“Bukan
lautan hanya kolam susu kail dan jala cukup menghidupimu tiada badai
tiada topan kau temui ikan dan udang menghampiri dirimu.
Orang
bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman orang bilang tanah kita tanah
surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Masih ingatkah anda wahai
generasi remaja dan pemuda tahun 1970an akan lirik lagu di atas? Itulah lirik
lagu “Kolam Susu" yang sangat populer pada masa itu.
Lagu ini diciptakan oleh Yok Koeswoyo dan dinyanyikan oleh grup musik Koes
Ploes tahun 1973, yang diilhami keindahan
serta kandungan kekayaan alam Indonesia.
"Laut kita kaya raya akan
udang, ikan dan tongkat kayu serta batu jadi tanaman. Apa gak surga itu? Tapi sayang dicuri sama orang-orang asing,” ujar
Yok dalam konperensi pers 16 November 2016.
Lagu Kolam Susu menggambarkan
sebagian saja dari kekayaan alam
Indonesia yang melimpah ruah, baik darat, laut maupun udara, sehingga sempat
mengundang dan dikuasai penjajah asing selama tiga setengah abad.
Kini setelah kepulauan Nusantara
yang sempat dijajah selama tiga setengah abad ini memproklamasikan kemerdekaan,
dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tepat 75
tahun yang lalu, bagaimanakah keadaannya?
Apakah cita-cita kemerdekaan sebagaimana dituangkan di dalam Pembukaan
UUD yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial yang berlandaskan pada lima prinsip dasar negara yang kita kenal sebagai
Pancasila, sudah terwujud?
Dalam perjalanan kehidupan berbangsa
dan bernegara, tentu banyak hal yang sudah kita capai dan hadapi, baik yang
positif maupun negatif. Namun ijinkanlah kali ini kita mengikuti contoh dari
dua kalifah sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, yakni Khalifah Ustman dan Kalifah
Ali.
Ketika Sayyidina Utsman bin Affan
dipuji seseorang, wajahnya memerah. Beliau segera berlutut dan melumuri
wajahnya dengan tanah. Pun demikian halnya tatkala Sayyidina Ali bin Abi Thalib
dipuji, beliau berkata, “Apakah kau ingin menghancurkanku?!”
Oleh sebab itu penulis akan mengungkapkan
fakta dan data yang kita hadapi, yang bisa mengancam kehidupan berbangsa dan
bernegara pada usia ke 75 tahun ini. Bukan untuk mengobarkan pesimisme, melainkan
guna mengguggah kesadaran bahwa kita tengah menghadapi keadaan yang mendesak,
yang mendekati situasi krisis. Dengan mengenali masalah secara tepat, kita bisa
membuat perkiraan keadaan yang tepat, serta melakukan antisiapasi yang tepat
pula.
Marilah kita mulai dengan mengutip
negarawan senior, sisa-sisa Angkatan 45 – pelaku sejarah Perang Kemerdekaan
yang insya Allah 21 September yang akan datang akan genap 93 tahun, yakni
Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo.
Cendekiawan TNI yang memiliki reputasi terpuji ini, sampai sekarang masih sangat aktif menulis bahkan mengikuti
berbagai Webinar yang kini sedang marak.
Dalam bukunya “Masyarakat Pancasila”
yang diluncurkan pada 6 Februari di hadapan lebih 500 hadirin di Gedung MPR-RI,
Letjen Sayidiman menulis, menurut lembaga
internasional IMF pada tahun 2018
Indonesia menjadi negara 16 terkaya di Dunia dengan GDP sebesar US 1,015
trilyun. Dengan begitu Indonesia adalah negara terkaya di Asia Tenggara,
mengatasi Singapore, Malaysia, Thailand dan lainnya. Namun hal itu tidak
menjadikan Indonesia negara sejahtera, karena dalam kondisi ini ada kenyataan
bahwa 9,82 prosen jumlah penduduk atau 25,95 juta orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.
Di samping kemiskinan ada kesenjangan lebar antara golongan kaya
dan miskin. Rasio Gini sebesar 0,389 pada bulan Maret 2018 masih menunjukkan
lebarnya kesenjangan. Diperkirakan bahwa 1% dari jumlah orang terkaya atau 2,5 juta
orang menguasai 50% kekayaan negara atau sekitar USD 550 milyar. Tentu bukan kesejahteraan yang seperti ini yang kita
inginkan.
Angka penduduk miskin yang
dikutip Pak Sayidiman adalah angka tahun 2018. Sementara itu sekitar sebulan
sebelum Indonesia mengakui terserang wabah Corona, tepatnya pada 30 Januari
2020, Bank Dunia mengeluarkan data lapisan masyarakat Indonesia yang terdiri
dari 5 (lima) lapis. Pertama lapisan masyarakat miskin 11% atau 29,656 juta
jiwa; kedua masyarakat rentan 24% (64,704 juta); ketiga lapisan menuju menengah
44,5% (119,972 juta); keempat lapisan menengah 20% (53,920 juta) dan lapisan
atas 0,5% (1,348 juta). Berarti lapisan atas justru semakin mengecil.
