Melihat
Debat Capres 2014:
Ancaman
Atas Ketahanan Nasional Bukan Sekedar Perang Konvensional.
Minggu malam 22 Juni 2014, bangsa Indonesia menyaksikan “Panggung Spektakuler” debat Calon
Presiden Republik Indonesia, antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, tentang
kebijakan luar negeri dan ketahanan nasional.
Mengenai debat Calon Presiden,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis dalam bukunya, “SBY- Selalu Ada Pilihan – Untuk Pecinta Demokrasi dan Para Pemimpin
Indonesia Mendatang” (Kompas, Selasa 24 Juni 2014 halaman 2: Nasihat SBY
Soal Debat Capres – Cawapres), banyak pemilih di Indonesia yang tidak
memperhatikan isi atau substansi dari debat itu. “Mereka lebih tertarik pada
penampilan para capres, termasuk sikap, gaya, dan tutur katanya.”
Saya setuju dengan penilaian pak SBY
tadi, bahkan juga penilaian yang sama terhadap debat Prabowo – Jokowi. Sungguh
saya kecewa terhadap substansi debat untuk sekaliber Capres ini. Dengan masing-masing
menggunakan mik berwarna keemasan seperti yang lazim dipakai artis-artis
cantik, yang satu bicara visi besar tanpa menukik ke misi-misi dengan strategi
besar untuk mewujudkan visi besar tersebut, sehingga menjadi terkesan hanya
normatif saja; sedangkan yang satu lagi,
sebenarnya sudah mulai dengan pengantar debat yang bagus, tapi kemudian
bertele-tele dengan contoh-contoh kasus. Yang lebih memprihatinkan, perihal
ketahanan nasional, mereka nampak hanya berkutat pada sekitar perang
konvensional belaka.
Terasa betul, satu sama lain lebih
berkonsentrasi untuk berusaha “menyerang”.
Anehnya, Prabowo bertanya pada bidang yang selama ini terkait dengan
bisnis yang digeluti Jokowi, yaitu perdagangan internasional, sementara Jokowi
juga bertanya mengenai bidang yang selama ini digeluti Prabowo yaitu masalah
peralatan perang khususnya tank atau kendaraan lapis baja.
Mereka telah mengabaikan kenyataan
di era globalisasi ini, bahwa ketahanan nasional dan kebijakan luar negeri sesuatu
bangsa, sangat erat keterkaitannya dengan hubungan internasional, yang tidak
semata-mata ditentukan oleh kemakmuran dalam negeri, perbatasan negara, alat
perang konvensional dan pesawat pengintai tanpa awa
Sebagaimana
sudah saya kemukakan dalam berbagai tulisan sebelum ini, dengan era
globalisasi, seluruh dunia diibaratkan bagai
selembar kain yang terbentang rata tanpa lipatan. Di zaman yang juga disebut
sebagai era kesejagatan ini, sebuah kejadian di sebuah titik atau tempat, dalam
tempo hanya sekejap sudah bisa diketahui oleh seluruh penghuni dunia lainnya.
Dalam era ini muncul suatu gelombang
kehidupan yang dahsyat yang membuat seluruh penduduk dunia bagai tidak berjarak
lagi. Gelombang ini saya sebut Gelombang Globalisasi-II, yang ditandai antara
lain dengan hadirnya sebuah teknologi informasi yang super canggih, yang
dikendalikan oleh kekuatan modal yang juga berskala global, yang kita namakan
Kapitalisme Global.
Gelombang Globalisasi-I, telah
terjadi pada abad 19 dan terus berlangsung sampai Perang Dunia II tahun
1940-an. Setelah Perang Dunia II, Gelombang Globalisasi-I, sedikit mereda,
namun bangkit kembali menjelang akhir abad 20 dalam bentuk Gelombang
Globalisasi-II.
Seperti halnya Gelombang
Globalisasi-II, Gelombang Globalisasi-I juga ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diawali oleh James Watt dari Inggris yang
menemukan mesin uap pada tahun 1765. Empat tahun berikutnya, penemuan ini
dipatenkan dan mulai memicu hadirnya mesin-mesin industri moderen berkapasitas
produksi tinggi, yang kemudian menjadi dasar lahirnya Revolusi Industri yang
terus berkembang dan kita kenal sampai sekarang.
Tahun 1807, Robert Fulton bersama
keluarga Robert R.Livingston, secara spektakuler mengoperasikan kapal komersial
pertama yang digerakkan oleh mesin uap, yang mampu menempuh jarak 300 mil
antara New York City – Albany, dalam tempo 62 jam.
Penemuan-penemuan yang mampu
mengubah wajah dunia ini, terus berlanjut dengan ditemukannya teknologi
komunikasi jarak jauh, telegraf, oleh Samuel Finley Breese Morse tahun 1837,
disusul pula dengan penemuan telpon oleh Alexander Graham Bell tahun 1876.
