Dilanda berbagai krisis:
PRESIDEN
SBY SEMAKIN KEHILANGAN ORIENTASI.
Membaca
pemberitaan media online ternama detikNews,
“ SBY: Orangtua Yang Anaknya Jadi
Korban Bullying Dapat Lapor ke Saya”, Selasa sore 31 Juli 2012, perasaan
seperti semakin teriris dan hati menjadi miris.
Dalam
keadaan semua normal dan kehidupan masyarakat berjalan baik-baik saja,
pernyataan itu bagus. Tapi dalam keadaan di mana-mana merebak konflik sosial
berdarah-darah, yang terakhir adalah peristiwa bentrok aparat bersenjata dengan masyarakat
karena sengketa lahan perkebunan Pabrik Gula Cinta Manis, di desa Limbang Jaya,
Ogan Ilir, Sumatera Selatan Jumat sore 27 Juli 2012, pernyataan tersebut
menjadi hambar tak bermakna. Peristiwa
yang menelan korban jiwa seorang anak berusia 12 tahun, dua perempuan satu di
antaranya remaja dan tiga orang pria
luka-luka, sungguh bagaikan perjuangan gerakan intifada rakyat Palestina yang
bersenjatakan batu melawan tentara Zionis Yahudi yang bersenjata api lengkap.
Seribu
satu alasan bisa saja dikemukakan oleh Pemerintah untuk membela tindakan
aparat. Namun janganlah menganggap rakyat itu bodoh. Perang melawan musuh-musuh
negara saja, dan lebih-lebih bagi umat Islam, kita dilarang menyerang warga
sipil khususnya wanita dan anak-anak. Sedangkan ini menghadapi rakyatnya
sendiri,
Hampir
bersamaan dengan peristiwa berdarah tadi, muncul pula berita bullying dari para
senior kepada para yunior di sebuah
sekolah di Jakarta. Ironisnya, terhadap peristiwa Cinta Manis yang amat pahit
bagi rakyat itu, Presiden SBY cukup dengan hanya memberikan perintah normatif kepada Menteri Kordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, yaitu mencari solusi terbaik
serta menghimbau masyarakat untuk bisa menahan diri ( tribunnews.com edisi
petang, 31 Juli 2012). Sedangkan atas peristiwa bullying anak-anak sekolah,
Presiden SBY tampil bagaikan seorang hero yang siap mati pasang badan
menghadapi penjahat-penjahat sadis tak berperikemanusiaan, dengan meminta para
orangtua korban untuk lapor kepadanya.
Bagaimana
anda saudara-saudara sebangsa dan setanah air, jika harus membayangkan, membuat
gambaran visual yang hidup atau film video atas sikap Presiden SBY dalam
menghadapi kedua peristiwa tersebut? Bisa jadi muncul suatu adegan konyol yang
menggelikan. Tapi bagi saya sungguh membuat miris, karena semua itu semakin
menunjukkan bahwa Presiden kita semakin kehilangan orientasi. Semakin tidak
bisa membuat skala prioritas. Presiden telah mengalami disorientasi.
Sebagaimana
kita pahami bersama, cita-cita kemerdekaan yang kita Proklamasikan 67 tahun
yang lalu (17 Agustus 1945), dengan tegas menyatakan tujuan bernegara kita
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam pergaulan dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada
kenyataannya, Republik Indonesia
saat ini semakin menjauh dari cita-cita yang secara cemerlang dijunjung tinggi
oleh para pendiri bangsa. Alih-alih menjadi semakin baik, kondisi bangsa secara
obyektif justru semakin memburuk, bahkan mengarah pada negara gagal, mengarah
pada kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana
diperingatkan oleh 45 Tokoh Nasional dalam memperingati Kemerdekaan setahun
yang lalu, kerusakan telah melanda semua aspek dan lini kehidupan, Dewasa ini kita sudah dilanda 7 krisis
nasional, yang dari waktu ke waktu semakin meningkat skalanya. Ketujuh krisis
tersebut yaitu: 1). Krisis kewibawaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
2).Krisis kepercayaan terhadap partai politik dominan dan parlemen. 3). Krisis
efektivitas penegakkan hukum. 4). Krisis kedaulatan sumber daya alam. 5).Krisis
kedaulatan pangan, yang sungguh sangat ironis,
sebagai sebuah negara agraris namun hampir semua kebutuhan komoditi
pertaniannya harus diimpor. Sangat ironis sebagai negara maritim, namun
kebutuhan garam dan ikan lautnya harus diimpor dari negara-negara tetangga yang
garis pantai dan luas lautannya jauh lebih kecil dibanding dengan yang kita
miliki. 6). Krisis pendidikan. 7).Krisis integrasi nasional.
