http://www.teropongsenayan.com/93179-jenderal-yoga-tentang-sikon-menjelang-g30s-5-mencegah-konflik-horizontal
Sementara itu, dekatnya hubungan Subandrio dengan PKI bisa diketahui dari
sejumlah pernyataannya. Misalnya dalam sambutannya pada peringatan HUT ke-45 PKI, ia
mengatakan PKI merupakan organisasi massa yang paling kuat di Indonesia, selain ABRI. Ia menyatakan
agar PKI dan ABRI menjalin kerja sama dalam melaksanakan
revolusi. Kedua kekuatan ini hendaknya menjadi comrade in arms.
BPI, sesuai Peraturan Presiden No. 8/1959, merupakan badan tertinggi bagi
pemerintah dalam hal intelijen dan kedudukannya langsung di bawah
Perdana Menteri/Presiden RI/Panglima Tertinggi. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala dan
Wakil Kepala BPI didampingi oleh kepala-kepala intelijen sipil dan militer. Mereka antara lain Kepala
Jawatan Reserse Pusat pada Kejaksaan Agung, Kepala Dinas
Pengawasan Keselamatan Negara pada Departemen Kepolisian Negara,
Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat, Perwira GO II Staf Angkatan
Laut, Direktur Intelijen Angkatan Udara, serta Kepala Staf Biro Keamanan
pada Staf Menteri Keamanan/Pertahanan.
Posisinya yang sangat penting mengkoordinasikan kegiatan badan-badan
intelijen memungkinkan Subandrio mencapai ambisi-ambisi politiknya. Kecondongan sikapnya pada kelompok komunis telah mempermudah
infiltrasi orang-orang PKI di lingkungan aparat intelijen, termasuk
di MBAD dan Kostrad. Penyusupan itu besar pengaruhnya pada arus informasi intelijen, yang sering
digunakan untuk menimbulkan kesimpangsiuran.
Subandrio sangat aktif menyebarkan isu Dewan Jenderal, sebuah isu yang
menurut pengakuannya di kemudian hari, ia peroleh dari Kepala Staf BPI Brigjen Pol. Sutarto. Ia
tidak melakukan pengecekan atas informasi itu, tetapi justru menyebarluaskannya. Isu tersebut sejalan
dengan penyebarluasan apa yang ia sebut sebagai Dokumen Gilchrist, yang di dalamnya disebutkan
adanya our local army friends.
Dalam pemeriksaan terhadap dirinya beberapa waktu kemudian, tokoh ini tetap
menyatakan bahwa dokumen tersebut sah, meskipun Ladislav Bittman,
sang operator sesungguhnya yang berada di balik layar mengakui
sebagai bagian dari operasi penyesatan. Bittman juga mengaku
Pemerintah Praha menjalin hubungan yang kuat dengan Subandrio.
Demikian pula tentang “Operasi Palmer”, menurut Ladislav Bittman, dilancarkan
mulai 1964, setelah munculnya gerakan-gerakan baru di Indonesia sejalan dengan gerakan menggayang setan-setan
kebudayaan yang dilontarkan para budayawan PKI, termasuk ditujukan untuk pelarangan terhadap film-film AS. Situasi itu merupakan kesempatan
bagi Departemen D menciptakan bukti korban-korban
hidup yang melambangkan imperialisme AS.
William Palmer dipilih sebagai korban. Tokoh ini memiliki pergaulan yang luas
di kalangan politisi Indonesia, selain sumber dana yang tidak
kering-keringnya sehingga muncul sebagai sosok penjelmaan pengaruh
AS dan sekaligus simbol kejahatannya. Menurut Bittman, Operasi Palmer semula hanya bertujuan
untuk saling mengganggu dan mempersempit ruang gerak. Akan tetapi, hasilnya ternyata
melampaui sasaran semula. “Kami berhasil baik dalam menggunakan
saluran-saluran anonim untuk mengirimkan dokumen palsu dan informasi yang diputar balik kepada
pemuka politik, organisasi massa, dan redaktur surat kabar Indonesia,” tulis Bittman.
Dalam operasinya, dinas intelijen itu telah menggunakan beberapa surat kabar
luar negeri. Misalnya Ceylon Tribune yang pada tanggal 12
September 1964 melansir rencana Palmer untuk
melarikan diri ke Malaysia. Berita itu kemudian dikutip oleh sebuah surat kabar di
Singapura, yang bahkan menyatakan bahwa jaringan spionase CIA di
Indonesia menggunakan selubung AMPAI. Artikel itu menulis bahwa Palmer
mempunyai hubungan dengan pemberontakPRRI, tokoh-tokoh Masyumi, dan politisi
lain yang anti-Soekarno.
Reaksi yang muncul di Jakarta bukan sekadar dikutipnya tulisan-tulisan tersebut oleh
beberapa surat kabar seperti Harian Rakyat dan Warta Bakti,
melainkan juga mendorong aksi-aksi demonstrasi menyerang AS. Kantor
AMPAI diserang massa PKI dan vila milik Palmer pun dijarah.
