Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.
Marsekal Chappy Hakim Menulis 53 Buku.
Seorang Purnawirawan Perwira Tinggi (Pati) bintang empat, sampai Desember 2023 ini menurut yang bersangkutan, telah menulis 53 judul buku, 27 di antaranya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK). Luar biasa. Pati itu ialah Marsekal (Purn) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara periode 2002 – 2005, kelahiran 17 Desember 1947.
Dua bukunya yang terbaru yaitu “Keamanan Nasional dan Penerbangan” dan “Pesawat Terbang itu Berbahaya” yang diterbitkan oleh PBK, diluncurkan Jumat 15 Desember 2023 di Djakarta Theater, dalam suatu forum bedah buku yang bertema “Jaga Angkasa, Jaga Nusa Bangsa”, dengan menampilkan para pembicara antara lain Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto, wartawan Parni Hadi, Guntur Soekarnoputra dan sejarawan Peter Carey.
Bagi bangsa dan negara, buku tentang pengetahuan, jejak langkah serta pengalaman seseorang pejabat yang sudah purna tugas, sangat besar arti dan manfaatnya. Karena dari buku-buku seperti itu masyarakat terutama generasi penerus bisa belajar banyak hal, baik yang positif maupun yang negatif, kelebihan dan kekurangan; kita bisa melihat sejumlah tonggak-tonggak perjalanan bangsa. Tentu kita tidak bisa berharap semua buku seperti itu bebas dari hal-hal subyektif dan 100 persen akurat.
Jika bangunan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara diibaratkan sebuah kompleks gedung pencakar langit, maka kesaksian, pengetahuan serta pengalaman seseorang, tentulah pada posisi di mana yang bersangkutan pernah berada atau bertugas. Bisa jadi di bagian depan gedung, di belakang, di lantai dasar, di lantai paling atas, atau pernah berada di mana-mana meski hanya sebentar. Sementara seseorang yang lain berada di posisi atau titik yang berbeda, dengan bidang tugas dan sudut pandang yang lain pula bahkan berseberangan. Perbedaan ataupun hal-hal yang kurang akurat - jika ada - tidak jadi masalah, dan sangat biasa dalam proses penyusunan sejarah. Setidaknya kesaksian-kesaksian yang diungkapkan dalam buku-buku tersebut bisa saling melengkapi serta mengoreksi, dan menjadi bahan kajian para ahli sejarah, yang secara bersama akan memutuskan dalam suatu “Mahkamah Sejarah”.
Bagi pribadi tokoh yang bersangkutan, menulis jejak langkah dan tonggak-tonggak perjalanan kehidupannya, juga besar arti dan manfaatnya. Orang yang sudah purna tugas dan lansia, lanjut usia, perlu punya kesibukan guna mengisi waktu kosongnya. Sedangkan menulis buku adalah kesibukan yang positif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Penerbang, penulis buku dan musisi.
Kembali ke tokoh kita, Chappy Hakim, di masa mudanya adalah penerbang Angkatan Udara yang tamat dari Akademi Angkatan Udara (1971), Sekolah Penerbang (1973), Sekolah Instruktur Penerbang (1982) serta berbagai jenjang pendidikan dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri.
Tatkala menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara berlangsung suatu peristiwa yang jika salah menangani, bukan tidak mungkin bisa terjadi pertempuran dengan Amerika Serikat (AS). Peristiwa itu dikenal sebagai “Kasus Bawean”, 3 Juli 2003. Hari itu ada Armada Ketujuh Amerika Serikat, yang salah satunya berupa Kapal induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson yang sedang berlayar dari arah Barat ke Timur bersama dua kapal Fregat dan sebuah Kapal perusak Angkatan Laut Amerika Serikat. Ketika berada di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), 5 pesawat tempur jenis F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat, terbang dan melakukan manuver yang cukup membahayakan penerbangan sipil, dan terlihat secara visual oleh awak pesawat Boeing 737-200 Bouraq Indonesia Airlines yang sedang menuju Surabaya, sekitar pukul 15:00 WIB. Kejadian itu dilaporkan ke Pemandu lalu lintas udara Bali, yang kemudian diteruskan kepada Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, Marsekal Muda Wresniwiro dan selanjutnya ke Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim.
