Revolusi Mental Demi Mencegah
Kehancuran dan Mewujutkan Kesejahteraan Rakyat *).
Catatan: B.Wiwoho
Masyarakat Bukan Lagi Idealis,
Tapi Hedonis – Materialis.
Bagaimana
kehidupan individu-individu dan komunitas masyarakat Indonesia sekarang? Apakah
benar kita masih patut disebut sebagai bangsa yang santun, ramah, sabar, rendah
hati, hemat, menghargai idealisme dan senang bergotongroyong membantu
sesamanya?
Marilah
kita belajar dari kehidupan. Lihatlah gambaran keadaan di tempat-tempat umum, di
mana individu-individu berinteraksi dalam suatu komunitas. Banyak gambaran
kehidupan sehari-hari yang bisa dijadikan contoh. Ambil saja satu contoh yaitu
jalanan. Perhatikan mulai dari baliho, poster dan pamflet narsis dari para elit
baik tingkat kelurahan, kabupaten, propinsi sampai dengan nasional. Di pasang
di mana-mana seenaknya, dipaku menyakiti serta merusak pepohonan, mengotori
tembok dan jembatan, melintang sembarangan mengganggu jarak pandang pengemudi.
Belum lagi isinya, pamer, membanggakan diri dan mengumbar seribu janji: ujub,
riya dan mengobral amanah. Penyakit-penyakit hati yang ditakuti oleh umat
Islam, yang merupakan umat mayoritas di Indonesia.
Selanjutnya
amati perilaku pengemudi kendaraan bermotor dan suasana jalanannya. Trotoar
untuk rakyat kecil pejalan kaki, tersita habis oleh keserakahan pemilik toko
dan para pedagang, sehingga rakyat khususnya yang tak mampu harus berjalan
ekstra hati-hati. Sementara banyak kendaraan yang main serobot mengambil jalan
atau hak pengendara lainnya. Ada yang jalan seenaknya tak peduli menganggu
pengendara di belakang dan sekitarnya, karena sambil menelpon atau memainkan
telpon genggam. Ada pula yang melaju sembari membuang sampah di jalanan.
Bagaimana
angkutan umum? Banyak yang berhenti mendadak seenaknya. Juga banyak yang
ngetem, berhenti menunggu-menaikkan-menurunkan penumpang di tempat-tempat yang
terpampang larangan berhenti. Namun demikian, hati-hati bila timbul masalah di
perjalanan. Meskipun anda benar, tidak serta merta anda bisa menagih hak berlalulintas
anda, salah-salah bisa berujung pada perkelahian yang berbuntut penyesalan.
Naudzubillah.
Sungguh,
ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu sopan, sabar,
tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain, gotongroyong, idealis,
hemat dan sejumlah budi luhur lainnya, ternyata tanpa kita sadari telah berubah
menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis, bahkan semau
gue.
Jika
kita pelajari sejarah strategi pembangunan, awal pergeseran tata nilai budi luhur
tersebut, dimulai pada awal Orde Baru tahun 1967, dengan digantinya secara
dramatis filosofi pembangunan yang menganut faham ideologi secara ekstrim dan
emosional, menjadi faham pragmatisme yang fokus pada hal-hal yang bisa
membuahkan hasil nyata. Tak pelak lagi, pragmatisme telah menghasilkan perilaku
“tujuan menghalalkan cara,” karena yang terpenting itu hasil dan bukan caranya.
Pragmatisme
mengubah tata nilai idealis menjadi tata nilai yang materialis. Karena itu
tidak mengherankan, bila dalam suatu pertemuan kekerabatan, tidak jarang topik
pembicaraan banyak berkisar pada soal rumah, villa, kendaraan dan sejumlah
masalah pesona dunia lainnya, yang di masa lalu dianggap tabu. Sungguh
memprihatinkan. Naudzubillah.
Indonesia Sebagai
Pasar Dengan
Individu yang
Konsumtif.
Masyarakat
yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis tersebut ternyata
bukan hanya monopoli Indonesia saja, tapi juga masyarakat dunia pada umumnya
dewasa ini.
