Catatan: bahan-bahan
tentang nama Indonesia diambil dari berbagai tulisan di internet, antara lain
dari Wikipedia dan Sejarah Nama Indonesia, madita18.worpress.com,
3.3.2014.
Saudara-saudara sebangsa dan setanahair, sukakah jika
kita disebut sebagai bagian atau pun kepanjangan orang lain? Tentu tidak. Tapi
itulah kenyataannya dengan arti dan makna nama Indonesia. Indonesia itu artinya
adalah Kepulauan India. Jadi bagian dari India, bagian dari bangsa lain.
Memang “apalah arti sebuah nama?” Begitu pertanyaan
Juliet Capulet kepada Romeo Montague dalam drama termasyhur karya sastrawan dunia William Shakespeare (dibaptis
1564 – wafat 1616).
Adalah George Samuel Windsor Earl (1813 – 1865), yang pertama
kali mencetuskan nama Indonesia, lantaran ia tidak suka nama kepulauan yang
sekarang kita sebut Indonesia ini, diangap sebagai bagian dari India (Hindia). Di
masa itu, ada sejumlah sebutan untuk kepulauan kita yaitu Indian Archipelago,
Indische Archipel, Oost Indie, East Indies, Indes Orientales dan Nederland
Indie. Semuanya menyatakan keterkaitan kita dengan India. Maka pada tahun 1850
ia menulis dalam “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA: Jurnal Kepulauan India dan Asia
Timur), “Sudah tiba saatnya bagi
penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas. Sebab
nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.”
George Samuel Windsor Earl mengajukan dua pilihan nama
yaitu Indunesia dan Malayunesia. Nesia dari bahasa Yunani yang berarti pulau.
Nesia juga sama artinya dengan nusa. Dari dua nama tersebut Earl lebih memilih
Melayunesia dari pada Indunesia, yang juga tetap berarti Kepulauan Hindia. Lagi
pula, bahasa Melayu telah dipakai secara
cukup meluas di kepulauan tersebut. Pada hematnya Melayunesia lebih tepat untuk
nama ras Melayu. Sedangkan Indunesia memiliki cakupan wilayah dan ras yang berbeda
yang meliputi Ceylon dan Maldives (Maladewa).
Menanggapi usulan tersebut, James Richardson Logan,
perintis dari jurnal JIAEA, memilih kata Indunesia, tapi huruf u diganti dengan
huruf o, supaya ucapan dan kedengarannya lebih enak. Semenjak itu sebagai
penguasa jurnal ia sering menggunakan nama Indonesia.
Pada tahun 1884, Guru Besar Etnologi pada Universitas
Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905) menerbitkan buku “Indonesien
Order die Inseln des Malayischen Archipel” (Indonesia atau pulau-pulau di
Kepulauan Melayu). Tulisan Bastian ini sangat populer di Belanda dan juga di kalangan pemuda-pemuda
kita yang sedang belajar dan atau sedang dibuang ke negeri Belanda, terutama
Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantoro) . Tahun 1913 Ki Hajar mulai
mempopulerkan nama Indonesia tersebut dengan mendirikan Indonesische Pers Bureau
(Biro Pres Indonesia). Namun demikian pada saat itu beliau juga memperkenalkan
nama Nusantara sebagai alternatif.
Sementara itu pada tahun 1939, ahli bahasa Purwodarminto
menerbitkan Kamus dan mengusulkan nama Nusantara yang berasal dari Bahasa Kawi
sebagai nama untuk kepulauan Indonesia. Menjelang berakhirnya Perang Pasifik,
nama Nusantara sempat populer di semenanjung Melayu, sebagai aliternatif
untuk nama rumpun bangsa Melayu yang tersebar, membentang luas dari
semenanjung sampai ke pulau-pulau yang jauh.
Nusantara berasal dari kata nusa dan antara. Dalam Kamus
Bahasa Jawa Kuno – Indonesia karya PJ Zoetmulder, ada 3 arti dari kata antara. Pertama, jarak, jarak waktu, apa yang
ada diantara. Kedua, lain, yang lain,
berbeda. Ketiga, seluruh daerah-wilayah-lapangan.
Jadi nusantara berarti : (1) kepulauan di anatara dua benua; (2) seluruh daerah
kepulauan; (3) pulau-pulau yang lain.
Kini jelas bagi kita perbedaan makna antara Indonesia
dan Nusantara. Indonesia adalah berarti kepulauan Hindia. Dengan memakai nama
itu, maka kita ini hanyalah sekedar kepanjangan dari anak benua Hindia. Nama
itu juga bukan orisinal, asli karya anak bangsa sendiri, namun hadiah nama dari
George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan. Secara maknawi, kita ini
tidaklah siapa-siapa, kecuali hanya bagian dari “wilayah dan bangsa lain”.
