Ulama-Ulama Tasawuf
Mengislamkan Jawa
Bait 38 :
Ana peksi mangku bumi langit,
manuk iku endah warnanira,
sagara erob wastane,
uripe manuk iku,
amimbuhi ing jagad iki,
warnanipun sekawan,
sikile wawolu,
kulite iku sarengat,
getihipun tarekat ingkang sejati,
ototipun hakekat.
Artinya :
Ada burung memangku bumi langit,
burung itu indah rupanya,
bergelar laut pasang,
kehidupan burung tersebut,
melengkapi jagad raya,
memiliki empat warna,
berkaki delapan,
kulitnya adalah syariat,
darahnya tarekat sejati,
ototnya adalah hakikat.
Bait 39 :
Dagingipun makripat sejati,
cucukipun sejatining sadat,
eledan tokid wastane,
ana dene kang manuk,
pupusuhe supiyah nenggih,
amperune amarah,
mutmainah jantung,
luamah waduke ika,
manuk iku anyawa papat winilis,
nenggih manuk punika.
Artinya :
Dagingnya makrifat sejati,
sesungguhnya paruhnya adalah
syahadat,
lidahnya disebut tauhid,
ada pun sang burung,
berhati nafsu supiyah,
empedunya nafsu amarah,
jantungnya mutmainah,
perutnya aluamah,
burung itu bernyawa empat,
demikianlah perihal burung tersebut.
Bait 40 :
Uninipun Jabaril singgih,
socanipun puniku kumala,
anetra wulan srengenge,
napas nurani iku,
grananipun tursina nenggih,
angaub soring aras,
karna kalihipun,
ing gunung arpat punika,
uluwiyah ing lohkalam wastaneki,
ing gunung manikmaya.
Artinya :
Wahyu yang disampaikan malaikat
Jibril,
matanya berkilauan,
bermata rembulan dan mentari,
nafasnya itu nurani,
berhidung bukit tursina,
bernaung dalam sentuhan kelembutan,
telinganya dua,
berada di gunung arafah,
uluhiyyah di dalam kitab lauh
mahfuzh qalam,
di gunung manikmaya.
Benang merah kandungan isi Kidung
Kawedar ini, secara jelas menunjukkan sebagai kidung dakwah mengenai agama
Islam, dan lebih khusus lagi tentang tasawuf. Oleh karena itu dalam memahaminya
kita harus berpedoman pada Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas atau kesepakatan
serta penjelasan para ulama, agar kita tidak menjadi bingung dan kemudian
tersesat.
Kecuali itu, mengingat dakwah Islam
di pulau Jawa juga dilakukan secara menyusup dan melapisi agama serta
kepercayaan yang sudah lebih dulu ada selapis demi selapis, maka kita pun harus
memahami situasi, agama, kepercayaan serta adat istiadat yang berlaku pada saat
itu. Hal seperti ini juga dilakukan oleh para penafsir Al Qur’an dan hadis.
Mereka pun harus memahami latar belakang mengapa sesuatu ayat dan sesuatu hadis
diturunkan.
Dengan memahami latar belakang
keadaan yang meliputi berbagai aspek tersebut, kita akan bisa mengetahui apa
saja yang merupakan substansi atau pokok ajaran dan apa saja yang sekedar
merupakan ilustrasi, mana yang merupakan selubung sementara, mana yang disusupi
bahkan mana yang dimanfaatkan. Semua itu muncul pada bait 38 sampai dengan 40
ini, sehingga apabila tidak cermat dalam memilah-milah, kita bisa bingung
sendiri. Sementara itu kandungan pokok ajarannya juga terbilang banyak, saling
isi saling silang dalam tiga bait.
Secara umum, mula-mula agama Islam
diibaratkan sebagai burung yang memangku bumi dan langit, kemudian anatomi
burung tersebut diuraikan dan masing-masing diberi padanan hal-hal yang perlu
dipahami di dalam Islam terutama yang berkaitan dengan ilmu tasawuf.