Tanpa
kita sadari, kita telah menjadi bagian dari Masyarakat Tata Dunia Baru yang
dibentuk oleh Kapitalisme Global, baik dari Kapitalis Barat maupun Utara
khususnya China, dengan Divisi-Divisi Perang Semestanya, terutama Divisi-Divisi
Perang Asymetris atau non militer.
Beberapa
tahun sebelum Indonesia menggelorakan faham pragmatisme, seorang filsuf Jerman
, Herbert Marcuse, telah menerbitkan buku yang amat terkenal yang berjudul One Dimensional Man, Manusia Satu
Dimensi, untuk menggambarkan perkembangan dari “kapitalisme lanjut” yang akan
melancarkan perang dalam bentuk non militer (sekarang terkenal dengan sebutan
perang asymetris), dengan mendendangkan musik jiwa yang dahsyat, yang
menggalang alam pikiran manusia agar terpadu secara total pada dimensi
rasionalitas yang memuja pesona dunia dengan kebutuhan-kebutuhan palsu yang
menyihir.
Alunan musik jiwa itu ternyata segera terbukti
menerjang bergulung-gulung berupa Gelombang Globalisasi, bak Perang Semesta,
yaitu perang yang tergolong paling dahsyat, baik dalam bentuk perang asymetris
(non militer) maupun Perang Militer yang konvensional (lihat matriks
Kapitalisme Global Dan Perang Semesta).
Gambaran
tentang masyarakat yang memuja pesona dunia
bagi sahabat-sahabat yang beragama Islam, sesungguhnya bukan sesuatu
yang baru, sebab jauh sebelumnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sudah pernah
memperingatkan akan datangnya hal itu.
Syahdan seusai Perang Badar yang heroik,
Rasulullah meluruskan anggapan para sahabatnya yang menyatakan Perang Badar
sebagai perang besar yang menghasilkan kemenangan dari segala kemenangan.
Menurut beliau, kembali dari Perang Badar itu adalah kembali dari perang yang
sekecil-kecilnya.”Kita ini kembali dari
peperangan yang paling kecil, menuju peperangan yang lebih besar, yaitu
peperangan melawan hawa nafsu.” Seorang sahabat bertanya, perang apa yang
paling utama. Baginda Rasul menjawab, “Engkau
perangi hawa nafsumu.” Abu Daud meriwayatkan sabda beliau, “Bukanlah orang yang gagah berani itu
lantaran dia cepat melompati musuhnya di dalam pertempuran, tetapi orang yang
berani ialah yang bisa menahan dirinya dari kemarahan.”
Demikianlah, Perang Semesta yang menyertai
Gelombang Globalisasi-II di akhir paruh abad 20, merupakan perang moderen
terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan
meriam, melainkan perang dalam segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya
hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga
setiap penduduk dunia.
Demi memenangkan peperangannya, para Kapitalis
Global, baik Barat maupun Utara, terus berusaha
menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan
akibat di samping kerusakan tata nilai budi luhur dan keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam
dan kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan sebagai
pasar dengan individu-individunya yang konsumtif.
Sebagai masyarakat yang sedang mabok dalam
alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis,
kini kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri
sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar
bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala
cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri.
Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat
ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap,
sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan
perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola
hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai
dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan
elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula
penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas,
hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen,
rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing
atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di
sekitarnya tetap miskin.
Karena
kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan membaca
matriks tadi kita bisa menarik kesimpulan,
gempuran perang asymetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus
berlangsung; sehingga agar kita bisa tetap eksis bertahan sebagai negara
bangsa, kita harus membuat antisipasi yang memadai. Jika tidak, maka kita hanya
akan menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain (dijajah dalam berbagai bentuk) atau
kuli di negara lain (buruh di negara lain – Tenaga Kerja Indonesia di luar
negeri).
Revolusi Mental Sebagai Keharusan.
Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh
Kapitalisme Global tersebut, jika tidak segera dihentikan dan direvolusi, sudah
pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan
Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan
kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur
sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi,
apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan
Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan total atas tata nilai hedonis dan
lain-lainnya tadi, apakah disebut sebagai Revolusi Mental atau yang lain,
sungguh sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan
sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral yang akan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam
pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Revolusi Mental yang dicanangkan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla dalam kampanye Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden lebih setahun
yang lalu itu, mestinya kini sudah mulai bergulir sebagai revolusi yang
menjebol tata nilai yang merusak mental dan moral bangsa. Sayang sekali, sampai
sekarang tidak terdengar lagi gaungnya, apalagi pelaksanaannya. Bahkan
pendukung utama Presiden Jokowi, yaitu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh,
akhir Juli 2015 menyatakan, pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla, mulai berangsur meninggalkan komitmennya soal
"Revolusi Mental"
Namun demikian kita tidak boleh menunggu
sampai Presiden memenuhi janji-janji kampanyenya. Demi menjadi bangsa yang
besar, kuat, jaya dan makmur sejahtera di kancah globalisasi, bangsa Indonesia
baik secara individu maupun secara kolektif harus mampu merevolusi mental dan moral
yang merusak tadi, serta membangun kembali jatidirinya yang mulia, selaku insan
kamil yang senantiasa jujur dan apa adanya, tahu diri, tahu menempatkan diri
dan tahu membawa diri, yang hidup dengan prinsip BSM, yaitu “Bersih –
Sederhana – Mengabdi”.
Dengan BSM
maka segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan
kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan
serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian kepada masyarakat
banyak. Pola hidup BSM yang sudah
pernah dicanangkan oleh Yayasan Amanah Umat, Jakarta dan dibacakan oleh Ketua
Dewan Pembinanya Prof.K.H.Ali Yafie 12 Oktober 2005, harus dikembangkan menjadi
moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke sektor-sektor kehidupan
lainnya terutama dalam kebudayaan.
Sebagai contoh di bidang energi, Guru Besar ITB Prof.Dr.Teuku Abdullah Sanny
dalam tulisannya di Republika 14 Oktober 2014, sudah mengusulkan 7 (tujuh)
langkah strategis dalam revolusi mental bidang energi, antara lain Pemerintah
harus dapat segera membuat rencana strategis energi berbasis nonmigas serta
mengubah kebijakan yang bersifat sentralistik ke pola regional sesuai
karakteristik alam masing-masing.
Revolusi kebijakan yang seperti itu akan
meningkatkan daya guna, tepat guna dan mendekatkan sekaligus semakin melibatkan
peranserta masyarakat di berbagai daerah dalam memenuhi kebutuhan energi bagi
dirinya sendiri.
Kita harus bisa mendayagunakan secara optimal apa-apa yang kita miliki,
termasuk mengolah potensi alam seperti sampah, air, matahari dan angin menjadi
sumber energi sebagaimana dikemukakan oleh Prof.Dr. Teuku Abdullah Sanny tadi.
Dalam budaya ekonomi, kita harus bisa
mengobarkan perang terhadap sikap hidup yang konsumtif dan boros, dengan
membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan menabung. Kita harus menggalang
etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas yakni pola pikir,
sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber daya alam, ketrampilan, peralatan
dan ketekunan kerja dalam suatu mata rantai produksi yang luas,
berkesinambungan serta mengutamakan nilai tambah, dan bukan dalam arti sempit
sebagaimana kita kenal selama ini, yang dibatasi hanya semata-mata sebagai
suatu proses pabrikasi.
Dalam
memaknai geo-ekonomi di zamrud khatulistiwa yang secara potensial subur makmur
ini misalkan, bagaimana kita ditantang untuk membangun etos “setiap jengkal,
setiap saat menghasilkan”. Gerakan OVOP (One Village One Product) yang selama
ini sudah digulirkan oleh Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dan Universitas Gajah
Mada, sungguh tepat dan bisa menjadi contoh model pembangunan yang mengabdi
pada rakyat dan komunitas, yang produktif berkesinambungan, mendayagunakan
keunggulan lokal, yang melestarikan eko sistem dan melakukan konservasi.