Hampir bersamaan dengan itu, jalur
transportasi yang menghubungkan benua Eropa dengan Asia, yang semula hanya bisa
ditempuh melalui tiga jalur, bertambah satu jalur lagi secara sangat berarti
pada tahun 1870. Sebelum itu jalur perhubungan terdiri dari, pertama sepenuhnya
jalur darat melalui “Jalur Sutra (Utara dan Selatan)” menembus kaki gunung
Himalaya dan gurun Gobi yang sulit tiada tara. Kedua sepenuhnya jalur
laut mengelilingi benua Afrika dengan lautannya yang ganas. Ketiga,
kombinasi laut dan darat melalui kawasan Timur Tengah. Adapun jalur keempat
adalah Terusan Suez, yang merupakan terusan buatan manusia terbesar yang
menghubungkan Mesir dengan semenanjung Sinai sejauh 163 kilometer dengan lebar
300 meter atau terpanjang kedua di dunia.Terusan ini dibuat selama hampir
sebelas tahun, selesai pada tahun 1869 dan mulai dioperasikan tahun 1870.
Terusan terpanjang adalah Terusan Laut Putih – Baltik di Rusia sepanjang 227
km, yang dibuka pada 1933 atau 63 tahun kemudian.
Melalui terusan Suez, apalagi dengan
kapal-kapal bertenaga uap yang menggantikan kapal-kapal layar, jalur
perhubungan antara Eropa dan Asia termasuk Indonesia, menjadi jauh lebih mudah,
aman dan cepat. Semua itu kian berkembang dengan keberhasilan Wright
Bersaudara, yaitu Orvile Wright dan Wilbur Wright, membuat pesawat terbang
tahun 1903.
Berbagai penemuan tadi,
membangkitkan syahwat kekuasan dan pesona dunia para pemilik modal dan
negara-negara Barat, khususnya Eropa. Syahwat hegemoni kekuasaan yang
memang selalu melekat pada diri siapa pun para penguasa dan pemilik uang
semenjak zaman baheula, mendorong mereka berusaha menguasai wilayah dan
aset-aset dunia yang penduduk dan penguasanya lemah atau bisa dilemahkan.
Syahwat kekuasaan dan pesona dunia itulah yang menyerbu serta melanda dunia,
bergulung-gulung bagai gelombang yang dikendalikan oleh para pemilik modal atau
para kapitalis. Dan demi mempertahankan area yang sudah dikuasainya, mereka
selanjutnya membangun imperium-imperium kekuasaan. Maka timbullah apa yang
disebut dengan kapitalisme-imperialisme, yang secara menyolok merupakan
penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.
Sejarah mengajarkan, sesungguhnya
penjajahan serta penguasaan manusia dan suatu bangsa atas yang lain, telah
berlangsung semenjak awal peradaban manusia.Lebih-lebih sesudah revolusi
industri mampu menghasilkan produk-produk konsumsi yang masal, yang harus
dipasarkan dan terjual, supaya menghasilkan keuntungan besar bagi para
pemodalnya. Sejarah juga mengajarkan, selalu saja ada pihak yang dikorbankan
demi memberikan kepuasan besar yang tiada batas kepada pihak lain.
Kekuasaan mutlak, penindasan,
penjajahan dan perbudakan serta penyimpangan tata nilai pada akhirnya
juga akan memicu kesadaran pihak yang tertindas, yang bisa tumbuh bergelora
menjadi ideologi pembebasan. Dalam sejarah peradaban semenjak Nabi Ibrahim,
ideologi pembebasan telah mampu mengorbarkan “perang pembebasan” melawan
rezim-rezim penindas yang mapan, zalim dan atau yang menjungkirbalikkan akhidah
ketuhanan.
Di kepulauan Nusantara, Proklamator
kita, Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan bukan hanya mengobarkan perang
kemerdekaan Indonesia, tetapi juga semangat kemerdekaan bangsa-bangsa
Asia-Afrika lainnya. Dengan ideologi pembebasan yang bercirikan
sosio-nasionalisme, keduanya bersama kekuatan rakyat berhasil memanfaatkan
momentum Perang Dunia II, mengusir penjajahan dari bumi Nusantara, dan untuk
sementara membendung Gelombang Globalisasi-I.
Pasca Perang Dunia-II, Gelombang
Globalisasi-I nampak mereda dalam situasi yang disebut “Perang Dingin”, yang
terjadi antara dua kekuatan super power, yaitu antara Blok Barat yang
dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.Tetapi
Perang Dingin itu pun akhirnya meletihkan dan berakhir pelan-pelan, dimulai
dengan tampilnya kaum pragmatis di Republik Rakyat China (RRC) yang dipimpin
Deng Hsiaoping setelah Mao Zedong wafat Januari 1978.Deng menyadari bahwa
ideologi komunis yang berlandaskan pada Marxisme/Leninisme yang menjadi andalan
Blok Timur ternyata tidak dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi RRC.
Oleh karena itu ia kemudian menyesuaikan penerapan ideologi komunisme dengan
tuntutan nyata pembangunan RRC, terutama demi mengejar berbagai
ketertinggalannya.
Deng Hsiaoping selanjutnya
melancarkan program pembaharuan yang mencakup empat bidang, yaitu pertanian,
industri, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta militer. Guna menunjang
itu semua, RRC harus membuka diri untuk memperoleh bantuan dan
kerjasama luar negeri. (Memori Jenderal Yoga, Bab 17: Perubahan Di Negara-Negara
Komunis, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Bina Rena Pariwara, 1991).
