Gaya
hidup hedonis dan narsis (hedonarsis) yang banal, yang memuja pesona dunia,
harus kita akui tengah melanda masyarakat kita. Marilah coba kita kaji beberapa
peristiwa yang sempat menjadi topik hangat pemberitaan media massa. Rita
misalkan, bukan nama sebenarnya tapi dari peristiwa yang sungguh-sungguh
terjadi, adalah seorang mahasiswi berusia 19 tahun. Siang itu, bukannya di perpustakaan
untuk belajar, ia nongkrong di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. Tak jauh
dari mejanya, duduk beberapa orang, salah satu di antaranya pengusaha tajir bernama Abu Fatah, juga nama
yang disamarkan.
Singkat
kata mereka berkenalan dan berjanji malam hari bertemu di sebuah hotel
berbintang lima.Tapi siapa menyangka malam itu di kamar hotelnya, mereka
digerebek dan ditangkap petugas-petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rupanya Abu Fatah sedang menjadi target pengawasan atas dugaan korupsi
berjamaah, yang dipantau ketat oleh KPK.
Begitulah
jika Gusti Allah sudah membiarkan tabir penutup aib hamba-hamba-Nya
tersingkap.Rita adalah seorang mahasiswi muda beliau dari keluarga sederhana,
yang tak menyadari kemampuan ekonomi serta statusnya sebagai wanita dan
mahasiswa, bergaya hidup bak orang kaya. Sementara Abu Fatah, adalah putera
seorang ulama, alumni pondok pesantren dan bagian dari jaringan persahabatan
tokoh-tokoh partai yang berlabel Islam, yang sedang hidup bergelimang pesona
dunia.
Contoh
kisah yang kedua, mahasiswa Ridho Ramanda, juga nama yang disamarkan, adalah
seorang putera pejabat tinggi ternama, yang mengalami kecelakaan di jalan tol
Jagorawi, pagi-pagi sekali pukul 05.45, setelah semalaman bergadang merayakan
pesta tahun baru 2013 Masehi, yang tidak ada di dalam kamus kegiatan islami.
Lantaran mengantuk, Ridho yang berusia 22 tahun ini menabrak mobil lain
sehingga menewaskan dua orang dan mencederai tiga orang lainnya.
Kasus
yang menyerupai Ridho, dialami oleh Abu Jamal, pun nama yang disamarkan,
pelajar di bawah umur dengan usia 13 tahun yang ngebut dengan mobilnya di jalan
tol pukul 00.45 sehingga mencelakai kendaraan lain dan merenggut tujuh nyawa
manusia serta melukai sejumlah orang.
Ketiga
contoh tadi, menggambarkan betapa gaya hidup generasi muda kita telah melenceng
dari apa yang diajarkan oleh Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya
pada keluarga mereka, tapi harus kita akui bahwa kekuasaan, kekayaan, harta
benda dan pesona dunia telah menyilaukan matahati kehidupan banyak rumahtangga
masyarakat kita dewasa ini. Padahal kita yakin mereka adalah keluarga-keluarga
muslim yang pasti sering mengumandangkan tasbih, menyebut asma Allah nan Maha
Suci serta shalawat nabi.
Namun
memang tidak mudah menangkap energi api ajaran islami dibanding menangkap
abunya. Sebagaimana dikisahkan perawi
hadis Bukhari, suatu hari tatkala Baginda Rasul sedang berwudhu, para sahabat
berebut menampung limbah atau musta’mal air tetesan wudhu yang mengalir dari
sela-sela jari tangan Rasulullah. Para sahabat tersebut memanfaatkan air limbah
itu buat membasuh muka masing-masing.
Kanjeng
Nabi terkejut melihat air limbah wudhunya dipakai mambasuh muka para sahabat
yang bersih itu.Beliau bertanya, “Wahai sahabat-sahabatku, apa yang sedang
kalian lakukan? Mengapa air kotor bekas wudhuku kalian pakai membasuih muka?”
Salah seorang menjawab, “Kami sedang menunjukkan rasa cinta kami kepadamu ya
Rasulullah.” Kanjeng Nabi menggeleng dan
bersabda, “ Tidak para sahabatku
tercinta, bukan seperti itu cara kalian membuktikan cinta kepadaku. Jika memang
kalian bena-benar mencintaiku, maka patuhilah ajaranku, dan kerjakan sunahku.”Beliau
kemudian menegaskan, “Barangsiapa
mencintai sunahku, berarti dia mencintaiku.Dan barangsiapa mencintaiku, pasti
akan bersamaku di dalam surga.”
