Mengganti Sesaji Dengan
Sedekah
Bait
44 :
Yen angidung poma
den memetri,
memuleya sego golong
lima,
takir ponthang
wewadhae,
ulam-ulamanipun,
ulam tasik rawa lan
kali,
ping pat iwak
bengawan,
mawa gantal iku,
rong supit
winungkusan,
apan dadi nyawungkus
arta sadhuwit,
sawungkuse punika.
Artinya :
Bila
mengidung hendaklah dipahami,
muliakanlah
(dengan bersedekah) lima nasi bulat (dibentuk seperti bola), ditempatkan dalam
takir ponthang (seperti box kardus sekarang tapi terbuat dari daun pisang
dengan dihias pita dua warna),
lauk
pauknya,
ikan
laut-rawa dan dari sungai kecil,
yang
keempat ikan dari sungai besar (bengawan),
disertai
gulungan daun sirih,
dua
jepit dibungkus,
setiap
bungkus ada uangnya juga,
itulah
isi sebungkusnya.
Bait
45 :
Tumpangena neng
ponthangnya sami,
dadya limang wungkus
ponthang lima,
simung sekar cepakane,
loro saponthangipun,
kembang boreh dupa
ywa lali,
memetri ujubira,
donganira mahmut,
poma dipun lakonana,
saben dina nuju
kalahiraneki,
agung sawabe ika.
Artinya :
Taruhlah semuanya di dalam (takir)
pontang,
lima bungkus dalam lima takir,
dihiasi bunga cempaka,
dua setiap pontangnya,
jangan lupa bedak basah yang harum
bunga,
diniatkan untuk kemuliaan,
dengan doa-doa yang baik (terpuji),
seyogyanya lakukan,
pada setiap hari kelahiran,
akan besar pengaruh manfaatnya.
Bait 46 :
Balik lamun ora den lakoni,
kadangira pan padha ngrencana,
temah ura saciptane,
sasedyanira wurung,
lawan luput pangarah neki,
sakarepira wigar,
gagar datan antuk,
saking kurang temenira,
madhep laku iku den awas den eling,
tamat ingkang kidungan.
Artinya :
Sebaliknya bila tidak dilaksanakan,
saudara-saudaramu (para malaikat)
yang bertugas menjaga dan mendampingimu,
tak kan bertugas dengan baik,
akibatnya keinginanmu tak terwujud,
tujuanmu lepas,
cabar dan tak tercapai,
lantaran kurang bersungguh-sungguh
(dan kurang tekun),
menghayati (agama) itu harus selalu
ingat dan waspada,
tamatlah kidung ini.
Masyarakat Jawa abad XV yang memeluk
agama Syiwa-Buddha, yang memuja roh-roh gaib dan roh leluhur, lazim memberikan
sesaji berupa bunga, kemenyan, buah-buahan dan telor rebus, kadang-kadang juga
segelas kopi pahit, demi memuja dan berkomunikasi dengan sesembahan atau roh
gaib yang ditakuti. Sesaji tersebut diletakkan di perempatan dekat rumah, di
sudut-sudut rumah, di bawah pohon dan batu besar dan lain-lain. Kepada Dewa
pengatur rejeki termasuk pertanian, yaitu Dewi Sri dan Dewa Sadono, sesaji ditaruh di sudut-sudut pematang sawah
atau ladang. Sesaji-sesaji itu tidak boleh dimakan manusia, dan dibiarkan
membusuk atau dimakan binatang.
Adat kepercayaan seperti itu tidak
langsung dibuang oleh Walisongo yang gencar menyiarkan agama Islam, melainkan
disisipi dengan ruh ajaran keislaman. Istilah sesaji diganti menjadi selamatan,
dari asal kata islam itu sendiri, yang memang berarti damai dan selamat
sejahtera. Niatnya diubah dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa
sesambahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini
tetangga, kerabat, fakir miskin dan anak-anak yatim piatu. Sesaji kepada Dewa
Sri-Sadono diganti menjadi sedekah bumi. Sesaji kepada Dewa Laut diganti
menjadi sedekah laut.
Pada masa kanak-kanak tahun 1950-an
kami sangat menyenangi acara sedekah bumi tersebut. Dalam acara yang
diselenggarakan sehabis musim panen raya, para petani atau pemilik sawah,
membawa sebagian hasil bumi dan makanan matang berupa nasi dengan lauk pauk
serta kue ke balai desa. Semuanya dikumpulkan, dibacakan tahlil dan doa-doa,
kemudian dibagi dan dimakan oleh penduduk desa bersama-sama. Sesudah itu
dilanjutkan menonton pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk, dengan cerita
khas Islam Jawa antara lain Jamus Kalimasadha (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci dan
Petruk Jadi Ratu. Cerita khas ini disebut cerita carangan atau ranting cerita,
dan tidak ditemukan dalam babon induk Mahabharata serta Ramayana, karena memang
dikarang oleh para wali khusus untuk dakwah agama Islam.