Setelah RRC membuka tirai bambunya,
demikian julukan terhadapnya, Uni Soviet yang dipimpin oleh Mikhail Gorbachev
pada dasa warsa 1980an, juga ikut membuka tirai besinya.Ia melancarkan
kebijakan baru yang dikenal sebagai perestroika atau restrukturisasi
ekonomi dan glasnost atau keterbukaan.Dengan itu Soviet mengambil
langkah besar dalam memperbaiki hubungan dengan Blok Barat, serta memberikan
kesempatan kepada negara-negara sekutu dan satelitnya buat memempuh jalan
masing-masing.Dalam pidato di Vladivostok 28 Juli 1986, Gorbachev menegaskan
“Kita butuh perdamaian.” Dan dengan segera pula ia menarik 100.000 lebih
tentara Soviet dari Afghanistan yang sudah diintervensi dan dikuasainya
semenjak 1979.
Musik Jiwa Dalam Perang Semesta.
Hampir
bersamaan dengan meredanya Perang Dingin, ilmu pengetahuan dan teknologi juga
mengalami perkembangan yang luar biasa pesat, terutama di bidang teknologi
informasi.Jika perkembangan iptek di abad ke-19 telah menghasilkan industri
moderen serta membuat hubungan antar benua dan daerah menjadi suatu
keniscayaan, maka perkembangan iptek di akhir abad ke-20 telah membuat dunia
serasa tidak berjarak, dan manusia merasa seolah bisa mewujudkan semua mimpinya.Bahkan
ruang-ruang pribadi dalam rumahtangga pun seakan tidak bersekat lagi.
Lompatan-lompatan
besar dalam iptek yang sangat spektakuler di paruh kedua abad ke-20, sebenarnya
dipicu oleh Perang Dunia II. Masing-masing pihak yang berperang yaitu Jerman
dan Jepang di satu pihak melawan Amerika Serikat dan sekutunya di pihak lain,
berusaha menemukan alat-alat perang baru yang bisa mengalahkan musuhnya. Maka
pada tahun 1941, insinyur Jerman Konrad Zuse membuat komputer guna merancang
pengoperasian pesawat terbang dan peluru kendali. Sementara Inggris membuat
komputer buat memecahkan kode-kode rahasia Jerman. Selanjutnya Amerika pun
tidak mau ketinggalan.
Pada
generasi pertama, komputer tersebut berukuran sangat besar, hampir sebesar
lapangan bola. Namun dengan penemuan transistor yang menggantikan tabung vakum
di radio, televisi, peralatan elektronik dan komputer tahun 1948, maka
ukuran-ukuran mesin dan alat-alat elektronik menurun drastis, dan terus
mengecil seperti yang kita pakai sekarang. Di samping itu pemanfaatan komputer
juga melesat luar biasa menjadi apa yang kita kenal sebagai teknologi
informasi, yaitu teknologi apapun yang bisa membantu manusia dalam membuat,
mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan serta menyebarluaskan informasi dengan
kecepatan sangat tinggi, malahan bisa dibilang hanya sekejap.
Di
bidang perhubungan dan pengangkutan atau distribusi barang, Perang Dunia II
juga mendorong Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, US Army, untuk merancang
sistem mobilisasi peralatan perang yang mudah, aman dan tepat guna, yang
kemudian kita kenal dengan peti kemas. Seperti halnya penemuan komputer,
suasana Perang Dingin setelah berakhirnya Perang Dunia II, memacu negara-negara
maju untuk mengembangkan dan menyempurnakan penemuan-penemuannya semasa perang,
termasuk penemuan sistem peti kemas. Sistem yang semula hanya dipakai di
kalangan militer, kemudian dikembangkan menjadi untuk bisnis, dengan
diluncurkannya pelayaran perdana kapal peti kemas Gate Way City tahun 1957,
menempuh jalur Houston – New York. Selanjutnya pada tahun 1972, sistem peti
kemas mulai go international melayari jalur Eropa, Jepang dan Australia,
dan dalam tempo lima tahun sudah melayari hampir seluruh dunia.
Sistem
peti kemas mampu memuat apa saja, mulai dari produk dalam bentuk curah sampai
produk-produk jadi yang berupa perakitan seberat puluhan ton. Ini merupakan
revolusi multi moda transportasi yang luar biasa, meliputi darat – laut –
udara.
Lompatan
besar iptek lainnya yang bahkan sedang berlangsung yang belum bisa diketahui
persis ujungnya, adalah apa yang disebut nano teknologi. Konsep nano teknologi
diperkenalkan pertama kali oleh ahli fisika Amerika, Richard Feynman, pada
tahun 1959. Istilah nano teknologi itu sendiri diresmikan oleh Prof.Norio
Taniguchi di Jepang tahun 1974, dan sejak itu terus berkembang.
