Orang Indonesia
siapakah yang tidak mengenal nama Gajah Mada? Dari semenjak Sekolah Dasar, nama
Mahapatih Gajah Mada sudah masuk dalam pelajaran sejarah yang harus dihafal dan
dipahami. Di Yogyakarta diabadikan menjadi nama Universitas yang merupakan
salah satu universitas unggulan Indonesia. Di Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia kejuangannya diabadikan dalam patung (tapi ada yang berpendapat
dengan wajah salah seorang tokoh kepolisian), sedangkan di korps Polisi Militer
Angkatan Darat, dijadikan lambang kebanggaan. Sementara itu sumpah ”Palapa”
yang dicanangkannya, diabadikan menjadi nama satelit yang mempersatukan
komunikasi se Nusantara.
Ada pun keberadaan
makamnya diklaim oleh lima masyarakat di berbagai daerah, antara lain di Situs Wadu Nocu di
Desa Padende, Donggo, Bima, Nusa Tenggara Barat. Menurut keyakinan
masyarakat setempat, Wadu Nocu adalah makam Gajah Mada. Keyakinan ini
diungkapkan secara turun temurun oleh penjaga makam tersebut. (http://daerah.sindonews.com/read/1041185/29/misteri-lima-makam-gajah-mada-1441483605).
Di
Selaparang, Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga terdapat makam yang
dipercayai sebagai makam Gajah Mada. Makam tersebut dapat ditempuh perjalanan 2
(dua) jam dari Mataram. Bentuk makam seperti sumur bundar dengan susunan batu
sungai berukuran sedang yang tertata rapi tanpa tulisan apa pun.
Masyarakat Tuban, Jawa Timur pun menyakini jika Gajah Mada dimakamkan di daerah
mereka tepatnya di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Makam
tersebut dikenal dengan nama Makam Barat Ketiga. Barat Ketiga merupakan istilah
dari bahasa Jawa yang jika dialihbahasakan berarti angin kemarau.
Di Provinsi Lampung juga ada makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan
yang terakhir bagi Patih Gajah Mada. Makam itu terletak di Pugung Tampak,
Kabupaten Liwa, Provinsi Lampung. Konon dahulu kala Kapal yang ditumpangi Patih
Gajah Mada tenggelam di Perairan Pugung, setelah tiba di Pugung Patih Gajah
Mada jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Pekon Pugung. Keyakinan
itu dikuatkan dengan adanya pusara makam serta peninggalan berupa keris,
mahkota, pedang, tombak, ikat pinggang, ikat kepala, dan peninggalan lainnya. Sejak
dulu, tempat yang diyakini sebagai lokasi makam Gajah Mada itu hanya berupa
gundukan tanah merah.
Baru pada 1981 dibangun pagar keliling. Setelah itu diperbaiki kembali dengan
membuat lantai di sekitar lokasi makam pada 2010.
Di Buton, awal tahun 1974 penulis pernah berkunjung dan menjumpai masyarakat
yang meyakini sebagai keturunan pasukan Gajah Mada. Mereka memiliki lagu-lagu
pujian yang mengagungkan nama Gajah Mada dan Majapahit serta menghormati
bendera merah putih yang warnanya dibuat dari kulit tumbuh-tumbuhan. Mereka
adalah warga pesisir pantai antara Pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora,
tepatnya di Kampung Mada, Desa Matiri, Batauga, Kepulauan Wangi-wangi, Buton,
Sulawesi Tenggara.
Hal ini dibuktikan dengan adanya batu prasasti yang dinamakan Batu Mada. Konon
Gajah Mada yang memiliki banyak kesaktian memilih salah satu gua di wilayah
Togo Moori untuk bertapa. Di gua daratan Pulau Karang Wangiwangi yang
bersambung ke laut lepas inilah konon Patih Gajah Mada moksa (menghilang dalam
arti masuk surga dengan segenap jiwa raganya) saat semadi.
Mahapatih
dari abad XIV yang terkenal karena
Sumpah Palapanya demi menyatukan Nusantara ini banyak dikenang dan dimuliakan
oleh banyak ahli sejarah, kecuali oleh tiga kitab yang tidak jelas pengarangnya
dan sangat lemah kesahihannya. Dua kitab diantaranya adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (lebih pendek), yang konon ditemukan di Bali pada
tahun 1920-an. Kitab yang ketiga adalah Pararaton.