Selanjutnya diberi ilustrasi dari gambaran alam raya serta tapak-tapak sejarah
dan alam di kawasan Timur Tengah yaitu bukit Tursina dan gunung Arafah, dipadu
dengan kiasan alam dari legenda wayang khas Jawa yakni gunung Manikmaya.
Pokok-pokok ajaran yang dikemukakan
dalam ketiga bait ini ialah empat warna dan delapan kaki dalam Islam, syariat,
tarekat, hakikat, makrifat, syahadat, tauhid serta empat macam nafsu yaitu supiyah,
amarah, mutmainah dan aluamah. Kemudian ada empat nyawa dan tauhid uluhiyyah. Begitu
pula halnya dengan bukit Tursina atau bukit Sinai yang disebut dalam Surat At
Tiin, dan gunung Arafah dengan padang Arafahnya yang menjadi pusat area dari
puncak ibadah haji. Sungguh merupakan tiga bait nan sarat makna.
Istilah empat warna dan delapan kaki
dalam Islam, sesungguhnya tidak lazim. Selama ini yang kita kenal dan wajib
kita pahami adalah Lima Rukun Islam dan
Enam Rukun Iman. Rukun Islam terdiri dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan
haji bagi yang mampu. Sedangkan rukun iman yaitu percaya kepada Allah swt,
percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab-kitabNya, percaya pada
rasul-rasul, percaya pada hari kiamat dan percaya pada qada dan qadar, yaitu
takdir baik dan buruk.
Kesulitan dalam memahami tamzil-tamzil
Kidung Kawedar adalah karena tidak ada catatan-catatan tertulis lain pada
masanya, terutama yang menjelaskan tentang tamzil tersebut. Memang di
masyarakat dijumpai beberapa penafsiran, namun jika kita harus menggunakan
rujukan Al Qur’an, hadis, ijma dan qiyas, maka kita harus berani menyatakan
bahwa beberapa penafsiran yang ada tidak diketemukan acuannya.
Mengenai pemahaman empat warna
ataulah empat hal penting, penafsir mencoba mencari dari berbagai ajaran
tasawuf, hal-hal apa yang diuraikan yang terdiri atas empat hal. Secara umum
para ulama tasawuf menyebutkan ada empat kaidah utama dalam tauhid atau keesaan
Allah yaitu: Pertama, mengakui Allah
swt. sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Kedua, berdoa dan menggantungkan segala urusan hanya kepada Allah. Ketiga, mengakui Nabi Muhammad sebagai
Rasulullah. Keempat, senantiasa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Empat hal penting lain diuraikan
oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Tauhidullah
perihal rukun akidah yaitu: (1) Dzat Allah. (2).Sifat Allah. (3). Perbuatan
Allah. (4).Firman-firman Rasulullah saw.
Sementara itu dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Al Ghazali menekankan
empat keharusan manusia yakni: (1). Harus mempunyai ilmu yang bermanfaat. (2).
Harus mempunyai amal. (3). Harus mempunyai ikhlas. (4) Harus mempunyai khouf. Sebagai contoh, hendaknya setiap
manusia memiliki ilmu yang berguna. Ilmu itu harus diamalkan demi kemaslahatan
sesamanya yang dilakukan secara ikhlas, disertai perasaan takut dan
berhati-hati, namun penuh harap agar ilmu yang diamalkan itu bisa diterima
sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Kenapa harus dengan khouf, rasa takut dan
berhati-hati? Rasa takut dan dan berhati-hati itu diperlukan agar kita tidak
gegabah, tidak ujub dan riya dalam kehidupan termasuk dalam beramal.
Perihal delapan kaki juga tidak
ditemukan secara khusus. Tetapi apabila kita mencoba memahami makna kaki
sebagai anggota tubuh untuk berpijak dan berjalan di bumi, kita bisa
menyimpulkan tamzil tersebut sebagai bukti tindakan dan amalan.