Nano
teknologi adalah pembuatan dan penggunaan materi atau devais pada ukuran yang
amat sangat kecil, mulai dari 0,1 hingga 100, selanjutnya disebut skala nano
dengan kode nano meter (nm). Satu nm sama dengan satu per milyar meter
(0,000.000.000.1m atau 10-9), yang berarti 50.000 kali lebih kecil dibanding
garistengah rambut manusia.Contoh pembanding lainnya yaitu ukuran protein dalam
sel tubuh manusia sebesar sekitar 5nm. Materi pada dimensi skala nano
menunjukkan sifat fisis yang berbeda, sehingga dengan itu para ahli berharap
dapat membuat terobosan baru di bidang iptek khususnya kesehatan. Sungguh tak
terbayangkan, seberapa besar ukuran seperlimapuluhribu rambut manusia, terutama
pula bagaimana memahami serta mendayagunakan materi sebesar itu bagi kehidupan
kita.
Toh
kini sudah terbukti. Beberapa contoh terobosan penting yang sudah dipakai
di berbagai produk yang digunakan di seluruh dunia, meliputi penggunaan di
komputer, elektronik, kosmetika, pupuk, bahan polimer hingga ramuan herbal,
misalkan: (1) katalis pengubah pada kendaraan yang mereduksi polutan
udara, (2) devais pada komputer yang membaca serta menulis dari dan ke hard
disk, (3) beberapa pelindung terik matahari dan kosmetika yang secara
transparan dapat menghalangi radiasi berbahaya dari matahari.
Tetapi
lagi-lagi, tekonologi informasi super canggih itu pun dikuasai oleh kaum
kapitalis, yang dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas,
menawarkan kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas, yang kemudian
memicu timbulnya Gelombang Globalisasi-II, melanda segenap pelosok dunia,
bergulung-gulung, menggilas nalar serta melibas kearifan-kearifan tradisional
dan agama.
Kapitalisme
Global juga menggubah musik jiwa yang mendendangkan pemujaan pada pesona dunia
dengan aneka selera dan gaya hidupnya, menggalang alam pikiran manusia agar
terpadu secara total menjadi satu dimensi yang mengagungkan rasionalitas, yang
pada hakekatnya membangun gaya hidup yang individualistis, materialistis,
hedonistis dan bahkan narsis.
Bersama
musik jiwa tersebut, Kapitalisme Global menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu
yang menghisap individu-individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi.
Berbagai komponen penunjang seperti manajemen, media massa, industri periklanan,
film dan cara-cara berrfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi
sistem represif dalam suatu masyarakat industri maju yang moderen yang tak
mengenal alternatif. Manusia-manusia moderen di segenap pelosok bumi, mengira
dirinya benar-benar hidup bebas dalam panggung pesona dunia yang menawarkan
aneka kemungkinan untuk dipilih, diraih dan diwujudkan. Padahal kebebasan
beserta kepuasan diri yang dikehendakinya, sesungguhnya hanyalah apa yang
didiktekan oleh Kapitalisme Global kepadanya.
Perkembangan
serta kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi, sesungguhnya harus kita
syukuri. Namun pendayagunaannya yang melampaui batas kewajaran kebutuhan hidup,
telah mendorong para kapitalis yang menguasainya menjadi serakah dan tamak,
Maka
bila nafsu serakah dan ketamakan manusia membara kemudian berkobar, ia
menjadi lebih buas dibanding binatang yang paling buas sekalipun, lebih
buas dari harimau, lebih berbahaya dibanding ular yang paling berbisa. Harimau
menerkam dan membunuh mangsanya hanya untuk sekedar makan penangsal perut,
tidak lebih.Harimau tidak menyimpan dan menimbun makanannya.Sedangkan manusia
membunuh rusa, harimau, gajah dan lain-lain bukan untuk makan tapi demi
memuaskan dahaga ujub dan riya, berbangga lagi menyombongkan diri semata.Ia
bangga dapat memamerkan fotonya di atas bangkai binatang buruannya, memajang
kulit harimau, tanduk rusa yang bercabang-cabang dan gading gajah hasil
buruannya. (Memaknai Kehidupan, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara, 2006).
Alunan
musik jiwa yang dihembuskan Gelombang Globalisasi II, pada hemat saya telah
menjadi “Perang Semesta” yang mengancam ketahanan nasional setiap negara, dan
juga menentukan corak hubungan luar negerinya. Perang Semesta merupakan perang
moderen terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh perbatasan fisik suatu
negara, benteng-benteng batu nan kokoh, tank dan meriam, melainkan perang dalam
segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk
ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Demi
memenangkan peperangannya, para Kapitalis Global terus berusaha menggelorakan
pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan akibat di samping
kerusakan tata nilai budi luhur dan keagamaan, juga terkurasnya sumber
daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
Ancaman Ketahanan Negara Terdahsyat
Adalah Perang Budaya.
Gaya
hidup hedonis dan narsis (hedonarsis) yang banal, yang memuja pesona dunia,
harus kita akui tengah melanda masyarakat kita. Marilah coba kita kaji beberapa
peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi dan sempat menjadi topik hangat
pemberitaan media massa. Rita misalkan, bukan nama sebenarnya tapi, adalah
seorang mahasiswi berusia 19 tahun. Siang itu, bukannya di perpustakaan untuk
belajar, ia nongkrong di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. Tak jauh dari
mejanya, duduk beberapa orang, salah satu di antaranya pengusaha tajir
bernama Abu Fatah, juga nama yang disamarkan.
