Ada kebiasaan khas Indonesia yang
luar biasa dimensi dan dampak sosial-ekonominya, yaitu merayakan Hari Raya Idul
Fitri secara meriah, pulang kampung beramai-ramai, memintal dan memperbarui
jalinan tali silaturahim di antara sesamanya. Kebiasaan merayakan Idul Fitri
juga dilaksanakan umat muslim di berbagai belahan dunia seperti Emirat Arab,
Turki, Iran, Afrika Selatan, India, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Fiji
serta negara-negara tetangga kita khususnya Malaysia.
Namun dibanding di negara-negara
lain, perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah yang paling meriah bahkan gegap
gempita. Diperkirakan sekitar seperempat sampai sepertiga dari jumlah penduduk
Indonesia baik muslim maupun non muslim melakukan pergerakan dari satu kota ke
kota lain, bahkan dari satu pulau ke pulau lain, guna ikut merayakannya. Uang
puluhan trilyun rupiah, menyebar dari kota-kota besar ke kota-kota kecil, ke
kampung-kampung di segenap pelosok negeri, ke pedagang-pedagang kecil sektor
informal, mengikuti teori ekonomi menetes dari atas ke bawah. Semua bergembira
bersama, melepas kerinduan, mengendorkan saraf-saraf yang tegang setelah selama
dua belas bulan menyabung hidup di belantara kekerasan kehidupan kota besar.
Memang ada sejumlah pengamat yang
menganggap semua itu sebagai pemborosan yang mestinya tidak perlu. Tapi
sejumlah sosiolog, psikolog dan budayawan yang lain menilai justru sebagai
kebiasaan sosial yang baik dan bermanfaat. Tentu anda sendiri, wahai Sahabatku, yang lebih bisa menilai apakah kebiasaan tersebut
menghasilkan nilai positif atau tidak. Apakah pulang kampung, sungkem dan
berbakti kepada ayah-bunda, saling kunjung-mengunjungi untuk bersilaturahim,
yang sudah barang tentu memerlukan biaya itu bermanfaat atau tidak.
Di samping mobilitas manusia yang
tinggi, perayaan Idul Fitri di Indonesia juga lazim disertai dengan pengiriman
atau penyampaian ucapan Idul Fitri, yang disamping dilakukan secara tatap muka,
dahulu kala juga biasa dilakukan dengan mengirim kartu lebaran. Sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi, pengiriman bergeser ke pesan telpon singkat,
dan selanjutnya terus berkembang ke berbagai bentuk media jejaring sosial
lainnya.
Ada tiga jenis ucapan yang paling
lazim plus kombinasi dari ketiganya.
Pertama, “Selamat
Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin”.
Kedua, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal ‘Aidin wal Faizin”.
Ketiga, “Selamat Hari Raya Idul
Fitri. Taqaballallahu minaa wa minka”.
Tidak ada ayat Qur’an ataupun hadis
yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai, ucapan mana yang paling tepat.
Namun dari ketiganya, ucapan ‘Taqabbalallahu minaa wa minkum’ yang bermakna
“Semoga Allah Swt. menerima amal kami dan amal Anda”, dalam konteks ini
menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita, yang memiliki kaitan sejarah dengan
para sahabat Rasulullah.
Menurut sejumlah riwayat, para
sahabat Nabi Muhammad Saw.bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian
mereka kepada yang lainnya : “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”. Ibnu Qudamah
dalam “Al-Mughni” menyebutkan bahwa
Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan
selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila
kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain :
Taqabbalallahu minnaa wa minka. Beberapa shahabat menambahkan ucapan “shiyamana
wa shiyamakum’, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan
dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.
Adapun ucapan yang lain yaitu “Minal
‘Aidin wal Faizin”, adalah ungkapan kebiasaan khas masyarakat Indonesia, yang
pada umumnya dirangkaikan dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan bathin”, sehingga
kemudian ada yang mengartikan minal ‘adin wal faizin sebagai maaf lahir dan
batin. Padahal makna yang sesungguhnya adalah doa agar Gusti Allah menjadikan
kita sebagai orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan.
Di berbagai media jejaring sosial,
belakangan ini banyak tulisan yang mengulas ketiga ungkapan tadi. Ada yang bisa
menerimanya, tapi ada pula yang mencemooh bahkan menyalahkan. Dari berbagai
pendapat tersebut, ada pula beberapa yang mengutip pandangan dari pakar
tersohor kita Prof.Dr.M.Quraish Shihab, sebagaimana beliau tulis dalam buku Lentera Hati, Penerbit Mizan, hal 404
dan seterusnya.
Menurut beliau, minal ‘aidin yang berarti (semoga kita) termasuk orang-orang
yang kembali, dimaksudkan sebagai kembali kepada fitrah, yakni asal kejadian atau
kesucian, atau agama yang benar.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa –
yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke
asal kejadiannya dengan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci
sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama
yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah
– al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan,
dan alam.
Sementara itu, al-faizin diambil
dari kata fawz yang berarti keberuntungan. Apakah keberuntungan yang kita
harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata
tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan
bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun
menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai
keberuntungan yang bersifat material (Surat
An Nisaa : 73).
Bila kita telusuri Al-Quran yang
berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz,
ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali Surat
An Nisaa : 73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta
kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam
arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh
ampunan dan ridha Allah Swt. sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan
surga-Nya.
Salah satu syarat untuk memperoleh
anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam Surat An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan
dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam
menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus isteri Nabi, Aisyah. Begitu
marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi
bantuan apapun kepadanya.
Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Surat An Nuur : 22).
Prof.Dr. M.Quraish Shihab, pakar
yang memiliki reputasi internasional ini, mengakhiri ulasannya tentang
ucapan-ucapan yang menyertai perayaan Idul Fitri tersebut dengan suatu kalimat
penutup yang indah dan sejuk, mengajak kita “saling
berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal
faizin. Semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita, dan semoga kita
bersama memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.”
Demikianlah Sahabatku, ternyata menurut ahlinya, sesungguhnya tidak ada yang
salah dengan ungkapan-ungkapan tersebut. Yang mungkin kurang dari kita,
termasuk penulis selama ini, adalah kurang memahami makna, latar belakang serta
hakikat dari ungkapan itu. Kita hanya ikut-ikutan mengucapkan tanpa
memahaminya, sehingga kemudian bingung tatkala ada orang yang mengkritik.
Maka sami’naa wa atho’naa, kami dengar dan kami patuh kepada Kyai Haji
Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam puisinya
“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana?”
“ Ya sudahlah…. Aku pasrah kepada Tuhan yang kusembah”.
Beji 28 Ramadhan 1433 H ( 17 Agustus
2012).