Sebagai kepanjangan, maka ya wajarlah jika selama ini kita tidak mandiri, hanya
sekedar jadi obyek dari bangsa lain, bahkan dari kekuatan global. Karena memang dari namanya saja sudah tidak
mandiri. Beda halnya bila kita pakai nama yang orisinal sebagaimana nama pilihan yang sempat dicetuskan oleh Ki
Hajar Dewantoro dan diusulkan oleh ahli bahasa Purwodarminto, yaitu Nusantara.
Apalagi jika ditambah menjadi NusantaraRaya.
Tapi memang tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah
berlangsung puluhan tahun, bahkan sudah hampir seumur hidup. Lagi pula, ada
saja yang mengutip pertanyaan Juliet di atas, apalah arti sebuah nama? Bagi
saya, banyak sekali artinya. Nama itu identitas kebanggaan, yang bisa
menunjukkan sifat dan juga sekaligus doa serta harapan.
Sebagai orang Islam, tentu tidak mau kita dipanggil
dengan sebutan Abu Lahab atau Abu Jahal, musuh-musuh Kanjeng Nabi Muhammad.
Sebagai orang Jawa, saya senang dengan pemakaian nama binatang untuk nama orang
seperti Gajah, Singa, Elang, Mahesa dan Danu yang melambangkan keperkasaan.
Tapi saya tidak suka dengan nama Asu, Bajul, Ulo, Kadal, Monyet yang
berkonotasi dengan keburukan dan kelicikan. Demikian pula doa dan harapan yang
terkandung dalam sebuah nama. Bagaimana mungkin setiap saat kita mendoakan dan mengharapkan
kejayaan Indonesia atau Kepulauan India, yang berarti doa dan harapan bagi kejayaan
wilayah dan ras bangsa lain?
Dengan nama NusantaraRaya, kita membayangkan dan berdoa
bagi kejayaan sebuah bangsa maritim, yang memiliki pagar halaman di lautan nan
luas di sepanjang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang betul-betul menguasai dan
mensyukuri berkah lautan dengan aneka produk dan industri maritimnya, menguasai
industri dan armada-armada laut khususnya angkutan antar pulau, mendayagunakan
garis equatorial sebagai garis penginderaan. NusantaraRaya tidak lagi mengenal
istilah pulau-pulau terluar, apalagi pulau-pulau terpencil, karena sebagaimana
sebuah rumah, maka pagar halaman kita adalah ZEE itu. Daratan dan pulau-pulau
adalah bangunan-bangunan serta kamar-kamar di dalam pekarangan rumah kita yang
luas, asri nan makmur sejahtera.
Kita dan anak cucu akan selalu bangga menyanyikan “Nenek-moyangku
Orang Pelaut”, sebagaimana keturunan orang-orang Viking membanggakan
leluhurnya, sebagaimana orang-orang Cina bangga manjadi orang Cina.
Sungguh, lagu “Nenek Moyangku Orang
Pelaut”, bukanlah khayalan semata.
Mengenai kemampuan nenek moyang kita bangsa Nusantara pada umumnya dalam
menguasai teknologi perkapalan, banyak fakta sejarah yang membuktikan. Agus
Sunyoto dalam Atlas Walisongo, dengan
mengutip berbagai sumber tulisan dari Barat, menguraikan betapa pada tahun
70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan
semenjak abad ke-3 Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi
anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya
bermigrasi ke Madagaskar.
Bukan hanya dari para pencatat
perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di
relief Candi Borobudur. Beberapa tahun yang lalu, ahli-ahli perkapalan dari
Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, juga telah membuktikan kehandalan
perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya dan melayarkannya
dari Bali ke Madagaskar dengan selamat.
Pencatat sejarah Cina anak buah Fa Hsien di akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal
besar yang panjangnya 200 kaki ( 65
meter), tingginya 20 – 30 kaki ( 7 – 10 meter), dan mampu dimuati 600 –
700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou.
Sementara pada masa itu, panjang jung
Cina terbesar tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 –
20 kaki ( 3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari
sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu. Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920
dalam De Javansche Geestenwereld, yang
disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halamam 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien)
dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai
pulau Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah
kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (Atlas Walisongo halaman 20).
Gambaran tentang kemampuan nenek
moyang kita tadi, dicatat pula oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome
Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan
sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam
Pemugaran Persada Sejarah Leluhur
Majapahit , oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983
halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang
bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur
Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik
dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja
Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.
Sejarah panjang peradaban Jawa dan
juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh para penulis sejarah
asing, yang daftar rincian penulis tersebut sekarang ini bisa dilihat antara
lain di buku Atlas Walisongo, yang
diterbitkan oleh Pustaka IIman, Trans Pustaka dan LTN PBNU,
2012.
Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa,
yang telah menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, supaya saling mengenal dan saling berlomba mengerjakan
kebaikan, menganugerahkan kita bangsa negeri kepulauan Nusantara ini ampunan
dan pertolongan, sehingga kita bisa bangkit menjadi makmur sejahtera sebagai
suatu bangsa dengan rahmat dan berkahNYA. Aamiin.
Depok 3 Maret 2014.