Hal pokok dalam dalam Islam adalah
iman atau keyakinan. Di dalam Al Qur’an, pada umumnya kata iman tidak
disebutkan berdiri sendiri, melainkan dirangkaikan dengan amal saleh. Sebagai
contoh Surat An Nuur ayat 55, “Allah
telah berfirman menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh
di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka sebagai pemimpin di muka
bumi…….”.
Iman kepada Allah swt. dan amal
saleh, keduanya nampak berbeda tapi sesungguhnya satu. Buya Hamka dalam Tafsir
Al Azhar mengemukakan, iman bagaikan pelita yang memberi cahaya dalam hati,
menyinar cahaya itu keluar dan dapatlah petunjuk, sehingga nyatalah apa yang
dikerjakan, yaitu amal saleh.
Perkara iman itu yang tahu hanya
diri kita dengan Allah. Tapi bila iman direkatkan dengan amal saleh, maka iman
itu membumi dan menjadi perbuatan yang bermanfaat lagi disenangi banyak orang.
Sementara itu banyak orang beramal, tapi tidak timbul dari iman. Maka
bercampuraduklah yang haq dengan yang batil. Namun bila iman dan amal saleh
bersatu padu, amal saleh timbul dari iman, dan iman menimbulkan amal saleh,
maka kepada orang yang memiliki kedua hal itu, Gusti Allah menjanjikan akan
memberikan warisan kekuasaan di permukaan bumi. Kendali bumi akan diserahkan ke
tangan mereka, sebagaimana Surat An Nuur di atas.
Berdasarkan pemahaman mengenai iman
dan amal saleh itu, penafsir berpendapat yang dimaksud dengan delapan kaki
adalah perwujudan keimanan dalam bentuk perbuatan, yang berpedoman pada Al
Qur’an dan hadis. Pedoman itu selama ini bisa kita temukan dalam berbagai kitab
kumpulan hadis dan kitab fikih, yang bila kita kelompokkan terdiri dari delapan
bagian. Pertama, masalah keimanan itu
sendiri. Kedua, ketaatan dalam
menjalankan perintah Allah dan Rasulullah termasuk meneladani perilakunya. Ketiga, shalat, doa dan zikir. Keempat, puasa. Kelima, zakat. Keenam,
haji. Ketujuh, hukum-hukum dan
aturan. Kedelapan, adab dan pergaulan
bermasyarakat.
Angka empat kembali kita temukan
pada bait 39 yang menyebutkan burung tersebut memiliki empat nyawa. Mungkinkah
ini sebagaimana yang dimaksud oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien,
yang juga diakui oleh sejumlah ulama lain, yaitu empat komponen penting yang
mempengaruhi kehidupan manusia yang terdiri dari ruh, nafsu, kalbu dan akal.
Tentu kita tidak dapat memperoleh
kepastian karena sudah tidak bisa bertanya langsung kepada sang penggubah,
Sunan Kalijaga. Kita hanya bisa mencoba memaknainya dengan mencari rujukan yang
sesuai, dan selanjutnya waallahualam, hanya Gusti Allah Yang Maha Tahulah yang
mengetahui kebenarannya.
Dari memahami bait demi bait Kidung
Kawedar dan berbagai suluk dakwah yang ada, kita bisa mengetahui dalam
berdakwah para Wali tidak langsung mengajarkan ibadah mahdah seperti shalat,
puasa dan haji, melainkan memperkenalkan serta mengajarkan terlebih dulu
sejarah para nabi, malaikat dan olah batin yang biasa dilakukan oleh para
penganut tasawuf. Bahkan syahadat dan tauhid juga baru disinggung setelah syariat,
tarekat, hakikat dan makrifat. Tak pelak lagi, jejak langkah dan
tonggak-tonggak penyebaran agama Islam di pulau Jawa, nampak jelas menunjukkan
jejak langkah para ulama tasawuf.