Sahabatku,
kita sering secara gegap gempita merayakan hari-hari besar Islam, memperingati
maulud atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, bahkan mengumandangkan atau
membaca shalawat setiap hari.Tentu itu semua bagus. Namun akan jauh lebih bagus
lagi dan bermakna apabila kita bisa memetik hikmah dengan meneladani perilaku
kehidupan mulianya, serta mentaati sabda, hadis dan sunahnya. Lebih jauh lagi,
jangan sampai mulut kita mengumandangkan shalawat dan jari kita menghitungnya
ratusan, bahkan ribuan, tapi perilaku
kita menyimpang dan bertentangan dengan hadis serta sunahnya.
Tiga
contoh peristiwa di atas, jelas-jelas menggambarkan betapa pragmatisme dan
hedonarsis telah mempengaruhi kehidupan generasi muda penerus masa depan bangsa
dan umat. Mereka hanyalah beberapa titik pada puncak gunung es berhala-berhala
modern, penghamba pesona dunia, sebagai akibat bergesernya filosofi dan tata
nilai kehidupan dari idealisme dan akhlak mulia, ke pragmatisme-materialisme
yang berkembang semakin banal.Sebagian generasi muda kita telah menganut slogan
kehidupan, “Kecil dimanja, muda
foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga.Hidup sekali, mati sudah pasti,
karena itu nikmatilah dunia selagi kita hidup.”
Pergeseran
filosofi dan tata nilai kehidupan ini, memang dirancang secara sengaja oleh
Kapitalisme Global, yang secara sadar dan terpola, membentuk suatu tata dunia
baru dengan gaya hidup masyarakat yang menekankan pentingnya kekuatan modal,
ilmu dan teknologi, yang selanjutnya menghasilkan aneka produk gaya hidup
moderen dalam segala bentuknya, baik yang berupa jasa maupun barang.
Dengan
dukungan media massa yang berbasis teknologi canggih, mereka menggalang citra
gaya hidup yang menekankan pada kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar
bebas. Sebuah contoh gaya hidup yang tidak islami namun bisa marak di Indonesia
dengan penduduk mayoritas beragama Islam ini, adalah perayaan Hari Kasih Sayang
setiap tanggal 14 Pebruari, yang dikenal sebagai Hari Valentine.Penggalangan citra super luar biasa ini, ditandai
aneka produk dengan ciri warna dasar merah jambu, gambar simbol hati, bunga
mawar dan coklat.Padahal hari Valentine adalah hari peringatan Katholik Roma
untuk martir Santo Valentine.
Demikianlah,
Kapitalisme Global telah menciptakan musik jiwa yang mampu membuat nilai tukar
sebagai tujuan utama, dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran termasuk tradisi
luhur bangsa-bangsa dan agama. Musik
jiwa ini menurut Herbert Marcuse (One
Dimensional Man,dalam berbagai tulisan di internet antara lain ungumerahmuda.blogspot.com, Abdul Muin Angkat blog dan Manusia Satu Dimensi, Yayasan Bentang
Budaya, Yogyakarta 2000 ) bahkan telah menjadi sumber kekuasaan baru pasca
Perang Dunia II, yaitu kekuasaan selera dan gaya hidup, yang dikemas dengan
penggalangan citra, iklan dan promosi secara besar-besaran. Ia menyerbu ke
segenap pelosok dunia, termasuk Indonesia, yang secara kebetulan sedang
mengalami lompatan-lompatan budaya.
Kapitalisme
Global dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas, menawarkan kebebasan
berfikir, berbicara dan berkesadaran, telah menggilas nalar, budi luhur dan
kearifan-kearifan tradisional, selanjutnya memobilisasi masyarakat secara
total.
Kapitalisme
Global telah melancakan perang semesta, sebagaimana perang yang paling dikuatirkan
Rasulullah Saw, yaitu bukan perang fisik seperti Perang Badar, melainkan perang
di wilayah batin dan jiwa manusia. Perang semesta merupakan perang moderen yang
paling dahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh
serta meriam-meriam, melainkan perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus
masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Perang
semesta bisa dengan cepat dan tanpa disadari target sasarannya, menyingkirkan
budaya, nilai-nilai agamis dan tata nilai lainnya, sekaligus membangun alam
pikiran baru yang terpadu secara total, yang pada hakekatnya membangun gaya
hidup yang individualistis, pragmatis, hedonis, materialistis dan narsis.
