Beberapa waktu yang lalu, kita sudah membahas suluk-suluk awal abad
 ke 15 sampai dengan abad ke 16, yang merupakan suluk-suluk pembuka 
dakwah Islam. Suluk-suluk yang dikenal sebagai Suluk-Suluk Demak 
tersebut menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, dan menggambarkan 
era peralihan dari kepercayaan Syiwa Buddha ke Islam.
Kata suluk, berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti 
cara atau jalan. Tapi bisa juga berarti kelakuan atau tingkah laku. 
Dalam tasawuf, suluk berarti jalan atau cara untuk mendekatkan diri 
kepada Gusti Allah Swt. Menurut buku Ensiklopedi Islam yang diterbitkan 
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve – Jakarta, istilah suluk digunakan untuk suatu
 kegiatan tertentu oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ihwal 
(keadaan mental) atau makam tertentu.
Para ulama yang dimotori oleh Walisanga yang berdakwah pada abad XV –
 XVI, mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara menembang, 
bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan 
sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar 
semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong 
kematian ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang 
islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri 
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.
Mengenai era dan proses peralihan dari Syiwa Buddha ke Islam, 
sejumlah pengamat ada yang menyebut sebagai akulturisasi dan sebagian 
yang lain menyebut sinkretisme Islam – Jawa, yang bagaikan sebuah 
bawang, terdiri dari lapisan demi lapisan kulit. Agama dan kepercayaan 
lama, tidak dibuang, melainkan dibungkus pelan-pelan, selapis demi 
selapis bagaikan lapisan kulit bawang.
Dua suluk Demak yang paling kental nuansa peralihannya adalah suluk 
yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalijaga, yakni Singgah-Singgah dan 
Kidung Kawedar (lihat tulisan kami: 1. Tonggak-tonggak Awal Tasawuf 
Jawa; 2.Suluk Sunan Kalijaga Yang Populer Sampai Sekarang; 3. 
Singgah-Singgah, Suluk Bernuansa Magis; 4. Sedulur Papat Lima Pancer).
Mulai seri ini, kita akan membahas lebih mendalam dan insya Allah 
lengkap, Suluk Kidung Kawedar yang terdiri dari 46 bait. Setiap seri 
akan mengulas sekitar dua sampai empat bait. Bagi para sahabat yang 
berminat membaca tulisan-tulisan sebelumnya, terutama tentang 
suluk-suluk Jawa, bisa membuka blog kami 
http://islamjawa.worpress.com
 atau langsung bertanya ke “eyang Google” dengan menuliskan beberapa 
kata kunci atau menuliskan judulnya ditambah nama tasawuf jawa atau 
b.wiwoho.
Kidung Kawedar dikenal memiliki berapa nama lain yaitu Kidung Sarira 
Ayu, sesuai dengan bunyi teks dalam bait ketiga, dan Kidung Rumekso Ing 
Wengi, sesuai bunyi teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim menyebut
 Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan 
sebutan Surat Alam Nasyrah.
Dalam membahas bait demi bait, bagi yang bisa menembang macapat, 
silahkan dilakukan seraya mendendangkan dengan tembang Dhandanggula.
Bait 1:
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah penggawe ala,
guna ning wong luput,
geni temahan tirta,
maling adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju duduk pan sirna.
Artinya:
Ada tembang pujian menjaga di kala malam,
membuat kita selamat dan jauh dari segala penyakit,
terbebas dari segala mara bahaya,
jin dan setan tidak berani,
guna-guna atau teluh tidak mempan,
juga perbuatan buruk,
dari orang-orang jahat,
api menjadi dingin bagaikan air,
pencuri menjauh tiada yang berani mengincar saya,
segala mara bahaya sirna.
Bait 2:
Sakehing lara pan samya bali,
sakeh ama pan samya mirunda,
welas asih pandulune,
sakehing braja luput,
kadi kapuk tiba neng wesi,
sakehing weisa tawa,
sato galak lulut,
kayu aeng lemah sangar,
songing landak guwaning wong lemah miring,
myang pakiponing merak.
Artinya:
Segala jenis penyakit akan kembali,
semua jenis hama menyingkir,
matanya memancarkan kasih sayang,
semua senjata atau ajian tidak ada yang bisa mengenainya,
bagai kapuk yang jatuh ke besi,
segenap racun menjadi tawar,
binatang-binatang buas menjadi jinak,
pepohonan yang aneh (karena penuh daya magis) dan tanah angker,
sarang landak goa tempat tinggal tanah miring,
serta sarang tempat burung merak mendekam.