Syahadat dan tauhid di dalam Islam adalah dua ungkapan yang
menyatu. Syahadat berasal dari kata syahida atau persaksian, sedangkan tauhid
adalah pengakuan keyakinan akan keesaan Tuhan dengan segala kekuasaan dan
sifatnya. Seseorang sudah boleh disebut atau diberi label Islam, apabila sudah mengakui,
dalam bahasa umum mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu syahadat tauhid yang
berbunyi: “Asyhadu al-laa ilaaha
illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah)”, serta
syahadat rasul: “wa asyhadu anna
Muhammadar rasuulullaah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul atau
utusan Allah)”.
Namun demikian, jika diibaratkan
kehidupan sekarang ini, pengucapan syahadat itu bagaikan bendera dari sesuatu
kapal. Di dalam dunia pelayaran, kita menjumpai banyak kapal-kapal dagang antar
benua yang menggunakan bendera negara-negara Amerika Latin dan Afrika Barat,
misalkan Liberia. Ini berarti status hukum kepemilikan kapal tersebut adalah
mengikuti hukum negara Liberia. Apakah pemilik yang sesungguhnya terutama para
awak kapalnya adalah bangsa Liberia? Belum tentu. Begitu pula orang yang sudah
mengucapkan dua kalimah syahadat, belum otomatis perilaku serta iman dan amal
salehnya sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh sebab itulah, seseorang yang sudah
meneguhkan keimanannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, harus pula
menindaklanjuti dengan melaksanakan rukun iman dan rukun islam lainya, beserta
berbagai perbuatan dan amal saleh yang diajarkan di dalam Al Qur’an dan hadis
Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Mengenai kalimat uluhiyah di dalam
kitab lauh mahfuzh qalam yang merupakan baris kesembilan, selama ini Islam
meyakini tiga jenis tauhid, yaitu tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah (dalam bait 39 disebut uluwiyah) dan tauhid asma’
wash-shifat. Tauhid rububiyah adalah meyakini kekuasaan Allah dalam
menciptakan serta mengatur alam semesta dan dunia akhirat. Tauhid uluhiyyah
mengakui Allah sebagai sesembahan yang harus senantiasa dipatuhi, sedangkan tahud
asma’ wash-shifat meyakini berbagai nama dan sifat Allah yang mulia.
Pokok bahasan lain yang cukup
penting dalam bait 39 adalah empat macam nafsu yang ditamzilkan sebagai bagian
dalam tubuh. Empat nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu: (1) Nafsu
supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan
akan menyesatkan jalan hidup kita. (2). Nafsu amarah yang berkaitan dengan
emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan
manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah,
yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4). Nafsu mutmainah, yaitu
nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan, yang membawa sang pemilik menjadi
berjiwa tenang, ridho dan tawakal.
Bait 38 yang menyebut masalah syariat,
tarekat, hakikat dan makrifat, sangat menarik dan merupakan pokok bahasan ilmu
tasawuf. Pelajaran tasawuf banyak pula diungkapkan dalam suluk-suluk lain.
Bahkan guru Sunan Kalijaga yaitu Sunan Bonang, menggubah sejumlah suluk yang
secara gamblang mengajarkan tasawuf.
Makna tasawuf adalah jalan untuk
mendekatkan diri kepada Gusti Allah dengan tiga inti ajaran pokok yakni bulat
hati kepada Allah, tekun ibadah dan berpaling dari godaan pesona dunia atau
tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Sedangkan suluk juga berarti cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah swt.
mengikuti tuntunan jalan tasawuf.
Salah satu suluk Sunan Bonang yang terkenal
dan kental ajaran tasawufnya adalah Suluk
Wujil, sebagaimana contoh tiga bait berikut:
Oleh karena itu, Wujil, kenali
dirimu
kenali dirimu yang sejati
ingkari benda
agar nafsumu tidur terlena
dia yang mengenal diri
nafsunya akan terkendali
dan terlindungi dari jalan
sesat dan kebingungan
kenal diri tahu kelemahan diri
selalu awas terhadap tindak
tanduknya (bait 22).
Bila kau mengenal dirimu
kau akan mengenal Tuhanmu
orang yang mengenal Tuhan
bicara tidak sembarangan
ada yang menempuh jalan panjang
dan penuh kesukaran
sebelum akhirnya menemukan dirinya
dia tak pernah membiarkan dirinya
sesat di jalan kesalahan
jalan yang ditempuhnya benar (bait
23).
