Pulau Jawa & Nusantara Sebelum Islam.
Tatkala
agama Islam mulai gencar didakwahkan pada abad XV – XVI, pulau Jawa yang masih
banyak hutan belantara dan semak belukarnya, bukanlah negeri jahiliyah yang
rendah peradabannya. Di balik dan di antara hutan-hutan belantara tersebut,
terdapat sejumlah monumen-monumen bukti pernah berlangsungnya peradaban tinggi
misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan
candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa
Tengah. Sementara itu sejumlah candi serta bukti peninggalan peradaban yang
sudah maju lainnya, juga terdapat di berbagai pelosok Nusantara.
Di
bidang pelayaran dan perdagangan,
beberapa sumber tulisan dari
Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto
dalam Atlas Walisongo, Pustaka Ilman, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012, menyatakan
pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di
Roma, dan semenjak abad ketiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara
telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di
antaranya bermigrasi ke Madagaskar.
Bukan
hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran
tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin
kapal dari Madura telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut,
dengan membuat tiruannya, sekaligus napaktilas pelayarannya. Kapal yang dinamai
“Samudraraksa” ini berlayar ke Afrika
dengan selamat dan kini disimpan di
Musium Kapal Samudraraksa di Borobudur
Pencatat
sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi
menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya
sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu
dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung China tidak sampai 100
kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan
yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini
telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun
Asia Tenggara di masa lalu.
Ahli
Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh
Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007
halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke
China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di
Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan
kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas
Walisongo halaman 20).
Berbagai
catatan sejarah menyatakan, pada sekitar abad VII – XII Masehi, di pulau
Sumatera juga berlangsung pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya
meliputi Asia Tenggara termasuk pulau Jawa. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi
pada abad VIII. Sejarawan S.Q.
Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja
Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada
khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu
Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda
dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu
Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir
" Dari Raja sekalian para raja
yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari
ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah
wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah
mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan.
Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan
segala hukum-hukumnya kepadaku." (Surat Maharaja Sriwijaya kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, 1 Mei 2015 pukul 18.45 ).
Bukti
tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai
prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai setidaknya ada lima
sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9
sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).
Pun
demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI itu, tatkala para ulama gencar
berdakwah ke Nusantara. Pamor Kerajaan
Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, memang sedang
memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran
peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires
dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah
Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit oleh
Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan
seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah
(1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai
raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk
keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar
dari Jawa.
Sejarah panjang
peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh
para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulisnya bisa dilihat antara
lain di buku Atlas Walisongo.
Dalam halaman 374
buku tadi bahkan digambarkan secara ekstrem kesombongan orang Jawa Majapahit.
Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum
balatentara Demak menyerbu
Girindrawardhana di Majapahit, mencatat antara lain sebagai berikut:
“Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait
dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya sehingga Malaka, Aceh dan
semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk
pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu
memandang orang bukan Jawa lebih rendah.”
Bersamaan
dengan masa peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit yang memudar ke
Kadipaten Demak yang semakin membesar, berlangsung pula suasana peralihan di
bidang keagamaan dan kepercayaan. Pada masa kejayaan Majapahit, masyarakat
menganut agama Hindu yang mengutamakan pemujaan pada Dewa Syiwa serta agama
Buddha. Kedua agama tadi berjalan seiring dengan kepercayaan masyarakat
terhadap ruh-ruh halus. Mereka
juga sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengkaitkan hampir semua
aspek kehidupan dengan hal tersebut.
Kesenian, Salah Satu
Media Dakwah Para Wali.
Dalam
suasana kehidupan yang seperti itulah agama Islam yang sudah bersemi di pusat
kerajaan Majapahit, semakin disebarkan secara meluas oleh para ulama, yang
kemudian dikenal sebagai para wali dan diberi sebutan atau nama panggilan
Sunan. Dua dari para wali itu adalah Sunan Bonang dan muridnya yaitu Sunan
Kalijaga, dikenang masyarakat sampai sekarang karena jago berdakwah dengan menggunakan media kesenian,
terutama berupa musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa.
Para
ulama yang hidup sederhana, zuhud dan wara, mengenalkan agama Islam antara lain
dengan cara menembang, bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria
yang ditujukan sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar
semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian
ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu
diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.
Kata suluk, berasal dari bahasa Arab yang
secara etimologis berarti cara atau jalan. Tapi bisa juga berarti kelakuan atau
tingkah laku. Dalam tasawuf, suluk berarti jalan atau cara untuk mendekatkan
diri kepada Gusti Allah Swt. Menurut buku Ensiklopedi
Islam yang diterbitkan PT.Ichtiar Baru Van Hoeve - Jakarta, istilah suluk
digunakan untuk suatu kegiatan tertentu oleh seseorang agar ia dapat mencapai
suatu ihwal (keadaan mental) atau makam tertentu.
Dengan
memanfaatkan serta mengembangkan kesenian Jawa yang ada, disertai berbagai
contoh perikehidupan sehari-hari yang menarik dan senang menolong sesamanya, mereka menyusup halus secara bijak dalam
kehidupan masyarakat luas, mempengaruhi, menggeser setapak demi setapak atau
membungkus selapis demi selapis agama, kepercayaan dan adat istiadat lama.