Singkat kata mereka berkenalan dan berjanji malam hari
bertemu di sebuah hotel berbintang lima.Tapi siapa menyangka malam itu di kamar
hotelnya, mereka digerebek dan ditangkap petugas-petugas Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Rupanya Abu Fatah sedang menjadi target pengawasan atas dugaan
korupsi berjamaah, yang dipantau ketat oleh KPK.
Begitulah
jika Gusti Allah sudah membiarkan tabir penutup aib hamba-hamba-Nya tersingkap.
Rita adalah seorang mahasiswi muda beliau dari keluarga sederhana, yang tak
menyadari kemampuan ekonomi serta statusnya sebagai wanita dan mahasiswa,
bergaya hidup bak orang kaya. Sementara Abu Fatah, adalah putera seorang ulama,
alumni pondok pesantren dan bagian dari jaringan persahabatan tokoh-tokoh
partai yang berlabel Islam, yang sedang hidup bergelimang pesona dunia.
Contoh
kisah yang kedua, mahasiswa Ridho Ramanda, juga nama yang disamarkan, adalah
seorang putera pejabat tinggi ternama, yang mengalami kecelakaan di jalan tol
Jagorawi, pagi-pagi sekali pukul 05.45, setelah semalaman bergadang merayakan
pesta tahun baru 2013 Masehi, yang tidak ada di dalam kamus kegiatan islami.
Lantaran mengantuk, Ridho yang berusia 22 tahun ini menabrak mobil lain
sehingga menewaskan dua orang dan mencederai tiga orang lainnya.
Kasus
yang menyerupai Ridho, dialami oleh Abu Jamal, pun nama yang disamarkan,
pelajar di bawah umur dengan usia 13 tahun yang ngebut dengan mobilnya di jalan
tol pukul 00.45 sehingga mencelakai kendaraan lain dan merenggut tujuh nyawa
manusia serta melukai sejumlah orang.
Ketiga
contoh tadi, menggambarkan betapa gaya hidup generasi muda kita telah melenceng
dari apa yang diajarkan oleh Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw., sebagaimana
ajaran agama yang mereka anut. Bukan hanya pada keluarga mereka, tapi harus
kita akui bahwa kekuasaan, kekayaan, harta benda dan pesona dunia telah
menyilaukan matahati kehidupan banyak rumahtangga masyarakat kita dewasa ini.
Fakta-fakta
yang banal sekarang ini juga membukakan mata kita, lantaran kekuasaan maka para
elite yang semula bersahabat, berjuang bahu membahu, hanya berbilang bulan
bahkan hari menjadi berseteru keras. Naudzubillah. Padahal sebagian besar dari mereka adalah keluarga-keluarga muslim yang
pasti sering mengumandangkan tasbih, menyebut asma Allah nan Maha Suci lagi
Maha Pengasih serta shalawat nabi.
Contoh-contoh
di atas, jelas-jelas menggambarkan betapa pragmatisme dan hedonarsis telah
mempengaruhi kehidupan generasi muda penerus masa depan bangsa. Mereka hanyalah
beberapa titik pada puncak gunung es berhala-berhala modern, penghamba pesona
dunia, sebagai akibat bergesernya filosofi dan tata nilai kehidupan dari
idealisme dan akhlak mulia, ke pragmatisme-materialisme yang berkembang semakin
banal. Sebagian generasi muda kita telah menganut slogan kehidupan, “Kecil
dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga. Hidup sekali, mati
sudah pasti, karena itu nikmatilah dunia selagi kita hidup.”
Pergeseran
filosofi dan tata nilai kehidupan ini, memang dirancang secara sengaja oleh
Kapitalisme Global, yang secara sadar dan terpola, membentuk suatu tata dunia
baru dengan gaya hidup masyarakat yang menekankan pentingnya kekuatan modal,
ilmu dan teknologi, yang selanjutnya menghasilkan aneka produk gaya hidup
moderen dalam segala bentuknya, baik yang berupa jasa maupun barang.
Dengan
dukungan media massa yang berbasis teknologi canggih, mereka menggalang citra
gaya hidup yang menekankan pada kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar
bebas. Sebuah contoh gaya hidup yang tidak islami, sesuai agama mayoritas di
Indonesia, namun bisa marak di Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama
Islam ini, adalah perayaan Hari Kasih Sayang setiap tanggal 14 Pebruari, yang
dikenal sebagai Hari Valentine. Penggalangan citra super luar biasa ini,
ditandai aneka produk dengan ciri warna dasar merah jambu, gambar simbol hati,
bunga mawar dan coklat. Padahal hari Valentine adalah hari peringatan Katholik
Roma untuk martir Santo Valentine.
Demikianlah,
Kapitalisme Global telah menciptakan musik jiwa yang mampu membuat nilai tukar
sebagai tujuan utama, dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran termasuk tradisi
luhur bangsa-bangsa dan agama. Musik jiwa ini menurut Herbert
Marcuse (One Dimensional Man,dalam berbagai tulisan di internet antara
lain ungumerahmuda.blogspot.com, Abdul Muin Angkat blog dan Manusia
Satu Dimensi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000 ) bahkan telah
menjadi sumber kekuasaan baru pasca Perang Dunia II, yaitu kekuasaan selera dan
gaya hidup, yang dikemas dengan penggalangan citra, iklan dan promosi secara
besar-besaran. Ia menyerbu ke segenap pelosok dunia, termasuk Indonesia, yang
secara kebetulan sedang mengalami lompatan-lompatan budaya.
