Semua Pendapa
Menghadap ke Selatan
Singasari, Majapahit,
Surabaya, Demak, Semarang, Pajang, Pleret dan Kerta adalah sejumlah kota atau
bekas ibukota kerajaan di masa silam yang sempat mengukir sejarah, namun satu
demi satu bangunan bersejarahnya yang berusia beberapa abad lenyap tanpa bekas
terkubur zaman. Bahkan sisa-sisa tumpukan batunya saja sekarang sudah nyaris
tidak bisa ditemukan. Kalau bukan dihancurkan oleh waktu, adalah oleh amukan
lawan politiknya. Semarang misalkan, pada tahun 1540- an telah merupakan kota
pelabuhan, kota dagang sekaligus kota industri yang mendapat tugas dari Sultan
Demak untuk dalam jangka waktu 5 tahun membangun 1000 armada kapal perang
masingmasing berkapasitas 400 pasukan. Sebelumnya pada awal abad ke-16,
Semarang telah berhasil membangun 100 kapal perang yang kemudian dikirim ke
Malaka untuk menyerbu Portugis. Tentu hanya sebuah kota besar yang mampu
membangun armada perang sebanyak 400.000 pasukan. Namun akhirnya potensi dan
cita-cita besar tersebut kandas karena pada tahun 1546, Semarang dibumihanguskan
Arya Penangsang dari Jipang.
Demikian pula Surabaya di
abad ke-17, menurut sejarawan Belanda, Dr. H.J. de Graaf, telah memiliki tembok
benteng sepanjang 30 km, yang sisi luarnya dikelilingi parit. Diantara tembok
dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap setengah jarak tembakan meriam
terdapat benteng-benteng kecil berbentuk bujursangkar seperti halnya di Negeri
Cina, dan tiap-tiap benteng mempunyai 10 sampai 12 meriam. Selanjutnya pada
setiap jarak sejauh seperempat jam perjalanan ada sebuah pintu gerbang
berbentuk sama dengan pintu-pintu di Eropa, dengan penjagaan kuat yang terdiri
dari 15 sampai 20 orang.
Jika kota-kota besar tadi
lenyap di telan zaman, tidak demikian halnya dengan Kotagede. Di samping tata
kota, sisa benteng, pasar dan kompleks Makam, Kotagede juga masih memiliki lebih
dari 100 rumah adat Jawa yang berusia tua. Menurut Ketua Yayasan Pusat Studi,
Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede, Achmad Charris Zubair, pada tahun
1985, masih berdiri kokoh sebanyak 178 rumah kuno buatan antara tahun 1600 dan
1930. Tetapi tujuh tahun kemudian, menyusut tinggal
sekitar 150-an. Rumah-rumah itu tersebar di kelurahan Jagalan, Kampung
Alun-alun, Prenggan, Basen dan Purbayan.
Dari hasil kajiannya ada 3 tahapan bangunan Kotagede.
Pertama, yang dibangun pada periode Kerajaan
Mataram (tahun 1577-1630), yang berupa bangunan Jawa dengan corak Hindu. Kedua,
periode setelah tidak jadi ibukota Mataram (1630-1900-an), dimana corak Islam
seperti ukiran kaligrafi Arab dan musholla atau langgar semakin banyak. Ketiga,
Periode pertumbuhan ekonomi yang amat pesat antara 1920 sampai 1930-an, dimana
banyak bangunanbangunan bertata ruang Jawa dengan pengaruh gaya Eropa klasik
yang juga cukup kuat, yang kemudian disebut bergaya Indis. Sebagai contoh
adalah Restoran Omah Duwur dan Gedung Pertemuan Proyodranan, keduanya di jalan
Mondorakan. Mengenai bentuk, ada 5 golongan bentuk rumah adat Jawa yaitu bentuk
joglo, limasan,
masjid/tajug, kampung dan panggang
pe. Tapi sebagian besar rumah adat Jawa di
Kotagede adalah joglo dan sebagian besar lagi limasan atau kombinasi joglo dan
limasan.
Tata ruang rumah adat Jawa Mataram yang lengkap
terdiri dari pendapa joglo (ruang
atau bangunan yang terbuka), pringgitan (bangunan
penghubung yang disiapkan untuk pertunjukan wayang kulit atau ringgit), dalem
ageng (rumah induk, biasanya terdiri dari tiga kamar,
salah satu diantaranya dijadikan sebagai musholla atau kamar meditasi), gandok
(bangunan di sisi kiri dan kanan, memanjang dari depan ke belakang
yang disiapkan untuk kamar tidur anggota keluarga dan tamu), dapur,
paling belakang kamar mandi dan WC.
Rumah-rumah adat tersebut pada umumnya menggunakan
bahan bangunan kayu jati yang diukir indah. Luas dan besar bangunan serta
keindahan ukirannya, menunjukkan status sosial pemiliknya. Pada rumah-rumah
Indis, sebagian bahan kayu jati misalkan tiang dan dinding, telah diganti
dengan tembok yang diberi kaca mozaik warna-warni, sedangkan untuk lantai
digunakan keramik impor dari Eropa.
Ada dua persyaratan unit bangunan adat di Kotagede.
Pertama, tidak boleh tinggi dan bertingkat sehingga
penghuninya berada pada ketinggian di atas makam para pendiri Kotagede. Kedua,
bangunan pendapa harus menghadap ke selatan. Menurut budayawan Kotagede,
Muhammad Natsier, ini dulu dimaksudkan sebagai symbol penghormatan terhadap
penguasa alam gaib pendamping Panembahan Senopati, yaitu Ratu Laut Selatan.
Persyaratan itu dipatuhi dengan baik oleh masyarakat.