Radio Peking (sekarang Beijing) dan radio Moskwa yang mengarahkan
siarannya kepada pendengar di Indonesia meningkatkan provokasinya. Di tengah membaranya
kemarahan massa terhadap AS, diam-diam di Jakarta datang Jenderal Agayants, Kepala Departemen
Berita-berita Palsu Dinas Intelijen Uni Soviet. Ia menyatakan puas
terhadap keberhasilan Operasi Palmer yang dirancang bersama oleh dinas intelijen Soviet dan
Cekoslowakia.
Pada masa setelah G30S, Subandrio lewat sejumlah pidato dan pernyataannya
mencoba menutupi gerakan PKI itu. Ia bahkan mencoba menghasut
massa untuk membalas setiap teror dengan teror. Sikapnya yang mengultuskan Bung Karno juga
tecermin dalam tindakannya kemudian dalam upaya menghimpun para pendukung Bung
Karno. Ia orang pertama yang menyebut kekuatan massa itu sebagai
Barisan Soekarno.
Terhadap penggalangan untuk mendukung Bung Karno oleh kekuatan komunis
ini, komunitas intelijen Angkatan Darat tidak tinggal diam serta
dengan cepat melakukan antisipasi, dengan menyatakan seluruh kekuatan TNI ikut mendukungnya dan menginstruksikan
seluruh komandan-komandan militer di daerah-daerah menjadi Komandan Barisan Soekarno di daerah masing-masing. Dengan demikian
upaya mengobarkan konflik horizontal yang lebih besar antara massa pro komunis dan
pendukung-pendukung setia Bung Karno yang ingin mempertahankan Bung Karno, dengan massa
antikomunis yang sangat kecewa dengan Bung Karno, dapat dicegah
karena segera bisa digembosi dari dalam, dan bukan dengan cara
membasmi secara fisik.
Hubungannya yang sangat akrab dengan Bung Karno di satu pihak dan tuntutan
massa untuk mengganyangnya di lain pihak membuat aparat intelijen dan keamanan harus bekerja
ekstra-keras. Adalah amat mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun ada pihak-pihak
tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati, lantas membunuh
Subandrio. Sebab, apabila ini terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno
akan marah besar dan membela Subandrio secara habis-habisan. Ini berarti menyulut perang
saudara yang sulit diperhitungkan kapan berakhirnya. Mengatasi Subandrio betul-betul
ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.
Subandrio akhirnya dapat ditangkap bersama 12 menteri lain yang berindikasi
terlibat G30S/PKI pada tanggal 18 Maret 1966. Ke-13 menteri itu
kemudian ditahan. Mereka adalah Chaerul Saleh, Setiadi Reksoprodjo,
Soemardjo, Oei Tjoe Tat, Jusuf Muda Dalam, Armunanto, Soetomo
Martopradoto, Astrawinata, Mayjen Achmadi, Letkol Imam
Syafi’ie, J. Tumakaka, dan Dr. Sumarno. Dua menteri yang lain, yaitu
Soerachman dan Achadi, untuk beberapa saat sempat meloloskan
diri dari penangkapan.
Penangkapan tersebut dilakukan atas perintah Mayjen TNI Soeharto selaku pengemban
Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966. Sehari sebelumnya, 12 Maret 1966 PKI dibubarkan.
Para menteri itu memang menjadi sasaran kritik dari aksi-aksi mahasiswa yang
berlangsung secara beruntun di Jakarta dan beberapa kota lain.
Kebijakan pemerintah memotong nilai rupiah dari 1.000 rupiah
menjadi satu rupiah pada tanggal 13 Desember 1965, kenaikan harga
bensin dari empat rupiah menjadi 250 rupiah per liter, serta
serangkaian harga baru yang ditetapkan pemerintah pada 3 Januari 1966 merupakan
sasaran protes keras mahasiswa, pelajar, dan pemuda. Demikian pula hiper-inflasi yang
mencapai 650 persen setahun, sangat memukul masyarakat.
Oleh karena itu, dalam kapasitasnya sebagai pengemban SP 11 Maret, Letjen
Soeharto segera mengambil langkah-langkah untuk meredakan kejengkelan masyarakat, antara lain
dengan membubarkan PKI dan menangkap sejumlah menteri yang diduga terlibat G30S.
Penangkapan terhadap Subandrio menyebabkan BPI kehilangan induk.
Pengambilalihan gedung BPI di Jalan Madiun tidak bisa berjalan mulus karena
beberapa orang pendukung Subandrio berusaha mempertahankan
markas intelijen itu. Bentrokan senjata tidak bisa dihindari, tetapi
para pendukung Subandrio dapat dilumpuhkan. Sekurang-kurangnya
21 orang ditahan. Setelah gedung itu diambil alih pada tanggal 12
Maret, Letjen Soeharto menugaskan Asisten I Menteri/Panglima AD Brigjen Sugih Arto menguasai
sementara markas BPI guna menjamin kelancaran kegiatan intelijen (B.Wiwoho:
Nomer 5 dari 5, dikutip dari buku: Jenderal Yoga, Loyalis Di Balik Layar halaman
107 – 111).