Catatan Wartawan Senior: Richard Haryoseputro.    panjimasyarakat.com 
Buku yang mengisahkan perjalanan pemerintahan Orde Baru ini, 
mengingatkan pada kisah era Romawi di awal tarikh Masehi: 56 – 120, yang
 menggambarkan kegeraman  yang dirasakan Tacitus ketika melihat 
kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari para pengganti Kaisar Augustus, 
Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan semangat yang menggebu-gebu 
reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. Tiba-tiba kita menyadari bahwa
 kita terbang tinggi bagaikan layang-layang tetapi sudah terlepas dari 
landasan.
Persandingan itu diungkapkan oleh Richard Haryoseputro, mantan Wakil 
Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya, mantan Wakil Ketua Pelaksana Harian
 Badan Sensor Film dan Staf Ahli/Anggota Kelompok Kerja Menteri 
Pendidikan dan Kebudayaan 1978 – 1983.
R.Haryoseputro mewakili harian Suara Karya menerima penghargaan perpajakan dari Menteri
Keuangan Mar’ie Muhammad (1993 – 1998).Pandangannya tentang trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru itu antara lain sebagai berikut:
Republik gagal.                                                                                    
PUBLIUS CORNELIUS TACITUS hidup pada awal Tarikh Masehi: 56 – 120, 
seorang politikus, orator gaya baru, dan penulis. Ia pernah menjadi 
pengacara, pejabat pemerintahan dan terakhir tahun 112 diangkat menjadi 
Prokonsul Romawi dari Wilayah Asia. Tetapi ia kemudian dikenal sebagai 
penulis sejarah terpenting.
Tacitus dalam dua karya besarnya “Historiae” dan “Annales”
 (yang arti harafiahnya “Catatan Tahunan”),  memegang babakan waktu 
sebagai kerangka tulisannya, tetapi tidak mengikuti gaya menulis seperti
 juru catat di Senat yang menulis Acta Senatus Populi Romani atau Acta Diurna,
 kering tanpa warna. Ia banyak memberikan gambaran hidup tentang 
peristiwa yang terjadi dan menggambarkan suasana hati para pelakunya,  
hal yang dihindari oleh penulis sejarah pada umumnya kecuali terucapkan 
dengan kata-kata atau tercermin pada tindakan. Gaya bahasanya singkat, 
padat, berisi dan vivid (hidup). Bertentangan dengan gaya 
Cicero yang suka menggunakan kalimat berbunga-bunga. Ia sengaja memilih 
kata-kata yang lugas, eksplosif, galak, sinis dan sering kali sarkastis.
 Ungkapan-ungkapannya dikenal amat pedas tetapi mengena. Misalnya, 
komentarnya tentang Kaisar Galba (salah satu dari 4 jenderal yang 
mengklaim sebagai penggantin Nero) yang dikenal bodoh: “Galba memang 
bisa menjadi Kaisar yang hebat, seandainya ia tidak benar-benar 
memerintah sebagai kaisar.”
Tacitus lahir pada akhir tahun pemerintahan kaisar Nero yang dikenal 
sebagai tiran, bengis, kejam dan gila. Tetapi ia masih merasakan dan 
mendengar gaung zaman keemasan Kekaisaran Romawi, Pax Romana yang 
tercipta selama pemerintahan Kaisar Augustus.
Ia sendiri memegang paham Republik, dimana kekuasaan berada di tangan
 rakyat bukan pada tangan seorang raja dan keturunannya. Namun, 
pemerintahan Republik menyebabkan munculnya kerusuhan yang tiada henti. 
Tokoh-tokoh kuat bersaing menggalang rakyat dan menarik militer ke 
pihaknya, terjadilah perang saudara dan pembrontakan terus menerus. 
Rakyat selalu didera penderitaan. Perebutan kekuasaan mencapai puncaknya
 pada 15 Maret tahun  44 sM dengan terjadinya pembunuhan Julius Caesar 
di Gedung Senat. Octavianus, perwira muda berumur 20 tahun, yang 
diangkat anak dan ditunjuk Julius Caesar sebagai pewarisnya, bangkit 
mengajak panglima-panglima handal pendukung Julius Caesar yaitu Marcus 
Aemilius Lepidus, jenderal  44 tahun, penguasa wilayah Spanyol dan  
Perancis selatan, serta Marcus Antonius, 39 tahun, panglima termasyur  
penguasa wilayah Timur.
