Abad ke 19 atau
periode tahun 1800an adalah puncak produktivitas dan kemashuran karya-karya
sastra Jawa, khususnya yang berasal dari lingkungan keraton-keraton Mataram II
yang meliputi Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten
Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Dari seorang pujangga saja misalkan Raden
Ngabehi Ronggo Warsito, tercatat paling sedikit ada 27 (dua puluh tujuh) serat
atau kitab, di antaranya yang paling populer dan sering dikutip orang sampai
sekarang adalah Serat Kalatidha yang
menguraikan tentang Zaman Edan. Satu lagi karyanya yang menjadi rujukan aliran
Islam Kejawen yaitu Serat Wirid Hidayat
Jati.
Selain Ronggo
Warsito, pada abad ini juga muncul sejumlah pujangga lain yang menghasilkan
karya-karya monumental misalkan Serat
Nitimani yang ditulis selama lima tahun (1883 – 18888) oleh Aryosugodo,
yang kemudian menjadi rujukan utama kitab-kitab lain yang menulis tentang
hubungan seks. Di Kesultanan Yogyakarta, Patih atau Perdana Menteri Kanjeng
Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat, juga menulis kitab induk Primbon Jawa, yang terus menjadi rujukan
dari berbagai kitab primbon sampai sekarang.
Tetapi keahlian
menuangkan buah pikiran ke dalam karya tulis ternyata bukan hanya pada para
pujangga biasa, melainkan juga pada tiga orang raja. Yang pertama adalah Raja
Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono IV (1768 – 1820) yang menulis kitab Wulangreh (Ajaran Tentang Perilaku).
Kedua, Susuhunan
Paku Buwono V (1785 – 1823) yang menghasilkan Serat atau Kitab Centhini, yang oleh para ahli kebudayaan
dianggap sebagai ensiklopedi Jawa. Centhini
ditulis oleh sebuah tim yang langsung dipimpin oleh Adipati Anom, yaitu
gelar sebelum naik tahta menjadi Sinuhun Pakubuwono V. Ensiklopedi yang ditulis
selama lima tahun (1809 – 1814) itu, dikemas atau sesungguhnya berupa novel
percintaan dengan latar belakang suasana kehidupan pada masa kekuasaan Sultan
Agung tahun 1613 – 1645. Hampir semua tata nilai dan pernik kehidupan, dituangkan
secara indah menawan oleh Centhini,
mulai dari tasawuf, kuliner, arsitektur, obat-obatan bahkan perilaku seks binal
lagi liar. Baik Paku Buwono IV maupun Paku Buwono V, adalah pemeluk Islam yang
taat, sangat dekat dengan para ulama dan oleh masyarakat dianggap sakti.
Raja ketiga
yang juga budayawan adalah Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro IV (1811 –
1881) yang mengarang Serat Tripama dan
Serat Wedhatama. Serat Tripama mengajarkan kesetiaan dan kerelaan berkorban
jiwa-raga dari tiga orang kesatria dalam cerita wayang kepada Raja dan
Kerajaannya. Mereka adalah (1) Patih Suwondo kepada Prabu Arjuna Sasrabahu, (2)
Kumbokarno kepada kerajaan Alengka, dan (3) Adipati Karno kepada Prabu
Duryudono ( Cermin Diri Orang Jawa,
B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara 1998, halaman 30).
Wedhatama atau Ajaran Tentang Keutamaan, berupa syair-syair
macapat yang terdiri dari 100 bait (mengenai apa dan bagaimana macapat bisa
dibuka di link: https://islamjawa.wordpress.com/2014/10/03/tafsir-kidung-kawedar-sunan-kalijaga-2-orang-jawa-mulai-mempelajari-sejarah-para-nabi-sahabat-dan-keluarganya/).
Ia mengajarkan bagaimana kita harus menjalani dan mencapai kehidupan yang
utama, dengan budi pekerti luhur dan mengamalkan ajaran agama Islam jangan
hanya syariatnya saja, tapi juga harus secara tarekat, hakikat dan makrifat.
Jangan hanya raga atau fisik kita saja yang menyembah Gusti Allah, tapi
cipta-jiwa dan rasa kita pun harus ikut menyembahNya.
Tentang
perilaku utama seorang kesatria, Wedhatama
mengajarkan dalam bait 15 dan 16 sebagai berikut :
Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nafsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasami
Samangsane pasamuwan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
pungguh panggah cegah dhahar lawang guling
Terjemahan bebasnya adalah, bagi
orang-orang Jawa tirulah perilaku utama, Panembahan Senopati pendiri Mataram.
Orang yang siang malam senantiasa mengendalikan hawa nafsunya, serta membangun
kebahagiaan hati sesama. Dalam berbagai pertemuan, yang diperbincangkan adalah
bagaimana menciptakan kebahagiaan secara merata. Beliau juga sering
meninggalkan istana pergi ke tempat-tempat yang sunyi sepi, memadukan
cipta-rasa dan karsanya, dengan selalu prihatin, mengurangi makan dan tidur. (https://islamjawa.wordpress.com/2011/02/08/nafsu-pangkal-kemaksiatan-dan-kelalaian/).
Sebagaimana
halnya Paku Buwono IV dan Pakubuwono V, Mangkunogoro IV dikenal pula sebagai
pemeluk Islam yang taat, sakti, menyenangi tasawuf dan sangat menjunjung tinggi
kebudayaan Jawa serta mengecam orang-orang Jawa yang kearab-araban, yang
meninggalkan budaya bangsanya.