Semua
itu terjadi karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak
efektif, lemah dan hanya mengejar pencitraan diri ketimbang kerja nyata. Presiden telah
mengalami disorientasi. Keadaan rakyat yang berjalan sekarang ini lebih karena
usaha mereka sendiri dan bukan karena peran negara. Negara seperti sering
ditunjukkan dalam berbagai “social unrest” yang berujung konflik-konflik fisik,
tidak hadir tatkala rakyat membutuhkan bantuan
dan perlindungannya.
Pada
setahun yang lalu itu pula, 45 Tokoh
Nasional tersebut sebagaimana terbukti sekarang, memperkirakan krisis-krisis
tadi akan semakin meningkat, rakyat semakin pesimis dan terpuruk, dan terbukti sampai-sampai
mau makan tahu-tempe saja susah. Jika situasi buruk itu terus berlangsung, maka
akan terlalu berisiko bagi NKRI. Meskipun menurut Konstitusi, keharusan
pergantian kepemimpinan 5 tahunan perlu dipelihara, tetapi apabila Presiden SBY
tidak bisa memelihara keharusan ini dengan membiarkan demoralisasi dan anomali
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keharusan konstitusional itu otomatis
gugur. Bangsa dan negara harus diselamatkan. Untuk itu perubahan adalah
“conditio sine qua non”. Semakin cepat semakin baik agar ongkos politik, biaya
ekonomi dan risiko sosial budaya bisa berkurang.
Para
tokoh itu juga menyerukan agar DPR mengambil langkah politik untuk segera
mengakhiri kekuasaan yang hanya menyandera rakyat ini. Kepemimpnan SBY sudah
terbukti tidak mampu dan secara moral sudah tidak patut untuk menyelenggarakan
negara dan kekuasaan pemerintahan.
Demikianlah
pernyataan 45 tokoh tadi setahun yang lalu, yang saya kutip kembali mengingat relevansinya yang semakin kuat dengan keadaan. Keempat
puluh lima tokoh tersebut antara lain Prof.K.H.Alie
Yafie (ulama), Prof Bismar Siregar
(mantan Hakim Agung), KH.Cholil
Badawi (tokoh dan Pembina Dewan Dakwah Indonesia), Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia
Mgr.Martinus D.Situmorang, Romo Benny Susetyo, Prof.Dr.Adnan Buyung Nasution,
Prof.Dr.Anwar Nasution. Hariman Siregar, B.Wiwoho, Indro Tjahjono, Mulyana
W.Kusumah, Amir Daulay, Jenderal Purn Tyasno Sudarto, Letjen Purn Marinir
Suharto, Murwanto, Tjuk Sukiadi, D.H.Assegah, Dr.Jamester Simarmata, Monang
Siburian, K.H.Muhammad Zain, Chris Siner K.Timu, Sugeng Sarjadi, Dr.Sukardi
Rinakit, Dr. Eggi Sudjana, Burzah Sarnubi, Dr.Muslim Abdurahman, Fany Habibie
dll.
Semoga di bulan Ramadhan yang sekaligus juga merupakan
bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ini, Allah Swt, Tuhan Yang Maha
Kuasa, membangunkan kesadaran bernegara serta patriotisme kita, menolong dan
menyelamatkan kita bangsa Indonesia.
Amin. (B.Wiwoho).
Beji, 01 Agustus 2012.