Jakarta, NU Onlne
Dalam konsep tauhid Islam khas orang Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi.
 Konsep ini berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dari penciptaan 
manusia dan alam semesta yang hulu dan muaranya adalah Tuhan.
“Sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa semuanya berasal dari adi kodrati yaitu Tuhan,” kata Ki Teguh Slamet Wahyudi pada Gema Ramadhan Ngaji Suluk-suluk Sunan Kalijaga, di Sanggar Suluk Nusantara, Perumahan Depok Mulya 1, Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/5).
Ia
 menganalogikan, masyarakat Indonesia pada akhir Ramadhan banyak yang 
melakukan mudik atau pulang kampung. Hal itu dilakukan karena di kampung
 halaman mereka memiliki sanak saudara dan orang tua yang ingin 
dikunjungi. Pemudik bersilaturahim kepada yang masih hidup, dan 
berziarah kepada yang telah meninggal dunia. 
“Pulang
 kampung menjadi aktivitas setiap tahun, sebuah ilustrasi yang pada 
akhirnya kita akan pulang ke asal kita, yaitu Tuhan,” lanjut doktor pada
 bidang Matematika ini.
Dalam pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi terkait dengan tiga hal, yakni asal alam semesta, tujuan manusia, dan pencipatan manusia. Ketiganya tergambar pada Serat Kawedar karangan Sunan Kalijaga, meski tidak secara ekspilisit dan tidak terlalu banyak tujuan hidup itu dijelaskan.
Pada bait sepuluh disebutkan Ana
 kidung rekeki Hartati/sapa weruh reke araning wang/duk ingsun ana ing 
ngare/miwah duk aneng gunung/ki Samurta lan Ki Samurti/ngalih aran ping 
tiga/arta daya engsun/araning duk jejaka/Ki Hartati mengko ariningsun 
ngalih/sapa wruh araning wang// Ada kidung bernama Hartati/siapa 
yang tahu itu adalah namaku/tatkala aku masih tinggal di ngarai/dan 
ketika tinggal di gunung/Ki Samurta dan Ki Samurti/berganti nama tiga 
kali/aku adalah arta daya/namaku tatkala masih perjaka/kelak namaku 
berganti Ki Hartati/Siapa yang tahu namaku.
Bait
 sepuluh di atas dimaknai sebagai ilustrasi hubungan Tuhan dan manusia 
saat masih di alam ruh. Ruh manusia yang berasal dari ruh ilahi ini 
memiliki kekuatan arta daya (kebijaksanaan, batin, dan welas asih) yang 
kemudian berada di rahim seorang ibu.
Lalu pada bait sebelas diungkapkan
 Sapa weruh tembang tepus kaki/sasat weruh reke arta daya/tunggal pancer
 ing uripe/sapa weruh ing panuju/sasat sugih pagere wesi/rineksa wong 
sajagad/kang angidung iku/lamun dipunapalena/kidung iku den tutug padha 
sawengi/adoh panggawe ala// Siapa yang tahu bunga tepus/tentu 
tahu yang dimaksud dengan arta daya/yang menyatu dengan 
kehidupannya/siapa yang tahu tujuan hidup/berarti kaya dan dipagari 
besi/dijaga orang sejagat/yang melantunkan kidung itu/bila dibaca 
dilafalkan dalam semalam/jauh dari perbuatan buruk. 
Bait
 sebelas berisi ajaran kepada manusia untuk memahami diri dan tujuan 
hidupnya. Kekuatan arta daya yang dimiliki manusia mendorong tepo seliro (toleransi). Manusia yang tahu tujuan perjalanan hidupnya akan dilindungi Tuhan seperti halnya rumah yang berpagar besi.
“Di
 dalam kidung ini disebutkan keutamaan, jika  manusia mengenali jati 
diri akan mencapai keinginan seperti disayang oleh Tuhan, digambarka 
dengan kehidupan seperti rumah yang berpagar besi. Pada zaman itu rumah 
berpagar besi adalah rumah keturunan bangsawan,” papar Ki Teguh.
Ia
 mencermati manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Tubuh yan 
meninggal akan hancur. Adapun jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta. 
"Di dalam Al-Qur'an disebutkan manusia tercipta dari saripati tanah. 
Ketika kita makan minum dari hasil bumi kita paham maknanya. Air itu 
akan menjadi komposisi sel telur menyatu dengan proses perkembangan bayi
 di dalam rahim. Ini menjadi kata kunci dalam sangkan paran dumadi. Maka itu dapat menggambarkan asal usul dan tujuan hidup manusia yaitu Tuhan," urainya.
Agar dapat kembali kepada Tuhan sebagaimana fitrahnya, manusia harus mengendalikan napsu dengan menempa diri seperti berpuasa. Lelaku ini dijalankan untuk menempa ruhani, agar napsu badani tidak dominan. 
Suluk Kawedar Sunan Kalijaga terdiri dari 46 bait. Suluk ini dinyanyikan dengan tembang atau nada Dandanggula, salah satu jenis tembang macapat dalam sastra Jawa.
Ngaji
 Suluk Sunan Kalijaga menjadi salah satu agenda Gema Ramadhan yang 
diadakan oleh Sanggar Suluk Nusantara. Kegiatan ini diawali Sabtu (19/5)
 dengan materi Penghayatan Surat Al Fatihah, Surat Al Ikhlas, Al Falaq 
dan Annas dengan pemateri Ki Abdulazis Basyarudin. Berikutnya Pengantar 
Umum Suluk Kidung Kawedar oleh Ki Bambang Wiwoho, Kamis (24/5). 
Pada
 pekan depan Kamis (31/5) diagendakan materi Jagat Kecil Jagat Besar 
oleh Ki Mustaqim Abdul Manan, Ajaran Hakikat Kepemimpinan dari Tembang Gundul-gundul Pacul
 oleh Ki Ageng Lanang (M Jasin), Sabtu (2/6). Sebagai penghujung 
kegiatan, Kamis (7/6) dihadirkan Keutamaan Ayat Qursi dan Shalat Daim 
dengan pemapar Ki Abdul Azisi Basyaudin. Pada setiap pertemuan peserta 
juga diajak nembang (menyanyikan) suluk-suluk yang dikaji.
Seperti
 diketahui salah satu media yang efektif mengenalkan Islam adalah dengan
 pendekatan budaya dan seni. Hal itu seperti diakukan oleh Walisongo. 
Pada harlah NU ke-92 bulan April lalu juga digelar wayang kulit dengan 
lakon Jamus Kalimasada. Ketum 
PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan NU menekankan penyatuan budaya dengan
 Islam, dan tidak memisah-misahkannya. Budaya yang baik yang dapat 
menunjang ajaran Islam, harus dipertahankan, bahkan dikembangkan. (Kendi Setiawan)
http://www.nu.or.id/post/read/91005/kidung-kawedar-sunan-kalijaga-bahas-asal-dan-tujuan-manusia