Kapitalisme
Global dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas, menawarkan
kebebasan berfikir, berbicara dan berkesadaran, telah menggilas nalar, budi
luhur dan kearifan-kearifan tradisional, selanjutnya memobilisasi masyarakat
secara total.
Kapitalisme
Global telah melancakan perang semesta, sebagaimana perang yang paling
dikuatirkan Rasulullah Saw, yaitu bukan perang fisik seperti Perang Badar,
melainkan perang di wilayah batin dan jiwa manusia. Perang semesta merupakan
perang moderen yang paling dahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh
benteng-benteng batu nan kokoh serta mobil lapis baja dan meriam, melainkan
perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi
di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Perang
semesta bisa dengan cepat dan tanpa disadari target sasarannya, menyingkirkan
budaya, nilai-nilai agamis dan tata nilai lainnya, sekaligus membangun alam
pikiran baru yang terpadu secara total, yang pada hakekatnya membangun gaya
hidup yang individualistis, pragmatis, hedonis, materialistis dan narsis.
Dengan
musik jiwa dan gaya hidup, Kapitalisme Global telah menciptakan
kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir dan menghisap individu-individu ke
dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa, budaya termasuk film
dan musik, industri periklanan, penggalangan citra, manajemen dan cara-cara
berfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi sistem represif yang
melenyapkan negativitas, kritik dan perlawanan. Sistem yang seperti ini
membentuk masyarakat industri maju lintas negara yang moderen, dengan pola
pemikiran yang berdimensi satu, yang tidak mengenal alternatif.
Di
dalam ketatanegaraan dan politik praktis, hal itu bisa dilihat dari fenomena
partai-partai, yang secara ideologis tidak lagi memiliki perbedaan. Mereka
seolah-olah menawarkan perbedaan dan perubahan, namun sejatinya tidak ada
bedanya antara partai satu dengan yang lain. Mereka sama-sama memuja pesona
dunia, kekuasan, uang dan transaksional.
Nyaris tidak ada bedanya antara partai nasionalis, sekuler maupun yang agamis.
Bahkan para elitenya juga sama-sama berurusan dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Dan di tangan para elite yang seperti itulah kini ketahanan nasional
Indonesia , bahkan nasib serta masa depan negara kita dipertaruhkan.
Manusia
moderen termasuk para pendukung Capres-Cawpres sekarang, mengira dirinya
benar-benar hidup bebas dalam dunia yang menawarkan aneka kemungkinan untuk
dipilih, diraih dan diwujudkan, padahal kebebasan yang dikehendakinya
sesungguhnya hanyalah apa yang sudah didiktekan oleh Kapitalisme Global
kepadanya. Dalam memuja kebebasan itu, mereka tidak peduli lagi pada tata
nilai, etika dan moral agama. Mereka saling hujat, fitnah dan menabur serta menyemai
kebencian. Sungguh tak terbayangkan betapa kelak jika mereka harus menuai badai
kebencian yang telah mereka taburkan sendiri. Naudzubillah.
Ketiga
contoh peristiwa kami sebutkan tadi, dengan gamblang menggambarkan serangkaian
perilaku masyarakat yang mengabdi pesona dunia dengan kebebasannya. Demikian
pula berbagai fakta di persidangan kasus-kasus korupsi yang hampir setiap hari
digelar beberapa tahun belakangan ini, menunjukkan keterlibatan para tokoh dari
lintas profesi dan pilar kekuasaan, mulai dari pengusaha, legislatif, eksekutif
sampai dengan yudikatif. Mereka menunjukkan perilaku mengejar harta dan tahta,
ingin cepat berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan
segala cara. Mau serba enak secara instan, sehingga mengabaikan ajaran-ajaran
moral dan agama. Kesalehan hanya sebatas formalitas bahkan dijadikan sebagai
topeng. Puji-pujian terhadap Yang Maha Kuasa, Nabi dan para orang sucinya hanyalah
penghias bibir belaka.
Menguji Serangan Perang Semesta Terhadap
Ketahanan Nasional
Berdasarkan uraian di
atas marilah kita coba simulasikan, ancaman apa saja yang bisa menggoyahkan
ketahanan nasional kita. Catatan di dalam tanda kurung adalah situasinya di
Indonesia
I.Siapa Yang Menguasai Kekuatan Kapitalisme
Global?
1.Freemasonry dan Illuminati atau Zionis
2.Imperialis – Neolib.
Butir 1 dan 2 di atas
dalam banyak hal adalah sama.
II. Unsur Utama Kapitalisme Global.
1.Modal (Asing kuat, Dalam Negeri lemah).
2.Teknologi
khususnya yang super canggih – nanotek-biotek-farmasi dan lain-lain. (Dengan
ratifikasi hak paten, Indonesia sangat tergantung pada Asing).