Triumvirat Octavianus-Lepidus-Markus Antonius bergerak cepat memburu 
komplotan pembunuh Julius Caesar. Dalam waktu singkat mereka berhasil 
membasmi komplotan dan meredam kemelut di seluruh wilayah Republik 
Romawi. Tetapi kemudian terjadi perpecahan saat mereka membagi-bagi 
wilayah kekuasaan. Lepidus dan Octavianus berebut Sicilia, tetapi 
kemudian Lepidus ditinggalkan pasukannya yang berpindah mendukung 
Octavianus. Akhirnya Lepidus diasingkan.
Marcus Antonius juga bertengkar dengan Octavianus karena ia menuntut 
supaya Caesarion, putera Julius Caesar dengan Cleopatra, Ratu Mesir, 
ditunjuk sebagai pewaris resmi Julius Caesar. Octavianus menyatakan 
perang terhadap Cleopatra dan memimpin armada Romawi menyerang Mesir. 
Sementara  Marcus Antonius memimpin armada gabungan Romawi dan Mesir. 
Octavianus berhasil memukul armada Marcus Antonius dan Cleopatra. Mereka
 melarikan diri kembali ke Alexandria, Mesir dan bunuh diri tahun 31.
Pax Romana
Octavianus sendirian membenahi sistem pemerintahan. Ia mengambil  
wajah luar menyerupai sistem pemerintahan Republik, yaitu dengan 
kekuasaan politik utama berada pada Senatus Populi Romani, 
didampingi Dewan Eksekutif dan Majelis Legislatif. Untuk dirinya sendiri
 ia tidak menghendaki  diangkat menjadi raja tetapi cukup Princeps Civitatis (Pemimpin Bangsa) dengan julukan Augustus (Yang
 Terhormat). Ia meminta Senatus memberinya kekuasaan seumur hidup 
sebagai Panglima Tertinggi dan Pengawas militer. Ini sesuai dengan 
pandangan Tacitus yang menentang sistem pemerintah monarki penuh.
R.Haryoseputro (tengah) bersama Dirut Bank BNI Widigdo Sukarman (kanan) 
dan redaktur pelaksana harian AB  Darmansyah Darwis (kiri) dalam sebuah 
seminar. 
Pada awal pemerintahannya Augustus memperkuat perbatasan terhadap 
ancaman musuh dengan menaklukkan negara-negara pengancam atau membuat 
kesepakatan persahabatan dengan negara-negara tetangga. Di dalam negeri 
ia melakukan reformasi sistem perpajakan yang meringankan beban rakyat, 
membangun jaringan jalan dan satuan kurir  ke seluruh wilayah kekaisaran
 Romawi sehingga pelaporan dan penanganan masalah-masalah daerah bisa 
cepat diselesaikan.
Ia membentuk unit-unit pasukan reguler yang selalu siap, membentuk Cohortes Praetoriae (Praetorian Guard),
 pasukan khusus pengawal Kaisar dan satuan intelijen, Badan Kepolisian 
dan Pemadam Kebakaran bagi kota Roma. Untuk menjaga semangat dan 
dukungan para legiun  Augustus membangun perumahan bagi para prajurit 
dan memberikan kenaikan gaji serta bonus. Untuk meningkatkan pertanian 
dan cadangan jaminan bahan pangan dibangun jaringan irigasi dan 
waduk-waduk.
Demikianlah pada masa awal pemerintahannya Kaisar Augustus 
benar-benar memperhatikan peningkatan, keamanan dan  kesejahteraan 
rakyat Romawi. Meskipun sistem pemerintahan Republik sudah digantikan 
dengan sistem pemerintahan monarki tetapi Augustus tetap merakyat. 
Terciptalah Pax Romana. Namun pada masa akhir pemerintahan Augustus yang
 berkuasa selama 41 tahun, Pax Romana mulai diganggu intrik-intrik. 