Tentu saja adat kepercayaan
memberikan sesaji itu tidak otomatis hilang. Pada masa kanak-kanak, penafsir
masih banyak menjumpai sesaji untuk roh gaib dan roh leluhur. Tetapi lambat laun semakin berkurang, dan
sekarang bahkan hampir hilang, meskipun belum sama sekali. Perbedaan pokok
antara sesaji dan sedekah adalah pada niat dan peruntukannya, yang bisa dilihat
dari jenis-jenis benda sesajiannya. Benda atau materi sesajian pada umumnya
bukan makanan pokok yang enak dimakan manusia seperti nasi dengan lauk-pauknya.
Untuk beberapa jenis materi
sesajian, meskipun tidak bisa dimakan misalkan bunga, para Wali juga tidak langsung
membuangnya, namun dijadikan penghias makanan seperti halnya bunga, irisan buah
dan dedaunan yang dijadikan sebagai hiasan pada sajian makanan dan minuman di
hotel-hotel berbintang dan restoran mewah.
Tidak jarang jenis-jenis materi
sedekah dan hiasannya juga diberi makna. Bunga misalnya dimaksudkan sebagai
tamzil bahwa kehidupan itu harus harum bagaikan bunga. Bunga setaman
melambangkan hidup damai dengan sesamanya bagai aneka tanaman bunga di dalam
satu taman. Bunga pitu atau tujuh jenis bunga, demi menanamkan keyakinan kuat
akan mendapat pitulungan atau pertolongan dari Gusti Allah. Boreh atau bedak
dingin yang dulu lazim digunakan kaum wanita, dimaksudkan sebagai hadiah
sekaligus melambangkan agar di dalam kehidupan, kita selalu menampilkan wajah
yang sejuk dan menarik. Dauh sirih, sebagai persembahan kehormatan kepada kaum
ibu yang ketika itu pada umumnya menginang, yaitu mengulum tembakau beserta
pinang-sirih, disamping sebagai tamzil menyatunya segala daya upaya dalam
mencapai cita-cita, sebagaimana menyatunya urat-urat daun sirih. Sedangkan nasi
golong, yakni nasi yang dibentuk bulat bagai bola, adalah tamzil kebulatan
tekad.
Jenis-jenis bahan baku sedekah
tersebut juga ditemukan dalam bait 44 – 45. Yang bagi masyarakat zaman sekarang
sangat asing adalah takir, yaitu wadah makanan yang terbuat dari daun pisang
yang dibentuk seperti kotak segi empat. Di masa lalu sebelum periode Orde Baru,
tatkala industri di Indonesia belum berkembang seperti sekarang, berbagai
kemasan dibuat secara tradisional dari bahan baku alami. Wadah kemasan untuk
menaruh makanan, dibuat dari daun tumbuh-tumbuhan antara lain pisang serta
aneka bentuk anyaman bambu. (lihat Jatuh – Bangun Strategi Pembangunan:
Pertumbuhan atau Pemerataan, pada buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak
Harto” dan blog http://b wiwoho.blogspot.com/2012/09/jatuh-bangun-strategi-pembangunan.html).
Dalam bait 44 – 45 disebutkan jenis
lauk-pauk berupa ikan. Ikan adalah tamzil untuk mengajarkan agar orang pandai
menyelam bagaikan ikan, dalam hal ini menyelami kehidupan. Di samping itu ikan
adalah juga jenis lauk pauk yang sangat mudah diperoleh masyarakat Jawa
khususnya di wilayah Pantai Utara. Di kala itu orang yang sehat bisa dengan
gampang menjala, menangkap dengan bubu atau memancing ikan di laut, tambak dan
hutan bakau. Juga menangkap ikan di sungai kecil, rawa-rawa yang dahulu masih
banyak di sekeliling kita serta di sungai-sungai besar yang bermuara di laut
Jawa, yang membentang sepanjang pantai pulau Jawa. Dengan demikian anjuran
memberikan sedekah pada setiap hari kelahiran tidaklah akan menyulitkan, karena
bagi yang mampu bisa membeli dan bagi yang tidak mampu bisa menangkap sendiri.