Orang berilmu
beribadah tanpa kenal waktu
seluruh gerak hidupnya
ialah beribadah
diamnya bicaranya
dan tindak tanduknya
malahan getaran bulu roma tubuhnya
seluruh anggota badannya
digerakkan untuk beribadah
inilah kemauan murni (bait 39).
Bait-bait
tersebut memang tidak secara khusus menyebut kata tasawuf, tapi kandungan
maknanya, merupakan salah satu pokok bahasan sekaligus amalan tasawuf.
Pokok
bahasan tasawuf kecuali dituangkan dalam Suluk
Wujil, oleh Mpu Syiwamurti yang kemudian disempurnakan oleh Sunan Bonang,
juga diungkapkan dalam Serat Dewaruci. Serat atau Kitab Suluk selanjutnya yang juga
membahas tasawuf, banyak ditulis pada masa keemasan budaya sastra Mataram –
Surakarta misalkan Ngelmu Mistik Terapan
dan Serat Wulangreh oleh Raja Pakubuwana IV (1768 – 1820), Serat Centini oleh Pakubuwana V (1785 –
1823), Hidayat Jati oleh
Ranggawarsita (1802 – 1873), Serat
Wedhatama oleh Mangkunegara IV (1809 – 1881) dan Suluk Ling-Lung oleh Iman Anom (1884).
Dalam
buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di
Lorong Kehidupan (halaman 118 – 122) penafsir telah membahas masalah tasawuf
dengan syariat, tarekat, hakikat dan makrifatnya, terutama yang banyak dianut
oleh masyarakat Jawa. Serat Centini misalkan,
mengajarkan penghayatan batin dalam senantiasa
mengingat Allah yang disebut sebagai shalat daim. Hal itu diajarkan oleh Syeh
Amongraga kepada isterinya Niken Tambangraras, yakni dengan jalan melakukan zikir
khususnya zikir kalbu yang tiada putus, secara terus-menerus mengingat Gusti
Allah menyertai tarikan nafas, dan dilatih sesuai kata hati.
Dengan
shalat daim maka seluruh kehidupan kita mulai dari kalbu, pikiran sampai dengan
perbuatan akan selalu mengingat Gusti Allah dengan semua sifat, kebesaran,
kemuliaan, kekuasaan, perintah dan larangan-Nya. Bagi orang yang sudah bisa
mengamalkan shalat daim, segenap pikiran dan perbuatannya akan selalu diniatkan
sebagai bekal ibadah serta dilaksanakan sesuai dengan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Contoh yang sederhana adalah makan, yang diniatkan sebagai
ibadah, yaitu agar badan sehat dan kuat, selanjutnya dengan kesehatan dan
kekuatannya ia berkarya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Karena
diniatkan sebagai ibadah, maka cara memperoleh rejeki dan makanan, jenis
makanan dan cara berkaryanya pun harus mengikuti aturan-aturan yang sudah
digariskan Allah swt. dan Rasulullah saw.
Shalat
dalam bahasa Jawa adalah sembahyang, dari asal kata menyembah Hyang atau Tuhan. Serat Wedhatama bait 48 sampai dengan
72 membagi sembahyang dalam empat
tingkat. Pertama sembah raga. Kedua sembah cipta atau sembah kalbu. Ketiga sembah jiwa dan keempat sembah rahsa.
Sembah
raga merupakan langkah awal dari keseluruhan tingkatan sembahyang. Ibarat
jenjang kepegawaian ia masih dalam tingkat magang, dengan tujuan melatih
mendekatkan diri ke Gusti Allah. Sembah raga bersuci dengan air dan
melaksanakan shalat lima waktu. Sembah raga juga dapat diartikan ibadah kepada
Gusti Allah secara fisik dan lahiriah, secara tampak mata, secara syariat.