Kasak-kusuk untuk mempersiapkan pengganti Augustus karena Augustus tidak
 mempunyai anak laki-laki sebagai putera mahkota.
Tulisan Tacitus tentang  masa ini mulai galak dan diwarnai sinisme 
serta sarkasme. Kemudian naiklah nama Germanicus anak angkat Augustus 
yang amat dicintai rakyat dan populer di kalangan prajurit legiun karena
 kemampuan perangnya. Ia digadang-gadang menggantikan Augustus. Tetapi 
saat bertugas di Wilayah Kekaisaran Romawi Timur, ia meninggal dunia. 
Menurut dugaan ia diracun dan dalangnya adalah Calpurnius Piso, Gubernur
 Wilayah itu, yang sempat terlibat bermusuhan dengan Germanicus. Tetapi 
Tacitus tidak mengambil begitu saja laporan resmi itu. Ia menggambarkan 
kecurigaan terhadap Tiberius dan Livia, ibunya yang dengan sengaja 
memperlihatkan kesedihan berlebihan dan lama tidak mau muncul di publik.
Berantakan 
Sesudah Augustus meninggal (14 M) terjadilah perebutan tahta. 
Keagungan Kekaisaran Romawi yang mencapai puncaknya pada masa Pax 
Romana, masih terbayang di benak Tacitus, tetapi ia menghadapi kenyataan
 bahwa apa yang dicapai Kaisar Augustus hancur berantakan oleh ulah 4 
kaisar penggantinya, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Mereka melanggar 
dan mengubah tata cara pemerintahan “semau gue”. Mereka hidup 
bermewah-mewah, berfoya-foya, menghamburkan uang, dan Kekaisaran Romawi 
jatuh miskin. Wajah Kaisar Romawi muncul sebagai Raja Tiran, kejam, 
bengis, dan puncaknya terjadi saat Nero membakar kota Roma. Ibukota 
Kekaisaran Romawi yang megah ludes dalam 6 hari.
Tacitus lupa akan pernyataannya sendiri “Sine Ira et Studio”.  Kegeraman menyelimuti suasana hatinya saat ia mulai menulis “Historiae” dan “Annales”. Ia tidak bisa memenuhi janjinya untuk  menulissecara obyektif dan tidak berpihak. Meskipun
 demikian tulisan Tacitus dikenal selalu dilengkapi dengan 
dokumen-dokumen dan sumber-sumber resmi yang sudah ditelitinya. Ini 
dimungkinkan karena pengalamannya sebagai Senator dan Gubernur 
memberinya akses ke dokumen-dokumen resmi seperti Acta Senatus Populi Romani , Acta Diurna, Apostolarium,
 dan laporan-laporan dari daerah, khususnya wilayah Romawi Timur. Maka, 
sikap dan gaya penulisannya yang cenderung subyektif itu tidaklah begitu
 merugikan pembacanya, karena ia dikenal amat teliti dan akurat dalam 
uji sumber-sumbernya.
Pembaca atau siapapun mempunyai kesempatan untuk mengambil inti 
tulisannya sebagai sumber sejarah dan menelitinya lebih lanjut. Salah 
satu contoh tulisannya yang diwarnai prasangka dan kata-kata negatif 
tetapi kemudian ternyata menjadi warisan informasi sejarah yang menjadi 
sumber ribuan buku di kemudian harinya, adalah apa yang tertulis di Annales, Buku XV Bab 44  yang terjemahannya sebagai berikut:
“Tetapi usaha manusia, pembagian hadiah besar-besaran dari Kaisar
 ataupun puja-puji untuk menyenangkan para dewa tidak mampu mengurangi 
kecurigaan bahwa kebakaran (kota Roma) terjadi atas perintah. Maka untuk
 menghapus rumor itu Nero melemparkan kesalahan dan menjatuhkan hukuman 
penyiksaan kejam kepada orang- orang Kristen, kelompok yang dibenci 
masyarakat karena kejahatannya. Kristus, asal dari nama kelompok ini, 
telah dihukum kejam oleh Prokurator Pontius Pilatus, di Zaman 
pemerintahan Tiberius.”