III. Unsur Penunjang.
1.Manajemen. (Mulai
2015, Asing boleh masuk).
2.Media Massa. (Dikuasai
para pemodal yang bekerjasama dengan Asing atau go public di pasar bebas).
3.Industri Periklanan. (Dikuasai
iklan produk-produk Asing + tenaga periklanan Asing mulai masuk).
4.Film & industri
hiburan. (Serbuan dahsyat produk, artis dan gaya hidup yang memuja pesona
dunia).
5.Ilmu Pengetahuan. (Cenderung
berkiblat ke Asing dan kurang menghargai Dalam Negeri).
IV. Tujuan Perang Semesta.
Mewujudkan masyarakat
tata dunia baru yang – seolah - hidup bebas dalam pesona dunia yang :
1.hedonis –
individualis
2.pragmatis-
materialis
3.narsis.
yang dikuasai dan
dikendalikan sepenuhnya oleh Kapitalisme
Global. (Gaya hidup seperti itu sudah merambah di masyarakat, bahkan kita
menyenangi hal-hal yang bersifat “opera sabun” yang banal).
V. Untuk Mewujudkan Masyarakat Tata Dunia Baru
Yang
Seperti Itu Maka Harus Diciptakan/Dibentuk:
1.Sistem Pasar Bebas yang
bercirikan:
1.1.Rasionalitas.
1.2.Efektivitas.
1.3.Produktivitas.
(Indonesia sudah mulai
terperangkap ke dalamnya).
2.Sistem Sosial Politik Demokratis yang bercirikan:
2.1.Kepentingan
diri.
2.2.Kebebasan
individu.
(UUD
1945-Amandemen + berbagai UU turunannya telah membuat demokrasi Indonesia hanya
sekedar demokrasi prosedural yang transaksional).
3.Sistem Sosial Budaya yang bercirikan lepas bebas dari aturan dan tatanan agama serta
tradisi yang ada selama ini. (Tradisi termasuk kepercayaan dan kearifan lokal
mulai ditinggalkan, sementara agama: terjadi pendangkalan, sekedar formalitas
dan muncul aliran/sekte-sekte yang berpotensi memecah belah ummat).
VI. Masyarakat Tata Dunia Baru Dengan 3 Pilar
Utama yang digelorakan oleh gelombang globalisasi yang
digubah dalam suatu musik jiwa yang mendendangkan:
1.Penggalangan alam pikiran manusia agar terpadu secara total menjadi
satu dimensi rasionalitas dengan ciri
hedonistis-individualistis-pragmatis-materialistis – narsistis.
2.Pemujaan pada pesona dunia dengan aneka selera dan gaya hidup.
3.Kebutuhan-kebutuhan palsu yang “menyihir” dan menghisap
individu-individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi.
(Mari coba kita
renungkan, rasanya ketiga pilar tersebut sudah menyolok kehadirannya dalam kehidupan
masyarakat Indonesia).
VII. Bagi masyarakat “Negara
Bangsa”, semua itu bagaikan serbuan dahsyat yang dilancarkan dalam “Perang Semesta” oleh Kapitalisme Global dengan Divisi-Divisi Perang yang berupa:
1.Finance/Keuangan: hancurkan, kendalikan-kuasai, jadikan bersifat global. (Indonesia lemah
dan sudah masuk dalam sistem global).
2.Pangan: hancurkan, kendalikan-kuasai. (Kita sudah mengalami ketergantungan
pada impor/asing).
3.Energi & Sumber Daya Alam: hancurkan, kendalikan-kuasai. (Ketergantungan
energi pada asing dan Sumber Daya Alam juga dikuasai modal asing).
4.Ekonomi: hancurkan-keterpurukan, kendalikan-kuasai, jadikan pasar bebas global.
(Sektor riil lemah dan secara umum perekonomian sudah masuk dalam pasar
bebas/global. Namun demikian sektor informal masih bisa jadi potensi besar
untuk kebangkitan nasional).
5.Logistik: hancurkan, ekonomi biaya tinggi, kuasai. (Ekonomi kita sekarang adalah
ekonomi biaya tinggi sehingga melemahkan daya saing nasional).
6.Sosial-budaya: sex bebas dan sex sejenis, gelorakan budaya
hidup yang hedonistis-individualistis, pragmatis-materialistis dan narsistis,
rusak dan hancurkan bangunan tata nilai keluarga-kebersamaan-gotongroyong,
rusak-hancurkan moral rakyat. (Sudah merebak di masyarakat). Bangun pola pikir,
ethos, tata nilai serta perilaku generasi muda dan Sumber Daya Manusianya, agar
mengikuti irama musik jiwa Kapitalisme Global. (Sudah mulai terasa hasilnya).
7.Agama & tradisi: hancurkan agama dan tradisi, ciptakan dan kembangkan aliran-aliran
sesat, kembangkan sekularisme, pendangkalan nilai-nilai moral-spiritual dan
deislamisasi di negara-negara mayoritas Islam (Gejalanya mulai terasa, semakin
hari semakin kuat).
8.Narkoba & minuman keras: sebarkan untuk merusak dan menghancurkan moral
serta fisik generasi mudanya. (Sudah membahayakan, masuk ke desa-desa dan ke
anak-anak sekolah).