Akan halnya
kitab Wulangreh, mengajarkan perilaku
dengan falsafah kehidupan yang berlandaskan dalil (Qur’an), kadis (Hadis) dan ijemak atau
kesesuaian pendapat dari para ulama, yang dipadukan dan dikemas dengan
keaifan-kearifan Jawa. Wulangreh
terdiri dari 283 syair macapat yang dikelompokkan dalam 13 bab yaitu:
1.Pelajaran tentang cara memilih guru.
2. Pelajaran tentang cara memilih teman.
3. Pelajaran agar manusia memegang teguh kejujuran serta menjauhi watak
adigang, adigung dan adiguna (mentang-mentang kuasa, mentang-mentang pandai dan
mentang-mentang banyak jasa lagi berani).
4. Pelajaran tentang tatakrama, budi pekerti serta cara membedakan baik dan
buruk.
5. Pelajaran tentang bagaimana menghormati;
5.1. Allah
5.2. Orang tua
5.3. Mertua
5.4. Saudara
5.5. Guru
6. Pelajaran tentang kepemimpinan dan mengabdi pada kerajaan.
7. Pelajaran tentang pengendalian hawa nafsu.
8. Pelajaran tentang budi pekerti luhur dan tercela.
9. Pelajaran tentang menjalin persaudaraan serta surat-menyurat.
10. Pelajaran tentang tawakal, sabar, mengamalkan rasa syukur dan rendah hati.
11. Pelajaran tentang agama Islam dan pengabdian kepada negara.
12. Tentang suri tauladan para leluhur.
13. Nasihat Sang Pujangga.
Mengenai Raja
atau Pemimpin, Wulangreh menekankan
ajaran moral untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, yang diuraikan
pada Bab atau Pupuh V, bait 30 dan 31 sebagai berikut: ”Mapan Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa
kekasih, amung bener agemira. Kukum adil adat waton kang den esthi......
Artinya, memang raja ibarat tak memiliki saudara dan anak, sanak saudara dan
isteri terkasih, yang dianutnya hanyalah kebenaran. Hukum keadilan dan adat istiadat yang
diopegangnya.....”.
Bagaimana
menjalankan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Keraton?
Puteri Sinuhun Pakubuwono XII (almarhum PB XII), Gusti Raden Ayu (GRA) Koes
Indriyah dalam suatu diskusi yang diselenggarakan Yayasan Bina Pembangunan 13
November 1997, yang kemudian dibukukan dalam ”Kepemimpinan Jawa, Falsafah dan Aktualisasi, B.Wiwoho – Hasan Basri –
Januar Jatnika, Bina Rena Pariwara1998, dirinya beserta saudara-saudaranya
yang lain hidup sehari-hari bersama ibu. Raja pada dasarnya tidak mengenal anak
dan isteri, yang dimaksudkan agar semua orang di mata Raja adalah sama. Oleh
sebab itu dirinya dididik untuk tak boleh terlalu mengenal Bapak (PB XII). ”Setelah
lulus SD saya baru menyadari bahwa yang tiap hari saya sembah, harus jongkok,
duduk dan tidak boleh melihat itu ternyata Bapak saya. Saya tanyakan pada ibu,
mengapa saya tidak boleh dekat dengan Bapak, sementara teman-teman saya yang
lain bisa memeluk, mencium dan segala macam. Ibu saya hanya bicara, bahwa nanti
jika terlalu dekat, Bapak tidak bisa berlaku bijaksana, baik pada anaknya
sendiri maupun pada semua kerabat di sini. Jadi tidak boleh terlalu dekat
kepada siapa pun.”
Sebelum ketiga
raja budayawan tersebut, KGPAA Mangkunegoro I (1725 – 1796) juga sudah
mengajarkan tiga dasar pengabdian para kesatria yang disebut sebagai Tridharma, yaitu : (1) mulat sariro hangroso wani, keberanian
untuk selalu mawas diri, (2) rumongso
melu handarbeni, membangun rasa ikut memiliki dalam hal ini kerajaan, (3) wajib melu hanggondeli, berkewajiban
ikut membela dan mempertahankan kerajaan.
Konsep Tripama dan Tridharma pernah menjadi
salah satu acuan dalam penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di masa Orde Baru,
tetapi karena dalam prakteknya kehidupan berbangsa dan bernegara penuh dengan
perilaku KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), maka konsep tersebut terutama Tridharma sering jadi bahan olok-olok
masyarakat (https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/09/14/cermin-diri-orang-jawa/).
Sahabatku,
demikianlah inti dari ajaran kepemimpinan Raja-Raja Mataram II, yang dalam
bentuk tembang-tembang macapat masih sering didendangkan oleh orang-orang Jawa
yang menyenangi seni tembang Jawa. Apakah makna dan hakikat ajaran dari
tembang-tembang tersebut dihayati serta diamalkan atau tidak, tentu terpulang
pada diri masing-masing. Dan apakah para elit yang berasal dari suku Jawa
terutama Presiden Joko Widodo yang kebetulan berasal dari Surakarta juga
menghayati dan mengamalkan, menjunjung tinggi hukum atau aturan dan keadilan,
marilah kita sama-sama menjadi saksi sejarah. Berikutnya: AJARAN KEPEMIMPINAN VERSI PUJANGGA RONGGO WARSITO).