Penulis-penulis sejarah abad-abad berikutnya menggunakan tulisan itu 
sebagai informasi sejarah  bahwa di Roma saat Kaisar Nero bertahta (56 –
 68 M) sudah banyak orang Kristen bermukim, dan Kristus, yang dianut 
orang-orang Kristen itu dihukum mati oleh Pontius Pilatus, prokurator di
 bawah pemerintahan Tiberius.
Keping-Keping Sejarah
Kita bisa membayangkan penulis buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru” mungkin sekali merasakan suasana hati seperti yang dialami Tacitus saat menulis “Historiae” dan “Annales”. Kita ingat, saat Soeharto naik di panggung politik, ia amat low profile.
 Ia bertahan menolak tekanan para mahasiswa untuk bergerak  cepat, 
membubarkan PKI kalau tidak mendapat penugasan dari Kepala Negara, 
Soekarno. Ia juga tidak mau mengambil alih kepemimpinan negara dari 
Soekarno kalau tidak ada pengangkatan dari MPR. Ia tidak mau melanggar 
tatanan dan prosedur kepemimpinan dan bersikap konstitusional.
Setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret dari Kepala Negara 
yang masih sah, ia bergerak cepat membubarkan PKI seperti desakan 
mahasiswa dan masyarakat saat itu serta memulihkan ketertiban dan 
keamanan. Sebagai seorang Jenderal yang berpengalaman dan pernah 
memimpin berbagai operasi militer, tugas ini bisa diselesaikan dalam 
waktu singkat. 
Kemudian setelah mendapatkan mandat dari Sidang Umum MPRS 12 Maret 
1967 baru ia bersedia menjalankan pemerintahan sebagai kepala negara. 
Disini ia menghadapi tantangan yang baginya amat baru dan belum pernah 
dihadapinya. Saat itu ekonomi Indonesia sedang dalam keadaan carut 
marut. Inflasi meroket hingga 650%, harga-harga tak terkendali, termasuk
 bahan-bahan kebutuhan pokok. Bahan makan dan sandang sulit didapat, 
sehingga rakyat kebanyakan makan bulgur dan gaplek dan anak-anak pergi 
ke sekolah dengan pakaian dari bahan bagor. 
Penyebab utama hyperinflasi adalah besarnya beban pembayaran utang 
untuk membiayai proyek-proyek mercu suar, meredam 
pemberontakan-pemberontakan seperti PRRI/Permesta, DI/TII, RMS, APRA dan
 sebagainya, sementara pendapatan dari ekspor melemah. Boleh dikatakan 
pemerintah sudah bangkrut. Tetapi dengan lobi intensif ke negara-negara 
pendonor, Widjojo Nitisastro cs dan Radius Prawiro berhasil meyakinkan 
mereka akan masa depan Indonesia yang menjanjikan dan karenanya 
Indonesia  layak mendapatkan bantuan, apalagi sebagai negara yang anti 
komunis. Akhirnya dengan dorongan Amerika Serikat, 13 Negara (Amerika 
Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Denmark, Inggris Raya, Perancis, 
Italia, Selandia Baru, Swiss, Jerman, Jepang dan Kanada) dan 4 Lembaga 
Keuangan Internasional (Bank Pembangunan  Asia, IMF, UNDP, dan Bank 
Dunia) bersedia membentuk InterGovermental Group on Indonesia (IGGI).
IGGI menyanggupi membantu menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun 
(Repelita) dan menjanjikan dana pinjaman untuk menanggung 60% biaya 
pembangunan 5 Repelita tersebut. Ini benar-benar suatu tonggak awal yang
 menandai perubahan kehidupan di Indonesia. Pada Repelita I Soeharto  
memberikan tekanan utama pada kebutuhan dasar rakyat seperti 
ketersediaan pangan dan sandang, dan infrastruktur.