Pesawat AS tersebut terbang dan melakukan berbagai manuver. Karena tidak memiliki izin dan tidak berkomunikasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan penerbangan, dua pesawat F16 TNI AU terbang dari Lanud Iswahyudi Madiun untuk melaksanakan identifikasi. Pesawat-pesawat tempur itu saling berhadapan dan sempat terjadi perang elektronika antara keduanya. Dua dari lima Hornet AL AS mengambil sikap bermusuhan (hostile) dan melakukan aksi "jamming" terhadap F-16 TNI AU. Perang ECM (Eletronic Counter Measure) dilawan dengan menghidupkan perangkat anti-jamming, sehingga usaha untuk menutup "mata" pesawat-pesawat TNI AU gagal. Kelima Hornet AL AS terpantau dengan jelas di radar kedua Falcon TNI AU, dan mereka bisa saja melepaskan rudal AIM-9 Sidewinder. Sikap bermusuhan Hornet, baru mereda ketika Falcon 1, melakukan manuver rocking-the-wing, yang menandakan bahwa Falcon 2 tidak mengancam mereka. (Chappy Hakim & Supri Abu, Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, 2019 dan Chappy Hakim, Imelda Bachtiar, ed. Dari Segara Ke Angkasa, Dari Prajurit Udara Ke Penulisan Dan Guru, 2018).
Peristiwa tadi mengilhami Chappy Hakim menulis beberapa buku, salah satunya yaitu Penegakan Kedaulatan Negara di Udara, membahas secara khusus masalah jalur udara di atas ALKI.
Alur Laut Kepulauan Indonesia adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing di atas laut tersebut secara damai dan normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI yang terdiri dari 3 jalur. ALKI I melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, Samudra Hindia. ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok. ALKI III Melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Samudra Hindia (B.Wiwoho, buku 3 Trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU hal 242, Elmatera 2021).
Kasus Bawean baru satu kasus dalam masa jabatan Chappy Hakim sebagai prajurit TNI selama 34 tahun. Dari pengalaman selama itu pula ia telah menulis 53 buku, dan insya Allah akan masih terus menulis sambil menjadi musisi. Melalui tulisan-tulisannya, Chappy ingin melihat bangsanya maju, memiliki harga diri sekaligus disegani bangsa-bangsa lain, menggalang pertahanan keamanan nasional yang kuat lagi tangguh, dan secara lebih khusus lagi membangun penerbangan nasional yang handal.
Bagaimana Chappy Hakim mengatur waktunya agar tidak jenuh dengan terus menulis? Ia juga mempertahankan hobbynya semenjak remaja untuk relaksasi, yakni bermain musik. Bersama grup bandnya, The Playsets, Chappy menjadi vokalis sekaligus memainkan saxophone dan kadang-kadang gitar, bersama timnya yaitu Alam pemain drum, Ari pemain bas, Roy pada gitar, Djoko dan Yance bermain saxophone, Finggo pemain gitar dan Nadjib Oesman di keyboard/piano. Selama ini The Playsets sering tampil di Klub Eksekutif Persada Halim Perdanakusuma dan Lagoon Lounge Hotel Sultan. Jika sudah begitu, ia nampak sangat menikmati, sangat asyik dan seperti lupa pada segala hal kecuali bermusik-ria.
Semoga bermunculan “Chappy-Chappy Hakim” lain, tokoh-tokoh di berbagai bidang kehidupan yang mau, bisa dan tekun menuliskan, mendokumentasi melalui berbagai cara, pengetahuan dan pengalamannya sehingga menjadi sumber pengetahuan masyarakat luas, terutama generasi masa depan negeri maritim Nusantara ini. Meski terlambat, selamat ulang tahun ke 76 pak Chappy, sehat bahagia berkah melimpah. Amin. (B.Wiwoho , https://panjimasyarakat.com/2023/12/22/marsekal-chappy-hakim-menulis-53-buku/)