Karim Oei & Masjid Lautze, RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN TIONGHOA : Peluncuran Buku.
.Alhamdulillah, buku Yayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze :
Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa telah diluncurkan
pada hari Selasa 4 Oktober 2016 di Gedung PP Muihammadiyah Jakarta, oleh
tiga lembaga yaitu PP Muhammadiyah, Centre for Dialogue And Cooperation
Among Civilisations dan Yayasan H.Karim Oei. Berikut foto-foto dan
beberapa klipping media dari banyak tulisan yang memberitakan
peluncuran buku tersebut:
- Din: Hubungan Muslim dan Etnis Tionghoa Sudah Berlangsung Berabad-abad Selasa, 04 Okt 2016 – 16:54:45 WIBAlfian Risfil Auton, TEROPONGSENAYAN
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Yayasan Karim Oei (YHKO) dan Masjid
Lautze baru saja melucurkan buku berjudul ‘Rumah Bagi Muslim, Indonesia
dan Keturunan Tionghoa’ di Gedung Pusat Muhammadiyah Jakarta, Selasa
(4/10/2016) sore.
Prof. Din Syamsuddin Pembina YHKO yang juga menjabat sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, bahwa buku
ini menjelaskan tentang muslim dan etnis Tionghoa yang patut diketahui
oleh masyarakat Indonesia.
“Buku ini hadir dalam isu sara yang ada di masyarakat, buku ini
menjadi bukti bahwa hubungan antara muslim dan etnis Tionghoa sudah
berlangsung berabad-abad,” ujar Din disela-sela peluncuran buku
berjudul; Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa’ di gedung
dakwah Muhammadiyah.
Selain itu, mantan ketum Muhammadiyah ini berpendapat bahwa
peluncuran buku ini adalah tepat waktu karena menjelang Pilkada DKI yang
berpotensi memunculkan isu SARA dikalangan masyarakat.
“Semoga dengan adanya buku ini, masyarakat bisa lebih paham dan sadar
bahwa hubungan antara Islam dengan Tionghoa dan Tionghoa dengan Islam
itu sendiri dapat dipahami,” katanya.
Sementara itu Ketua Badan Pembina Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) Prof.
Ali Yafie mengatakan dalam sambutannya bahwa, YHKO senantiasa hadir
ditengah-tengah pusaran dua kutub perbedaan yaitu peran dan pengarus
etnis Tionghoa yang sering menjadi pelampiasan kemarahan.
“Yayasan Karim Oei berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dan
Cina adalah selaras dan saling melengkapi. Dalam kaitan itu ini menjadi
penting untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap,” ujarnya.
YHKO didirikan pada tahun 1991 demi mewujudkan persatuan dan
keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi
kesenjangan sosial ekonomi yang menajam serta dominasi kekuasaan ekonomi
yang berbau SARA.
Berkat YHKO, ada 1.500 etnis Tionghoa yang masuk Islam, selain itu
YHKO juga melaksanakan program pembaruan bisnis dengan ‘rumah’ yang
nyaman bagi segenap anak bangsa khususnya umat Islam. (icl)
2). Prof Ali Yafie: Nilai-nilai Islam dan Cina Sejatinya SelarasRabu, 05 Okt 2016 – 07:29:57 WIBAlfian Risfil Auton, TEROPONGSENAYAN
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Ditengah kembali merebaknya isu SARA
jelang Pilkada DKI 2017, sesepuh dan tokoh bangsa, Prof KH Ali Yafie
angkat bicara.
Menurutnya, proses pembaruan etnis Cina yang selama ini diupayakan masih merupakan sebuah ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai.
Etnis Cina, kata Rais ‘Aam PBNU periode 1991 – 1992 itu, masih sering
menjadi sasaran pelampiasan kemarahan masyarakat pribumi, dimana
sentimen rasial menjadi sumbu pemicunya.
