Kembali ke UUD 1945, Dwifungsi ABRI dan Pilpres Menurut Prijanto
           
INDOPOS.CO.ID
 – Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto mengatakan, kembali ke 
UUD 1945 dan Dwifungsi ABRI itu, tidak ada kaitannya. “Keliru besar jika
 ada pendapat yang mengkaitkan atau mencurigai tuntutan untuk kembali ke
 UUD 1945 sebagai upaya ingin menghidupkan Dwifungsi ABRI,” kata salah 
satu pemrakarsa Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) itu ketika 
diwawancarai di rumahnya, di Jakarta, Minggu (17/3/2019).
Berbicara Dwifungsi ABRI, kata Prijanto
 yang pernah menjabat sebagai Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan 
Darat (Aster KSAD) ini, harus faham awal mulanya. Konsep “Jalan Tengah” 
buah pikiran Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat 
waktu itu, sebagai embrio Dwifungsi ABRI. Mengingat Tentara Indonesia 
lahir dari revolusi kemerdekaan, bukan hasil bentukan negara, sehingga 
ada yang berpendapat tentara sejak awal memang sudah berpolitik, yaitu 
politik untuk negara. Terjadilah diskusi berkepanjangan, apa sejatinya 
yang dimaksud dengan Dwifungsi ABRI.
Apapun definisinya, konsepsi tersebut, 
jika dikaitkan dengan pasal-pasal UUD 1945 dapat dipastikan tidak ada 
yang mengkait. Dengan demikian, jelas tidak mungkin tuntutan kembali ke 
UUD 1945 ada kaitannya dengan ingin menghidupkan Dwifungsi ABRI. 
“Pikiran konyol dan tidak mendasar semacam itu tidak perlu diumbar. 
Patut saya menduga, hal itu sebagai upaya untuk menghambat kita kembali 
ke UUD 1945,” imbuh Prijanto.
Lebih jauh Prijanto menyampaikan bahwa 
tuntutan atau ajakan untuk kembali ke UUD 1945 itu ada 2 (dua) aspek 
yang nendasari : (1) mencermati dengan pendekatan teoritis akademis, isi
 konstitusi hasil amandemen UUD 1945 (2) mencermati dampak nyata dalam 
kehidupan berbangsa dan bernegara atas pelaksanaan konstitusi hasil 
amandemen tersebut.
Kaitan isi konstitusi, Prijanto 
mengutip tulisan Prof. Dr. Dahlan Thaib, M.Si, Guru Besar Hukum Tata 
Negara FU-UII Yogyakarta, berjudul “Nasib Hasil Kerja Komisi Konstitusi 
tentang Amandemen UUD 1945”. Seperti kita ketahui, tahun 2002 MPR RI 
membentuk Komisi Konstitusi untuk mengkaji secara komprehensif terhadap 
hasil 4 kali amandemen UUD 1945.
Secara garis besar, kurang lebih 
sebagai berikut: Pertama, pengaturan sistem Presidential, pasal-pasalnya
 tidak diterapkan secara konsisten. Kedua, prinsip kedaulatan rakyat, 
konsep negara hukum dan check and balance, pasal-pasalnya tidak 
diterapkan secara konsisten. Ketiga, amandemen UUD 1945 terkesan 
menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak 
jelas, rumusan pasal-pasal yang multi interpretative, sehingga bisa 
menimbulkan instabilitas hukum dan instabilitas politik.
Komisi Konstitusi yang beranggotakan 
pakar hukum telah menemukan 31 kelemahan hasil amandemen. Rekomendasi 
yang disampaikan kepada MPR RI, tidak ketahuan rimbanya. Padahal menurut
 banyak pakar, kekacauan yang ada saat ini diakibatkan konstitusi hasil 
amandemen yang tidak baik.
Untuk jelasnya, Prijanto menyilakan 
buka artikel-artikel seputar Komisi Konstitusi di google dan baca buku 
“Bangkit, Bergerak, Berubah atau Punah” dan buku “Mengapa Kita Harus 
Kembali ke UUD 1945” yang merupakan kumpulan artikel para tokoh yang 
disusun oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia.
Bukti lapangan, UUD 1945 hasil 
amandemen juga berdampak buruk terhadap kehidupan bermasyarakat, 
berbangsa dan bernegara. Persatuan Indonesia nyaris terkoyak-koyak. 
Kehidupan sosial budaya sangat buruk, saling mencaci, meghujat, 
memfitnah, membenci dan menghinakan satu sama lain serta kebohongan yang
 merajalela. Penegakan hukum juga jauh dari harapan rakyat. Kedaulatan 
nyaris hilang, dan demokrasi telah menyimpang dari spirit dan nafas 
nilai-nilai Pancasila. Demokrasi kita telah berubah menjadi demokrasi 
yang individualistis, siapa yang kuat dialah yang menang.
