang, Muchtar Effendi Harahap, B Soemarno, Syahganda Nainggolan, Edwin Soekowati, Heppy Trenggono, Djoko Edhi SA, M Hatta Taliwang, Has Cahyo, Iskandarsyah Siregar dsbnya.(ris)