Etos
dan budaya industri serta semangat OVOP itu harus dikembangkan dalam sistem kebersamaan
dan kekeluargaan yang kita kenal sebagai gotongroyong, sehingga mampu menggetarkan setiap pori-pori
kehidupan anak bangsa. Gerakan OVOP dengan sentuhan akhir kepariwisataan, sekaligus
juga akan dapat menarik banyak wisatawan dan menjadi gerakan dari desa
membangun Indonesia. Yogya dan sekitarnya misalkan, memiliki banyak produk dan
keunggulan lokal yang bisa menjadi unggulan serta percontohan Gerakan OVOP,
antara lain salak pondoh, geplak, tiwul, kerajinan kulit, keramik dan aneka
seni Jawa.
Pada
akhir 1970an, Alhamdulillah saya berkesempatan melihat kehidupan dan etos kerja
masyarakat Jepang. Ada dua hal yang menarik perhatian saya waktu itu yang
kemudian saya sajikan dalam laporan bersambung di Harian Suara Karya. Dua hal
yang terus menarik perhatian saya sampai sekarang ialah: Pertama, etos dan semangat Bushido,
yaitu semangat dan kode etik yang menjiwai kehidupan para ksatria yang dikenal
sebagai Samurai semenjak abad ke delapan Masehi, yang kemudian dibakukan pada
peralihan abad keenambelas dan ketujuhbelas. Di dalamnya terdapat nilai-nilai
antara lain kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan dan kehormatan yang harus
dipertahankan sampai mati. Kedua, semangat Japan Incoporated, yaitu semangat juang termasuk bisnis seluruh
bangsa Jepang setelah kalah dan hancur dalam Perang Dunia Kedua. Dengan
semangat Japan Incorporated baik
rakyat, para elit dan pemimpin Jepang, menyatu dalam semangat, tekad dan
kebijakan untuk bangkit dan jaya kembali sebagai bangsa yang besar. Karena itu
setiap kebijakan Pemerintah Jepang, dirancang sedemikian rupa sehingga bisa
menggetarkan setiap pori-pori kehidupan bangsa Jepang.
Dalam
kunjungan-kunjungan berikutnya saya melihat hal ketiga yaitu, gerakan OVOP yang baru dimulai di wilayah termiskin
di Jepang, yaitu di Perfektur Oita pada tahun 1979, namun dengan cepat berjalan
sangat baik sehingga menjadi model percontohan banyak negara khususnya Taiwan
dan Thailand. Budaya industri dalam arti luas yang menjiwai Gerakan OVOP,
mendorong masyarakat di tingkat bawah untuk hidup produktif dengan
mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki secara berkesinambungan. Sementara
semangat Bushido dan Japan Incorporated yang
ditanamkan secara sistemis semenjak kanak-kanak, menjadi landasan moral
kebangkitan dan kejayaan.
Semangat
keksatrian dan kepahlawanan ditanamkan secara sistemis pada anak laki-laki dan
keluarga Jepang semenjak tahun 1948. Anak-anak tingkat Sekolah Dasar selama 6
(enam) tahun penuh harus belajar budi pekerti dan bersosialisasi dengan orang
lain. Mereka juga belajar kesederhanaan dan kebersihan setiap hari. Setiap
tanggal 5 Mei, masyarakat dan khususnya anak laki-laki merayakan hari
kanak-kanak. Pada hari itu sekolah-sekolah mengibarkan bendera dengan gambar
ikan karper atau ikan emas, yang dimaksudkan agar setiap lelaki Jepang harus perkasa
bagaikan ikan karper, yang berani dan sanggup berenang melawan arus dan bukan
hanya mengikuti arus. Di rumah-rumah yang memiliki anak laki-laki dipajang
replika helm dan baju perang Samurai, untuk mengajarkan pria Jepang harus
memiliki jiwa keksatrian para Samurai Jepang, yang antara lain jujur serta setia
melindungi rakyat dan negeranya.
Ketiga hal yang menarik dari masyarakat Jepang
tadi pada hemat saya sejiwa dengan semangat Revolusi Mental sekaligus Revolusi
Moral, yang mau tidak mau memang harus kita lakukan. Dalam rangka Revolusi
Mental, maka para Pemimpin Negara, Pemimpin Pemerintahan dengan segenap aparat
birokrasi, penegak hukum, TNI – Polri serta para elite nasional tingkat pusat
dan daerah harus terlebih dahulu merevolusi mental dan moralnya sendiri, serta
menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Revolusi mental harus menggelinding
bagaikan bola salju yang makin lama makin besar, dengan para pemimpin sebagai
intinya. Revolusi mental harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan cara
berfikir serta moralitas pemimpin masyarakat atau pemegang kendali di
sektor-sektor kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.