Sembah
cipta atau sembah kalbu adalah ibadah batin yang jauh lebih sulit dibanding
ibadah lahir. Orang baru dapat dikatakan bisa melakukan sembah cipta jika
kalbunya suci. Ia senantiasa ikhlas, rendah hati dan tidak sombong, tidak minta
dipuji serta dihormati pengikut-pengikutnya. Tidak ujub dan riya. Agar dapat
melakukan sembah cipta, kita harus dapat mengendalikan hawa nafsu. Karena
bersifat batin, maka cara bersucinya tidak dengan air, melainkan dengan hasrat
yang luhur. Orang yang sudah bisa melaksanakan sembah kalbu akan dapat melihat sajatining
urip, makna kehidupan yang sesungguhnya, sebagaimana yang digariskan Gusti
Allah. Dengan demikian selanjutnya akan dapat menemukan jalan atau tarekat
menuju dan menyatu dengan kehendak Pangeran Yang Maha Agung.
Sembah
yang ketiga yaitu sembah jiwa adalah hakikat dari segala macam sembahyang.
Tidak semua orang mampu melakukan ini. Orang yang dapat melaksanakan sembahyang
ketiga ini, jiwanya senantiasa mampu mengendalikan raga, cipta atau kalbu dan
hasrat atau karsanya. Agar dapat mengendalikan, maka jiwa yang bersangkutan
harus suci bersih dan selalu eling, berzikir baik batin, lisan maupun perbuatan
pikiran dan jasmaninya. Semuanya senantiasa tertuju kepada Tuhan. Ia tidak
menuntut dan membutuhkan apa-apa bagi dirinya sendiri, karena sudah merasa
cukup puas dengan segala dan apa pun yang telah dikaruniakan Gusti Allah
kepadanya. Ia malu untuk meminta
sesuatu bagi dirinya sendiri kecuali ridho Allah.
Akan
halnya sembah rahsa atau makrifat, merupakan penyembahan dari inti rasa sejati,
yaitu rasa batin yang tak berwujud, yang hanya dapat kita lakukan bila kita
sudah sungguh-sungguh mengenal dan menyatu dengan kehendak Allah. Inti rasa
sejati itu sama dengan atma atau juga inti dari jiwa. Karena jiwanya sudah suci
maka tidak ada lagi tirai yang menghalangi antara inti jiwa dengan Gusti Allah
Yang Maha Agung.
Sembah
raga itu sama dengan tingkatan syariat. Sembah cipta adalah tarekat. Sembah
jiwa itu hakikat, sedangkan sembah rahsa adalah makrifat. Namun ada sebagian
orang yang menyederhanakan menjadi: “Orang harus bisa mengolah dan
mengendalikan cipta, rasa dan karsa, sementara raga tidak terlalu penting
lagi.” Kemudian ada yang karena sudah merasa mencapai tingkat makrifat, maka
syariat ditinggalkan. Padahal para ahli tasawuf telah mengibaratkan, syariat
yang berisi hukum-hukum peribadatan adalah kapal atau kendaraan. Kapal ini
tidak berarti apa-apa jika ia berada di daratan. Tetapi begitu berada di
lautan, di atas air laut, ia bisa berlayar sehingga menjadi memiliki makna.
Itulah tarekat. Meskipun demikian, apa
guna sebuah kapal dengan lautannya bila tak ada tujuan yang hendak dicapai.
Tujuan itu adalah mutiara kehidupan atau hakikat. Di lain pihak, bagaimana
mungkin kita mencapai tujuan atau makrifat jika tanpa kendaraan dan jalan untuk
mencapainya. Apa pula artinya cipta, rasa dan karsa apabila tiada raga yang
mewadahinya. Semuanya saling terkait, memerlukan serta melengkapi satu sama
lain, dan tidak boleh ada yang ditinggalkan atau pun diabaikan.
Itulah
wahai para sahabat, tamzil dan uraian singkat mengenai syariat, tarekat,
hakikat dan makrifat. Semoga kita bisa menghayati serta mengamalkannya.
Alhamdulillaah,
Allaahumma aamiin.