Salah
satu dari sejumlah tembang yang dipercaya masyarakat sebagai ciptaan para wali,
adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam, yang dikenal dengan tiga
nama yaitu Kidung Kawedar atau Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi
teks dalam bait ketiga, dan Kidung
Rumekso Ing Wengi, sesuai bunyi teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim
menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan sebutan Surat Alam Nasyrah.
Kepada
masyarakat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan mistis tadi, Sunan Kalijaga
menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang
didendangkan dengan irama dhandanggula yang bernuansa meditatif-kontemplatif,
yang dikemas bagaikan sebuah mantera sakti guna mengatasi segala problem
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kecuali Suluk Kidung Kawedar, masyarakat Jawa khususnya di daerah Pantai
Utara Jawa, meyakini Sunan Kalijaga baik secara sendiri maupun dengan berkolaborasi
bersama para wali lainnya, juga menciptakan sejumlah suluk tembang dakwah
seperti Gundul-Gundul Pacul, Ilir-Ilir
dan Singgah-Singgah. Ketiganya memiliki ciri yang berbeda.
Gundul-Gundul
Pacul.
Gundul-Gundul
Pacul berirama jenaka namun penuh makna filosofis.
Makna ajaran yang terkandung dalam tembang “Gundul-Gundul Pacul” yaitu, seorang pemimpin yang ideal adalah
pemimpin tanpa mahkota, ibarat kepala gundul tanpa rambut. Pemimpin yang tak
peduli dengan pesona dunia demi mengemban amanah bagi alam dan kehidupan
rakyatnya, yang dilambangkan dengan pacul sebagai alat pertanian, serta
kesejahteraan rakyatnya yang dilambangkan dengan bakul berisi nasi.
Pemimpin tidak boleh gembelengan,
besar kepala – congkak lagi sombong. Karena kesombongan itu bagaikan mengambil
selendang kebesaran Gusti Allah. Jika itu dilakukan, maka hilanglah keberkahan
yang menaungi amanah kepemimpinan, sehingga bakul terguling dan
hakekat kesejahteraan tumpah tak berguna bagi rakyat. Mau bagaimana lagi jika
nasi sudah tumpah tersebar di jalanan?
Di samping melambangkan rakyat
kecil, pacul juga merupakan akronim dari papat kang ucul atau empat hal yang
terlepas. Empat hal itu merupakan kunci utama untuk mencapai derajat ketaqwaan,
oleh sebab itu harus dikendalikan dan tidak boleh lepas atau ucul. Ini sesuai
dengan ajaran Al Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin (Menuju Mukmin
Sejati). Empat itu ialah (1) mata dan telinga (2) mulut dengan lidahnya
(3) perut dan (4) hati. Guna mencapai maqam ini, Al Ghazali nmengajarkan kita
harus menghayati serta mengamalkan tiga hal yaitu takut dengan sebenar-benarnya
takut kepada Allah, bakti dan tunduk kepadaNya serta membersihkan hati dari
segala dosa. Ketiganya itu bisa kita capai asalkan kita bisa menahan diri dari
mengerjakan yang haram, dan juga bisa menahan diri dari mengerjakan perbuatan
halal yang berlebih-lebihan.(https://islamjawa.wordpress.com/2013/04/11/suluk-tembang-dakwah-walisongo-3-lagu-gundul-gundul-pacul-bukti-kejenakaan-ulama/
)
Ilir-Ilir.
Ilir-Ilir adalah tembang pengobar semangat dalam
berdakwah yang sangat dinamis, yang merupakan hasil kolaborasi Islam Putihan
dengan Islam Abangan. Tembang ini bagi kami masyarakat Pantura (Pantai Utara)
Jawa pada tahun 1950-an, dianggap sebagai produk kolaborasi tokoh Islam Putihan
yaitu Sunan Giri dengan tokoh Islam Abangan yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Giri
bersama Sunan Ampel dan Sunan Drajat adalah tokoh-tokoh Islam Putihan dalam
Walisongo, sedangkan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan
Muria merupakan tokoh-tokoh Islam Abangan.
Islam Abangan berdakwah dengan
cara menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman ke dalam
adat-istiadat dan budaya kehidupan sehari – hari masyarakat. Mereka memakai
tamzil – tamzil dan simbol adat – kebudayaan yang masih bercorak Syiwa atau
Hindu – Budha, yang bisa multi tafsir, bersama dengan kebudayaan Arab, Persi,
China dan Melayu. Mereka memasukkan nilai – nilai keislaman secara bertahap
agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak.
Sementara itu Islam Putihan
berpendapat Islam harus disyiarkan sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh
sebab itu adat – istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di
kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Sejak awal Islam
harus diajarkan secara bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya,
bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran. Pendapat ini
dipatahkan oleh Sunan Bonang dan kawan-kawan, yang khawatir dakwah akan gagal
jika dilakukan dengan memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata
sasaran dakwahnya. Dakwah haruslah komunikatif dan kontekstual. Bahwa ada
kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang
menyempurnakan.
Yang sungguh patut dicontoh,
meskipun berbeda pendapat tidaklah menyebabkan mereka berpisah jalan apalagi
bermusuhan. Tidak ada di antara mereka, semenjak dahulu sampai dengan para
pengikutnya di masa sekarang, yang merasa dirinya paling hebat dan paling suci.
