Rasa keadilan masyarakat terus semakin terusik dengan terkuaknya  berbagai praktek korupsi berjamaah, baik di tingkat Daerah maupun Pusat,  khususnya di kalangan aparat penegak hukum dan lembaga legislatif.  Sementara itu Peringkat Index Korupsi Indonesia terus memburuk. Jika   pada tahun 2006 peringkat Indonesia 130 atau sama dengan Papua Nugini,  dan lebih buruk dibanding India (70), China (70), Srilanka (84),  Philipina (121), maka tahun 2007 melonjak menjadi 143 dari 180 negara  yang disurvai oleh Trasparency Internasional, mendekati, Masya Allah,   negara-negara yang sedang bergejolak seperti Afghanistan, Sudan, Haiti,  Irak dan Myanmar.
Bahkan menurut Political & Economic Risk  Consultancy (PERC), koran Sindo 9 Maret 2010, Indonesia merupakan negara  terkorup di Asia Pasifik dengan index persepsi korupsi mencapai 9,07  dari skala 10, naik dari 8,32 di tahun 2009.
Rasa keadilan  masyarakat juga semakin terlukai mengikuti sidang-sidang kasus Gayus  dan kasus mark-up alat-alat kesehatan yang kini tengah berlangsung.  Pemanfaatan uang-uang pajak dari rakyat, termasuk Pajak Pertambahan  Nilai yang tidak adil karena terus dilaksanakan meskipun bersifat  "pukul-rata", ditelan hanya oleh segelintir orang sementara hak-hak  rakyat yang lebih dari 230 juta jiwa, jauh lebih kecil dibanding  segelintir koruptor tadi.
Dalam sidang mark-up alat-alat  kesehatan yang juga melibatkan sejumlah anggota DPR, terungkap  penggelembungan harga terjadi lebih dari 120 %, baca: LEBIH DARI SERATUS  DUA PULUH PERSEN, yaitu dari yang semestinya hanya Rp.7,7 milyar (tujuh  milyar tujuh ratus juta rupiah), menjadi Rp.17,18 milyar( tujuhbelas  milyar seratus delapanpuluh juta rupiah). Ala maaak.
Dalam sdang Gayus, si pegawai rendahan Gayus dengan santainya hari Rabu kemarin (8/12.2010) mengaku
menerima  sekitar Rp.35 milyar dari 3 perusahaan. Padahal diduga ia menangani  lebih dari 140 perusahaan. Hadiah-hadian seperti itu, menurutnya wajar  bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Masya Allah.
Ironisnya,  peristiwa-perisiwa bejat ini terjadi di negeri yang bersendikan etika  dan moral keagamaan kuat. Bahkan tak kurang dari Majelis Ulama Indonesia  sudah mengeluarkan fatwa haram terhadap korupsi, sedangkan dua ormas  Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah juga menyatakan koruptor itu  kafir. Seruan mulia ini, Rabu 8/12.2010 kembali dikumandangkan oleh  hampir semua tokoh agama di Indonesia, dengan menyatakan SERUAN  PERLAWANAN.
Seyogyanyalah, seruan tersebut diikuti dengan  penyebarluasan petunjuk-petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi umat dan  organisasi umat masing-masing, misalnya bagaimana menyikapi  pemberian-pemberian zakat, infaq, sedekah, sumbangan, amplop dan  sejenisnya dari orang-orang yang patut diduga sebagai koruptor.  Misalkan, pegawai negeri/TNI-Polri yang gajinya tak lebih dari Rp.10  juta sebulan (hal ini harus menjadi pengetahuan umum), tanpa punya  bisnis yang lain, tapi bisa punya rumah dan mobil mewah pribadi, punya  apartemen, menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan  biaya sediri,  keluarganya mondar-mandir liburan ke luar negeri dan lain sebagainya.
Di  lain pihak semua kekuatan rakyat yang jelas-jelas sudah dizolimi oleh  sebagian birokrat bejat tersebut, harus berani bersatu membangun dan  mengembangkan mekanisme kontrol sosial yang kuat, antara lain menekan  Pemerintah dan DPR untuk segera membuat Undang-Undang Pembuktian  Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan, serta Undang-Undang Perlindungan  Saksi Pelapor yang sungguh-sungguh. Tanpa ini, Seruan Perlawanan dan  Gerakan Basmi ataupun Berantas Korupsi, hanyalah OMONG KOSONG BELAKA.
Semoga  Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Adil, segera mengampuni serta  menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman keruntuhan antara lain yang  disebabkan oleh merajalelanya para koruptor dan keluarga serta  kroni-kroninya. Alhamdulillah 3x, amin 3x.
Beji, 9 Desember 2010.