Baik
Kidung Sunda dan Sundayana maupun Pararaton mengisahkan perang yang tidak layak antara
rombongan dari kerajaan Sunda di daerah Bubat dengan pasukan Majapahit atas
perintah Gajah Mada, yang terjadi pada tahun 1357 M. Ketiga kitab tersebut
tidak ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi sebagaimana lazimnya kitab dan
prasasti sebelum abad XV, melainkan
dalam bahasa Jawa Madya atau Pertengahan yang mulai digunakan pada abad XVI
bahkan XVII. Kejanggalan lain dari ketiga kitab tersebut adalah naskah asli
tidak diketahui, demikian pula tidak ada nama penulisnya. Khusus untuk Pararaton
bahkan konon baru selesai ditulis pada 3 Agustus 1613 M, pada awal masa pemerintahan
Sultan Agung yang sangat dibenci Belanda, atau jangan-jangan bahkan baru pada
awal abad ke 20. Ini berarti baru ditulis 4 abad atau bisa jadi 7 abad
kemudian, dan tanpa dukungan fakta-fakta sejarah.
Sungguh
sangat memprihatinkan, selama ini para ahli sejarah hanya menggunakan versi salinan
dan bahkan pada umumnya hanya terjemahan, dan percaya begitu saja hanya dengan
alasan itu hasil penemuan Belanda. Padahal di masa lalu, sebagai contoh kitab Kakawin Arjunawiwaha yang ditulis jauh
sebelumnya, yaitu tahun 1030 M pada masa pemerintahan Raja Airlangga oleh Mpu Kanwa, berbahasa Jawa Kuno. Juga
kitab Negarakartagama atau Kakawin
Desawarnana yang menceritakan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Majapahit),
ditulis dalam bahsa Jawa Kuno dengan tahun serta nama pengarang yang jelas
yaitu Mpu Prapanca atau Dang Acarya
Nadendra pada tahun 1365 M, dan ada naskah aslinya.
Di
samping kejanggalan-kejanggalan tersebut, juga masih terdapat lagi sejumlah
kejanggalan dan ketidakcocokan terutama dengan Kitab Negarakertagama dan Kutara
Manawadharmasastra (Undang-Undang Majapahit) yang sangat rapi, tegas dan keras.
Demikian pula jika menilik tiada legenda atau pun cerita rakyat yang
mengisahkan perang besar di suatu desa di Jawa Timur tersebut. Jika betul-betul
ada bisa dibayangkan betapa dahsyat tragedi pertempuran, mengingat rombongan
dari Pasundan disebut datang dengan menggunakan sekitar 2000 kapal. Suatu kisah
kecil saja bagi masyarakat Jawa tempo dulu, sudah bisa menjadi legenda atau
cerita rakyat yang menandai atau kemudian diabadikan menjadi nama sesuatu
tempat. Padahal perang antara pasukan Pajajaran dan Majapahit yang disebutkan
dalam Pararaton dan Kidung Sunda tersebut melibatkan ribuan orang.
Sayang
sekali baik para ahli sejarah Indonesia dan lebih-lebih Pemerintah, sampai
sekarang belum tergerak untuk melakukan penelitian dan kajian yang mendalam
terhadap ketiga kitab tersebut, serta membiarkan menjadi bahan olok-olok,
penghinaan dan sentimen kesukuan.
Karena
itu berdasarkan data-data sementara yang ada, pada hemat penulis ketiga kitab
tadi bukan tidak mungkin sengaja dibuat oleh Belanda, pertama demi mengadudomba
dan memecah belah orang Jawa dengan orang Sunda. Tujuan kedua khususnya melalui
Pararaton, adalah untuk menghina para bangsawan Jawa terutama keluarga kerajaan
Mataram termasuk Sultan Agung, dengan menyatakan sebagai keturunan Ken Arok yang rekam jejak sejarahnya jelek, yang kelicikannya
melebihi Machiavelli, yang mengakibatkan terjadinya “kutukan Mpu Gandring.”
Sementara itu belum ada bukti dan fakta sejarah yang mendukung kebenaran kisah
Pararaton (dan juga Kidung Sunda) tersebut.
Tapi
biarlah itu menjadi tanggungjawab para ahli dan Pemerintah untuk mencari
kebenaran sejarah. Kita kembali pada kebesaran nama Gajah Mada di sisi lain
(lepas dari kekurangannya seandainya kelak ketiga kitab di atas memang benar).
Sebagai anak bangsa, kita baru sekedar mengabadikan abu atau arang dari sesuatu
peristiwa pembakaran, dan belum sampai pada melestarikan nyala api atau
semangat juangnya.