Istilah anak muda zaman sekarang, tidak ada di antara mereka yang mengklaim
sebagai pemegang kunci surga. Mereka tetap bersahabat dan bersaudara, namun
berdakwah dengan cara dan metode masing-masing. Meskipun demikian tidak berarti
mereka tidak memiliki persamaan sama sekali. Dalam hal berdakwah menggunakan media
kesenian, mereka menemukan titik temu bahkan sepakat mengembangkan gamelan Jawa
serta menciptakan tembang-tembang dengan irama khas, mulai dari jenis tembang
mainan atau tembang dolanan anak-anak, sampai dengan yang berirama meditatif –
kontemplatif seperti tembang-tembang macapat yang terus kita kenal dan
lestarikan sekarang ini.
Sebagaimana telah saya singgung
dalam berbagai tulisan terdahulu, memang tidak banyak data sejarah yang bisa
dijadikan pegangan 100 persen tentang kisah perjuangan mereka. Hal itu justru
berbeda dengan masa sebelumnya yang banyak meninggalkan prasasti-prasasti baik
dalam bentuk batu bertulis maupun lempengan-lempengan logam. Sebagian besar
bahkan bertolak dari cerita-cerita yang dituturkan secara lesan dari generasi
ke generasi menjadi legenda. Sebagai contoh adalah suluk tembang “Ilir-Ilir”,
sebagian masyarakat menyebut “Lir-Ilir”, yang dipercaya merupakan karangan
Sunan Giri namun disempurnakan serta dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga. Menilik
kelaziman masa kini, kemungkinan besar Sunan Giri itu penciptanya, sedangkan
Sunan Kalijaga yang pandai mendalang itu menjadi penyanyinya. Sungguh
keteladanan yang perlu dilestarikan, meskipun berbeda namun mereka tetap bisa
berkolaborasi dalam bidang musik, dan jalan seiring serta saling melengkapi
dalam berdakwah. (https://islamjawa.wordpress.com/2013/04/26/suluk-tembang-dakwah-walisongo-5-ilir-ilir-kolaborasi-tokoh-islam-abangan-dengan-islam-putihan/)
Singgah-Singgah.
Sangat berbeda dengan Gundul-Gundul Pacul dan Ilir-Ilir
, yang iramanya bisa disebut sebagai irama “tembang dolanan” atau tembang untuk
permainan kanak-kanak, Singgah-Singgah
bernuansa magis . Di kalangan masyarakat
Jawa, suluk ini dipercaya memiliki kekuatan magis yang besar, yang biasa
ditembangkan untuk mengawali sesuatu hajat atau upacara penting, atau
mengiringi pemberangkatan jenazah dari rumah menuju pemakaman. Dalam
keseharian, suluk dengan nama Singgah-Singgah Kala Singgah ini juga biasa
didendangkan oleh seorang calon ayah yang isterinya sedang hamil, di antara
waktu maghrib dan isyak.
Tokoh nasional yang pemberangkatan
jenazahnya dari rumah ke masjid diiringi tembang Singgah-Singgah antara lain
adalah Si Burung Merak almarhum WS.Rendra, Jumat 7 Agustus 2009, di Cipayung,
Depok, Jawa Barat.
Berikut contoh beberapa bait dari
salah satu versi Suluk Singgah-Singgah tersebut:
Singgah-singgah kala singgah
Tan suminggah Durgakala sumingkir
Sing asirah sing asuku
Sing atan kasat mata
Sing atenggak sing awulu sing abahu
Kabeh pada sumingkira
Hing telenging jalanidi
Aja anggodha lan ngrencana
Apaningsun ya sun jatining urip
Dumadiku saka henu
Heneng henenging cipta
Singgangsana hing tawang-tawang prajaku
Sinebut pura kencana
Bebetenging rajeg wesi (ada yg menyebut “rajah wesi”).
Ana kanung saka wetan
Nunggang gajah telale elar singgih
Kullahu marang bali kul
Jim setan brekasakan
Amuliha mring tawang-tawang prajamu
Eblise ywa kari karang
Kulhu bolak-balik.
Geger setan wetan samya
Anerus jagad kulon playuning dhemit
Ing tengah Bathara Guru
Tinutup Nabi Suleman
Daya setan brekasakan ajur luluh
Ki jabang bayi wus mulya
Liwat siratal mustakim.
Sun langgeng amuja mantra
Pan jaswadi putra ing kodratmanik
Laa ilaaha illallaah
Muhammad Rasulullah
Sallallahu ngalaihi wasallam
Wangalaekumsalam
Puniku pupuji mami.
Terjemahan bebasnya kuranglebih
sebagai berikut:
Menyingkirlah wahai segala hal yang
jahat
Tidakkah kalian mau menyingkar, padahal dewa kejahatan kalian yaitu Betari
Durga dan Betara Kala pun sudah menyingkir
Wahai kalian segala makhluk, baik yang memiliki kepala maupun yang memiliki
kaki
Yang tak nampak mata
Yang memiliki leher, yang berbulu dan yang memiliki bahu
Kalian semua menyingkirlah
Pergi ke dasar samodra.
Jangan kalian menggoda dan
merencanakan kejahatan
Karena saya ini adalah hakekat kehidupan
Yang terbentuk dari dzat yang bersifat dewa
Yang dalam diam tafakur mampu melakukan apa saja
Berasal dari langit itulah kerajaan asalku
Yang disebut istana emas
Dibentengi pagar besi yang kokoh kuat (kalau rajah artinya pertahanan gaib).