9.Aset informasi & media massa: kuasai dan kendalikan sepenuhnya, baik soft ware, hardware, gelombang, sarana
dan prasarananya. (Media-media formal besar sudah dikuasa para pemodal yang
berafiliasi dengan asing dan atau go
public).
10.Ideologi: pendangkalan yang pada akhirnya semu dan sama,
yaitu kebebasan serta kepuasaan diri-individual, kembangkan multi partai. (Sudah
terasa, ideologi masyarakat adalah materi dan kekuasaan, demikian juga ideologi
partai-partai politik semu belaka).
11.Nasionalisme: lunturkan-dangkalkan, disintegrasi,
separatisme, pecahbelah, hancurkan militansi rakyat, ciptakan kesenjangan
sosial-ekonomi, suburkan konflik horizontal dan vertikal. (Gejalanya mulai dirasakan,
tapi potensi nasional masih cukup kuat untuk kebangkitan).
12.Politik & Hukum: rusak, hancurkan dan kuasai, jadikan prasarana
untuk mengundang globalisasi, adu domba elit politiknya, rusak moral Sumber
Daya Manusianya.(Sedang terjadi).
13.Teknologi: kuasai sepenuhnya, ciptakan ketergantungan, remote-control khususnya
nanotek-biotek-farmasi. (Indonesia sangat tergantung pada Asing).
14.Militer: pecah belah, buat sel-sel perlawanan rakyat (Melawan Pemerintah
Nasional), invasi militer dengan menciptakan status legal intervention, Pasukan Perdamaian. (Harus diwaspadai dan
diantisipasi).
15.Perang: ciptakan revolusi nasional, separatisme dan sel-sel perlawanan, perang
multinasional. (Harus diwaspadai dan
diantisipasi).
16.Persenjataan: kembangkan dan kuasai sepenuhnya persenjataan
yang berbasis nanoteknologi, biotek dan cuaca, ciptakan ketergantungan dan remote-control. (Sistem persenjataan
yang canggih khususnya pesawat tempur, tank, kapal perang dan komunikasi kita sangat
tergantung pada Asing. Padahal potensi produksi Dalam Negeri cukup besar).
17.Pasca Perang: rekonstruksi dan kendalikan Tata Dunia Baru. (Harus
diwaspadai dan diantisipasi).
Itulah
masalah-masalah vital dan strategis yang serius, yang sedang kita hadapi dewasa ini dan di masa
mendatang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi ketahanan nasional kita,
bahkan nasib serta masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Dengan
memahami permasalahan tersebut, kita bisa membangun mimpi kenegarawanan,
merumuskan visi bangsa dan negara di masa depan. Selanjutnya menjabarkannya
dalam misi sampai ke program dan targetnya. Tentang energi dan pangan misalkan,
tentu kita tidak semata-mata membangun ketahanan melainkan juga kemandirian,
yang masing-masing pendekatannya berbeda, termasuk bagaimana pengembangan
nanoteknologinya.
Demikian
pula masalah perbatasan dan kemaritiman, saya berharap ada keberanian untuk
mengubah total sudut pandang terhadap pulau-pulau terpencil dan terluar,
menjadi pulau-pulau di halaman depan rumah Indonesia, menjadikan Zone Ekonomi
Eksklusif sebagai pagar halaman, “pagar laut”, dalam kerangka strategi
pembangunan industri maritim dari sebuah negara maritim nan jaya sejahtera.
Sedangkan
daerah perbatasan darat yaitu Kalimantan, Papua dan Timor, harus dijadikan semacam “benteng perdikan”, modifikasi
dan pengembangan dari konsep daerah perdikan di masa kerajaan tempo dulu,
menjadi kawasan-kawasan pertumbuhan terpadu, baik secara ekonomi maupun Sumber
Daya Manusianya. Contoh lain lagi adalah misi membangun industri nasional
mengikuti pola pohon industri yang tumbuh subur di atas bumi Nusantara dengan
potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Manusianya, termasuk komponen, keunggulan dan kearifan-kearifan lokalnya.
Semula saya
berharap hal-hal itu akan dikupas dalam Debat Capres-Cawapres 2014. Namun
sampai seri Debat ke 3, saya belum melihatnya, kecuali beberapa program. Sementara
para pengamat nan cendekia, lebih sibuk mengulas retorika, gaya, gestur dan
aneka kemasan ala panggung hiburan. Semoga dengan tidak mengupasnya dalam
debat, tidak berarti para Capres-Cawapres termasuk para Tim Sukses dan Tim
Ahlinya, bukan belum memahaminya, melainkan karena desakan untuk membangun
citra demi merebut kemenangan. Syukur-syukur dalam seri debat yang masih
tersisa, bangsa Indonesia bisa melihat kepiawian mereka dalam memahami
masalah-masalah vital dan strategis bangsa, menguasai bagaimana cara mengatasi
serta membangun visi sekaligus muwujudkan visi-misinya tersebut.
Bila tidak?
Ya kita berdoa saja memohon ampunan dan pertolongan Gusti Allah Yang Maha
Kuasa.
Depok, 24
Juni 2014.