Dengan
musik jiwa dan gaya hidup, Kapitalisme Global telah menciptakan
kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir dan menghisap individu-individu ke
dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa, budaya termasuk film
dan musik, industri periklanan, penggalangan citra, manajemen dan cara-cara
berfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi sistem represif yang
melenyapkan negativitas, kritik dan perlawanan. Sistem yang seperti ini
membentuk masyarakat industri maju lintas negara yang moderen, dengan pola
pemikiran yang berdimensi satu, yang tidak mengenal alternatif.
Di
dalam ketatanegaraan dan politik praktis, hal itu bisa dilihat dari fenomena
partai-partai, yang secara ideologis tidak lagi memiliki perbedaan. Mereka
seolah-olah menawarkan perbedaan dan perubahan, namun sejatinya tidak ada
bedanya antara partai satu dengan yang lain.
Manusia
moderen mengira dirinya benar-benar hidup bebas dalam dunia yang menawarkan
aneka kemungkinan untuk dipilih, diraih dan diwujudkan, padahal kebebasan yang
dikehendakinya sesungguhnya hanyalah apa yang sudah didiktekan oleh Kapitalisme
Global kepadanya.
Ketiga
contoh peristiwa yang mengawali tulisan ini, dengan gamblang menggambarkan
serangkaian perilaku masyarakat yang mengabdi pesona dunia dengan kebebasannya.
Demikian pula berbagai fakta di persidangan kasus-kasus korupsi yang hampir
setiap hari digelar beberapa tahun belakangan ini, menunjukkan keterlibatan
para tokoh dari lintas profesi dan pilar kekuasaan, mulai dari pengusaha,
legislatif, eksekutif sampai dengan yudikatif. Mereka menunjukkan perilaku
mengejar kekuasaan dan kekayaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan
segala cara. Mau serba enak secara instan, sehingga mengabaikan ajaran-ajaran
moral dan agama.Kesalehan hanya sebatas formalitas bahkan dijadikan sebagai
topeng.Puji-pujian terhadap Yang Maha Kuasa dan Kanjeng Nabi hanyalah penghias
bibir belaka.
Sahabatku,
tasawuf mengajarkan para penganutnya untuk membangun akhlak luhur dan budi mulia, hidup bersih, sederhana dan mengabdi, yang
tidak silau apalagi memuja pesona dunia.Islam diturunkan bukan untuk meluapkan
kebebasan individual dan kepentingan diri, melainkan mengabdi pada kebersamaan
dan harmonisasi dalam mewujudkan rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya bagi
manusia, bahkan bukan hanya untuk sesama muslim. Karena itu Rasulullah senantiasa
menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau hidup sangat
sederhana, zuhud dan wara, lembut lagi penuh kasih sayang terhadap sesamanya,
sampai-sampai semua benda perlengkapan hidupnya, juga binatang piaraannya
diberi nama serta panggilan kesayangan. Beliau juga sangat menjaga perasaan
orang lain, sebagaimana contoh sederhana yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua
orang berbisik-bisik dengan membiarkan, tidak mengajak yang ketiganya.”
Maka,
marilah sama-sama kita renungkan dan hayati gumaman isteri beliau, Siti Aisyah,
di pinggir makam Rasulullah pada malam pertama setelah pemakaman:
“ Wahai laki-laki
yang tak pernah mengenakan sutera.
Wahai laki-laki yang
tak pernah tidur di atas tilam nan lembut.
Wahai laki-laki yang
hingga saat meninggalnya belum pernah
kenyang dengan roti
gandum yang lezat-lezat.
Wahai laki-laki yang
menyukai dipan kasar dibanding ranjang mewah.
Wahai laki-laki yang
sering beberapa malam tidak tidur karena takutnya pada neraka (yang mengancam
umatnya).”
(Sumber:
K.H.Abdurrahman Arroisi dalam 30 Kisah
Teladan dan K.H.Firdaus AN dalam Detik-Detik
Terakhir Kehidupan Rasulullah).