“Terlepas dari kondisi tersebut, kita patut berterimakasih kepada
Yayasan Karim Oei (YHKO) yang perlahan-lahan berhasil mengubah pandangan
masyarakat umum, bahwa etnis Cina merupakan komunitas yang terpisah
oleh tembok kokoh yang tidak bisa disatukan karena perbedaan latar
belakang budaya yang begitu kental,” kata Ali dalam sebuah diskusi dan
peluncuran buku berjudul; ‘Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan
Tionghoa’, di kantor pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa
(4/10/2016)
.
Yayasan Karim Oei (YHKO) merupakan sebuah perkumpulan yang sengaja
dibentuk dengan nam yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina
sekaligus.
Tujuannya, untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan banga melalui
pembaruan bisnis dan agama, terutama Agam mayoritas masyarakat yaitu
Islam.
Ali yang tak lain adalah Ketua Badan Pembina YHKO ini menjelaskan,
kini Yayasan tersebut melalui berbagai aktivitasnya, berhasil
membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dan Cina sejatinya adalah selaras
dan saling melengkapi.
“Ini merupakan kerja keras dan cerdas untuk menerobos tembok pemisah
antara pribumi dan etnis Cina, sehingga proses pembaruan menjadi lebih
nyata. Bukan sekedar menjadi pemanis kata atau menjadi dagangan politik
semata,” tegas Ketua MUI periode 1990 – 2000 itu.
“Dalam kaitan itulah, kehadiran buku ini (Rumah Bagi Muslim,
Indonesia dan Keturunan Tionghoa), menjadi sangat penting untuk
memberikan sumbangan pemikiran yang menginspirasi gerakan untuk
mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang bersendikan ketuhanan
YME, dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” pesan Ali yang juga mantan
rektor IAIN Ujung Pandang. (icl)
3. Berbaurnya Islam dan Etnis Tionghoa di Indonesia .
Selasa 04 Oct 2016, 15:45 WIB Rini Friastuti – detikNews
Jakarta – Yayasan H. Karim Oei (YHKO) dan Masjid
Lautze menerbitkan sebuah buku berjudul Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan
Keturunan Tionghoa. Buku setebal 420 halaman ini menceritakan sejarah
perjuangan kesetaraan sosial dan pembauran etnis Tionghoa dengan bangsa
Indonesia.
Diluncurkan di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat,
Selasa (4/10/2016), buku ini diolah dari berbagai artikel, pidato,
guntingan berita media massa, catatan sekretariat serta foto dokumentasi
kegiatan YHKO, mengenai latar belakang, maksud dan tujuan pendirian
YHKO.
Dalam sambutannya, sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan buku
ini memiliki peranan penting untuk memahami perkembangan Islam di
Indonesia tak terlepas dari dukungan bangsa Tionghoa.
“Dalam konteks etnis dan ras, kita melihat sejarah kedekatan bangsa
Indonesia dan Tionghoa. Bahkan untuk perkembangan Islam di awal tidak
terlepas dari dukungan bangsa China,” ujar Abdul dalam pidato
sambutannya.
Dia mengatakan diskusi yang nantinya muncul dalam peluncuran buku ini
dapat menjadi pemersatu, sehingga tak ada lagi batas antara satu etnis
dengan etnis yang lain karena bangsa Indonesia lahir dari kesatuan.
“Diskusi ini merupakan komitmen kita bersama, sekat itu tidak boleh
dibangun dalam perbedaan etnis, tapi unity, kesatuan,” ujarnya.
Din Syamsuddin dalam pidato pembukaannya mengatakan figur Karim Oei,
pendiri YHKO bukanlah orang asing di tubuh Muhammadiyah. Dia pernah
menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu, bahkan bersahabat dengan Buya
Hamka, tokoh Muslim Indonesia.
Dia juga menceritakan secara singkat hubungan erat yang terjadi
antara Islam dan Tiongkok yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang
lalu. Bahkan sudah terdeteksi pada abad ke-2 Hijriyah, di mana pasukan
Islam di bawah pimpinan Khalifah Umar bin Khattab melakukan ekspansi
Islam hingga merambah ke tanah Tiongkok.