Dari dua aspek tinjauan di 
atas itulah yang mendasari Gerakan Kebangkitan Indonesia mengajak untuk 
mari kita “Kembali ke UUD 1945”, tutur Prijanto. Lebih lanjut Prijanto 
menjelaskan apa tujuan kita harus kembali ke UUD 1945, antara lain: 
Pertama, agar Persatuan Indonesia tidak terkoyak-koyak. Kedua, agar 
bangsa dan negara Indonesia tidak punah.
Ketiga, agar kita bisa menyempurnakan 
UUD 1945 untuk menapak masa kini dan menyongsong masa depan, tanpa harus
 meninggalkan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Negara 
Indonesia Merdeka oleh ‘the founding fathers and mothers’ dengan cara 
memberikan adendum pada UUD 1945. Keempat, agar kita bisa membumikan 
Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dwi Azimat Bangsa Indonesia. Kelima, agar
 kita bisa mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, aman, 
tenteram, adil dan makmur.
Mencermati alasan dan tujuan di atas, 
kiranya menjadi jelas, kembali ke UUD 1945 bukan untuk menghidupkan 
kembali Dwifungsi ABRI, ataupun pemerintahan yang otoriter dan 
militeristik. Apa yang dilakukan Gerakan Kebangkitan Indonesia saat ini 
pun tidak ada kaitannya dengan politik praktis Pilpres dan Pileg 2019. 
Karena, nafas perjuangan GKI hakikatnya lanjutan perjuangan para senior 
sejak tahun 2002. Embrio Gerakan Kebangkitan Indonesia adalah Gerakan 
Selamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (GSNKRI) yang berawal dari
 “Curah Pendapat” di kantor PPAD DKI, 30/9/2015. Dalam curah pendapat 
tersebut didiskusikan jargon apa yang tepat, agar mudah dan bisa 
diterima masyarakat.
Ada jargon “Kaji Ulang UUD 1945” ada 
juga yang lebih progresif “Kembali ke UUD 1945”. Pada waktu itu 
disepakati, agar tidak hanya berhenti di kajian saja, dan agar tidak 
dicurigai kembali seperti masa lalu, maka jargon yang dipakai adalah 
“Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakan”. Jargon ini mewadahi 
aspirasi yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan yang ingin 
menyempurnakan, dengan tetap menjaga nilai-nilai, cita-cita dan tujuan 
didirikannya Indonesia Merdeka tetap lestari.
Perjuangan GSNKRI tahun 2015 hakikatnya
 kelanjutan perjuangan para senior sejak tahun 2002, seperti Jenderal 
Try Soetrisno, Jenderal Widjojo Soejono, Letjen Sayidiman, Letjen 
Syaiful Sulun, Prof. KH. Alie Yafie, Prof. Dr. Mubyarto, Bambang Wiwoho,
 Hariman Siregar, dll. Begitu pula perjuangan Gerakan Kebangkitan 
Indonesia (GKI) yang dimulai tahun 2018, juga lanjutan dari perjuangan 
para senior, untuk kembali ke UUD 1945.
M. Hatta Taliwang, dari GSNKRI telah 
menuangkan pikirannya dalam buku “Selamatkan NKRI : Kembali ke UUD 1945 
Asli, Untuk Disempurnakan”. Buku ini diserahkan GSNKRI yang dipimpin 
Jenderal Djoko Santoso kepada Ketua MPR RI, 15/12/2015. Dalam perjalanan
 perjuangan, sabagian sosok yang ada di GSNKRI memprakarsai lahirnya 
Gerakan Kebangkitan Indonesia, yang dideklarasikan 7/1/2018.
Jargon “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk
 Disempurnakan” dijadikan sebagai salah satu misi GKI, yaitu 
“Mengedukasi dan mengajak “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk 
Disempurnakan”.
Ketika ditanya tentang apa yang 
dimaksud dengan Dwi Azimat Bangsa Indonesia, apakah sama dengan Panca 
Azimat Revolusi ajaran Bung Karno? Prijanto tersenyum dan menjawab, jauh
 berbeda dan walau ada kata azimat, hal ini ini bukan urusan musrik, 
tetapi istilah politik saja.
Di lain waktu, Prijanto bersedia untuk 
menjelaskannya. Di akhir wawancara, Prijanto mengajak semua pihak, yang 
sudah memahami alasan dan tujuan mengapa kita harus kembali ke UUD 1945,
 kiranya sesuai kewenangan, kapasitas, dan kesempatan yang dimiliki, 
untuk bersedia sebagai fasilitator untuk mensosialisasikan, 
menggelorakan dan membumikan ajakan tersebut.
“Jika tidak ingin ‘Persatuan Indonesia’
 koyak dan Negara Indonesia punah, kembali ke UUD 1945 merupakan 
kebutuhan yang tidak bisa dinafikan. Semoga, Insya Allah,” pungkasnya. 
(mdo