Bank Dunia menyebut masyarakat menuju kelas menengah
yang merupakan kelompok paling besar, diukur berdasarkan kemampuan belanja
sebesar Rp.532.000,- sampai Rp.1.200.000,- per kapita perbulan. Bagi rata-rata
Kepala Keluarga dengan 2 anak, itu sama dengan
Rp.2.128.000,- sampai Rp.4.800.000,- sebulan. Dari pengamatan penulis, keluarga
tukang ojeg termasuk dalam lapisan menuju menengah. Kita tahu sendiri bagaimana
marginalnya kehidupan mereka dengan kemampuan belanja sebesar itu, buat (1)
memenuhi cicilan kredit motor dan segala persyaratan operasional untuk ngojek yang
harus ditanggungnya; (2) kontrakan rumah petak; (3) kebutuhan hidup
sehari-hari.
Jika menyimak perkembangan yang kurang baik pada ketenagakerjaan dan penghasilan masyarakat
selama 5 bulan terakhir akibat pandemi
Corona, dipastikan jumlah masyarakat miskin sampai dengan menuju menengah
menjadi semakin besar.
Sejalan dengan pendapat Pak Sayidiman tersebut, masih
segar diingatan kita, banyak beredar berita, Indonesia masuk dalam 100 negara
termiskin dengan urutan 68, diapit oleh Djibouti (urutan 67) dan Guyana (urutan
69). Sebelumnya, Oxfam Indonesia bersama NGO Forum on Indonesia Development
(INFID) mengumumkan penelitiannya tentang kekayaan 4 (empat) orang terkaya Indonesia pada 2016 sama dengan 100 juta
rakyat miskin Indonesia.
Demikian pula, Lembaga
Keuangan Swiss Credit Suisse juga mengeluarkan riset mengenai
ketimpangan kekayaan di berbagai negara. Indonesia masuk dalam 9 besar negara
dengan kekayaan tidak merata. Hanya satu persen saja orang terkaya Indonesia
sudah menguasasi 49,3 persen kekayaan nasional. Sementara itu dalam kepemilikan tanah atau penguasaan lahan,
Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2014 mencatat 72% tanah di Indonesia
dikuasai hanya oleh 1% penduduk atau sekitar 2,6 juta orang, sedangkan sisanya
yang 28% diperebutkan oleh 99% penduduk atau oleh lebih dari 257,4 juta orang,
yang pada awal 2020 sudah meningkat menjadi 269,6 juta.
Dampak yang amat memprihatinkan dari kesenjangan
sekaligus kemiskinan tersebut bagi masa depan Indonesia adalah, lebih dari
sepertiga generasi muda kita menghadapi masa depan yang buruk. Ini
disebabkan 4 dari 10 anak balita kita
sekarang dipastikan mengalami stunting
atau pertumbuhan yang buruk. Kenyataan pahit tersebut diumumkan oleh Menteri
Kesehatan Nila Muluk pada Agustus 2018. Berdasarkan data yang diperoleh, Menkes menyebut kasus stunting di
Indonesia menunjukan angka 37,2 persen.
"Kita juga masih mengalami
stunting, atau kekurangan gizi atau kekerdilan, kerdil dalam arti pendek
barangkali enggak apa-apa, asal otaknya jangan ikut kerdil, tapi masalahnya
otaknya juga ikut kerdil," ujar Menkes. Selain pertumbuhan terhambat,
stunting dikaitkan pula dengan
perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan
belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. (Tribunnews 3 Agustus
2018).
Dalam
buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD
1945?” yang juga diluncurkan bersamaan buku pak Sayidiman di MPR, penulis
menyatakan, data-data di atas secara terang benderang menegaskan bahwa
ketimpangan, kesenjangan, ketidakadilan sosial dan ancaman masa depan tengah
melanda Indonesia.
Hal
itu bisa diatasi apabila semua kebijakan nasional berlandaskan serta taat asas pada Pancasila,
sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD. Yang menjadi masalah adalah Pancasila justru hanya sekadar retorika, yang
dalam kenyataannya hanya berupa semangat atau ruh di pembukaan UUD yang
berlaku sekarang, tapi tidak dijabarkan di dalam batang tubuh UUD berupa
pasal-pasal, yang selanjutnya menjadi pedoman dalam menyusun berbagai UU dan
kebijakan nasional pengelolaan negara. Menyedihkan sekali. Bila diibaratkan
makhluk hidup, Pancasila oleh UUD sekarang atau UUD Amandemen 2002, hanya
dijadikan sebagai ruh gentayangan tanpa memiliki tubuh.
Kesenjangan
dan ketidakadilan sosial akibat Pancasila tidak menjadi pedoman dalam
pengelolaan negara itulah musuh terbesar dan yang paling berbahaya bagi bangsa
Indonesia, yang akan terus muncul berkelindan dengan masalah-masalah lain, dan setiap saat bisa meledak kepermukaan
dalam berbagai bentuk, varian dan manifestasinya khususnya Suku – Agama – Ras
- Antar Golongan dan Daerah, dalam
sebuah negara lebih dari 17.500 pulau yang yang secara potensial sangat rawan.
Semoga
kita bisa segera menemukan jalan keluarnya, tapi itulah gambaran “Tanah kita
tanah surga” sebelum pandemi Corona. Lantas bagaimana halnya setelah Corona
yang melanda dunia termasuk Indonesia selama 8 bulan terakhir? (Berikutnya: JANGAN SAMPAI KEHILANGAN SATU GENERASI).
Catatan: artikel ini telah dimuat di panjimasyarakat.com 15/08/2020.