Bait 3:
Pagupakaning warak sakalir,
yen winaca ing segara asat,
temahan rahayu kabeh,
sarwo sarira ayu,
ingideran ing widodari,
rineksa malaekat,
sakathahing rosul,
pan dadyo sarira tunggal,
ati Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.
Artinya:
Di tempat badak berkubang,
maupun jika dibaca di lautan bisa membuat air laut surut,
membuat kita semua selamat sejahtera,
diri kita menjadi serba cantik (elok),
di kelilingi para bidadari,
dijaga oleh para malaikat,
dan semua rasul,
pada hakekatnya sudah menyatu dalam diri kita,
di hati kita ada Nabi Adam, di otak kita ada Baginda Sis,
jika berucap bagaikan ucapan Nabi Musa.
Sampai sekarang sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih 
percaya dan menyenangi hal-hal gaib. Secara sederhana hal itu bisa 
dilihat dari bertahannya kehadiran sejumlah media massa seperti majalah,
 tabloid bahkan acara-acara televisi yang menayangkan hal-hal gaib. 
Lebih-lebih lagi suasana kehidupan masa kecil saya di daerah Pantura 
(Pantai Utara) Jawa Tengah – Jawa Timur periode 1950 – 1960-an.
Hampir setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa 
bicara masalah makhluk halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta
 masalah-masalah gaib dan supranatural. Ada saja yang dibicarakan 
mengenai sepak terjang belasan jenis makhluk halus. Ada yang disebut 
gendruwo, wewe, banaspati, jrangkong, hantu pocong, glundung pecengis, 
lampor, sundel bolong dan lain-lain.
Setiap pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan 
ratusan tahun serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah 
manusia, dipercaya dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat 
seperti itu pada masa itu banyak sekali dan hampir ada di setiap 
pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan hunian tidak sepadat 
sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar. Kebun dan 
halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak yang 
belum terolah dan menjadi semak belukar atau berupa rumpun bambu. 
Demikian pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang 
besar-besar lagi tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya.
Sementara listrik belum masuk desa, belum ada radio, televisi, apalagi 
telpon. Jalan-jalan desa masih berupa jalan tanah dan jumlah mobil di 
setiap kabupaten bisa dihitung dengan jari. Jadi bisa dibayangkan, sunyi
 sepinya suasana sehari-hari, lebih-lebih bila hari sudah mulai gelap.
Di tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional 
termasuk permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan 
jaelangsih. Kami juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika 
bepergian, mempelajari ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta 
berbagai olah batin agar bisa selamat lagi berjaya dalam kehidupan.
Itu adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa
 lebih sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara 
di mana-mana, suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan 
Majapahit ke Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan
 ke penduduk Jawa yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan 
banyak yang memuja ruh-ruh halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling
 menarik untuk disampaikan jikalau bukan tentang bagaimana menghadapi 
godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam, memperoleh kesaktian serta 
menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi kesejahteraan hidup.
Dengan daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar 
sebagaimana 3 (tiga) bait di atas. Kanjeng Sunan Kali, demikian 
panggilan kehormatan beliau, langsung menawarkan mantera pelindung 
kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca dan yang mempercayainya
 dari segala marabahaya, serta bisa membuat hidup menjadi sejahtara.
Bait pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar 
namun sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, 
yang melindungi kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, 
melindungi dari gangguan jin dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala 
hal yang buruk yang mau mencelakai kita, sampai-sampai diibaratkan bisa 
mengubah api yang panas menjadi air nan sejuk bila menghampiri kita, 
seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar. Demikian pula para 
pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik kita.
Bait kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan
 penyakit menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita 
menjadi iba dan menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada 
yang bisa mencelakai kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan 
lagi lembut, jatuh ke atas besi yang keras lagi kuat. Semua racun 
menjadi tawar, semua binatang buas menjadi jinak. Segala jenis 
tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau angker serta 
sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu ditakuti 
lagi.
Bait ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang 
luar biasa bak bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang
 dilanjutkan dengan iming-iming, pesona gambaran kehidupan serba nyaman 
dan selamat sejahtera. Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan adanya 
para dewa dengan para bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya 
tarik dan istilah-istilah baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir 
ajaran Islam.
Siapa yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para 
bidadari, akan dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah 
menyatu pada diri kita. Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin 
kita. Nabi Sis berada di otak sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. 
Malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa adalah hal-hal baru bagi orang-orang
 Jawa baik yang animis, mempercayai ruh leluhur, makhluk gaib mau pun 
yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru itulah yang sesungguhnya menjadi inti 
kekuatan kidung mantera pujian ini.
Subhanallaah.