Hasil Repelita I sudah memperlihatkan kemajuan kehidupan perekonomian
 Indonesia dan kesejahteraan mulai meningkat. Apa yang dilakukan dan 
dicapai pemerintahan Orde Baru pada tahun-tahun awal amat mengesankan 
dan langsung menyentuh kehidupan rakyat, meskipun terganggu sebentar 
dengan Peristiwa Malari, Januari 1974. Peristiwa yang mengubah sikap 
Soeharto menjadi lebih keras, cederung represif, terhadap pihak-pihak 
yang menentang ataupun mengritik kebijakan-kebijakannya.
Sesudah keberhasilan Repelita IV Soeharto mulai berani muncul sebagai
 “leader” di tataran internasional. Misalnya ia dengan kepercayan diri 
besar muncul di KTT Gerakan Non Blok di Beograd, Yugoslavia tahun 1989 
dan menjadi tuan rumah KTT Non Blok 1992. Indonesia pun muncul sebagai 
negara yang diperhitungkan. Suasana euphoria keberhasilan ini tentu 
masih mnggaung di benak Sdr Bambang Wiwoho saat memulai tulisan buku “Tonggak-Tonggak Orde Baru “.
Perbedaan membangunkan kesadaran
Tetapi kemudian mulai muncul pengusaha-pengusaha, keluarga penguasa, 
pejabat-pejabat koruptif yang memperlemah kewibawaan pemerintah, dan 
untuk mempertahankan kewibawaannya sikap tegas dan keras dijalankan 
sehingga terasa kesan tirani. Wajah penguasa diktator, otoriter dan 
opresif semakin menonjol. Akhirnya terjadilah demo-demo mahasiswa 
menuntut pelengseran Soeharto. Dan setelah akhirnya Soeharto 
mengundurkan diri dan masa Orde Baru berakhir, gemuruh lagi euphoria 
kemenangan para aktivis demokrasi. Dengan semangat menggelora dijalankan
 reformasi ke segala arah, hampir tanpa koordinasi. Dan sekarang setelah
 22 tahun berlalu mungkin sekali penulis juga merasakan kegeraman  yang 
dirasakan Tacitus ketika melihat kesemrawutan dan ulah tidak jelas dari 
para pengganti Kaisar Augustus, Tiberius-Caligula-Claudius-Nero. Dengan 
semangat yang menggebu-gebu reformasi terus berjalan tahun 1998-2002. 
Tiba-tiba kita menyadari bahwa kita terbang tinggi bagaikan 
layang-layang tetapi sudah terlepas dari landasan.
Meski dalam suasana hati seperti ini kita yakin sdr Bambang Wiwoho tetap menulis dengan pedoman “Sine Ira et Studio”,
 Tanpa Amarah dan Keberpihakan, karena sebagai wartawan hal itu sudah 
menjadi pedoman kerjanya selama bertahun-tahun. Namun pembaca dalam 
membaca tulisan seorang wartawan tidak bisa lepas dari kerangka 
pengalaman hidupnya dan pengaruh suasana hatinya. Wartawan menulis “sine ira et studio”
 sementara pembaca akan mengikuti tulisan wartawan dengan sikap seorang 
pengamat. Perbedaan pendapat dan perdebatan pasti terjadi. Apakah ini 
akan mengurangi nilai sejarah tulisan “Tonggak-Tonggak Orde Baru” ini?
 Saya yakin, tidak. Perdebatan akan memperdalam dan membersihkan makna 
sejarah peristiwa yang dicatat. Paling sedikit kita diingatkan bahwa 
peristiwa tersebut memang terjadi. Inilah manfaat utama catatan 
peristiwa bagi sejarah, seperti yang diwariskan Tacitus di “Annales, 
Buku XV Bab 44”: peristiwa hukuman mati di bawah Procurator Pontius 
Pilatus itu memang terjadi.
Semoga kita semua selalu diingatkan bahwa tonggak-tonggak yang 
dicatat dalam buku ini memang terjadi, dan besar kecilnya makna sejarah 
peristiwa tersebut terserah kepada pembaca. Yang jelas tulisan Bambang 
Wiwoho di buku ini , seperti tulisannya dalam buku-bukunya yang lain, 
telah menanamkan kesadaran akan sejarah dalam bentuk tertulis kepada 
warga masyarakat yang pewarisan sejarahnya lebih berbentuk komunikasi 
lisan. *****