Ada kekuatan gaib kuno dari timur
Mengendarai gajah dengan belalai dan sungguh memiliki sayap
Bacakan surat kulhu untuk menolak agar kembali
Semua jin dan setan yang menyeramkan
Pulanglah, kembali ke asal mulamu di langit
Iblis sudah lenyap tinggal bagaikan remukan batu karang
Berkat bacaan kulhu yang diulang-ulang (yang dimaksud dengan kulhu adalah
surat Al Ikhlas).
Semua setan yang berasal dari timur
geger semuanya
Lari ke barat ke wilayah para dhemit (jenis makhluk halus)
Karena di tengah kita berjaga Betara Guru (Pimpinan para Dewa)
Yang didukung penuh oleh Nabi Sulaeman (nabi para manusia, binatang dan
makhluk halus).
Segala daya kekuatan setan yang mengerikan itu hancur luluh
Sang Bayi sudah mulia (bisa berarti bayi sesungguhnya yang di dalam
kandungan atau bayi kiasan dari Islam sebagai agama baru di pulau Jawa),
Lewat jalan yang lurus (yang diridhoi).
Saya akan terus-menerus memanjatkan
mantera
Pembungkus putra atas kuasa akal budi
Tiada Tuhan kecuali Allah
Semoga Gusti Allah menganugerahkan keselamatan dan kesejahteraan untuk
Baginda (Kanjeng Nabi Muhammad).
Dan semoga kalian terselamatkan dari duka nestapa dan kesulitan
Inilah doa andalan saya.
Demikianlah,
bagi yang memahami maknanya, Suluk ini jelas mengajarkan kepada kita untuk
membangkitkan kekuatan bawah sadar kita, membangun sugesti diri menghadapi
semua bentuk kekuatan buruk, serta ditutup dengan kalimat tauhid yang merupakan
hakikat dari syahadat tauhid dan syahadat rasul.
Dengan
kesenian dan tembang-tembang itu, Islam diperkenalkan bukan sebagai suatu
gerakan yang agresif mengobarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Islam sesuai
dengan arti katanya, adalah suatu agama yang penuh dengan penyerahan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang justru berusaha menyelamatkan manusia dengan
perilaku silm atau salam atau damai. Islam diturunkan guna menebarkan cinta dan
kasih sayang, menggalang perdamaian serta kesejahteraan, bukan untuk perang dan
mengalirkan darah.
Hal
itu sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nahl (16) ayat 125: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana
dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.” Sungguh luas kandungan ayat ini. Sangat mulia
nilainya namun sering dilupakan. Bersama beberapa ayat yang lain, ayat ini
menunjukkan bahwa Islam menghormati sepenuhnya kemerdakaan berpendapat dan
berkepercayaan.
Gusti
Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 256 : “Tiada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dibanding jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada yang disembah selain Allah dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat, yang tidak akan putus.”
Lebih
jauh ditegaskan dalam Surat Yunus (10) ayat 99 : “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya semuanya menjadi orang-orang
yang beriman?”. Kemudian Al Kafirun
(109) ayat 6 : “Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku”.
Suluk Kidung
Kawedar.
Kembali
mengenai Suluk Kidung Kawedar, dengan karomah, wibawa serta keteladanan
perilaku dan kehidupannya yang baik, Sunan Kalijaga meyakinkan masyarakat akan
fadilah dan keutamaan Kidung Kawedar,
yang sesungguhnya tiada lain adalah sebuah kidung dakwah.
Yang
menarik dari urutan kandungan isi Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung
mengajarkan Rukun Islam khususnya syahadat dan shalat, melainkan dengan terlebih
dulu menanamkan sugesti kehidupan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
kala itu, kemudian memperkenalkan tokoh-tokoh panutan di dalam Islam serta
beberapa istilah penting. Sesudah sugesti yang bernuansa magis masuk ke dalam
filosofi kehidupan masyarakat, pengenalan terhadap tokoh-tokoh panutan terus
ditambah. Selanjutnya barulah diperkenalkan Rukun Iman, Rukun Islam dan
pokok-pokok ajaran tasawuf dengan kebiasaan berzikirnya. Sebagai contoh:
Bait 1:
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah penggawe ala,
guna ning wong luput,
geni temahan tirta,
maling adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju duduk pan sirna.
Artinya:
Ada tembang pujian menjaga di kala
malam,
membuat kita selamat dan jauh dari
segala penyakit,
terbebas dari segala mara bahaya,
jin dan setan tidak berani,
guna-guna (atau teluh) tidak mempan,
juga perbuatan buruk,
dari orang-orang jahat,
api menjadi dingin bagaikan air,
pencuri menjauh tiada yang berani
mengincar saya,
segala mara bahaya sirna.
Bait 2:
Sakehing lara pan samya bali,
sakeh ama pan samya mirunda,
welas asih pandulune,
sakehing braja luput,
kadi kapuk tiba neng wesi,
sakehing wisa tawa,
sato galak lulut,
kayu aeng lemah sangar,
songing landak guwaning wong lemah miring,
myang pakiponing merak.