“Sehingga di Guangzhou itu ada sebuah bukit dan menjadi sebuah cagar
budaya, di sana ada makam Saad bin Abi Waqash, dan ada prasasti serta
masjid. Itulah kira-kira kontak Islam dengan Tiongkok, apalagi pada
perdagangan jalur sutera, Makkah itu menjadi jalur transit, sehingga
nabi dan sahabatnya mengetahui ketinggian peradaban China sebelum
peradaban Islam dan Yunani,” jelas Din.
Din berpesan kepada warga Tionghoa di Indonesia untuk tak menganggap
Islam sebagai agama asing, dan jangan pula umat Islam menganggap etnis
Tionghoa sebagai orang lain. Khususnya dalam kehidupan berpolitik dan
demokrasi, di mana isu SARA kembali dimunculkan beberapa oknum.
“Saya menyimpan kekhawatiran dengan dinamika kehidupan nasional
termasuk proses demokrasi, agaknya mengemuka kembali sentimen seperti
itu antara kedua belah pihak, maka harus dicari jalan keluar. Karena
kalau tidak dimanage maka akan menjadi bom waktu sehingga memerlukan
kearifan kita semua,” pesan Din.
“Saya ingin menggalang gerakan orang cerdas dan waras menghadapi
ekspresi bahkan eksploitasi sentimen primordialisme yang mungkin di
ranah politik wajar saja. Apalagi jika keadaan seperti sekarang ini,
mudah-mudahan, saya tidak bermaksud mendramatisasi, tapi inilah
keprihatinan saya merajut komunikasi ini, bukan hanya dengan etnis
Tionghoa, jangan sampai terganggu,” sambung Din.
Pembauran antara etnis Tionghoa dan Muslim Indonesia jangan sampai
terusik dengan kekerasan yang terjadi di bidang ekonomi yang berhimpit
dengan kepentingan negara. Sentimen-sentimen yang muncul harus dirajut
dengan kebersamaan, sehingga tak ada lagi pembeda antara umat Muslim,
Indonesia, dan keturunan Tionghoa.
“Ini bakal terganggu apabila ada capital violence, kekerasan pemodal,
kekerasan dana, apalagi capital violence itu berhimpitan dengan state
violence. Maka sentimen ini belum sembuh betul, jadi ini yang kita
rajut, dan buku ini hadir tepat waktu untuk merajut kebersamaan itu,”
tutupnya.
(rni/Hbb)
4. Yayasan Karim Oei Wujudkan Keselarasan Berbagai Nilai Islam dan China
Kamis, 6 Oktober 2016 | 10:45
Halloapakabar.com, Jakarta – Yayasan Karim Oei
melalui berbagai aktivitasnya berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai
islam dan China adalah selaras dan saling melengkapi. Guna menguatkan
hakikat itu, Yayasan Karim Oei bersama Muhammadiyah meluncurkan buku
berjudul Rumah Bagi Muslim Indonesia dan Keturunan Indonesia.
Prof. KH. Ali Yafie Ketua Yayasan Karim Oei mengatakan ini
adalah buah sebuah kerja keras dan cerdas untuk menerobos tembok pemisah
antar etnis dalam memeluk agama. “Buku ini menjadi sangat penting untuk
memberikan sumbangan pemikiran dan sekaligus mengispirasi gerakan untuk
mengembalikan jati diri bangsa Indonesia,” ucap Azmi di Gedung Pusat
Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Menimpali , Dr. Abdul Mu’ti Sekertaris Umum PP Muhammadiyah
menegaskan buku ini sangat menarik untuk dibedah karena mengandung nilai
lintas etnis dalam beragama islam. “Muhammadiyah cocok dirangkul karena
merupakan organisasi lintas etnis dan ras,” ucap Mu’ti.