Para tokoh masyarakat harus bangkit
menghidupkan kembali budaya serta kearifan-kearifan lokal suku-suku bangsa di
Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi, gotongroyong dan unggul dalam
seni dan ketrampilan. Para ulama harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan
formal umatnya dalam berbagai kegiatan dan perilaku amal saleh.
Apabila para pemimpin dan rakyat bisa
sama-sama hidup BSM: bersih – sederhana dan mengabdi, niscaya
solidaritas sosial dan saling kepercayaan yang kini kian menipis, bisa digalang
kembali. Sejarah di berbagai belahan bumi telah mengajarkan, para pemimpin yang
hebat adalah mereka yang senasib sepenanggungan dengan rakyat serta bisa
menghayati penderitaan rakyatnya. Jangan sampai misalkan kepada anak buah dan
masyarakat diminta hidup hemat dan pesta sederhana, sementara pemimpinnya
berpesta pora hidup bergelimang kemewahan. Jangan sampai bersemboyan sebagai
abdi masyarakat, namun dalam praktek kesaharian kita minta dilayani dan memeras
masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, di bidang usaha saja, boro-boro
dilayani dengan baik, belum apa-apa, baru mengurus ijin usaha saja sudah
dikenai berbagai pungutan. Padahal usahanya belum berjalan dan belum tentu
memperoleh keuntungan, bahkan mungkin bisa bangkrut.
Pemimpin-pemimpin yang menghayati penderitaan
rakyat dan visioner, akan dengan mudah membangkitkan harapan rakyat atas masa
depan yang gemilang di kancah perang dan kompetisi global yang tak mungkin dihindari.
Pemimpin-pemimpin yang seperti itu, yang pola hidupnya
bersih-sederhana-mengabdi, akan dengan mudah menggalang dukungan serta mengajak
rakyatnya bersama-sama mewujudkan masa depan nan gemilang.
Tetapi jangan lupa, Pemimpin itu sesungguhnya
bukan hanya Presiden, Gubernur dan Bupati, melainkan kita semua, sebagaimana
Sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Semua
kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam
adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah
pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang
isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya.
Seorang karyawan (juga pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaan
(majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (Hadis
Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, marilah kita bangun kepedulian
dan kebersamaan kita sebagai bangsa dengan jalan mempraktekkan pola hidup BSM. Pola hidup BSM akan membuat perekonomian Indonesia bergeser dari perekonomian
yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Korupsi yang lebih
berbahaya dan lebih jahat dibanding terorisme akan dapat diberantas. Ekonomi
berbiaya tinggi akan dapat ditekan, sehingga daya saing Indonesia menjadi
bagus. Devisa kita akan bisa banyak dihemat dan dihimpun. Lapangan kerja akan
banyak tersedia karena sektor produksi tumbuh bagaikan pohon industri yang
menjulang tinggi, berdahan dan berbuah lebat serta kokoh subur tertanam dalam alam
Nusantara yang sesuai.
Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber
daya alam terkelola dengan baik dan tidak dieksploitasi secara sembarangan.
Lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, pertumbuhan sosial ekonomi akan
merata ke segenap pelosok tanah air, kesenjangan sosial terjembatani, keadilan
sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi
terkendali. Ekonomi rakyat dengan demikian pasti akan tumbuh dalam kehidupan
masyarakat Nusantara Raya, negeri maritim di zamrud khatulistiwa, yang aman
tenteram, adil makmur, sejahtera jaya sentosa.
Alhamdulillah, aamiin.
*) Makalah, oleh-oleh
untuk peserta Seminar “Revolusi Mental Mewujudkan Ekonomi Berdikari” yang diselenggarakan oleh Dashboard Ekonomika
Kerakyatan, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada di Yogyakarta,
4 September 2015. Dari B.Wiwoho http://bwiwoho.blogspot.com dan http://islamjawa.wordpress.com.