Artinya:
Segala jenis penyakit akan kembali,
semua jenis hama menyingkir,
matanya memancarkan kasih sayang,
semua senjata (atau ajian) tidak ada
yang bisa mengenainya,
bagai kapuk yang jatuh ke besi,
segenap racun menjadi tawar,
binatang-binatang buas menjadi
jinak,
pepohonan yang aneh (karena penuh
daya magis) dan tanah angker,
sarang landak goa tempat tinggal
tanah miring,
serta sarang tempat burung merak
mendekam.
Bait 3:
Pagupakaning warak sakalir,
yen winaca ing segara asat,
temahan rahayu kabeh,
sarwo sarira ayu,
ingideran ing widodari,
rineksa malaekat,
sakathahing rosul,
pan dadyo sarira tunggal,
ati Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.
Artinya:
Di tempat badak berkubang,
maupun jika dibaca di lautan bisa
membuat air laut surut,
membuat kita semua selamat sejahtera,
diri kita menjadi serba cantik
(elok),
di kelilingi para bidadari,
dijaga oleh para malaikat,
dan semua rasul,
pada hakekatnya sudah menyatu dalam
diri kita,
di hati kita ada Nabi Adam, di otak
kita ada Baginda Sis,
jika berucap bagaikan ucapan Nabi
Musa.
Sampai
sekarang sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih percaya dan
menyenangi hal-hal gaib. Secara sederhana hal itu bisa dilihat dari bertahannya
kehadiran sejumlah media massa seperti majalah, tabloid bahkan acara-acara televisi
yang menayangkan hal-hal gaib. Lebih-lebih lagi suasana kehidupan masa kecil
saya di daerah Pantura (Pantai Utara)
Jawa Tengah – Jawa Timur periode 1950 – 1960-an.
Hampir
setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa bicara masalah makhluk
halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta masalah-masalah gaib dan
supranatural. Ada saja yang dibicarakan mengenai sepak terjang belasan jenis
makhluk halus. Ada yang disebut gendruwo,
wewe, banaspati, jrangkong, hantu pocong, glundung pecengis, lampor, sundel
bolong dan lain-lain.
Setiap
pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun
serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah manusia, dipercaya
dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat seperti itu pada masa itu banyak
sekali dan hampir ada di setiap pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan
hunian tidak sepadat sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar.
Kebun dan halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak
yang belum terolah dan menjadi semak belukar, atau berupa rumpun rumbia, enau
dan rumpun bambu.
Demikian
pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang besar-besar lagi
tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya. Sementara listrik belum masuk
desa, belum ada radio, televisi, apalagi telpon. Jalan-jalan desa masih berupa
jalan tanah dan jumlah mobil di setiap kabupaten bisa dihitung dengan jari.
Jadi bisa dibayangkan, sunyi sepinya suasana sehari-hari, lebih-lebih bila hari
sudah mulai gelap.
Di
tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional termasuk
permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan jaelangsih. Kami
juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika bepergian, mempelajari
ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta berbagai olah batin agar bisa
selamat lagi berjaya dalam kehidupan.
Itu
adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa lebih
sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara di mana-mana,
suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan Majapahit ke
Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan ke penduduk Jawa
yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh
halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling menarik untuk disampaikan jikalau
bukan tentang bagaimana menghadapi godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam,
memperoleh kesaktian serta menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi
kesejahteraan hidup.
Dengan
daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk
Kidung Kawedar sebagaimana 3 (tiga) bait di atas. Kanjeng Sunan Kali,
demikian panggilan kehormatan beliau, langsung menawarkan mantera pelindung
kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca dan yang mempercayainya dari
segala marabahaya, serta bisa membuat hidup menjadi sejahtara.
Bait
pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun
sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi
kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin
dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal buruk yang bisa mencelakai kita,
sampai-sampai diibaratkan dapat mengubah api yang panas menjadi air nan sejuk
bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar.
Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik
kita.
Bait
kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit
menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan
menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai
kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas
besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas
menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau
angker serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu
ditakuti lagi.
Bait
ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak
bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan iming-iming, pesona gambaran kehidupan
serba nyaman dan selamat sejahtera. Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan
adanya para dewa dengan para bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya
tarik dan istilah-istilah baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran
Islam.
Siapa
yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan
dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah menyatu pada diri kita.
Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak
sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis (Syith atau
Seth) dan Musa adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis,
mempercayai ruh leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru
itulah yang sesungguhnya menjadi inti kekuatan
kidung mantera pujian ini.
Subhanallaah.
Zikir Ya Hu Allah dan Keutamaan Surat Al
Ikhlas
Bait
30 :
Ya Hu Dat myang
pamujining wengi,
bale aras sasakane
mulya,
Kirun saka tengen
nggone,
Wana Kirun kang
tunggu,
saka kiwa gadane
wesi,
nulak panggawe
ala,
satru lawan mungsuh,
pengeret tenajul
rijal,
ander-ander kolhu
balik kang linuwih,
ambalik lara roga.
Artinya :
Ya
Hu Dzat (Ya Hu Allah) sebagai puji-pujian di kala malam,
balai
nan terpadu indah dengan lantai kemuliaan,
Kirun
(Qarin?) berada di sebelah kanan,
Wana
Kirun yang menjaga,
di
sebelah kiri (,) dengan gada besi,
menolak
perbuatan buruk,
para
seteru dan musuh,
menguatkan
manusia yang mengenal Allah melalui hati yang terbuka,
dengan
uraian Surat Qulhu (Al Ikhlas) (,) membalikkan dengan hebat,
memulihkan
segala penyakit dan penderitaan.