Rakawi
Prapanca dalam kitab Negarakartagama, merumuskan semangat tersebut ke dalam 15
sifat atau kiat kepemimpinan Gajah Mada yang menghantarkannya menjadi Mahapatih
besar ((Gajah Mada, Muhammad Yamin,
Penerbit Balai Pustaka, cetakan VII – 1972, halaman 90 – 94).
Pertama,
Gajah Mada itu wijnya, artinya mampu melihat jauh ke depan dan bijaksana
penuh hikmah dalam menghadapi berbagai macam kesukaran, sehingga akhirnya
selalu berhasil menciptakan ketenteraman.
Kedua,
mantriwira, artinya pembela negara yang berani tiada tara.
Ketiga,
wicaksaneng naya, bijaksana penuh perhitungan yang senantiasa
terpancar dalam setiap tindakan, baik ketika menghadapi lawan maupun
kawan, bangsawan atau pun rakyat jelata.
Keempat,
matanggwan, memperoleh kepercayaan
karena rasa tanggungjawabnya yang besar sekali dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya.
Kelima,
satya bhakti aprabhu, setia dengan hati yang tulus kepada
negara dan Raja. Selama empatpuluh lima tahun ia setia mengabdi. Padahal jika
mau, dengan sedikit tenaga saja ia sudah bisa merebut mahkota dan menduduki
singgasana. Setia bakti telah mendarah daging
dalam hidupnya, sehingga segenap pikiran dan tenaganya ditumpahkan buat
mewujudkan Majapahit dan mempersatukan Nusantara, diabdikan kepada tiga raja berturut-turut
sejak 1319 sampai ajalnya tiba tahun 1364.
Keenam,
wagmi wak, pandai berbicara dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan
sesuatu.
Ketujuh,
sarjjawo pasama, rendah hati, berbudi pekerti luhur, berhati emas, bermuka manis dan
penyabar. Sifat ini pada umumnya hanya ditemukan pada ahli politik serta
diplomat ulung.
Kedelapan,
dhirotsaha, artinya terus-menerus
bekerja rajin dan sungguh-sungguh.
Kesembilan, tan lalana, selalu nampak gembira walaupun pedalamannya sedang gundah atau pun
terluka.
Kesepuluh,
diwyacitta, mau mendengarkan pendapat orang lain dan bermusyawarah.
Kesebelas,
tan satrisna, yaitu tidak mempunyai pamrih pribadi untuk
menikmati kesenangan yang berisi girang dan birahi.
Keduabelas,
sih-samastabhuwana, menyayangi sesamanya yang ada di dunia,
sesuai atau dalam konteks falsafah hidup bahwa segala yang ada di dunia ini adalah
fana dan bersifat sementara. Karena itu kehidupan dunia harus dijaga demi
kehidupan abadi.
Ketigabelas,
ginong pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang
buruk. Setiap saat Gajah Mada mawas diri apakah sudah mengutamakan ginong pratidina.
Ini sejalan dengan amar ma’ruf nahi munkar di dalam Islam, mengerjakan kebaikan
dan menjauhi kemungkaran.
Keempatbelas,
sumantri, menjadi pegawai kerajaan
(pegawa negeri) yang senonoh dan
sempurna kelakuannya. Gajah Mada
mengabdi kerajaan selama 45 tahun, 33 tahun di antaranya menjabat
pangkat Patih Mangkubumi dan Perdana Menteri. Selama itu pula ia terpuji
sebagai pegawai yang berjasa dan selalu berkelakuan baik.
Kelimabelas
atau yang terakhir, anayaken musuh, bertindak tegas memusnahkan musuh negara. Ia
selalu menjalankan politik kasih sayang kepada siapa pun yang setia kepada
negara, namun tak pernah gentar dan ragu dalam mengambil tindakan membasmi
musuh-musuh negara (kerajaan), termasuk tak gentar menewaskan lawan. Kebesaran
Majapahit ditegakkan atas dasar perdamaian, dan tak takut menumpahkan darah
dalam membelanya.
Sahabatku,
demikianlah iktibar atau pelajaran yang dapat kita petik dari kepemimpinan
Gajah Mada, peletak dasar kebesaran Nusantara II. Sebagai manusia tentu tidak
luput dari kekurangan dan kesalahan. Marilah kita pandai-pandai memiliahnya.
Semoga. Berikutnya: AJARAN KEPEMIMPINAN
RAJA-RAJA MATARAM .