Bagi orang Jawa, pengetahuan
mengenai hari kelahiran sangat penting, terutama weton (berasal dari kata metu yang berarti keluar), yaitu gabungan antara hari yang
terdiri dari tujuh mulai Senin sampai Minggu, dengan apa yang disebut pasaran
yang terdiri dari lima yaitu Legi, Pahing, Pon Wage dan Kliwon. Sebagai contoh
Kanjeng Nabi Muhammad, lahir pada hari Senin dengan pasaran Pon, maka weton
Nabi Muhammad saw adalah Senin Pon. Lantaran merupakan gabungan dari tujuh dan
lima, weton tersebut berulang setiap selapan
dino atau setiap tigapuluh lima hari sekali.
Kebiasaan orang Jawa dahulu kala, untuk
melakukan ritual atau peringatan khusus pada wetonannya, pada umumnya dengan
memberikan berbagai sesaji kepada dewa sesembahan atau roh-roh gaib. Kebiasaan
itulah yang diubah oleh Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar, dengan
mengajarkan memberikan sedekah, dan di kemudian hari diajarkan pula berpuasa
sebagaimana dilakukan oleh Baginda Rasul sesuai hadis Muslim berdasarkan
riwayat Syu’bah dan Abu Qatadah Al Anshari. Rasulullah saw pernah ditanya
tentang puasanya setiap hari Senin, yang beliau jawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan pada hari itu pula Al Qur’an
diturunkan kepadaku.” Dari hadis
tersebut berkembang kebiasaan puasa sunah Senin – Kamis, yang sampai sekarang
masih dilakukan oleh masyarakat Jawa, baik yang Islam maupun bukan.
Perihal sedekah, dalam bait 45 baris
keenam dan ketujuh harus diniatkan demi kemuliaan dengan diiringi doa-doa
mahmut. Pengunaan kata mahmut yang berasal dari bahasa Arab dan berarti terpuji
ini, pada hemat penafsir sengaja dimaksudkan untuk menegaskan pilihan
menggunakan doa secara Islami, dan bukan dengan cara yang lain.
Kidung Kawedar terdiri dari 46
(empat puluh enam) bait. Jika bait pertama sampai empat puluh lima berisi
keutamaan-keutamaan, pengenalan agama Islam, berbagai tamzil, ajaran dan
petunjuk, bait terakhir dan merupakan satu-satunya, mengemukakan risiko bagi
siapa yang tidak mau mengikuti ajarannya. Bait 45 mengemukakan kemuliaan bagi
yang taat mengikuti ajaran berkat memperoleh pengaruh aura gaib Allah Yang Maha
Agung, atau disebut mendapat sawab atau berkah. Sedangkan bait 46 terjadi hal
sebaliknya bagi yang kurang tekun apalagi yang tidak mau menjalaninya. Mereka
tidak akan dibantu oleh para malaikat penjaga dan pendamping. Karena malaikat
hanya mau membantu apabila ada ridho dari Yang Maha Agung. Akibatnya, semua
keinginan kita bisa gagal tak terwujud, cita-cita dan tujuan kita lepas, cabar
tak tercapai, lantaran kurang bersungguh-sungguh dan kurang tekun dalam
menghayati (agama Islam).
Kidung ini diakhiri dengan sebuah
petuah agar dalam menghayati ajaran agama (Islam), kita senantiasa awas dan
eling. Eling berarti ingat atau zikir, sebagaimana sudah dikemukakan dalam
pembahasan bait 30, agar setiap saat selalu mengingat Gusti Allah.
Mengingat-Nya dalam setiap tarikan nafas, dalam keadaan apa saja, bahkan selagi
di kamar kecil membuang hajat. Dengan senantiasa mengingat-Nya maka kita pun
akan menjadi pandai bersyukur, taat dan mematuhi firman-firman-Nya.
Kata ingat juga dikaitkan dengan
kata awas atau waspada. Maknanya dalam mengingat serta mentaati Gusti Allah,
kita tetap harus terus awas, terus-menerus waspada, lantaran setan yang sudah
mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggoda manusia, tidak akan pernah
menyerah sedikit pun. Setiap saat setan akan selalu menggoda manusia, mencari
celah dan peluang meski hanya sepersekian mili, sepersekian detik bahkan hanya
secercah cahaya, buat menggelincirkan iman manusia. Nasihat agar awas dan eling
ini sekarang menjadi sebuah ungkapan yang terkenal, yaitu eling lan waspada, ingat dan waspada.
Demikianlah nasihat penutup dari
Sunan Kalijaga melalui Suluk Kidung Kawedar. Semoga dengan ajaran dan
nasihatnya, kita bisa menjadi kekasih-kekasih Gusti Allah Yang Maha Pengasih,
serta dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang senantiasa beriman dan
beramal saleh.
Subhanallaah walhamdulillaah,
aamiin.
1 Muharram 1436 H (25 Oktober 2014).