Bait
30 ini adalah bait yang luar biasa. Sarat kandungan makna dan keutamaan.
Diawali dengan ajaran zikir, keberadaan malaikat yang menjaga kita dan menolak
segala perbuatan buruk, kemudian bagaimana mengenal Gusti Allah dan keutamaan
surat Qulhu atau Al Ikhlas. Bait ini juga menjadi landasan ulah batin bagi para
penganut kejawen, baik yang muslim maupun yang bukan.
Baris
pertama adalah mengajarkan berzikir di kala malam. Zikir artinya mengingat atau
menyebut. Ingat dalam bahasa Jawa adalah eling. Dalam buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 113
sampai dengan 122, penulis telah mengulas masalah ini dengan judul “Eling Dalam Tasawuf Jawa.” Orang Jawa sering menasihati sanak
saudara yang sedang stres akibat sesuatu musibah agar eling dan nyebut. Eling
atau ingat apa? Nyebut apa? Ingat kepada Gusti Allah. Menyebut asma Allah Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk kejadian yang sedang kita hadapi.
Ingat bahwa segala sesuatu yang kita alami itu sudah merupakan skenario Allah,
Sutradara Yang Maha Agung. Oleh karena itu kita harus ikhlas, harus berbesar
jiwa untuk menerimanya.
Jadi
eling atau ingat itu sama maknanya dengan zikir, dan zikir yang terbaik adalah
zikrullah atau mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Ahzab
(33: 41-42) : “Wahai orang-orang yang
beriman, ingatlah kamu sekalian kepada Allah dengan zikir yang banyak dan
bertasbihlah kamu sekalian pada-Nya di waktu pagi dan petang.”
Dalam
rangka mengajarkan zikir itulah, maka Sunan Kalijaga memulai bait ini dengan
kalimat Ya Hu Dat myang pamujining wengi,
yang bermakna berzikirlah di kala malam kepada Dzat Allah. Kalimat ini di
dalam masyarakat Jawa berlanjut dengan ajaran zikir Ya Hu Allah. Kalimat zikir Ya
Hu Allah, Hu Allah dan Allahu sampai sekarang banyak dijumpai di kalangan
para penganut dan praktisi spiritual muslim Asia Tenggara khususnya Nusantara.
Allah adalah salah satu
bahkan merupakan asma yang utama yang menggenapkan sembilan puluh sembilan (99)
asma-asma Allah yang mulia (asma’ul husna)
menjadi seratus. Penggunaan asma Allah
sering dijumpai secara berdiri sendiri, dan sering pula bersama kata lain
seperti Akbar dan Nur, sehingga menjadi Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan Allahu Nur (Allah adalah Cahaya dari
segala Cahaya). Tak jarang dalam berzikir, kata Allah diberi tambahan Hu, sehingga menjadi Hu Allah yang berarti Dialah Allah.
Ada
sementara aliran yang memiliki pandangan berbeda mengenai ketiga kalimat zikir
tadi, terutama antara Hu Allah dan
Allahu. Namun lebih banyak lagi yang tidak mempersoalkan perbedaannya.
Imbuhan kata ya, banyak dipakai oleh
masyarakat muslim Jawa sesuai dengan ajaran Sunan Kalijaga sebagaimana bait
ini.
Aliran
yang berpendapat ada perbedaan menyatakan, zikir Hu Allah akan melahirkan kekuatan supranatural yang kasar dengan
energi yang mudah dideteksi. Di samping itu zikir ini seringkali memunculkan khodim (tunggal) dan khodam (jamak), yaitu pembantu yang berupa
roh gaib, yang bisa jadi bermaksud baik tapi bisa juga buruk. Sedangkan zikir Allahu menurut mereka menghasilkan kekuatan
supranatural yang halus dengan energi yang sulit dideteksi bahkan oleh sang
pengamal. Kekuatan ini lambat datangnya tetapi dahsyat.
Bagi
penganut tasawuf yang sudah mencapai tahap hakikat dan lebih-lebih makrifat, perbedaan
tersebut tidak menjadi persoalan. Perihal khodim misalkan, pada hemat mereka
wajar muncul setiap saat pada manusia, terutama yang sedang mengikuti jalan
tasawuf atau para salik. Sebagaimana kisah terkenal yang dialami Penghulu
Tasawuf Syeh Abdul Qadir Jailani, khodim itu bukan mau membantu para salik,
melainkan menggoda dan mengganggu. Oleh karena itu kita tidak perlu menanggapi
serta meladeni kehadirannya, termasuk apabila mereka menawarkan berbagai hadiah
dan bantuan.
Ada
dua versi cerita mengenai kisah godaan iblis terhadap Syeh Abdul Qadir Jailani,
yang sering dikemukakan oleh mursyid
atau guru tasawuf kepada para saliknya.
Versi pertama mengisahkan, pada suatu hari tiba-tiba muncul suatu
makhluk yang memperkenalkan diri sebagai malaikat Jibril, dan berkata: “Aku
membawa buraq dari Allah. Engkau diundang
Allah untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.” Sang Syeh menjawab, baik Jibril maupun buraq
takkan pernah lagi datang ke dunia selain hanya untuk Nabi Suci Muhammad Saw.