Mu’ti mengatakan islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan
budaya dan perkembangan etnis Tionghoa, seperti Laksamana Cheng Ho
seorang pemeluk islam yang pernah mendarat di Indonesia. “Sekat-sekat
rasial yang menyudutkan etnis China sudah tidak relevan lagi untuk
dibicarakan pada masa kini dan masa mendatang. Semua etnis di Indonesia
telah terikat oleh Bhineka Tunggal Ika,” tegas Mu’ti
Dalam peluncuran buku itu, sejumlah tokoh NU, Muhammadiyah,
Al-Wasliyah, HMI, KAHMI, Al-Irsyad dan LSM hadir pada tanggal (9/4/1991)
mendirikan yayasan Haji Karim Oei Tjeng Hien didirikan pada tanggal
(9/4/1991) yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei (YHKO) sebuah
nama yang kental dengan nuansa Islam dan Cina.
Alasan utama pendirian yayas tersebut, adalah untuk mewujudkan
kesatuan dan persatuan bangsa melalui pembauran bisnis dan agama,
terutama agama mayoritas masyarakat yaitu Islam. Para pendiri meyakini,
memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi juga harus
dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan yang nyata.
Menurutnya, kuat dan sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi
kunci utama bagi pembangunan, tiga dalam satu yaitu satu wadah, satu
gerakan, satu perjuangan. Kini telah dua puluh lima tahun usia YHKO,
telah banyak kegiatan yang dilaksanakan, dan lebih dari seribu lima
ratus orang yang telah di Islamkan.
YHKO juga bertekad, akan selalu memperjuangkan agar Yayasan ini
menjadi rumah yang nyaman bagi segenap anak bangsa terutama bagi WNI
keturunan Cina, dan lebih khusus lagi yang beragama Islam, agar menjadi
muslimin dan muslimat yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam
kehidupan sosial dan ekonominya.
“Demi ikut mewujudkan persatuan dan keharmonisan nasional antara lain
dengan mengantisipasi dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang
menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis ekonomi yang diwarnai
dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan),” jelasnya.
Sementara itu, peluncuran Buku yang di laksanakan itu, merangkum
berbagai artikel, pidato, guntingan berita media massa, catatan
sekretariat serta foto-foto dokumentasi kegiatan YHKO. Dua orang anggota
badan pembina YHKO yaitu Prof. KH. Ali Yafie dan Prof. DR. M. Din
Syamsuddin juga menulis kata sambutan dalam buku tersebut.
Menurut Prof. KH.Ali Yafie, proses pembauran Etnis Cina yang selama
ini diupayakan masih merupakan sebuah pekerjaan rumah yang belum
selesai, tapi setidaknya yayasan Karim Oey senantiasa hadir di
tengah-tengah pusaran dan berusaha mendekatkan dua kutub perbedaan yaitu
peran dan pengaruh etnis Cina yang begitu menonjol terhadap penguasaan
ekonomi.
“Selain itu, etnis Cina juga sering menjadi pelampiasan kemarahan
masyarakat dimana sentimen rasial menjadi sumbu pemicunya. Yayasan Karim
Oey melalui berbagai aktifitasnya berhasil membuktikan bahwa
nilai-nilai Islam dan Cina adalah selaras dan saling melengkapi,”
ungkapnya.
Sedangkan Prof. Dr. Din Syamsuddin berpendapat, bahwa pembauran
adalah interaksi dua pihak yang dianggap berseberangan, masing-masing
mewarisi trauma psikologis dari sejarah panjang bahkan sejak era
penjajahan, dan masing- masing menyandang stereotipe negatif terhadap
lainnya.
“Antusipasinya adalah harus mengambil bentuk integrasi, penyatuan,
atau persenyawaan. Pembauranyakni berbaurnya dua komunitas (khususnya
komunitas etnik Tionghoa berbaur atau membaur dengan komunitas etnik
lainnya) baik secara lahiriyah maupun batiniah,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat Sosial Politik asal Universitas
Hasanuddin, Makassar, Imran Hanafi menegaskan perlunya keselarasan
antara ummat dan suku di Indonesia. “Oleh karenanya keberadaan Yayasan
Karim Oey (YHKO) menjadi penting dalam mensinergikan poros transkultural
sebagai pilar dimensi Ukhuwah Wathoniyah,” pungkasnya.
(fri/rdp).