Meskipun
demikian makhluk yang tiada lain adalah iblis itu masih tetap menggoda dengan
cara lain. Ia berkata, “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri
dengan keluasan ilmumu.”
“Enyahlah!”,
bentak Syeh, “Percuma kau menggodaku. Aku selamat bukan karena ilmuku, tapi
rahmat Allahlah yang telah menyelamatkanku dari perangkapmu.”
Versi
kedua mengisahkan, tatkala sang wali sedang berada di hutan tanpa makanan dan
minuman untuk jangka waktu yang lama, tiba-tiba pada suatu waktu awan
menggelayut di angkasa dan turunlah hujan. Beliau meredakan dahaganya dengan
tetesan air hujan. Mendadak muncul sosok cahaya terang di cakrawala seraya
berseru, “Akulah Tuhanmu. Hari ini kuhalalkan bagimu segala yang telah
kuharamkan.” Spontan sang wali berucap,
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Maka sosok
itupun segera berubah menjadi awan, dan berkata, “Dengan ilmumu dan rahmat
Allah engkau selamat dari tipuanku. Bagaimana kamu mengenaliku, padahal sudah
ribuan orang aku jebak dan sesatkan dengan cara seperti ini?” Lalu Syeh
menjawab, Allah tidak pernah mengubah hukumnya. Apa yang telah diharamkan tidak
akan mungkin dihalalkan. (Kisah Nyata
& Ajaran Para Sufi halaman 37-38, Mb.Rahimsyah AR, Penerbit Indah
Surabaya, 1998)
Akan
halnya kekuatan supranatural, para salik yang berkhidmat menekuni suluk-suluk
tasawuf pun berpendapat, tidak peduli dengan hal itu, lantaran bukan itu
tujuannya dalam berzikir mengingat Allah. Yang mereka harapkan adalah dapat
bertawajuh, melepaskan kerinduan dengan memperoleh belaian kasih sayang Allah.
Baik Hu Allah atau pun Allahu pada hematnya akan menghasilkan
bunyi serta pemaknaan yang sama saja, jika kita zikirkan secara ritmis
berulang-ulang.
Berzikir kepada Allah sesuai dengan firman
Allah dalam Surat A Ra’d ayat 28, adalah untuk membersihkan hati. Allah juga telah berfirman dalam hadis qudsi,“Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan
langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin, lunak dan tenang "(HR
Abu Dawud ). Sungguh tepat ungkapan, hati yang bersih yang dimiliki orang-orang
mukmin adalah istana Allah.
Baris ketiga dan keempat bait 30
Kidung Kawedar, menyebutkan tentang adanya dua malaikat yaitu Kirun di sebelah
kanan kita dan Wana Kirun di sebelah kiri, membawa gada besi dan bertugas
menolak semua perbuatan buruk pada diri kita. Nama malaikat Kirun tidak
dijumpai di dalam Qur’an maupun hadis. Melihat tugasnya terhadap manusia,
kemungkinan besar mereka adalan Qarin dari golongan setan yang senantiasa
menggoda dan mengajak manusia untuk berbuat buruk, serta Qarin dari golongan
malaikat yang mengajak pada kebajikan. Pada hemat penafsir, Sunan Kalijaga
dalam kidung menyebut Qarin, tapi pada pendengaran masyarakat adalah Kirun.
Hal itu dikuatkan dengan baris
kedelapan yang menguraikan tugas Kirun membuka hati manusia agar bisa mengenal
Allah. Tenajul berasal dari kata tanazul yang berarti mengenal Allah melalui
hati yang terbuka bersih. Sedangkan rijal memiliki beberapa makna yaitu lelaki,
orang yang berani, tulus, taat azas, berani berkorban untuk berdakwah. Dalam
kaitan bait ini tenajul rijal bisa dimaknai menjadi orang yang bisa mengenal
Allah melalui hati yang bersih yang sudah terbuka untuk itu.
Semua hal baik yang diuraikan dalam
bait-bait Kidung Kawedar, adalah berkat keutamaan kolhu. Kolhu adalah
pengucapan orang Jawa terhadap Surat Qulhu atau Surat Al Ikhlas, sebagaimana
juga menyebut Patekah untuk Al Fatihah.
Kandungan makna dan keutamaan Surat
Al Ikhlas dari berbagai hadis dan riwayat, bisa disebut istimewa. Mari coba
kita segarkan kembali pemahaman atas surat ini:
“Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Qul huwallaahu ahad.
Allaahush shamad.
Lam yalid wa lam yuulad.
Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad.
Artinya:
Dengan asma Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha
Esa.
Allah tempat bergantung segala
sesuatu
Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan.
Dan tiada seorang pun yang setara
dengan Dia.”
Surat Al Ikhlas menegaskan ketulusan
pengakuan umat atas kemurnian keesaan dan kekuasaan Gusti Allah Swt, menolak
segala macam kemusyrikan dan menerangkan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya.
Semua pengakuan dan keyakinan atas keesaan beserta kekuasaan Tuhan itulah yang
dinamai tauhid, yang merupakan induk atau inti sari dari ajaran Islam.
Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar
yang termasyhur menyatakan, Surat ini turun karena pernah ada orang musyrikin
yang meminta kepada Nabi untuk menjelaskan “ macam apa Tuhanmu itu, emaskah dia
atau tembaga atau loyangkah?” (Juz XXIX – XXX halaman 303). Menurut hadis
riwayat Tarmidzi, memang ada orang yang meminta kepada Nabi agar menguraikan
nasab, yaitu keturunan atau sejarah Tuhannya. Maka datanglah surat yang tegas
ini tentang Tuhan.
Ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan
keesaan, kesempurnaan serta kekuasaan Tuhan, sekaligus menegaskan bahwa yang
tidak mempunyai kedua sifat tersebut bukan Tuhan, tidak pantas dan tidak bisa
disebut Tuhan. Sedangkan ayat ketiga dan keempat menegaskan perbedaan Tuhan
dengan manusia dan makhluknya. Dia sudah ada sebelum yang lain ada, bukan anak
siapa-siapa dan tidak memiliki seorang anak pun. Begitu sempurnanya sifat dan
kekuasaan Allah, sehingga tiada siapa pun dan tiada sesuatu pun menyamainya.
“Qul
Huwallaahu Ahad, katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”, adalah puncak
ilmu tentang akidah. Oleh sebab itu pula ada sejumlah hadis yang menyatakan
sabda Rasulullah bahwa nilai Surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Sejumlah hadis yang cukup sahih sebagaimana diuraikan antara lain dalam Tasir
Al Azhar, mengungkapkan berbagai keutamaan surat ini, misalkan siapa yang
membacanya akan disenangi Allah (Hadis Riwayat Bukhari), dan “wajib orang itu
masuk surga” (Hadis Riwayat Tarmidzi).
Dengan keutamaan-keutamaan Surat
Ikhlas tadi, maka tidak berlebihan apabila Sunan Kalijaga memberikan kabar
gembira kepada siapa yang mempercayainya, ambalik
lara roga. Kembali atau tertolak semua penyakit dan penderitaannya.
Allahumma aamiin.
Itulah contoh beberapa bait dari Suluk Kidung Kawedar yang seluruhnya
berjumlah 46 bait. Sedangkan Suluk Kidung
Kawedar itu sendiri hanya merupakan salah satu dari sejumlah Suluk Demak,
yakni Suluk-Suluk Dakwah yang berkembang di masa Kesultanan Demak, yang
dirintis oleh Sunan Bonang.(Tafsir dan kajian tentang Suluk Kidung Kawedar,
sudah kami bahas secara cukup mendalam dan berseri dalam blog http://islamjawa.wordpress.com dan http://bwiwoho.blogspot.com serta facebook Tasawuf Djawa Full).
Menata Ulang Kebudayaan Nusantara.
Dari
uraian serta suluk-suluk di atas, generasi sekarang dan mendatang bisa menarik
pelajaran yang sangat berharga, yakni keberhasilan para ulama abad XV – XVI
dalam mengislamkan pulau Jawa, demikian pula nampaknya ulama-ulama lain di
Nusantara, bukanlah dengan membongkar total sekaligus ataupun menendang agama,
kepercayaan, adat istiadat lama apalagi budaya dan kearifan lokal, tetapi
dengan secara bijak menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis dengan
agama dan tata nilai baru. Hal itu bisa kita lihat dari adat budaya berbagai
suku di Nusantara yang beragama Islam, yang tidak dijumpai dalam adat budaya
bangsa-bangsa Arab, misalkan upacara adat tepung tawar di Aceh dan Melayu,
serta persembahan kapur sirih yang dilakukan oleh suku-suku lain. Demikian pula
berbagai upacara adat perkawinan yang syarat dengan makna-makna simbolik
tentang petuah-petuah kehidupan berumahtangga. Pada sebagian besar suku-suku
Melayu terutama di pulau Sumatera, semua adat-istiadat yang nampak indah dan
memuat budaya serta kearifan lokal tersebut, sudah ditata ulang mengikuti
ungkapan “Adat bersendi syara’ (hukum-hukum Islam) dan syara’ bersendi
kitabullah (Al Qur’an).
Tak
pelak lagi, para wali yang berdakwah di Nusantara sangat menghayati hakikat
dari Surat Al Hujuraat (49) ayat 13 : “
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah
ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Teliti.”
Jelas
bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak menciptakan umat manusia sejagat raya hanya
menjadi satu suku, satu bangsa dan satu agama, melainkan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, tentu saja dengan adat budaya masing-masing sebagai ciri
sesuatu suku atau pun sesuatu bangsa.
Kembali
kepada keberhasilan dakwah para ulama dalam mengislamkan Nusantara khususnya
Jawa, tentu tiada gading yang tak retak. Tiada sesuatu yang langsung sempurna
paripurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk terus
memperbaiki dan menyempurnakan. Bahkan bila perlu melakukan
pembaharuan-pembaharuan dengan cara yang bijaksana dan lebih baik pula. Dari
bahasan di atas setidaknya kita bisa berguru, bisa mengambil hikmah dari Sunan
Kalijaga dalam memandang Nusantara. Dengan bercermin pada kearifan para wali,
para ulama penyebar Islam di Nusantara, kita akan bisa menata ulang kebudayaan
Nusantara yang damai sejahtera, sebagaimana tema acara Suluk Maleman kita di
Pati - Jawa Tengah malam ini, Sabtu 16 Mei 2015 (28 Rajab 1436H): “Berguru Pada
Sunan Kalijaga, Berguru Pada Kearifan Nusantara”.
Alhamdulillah
aamiin.
B.Wiwoho