(Pengantar: tepat 14 tahun yang lalu, 21 Mei 1998, tanpa
diduga oleh siapa pun, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai
Presiden Republik Indonesia.
Guna mengenang peristiwa tersebut, dengan ini saya persembahkan sebuah tulisan tentang salah satu hal dari
Pak Harto, sebagai bahan renungan dan iktibar bagi kita semua, bangsa Indonesia.
Semoga)
MENGGALI kenangan
lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak
hal yang menarik untuk ditulis, sementara
saya harus memilih salah satu topik.
Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan Kepresidenan
menjelang akhir 1972 adalah, Pak Harto itu orangnya tenang, berwibawa dengan
wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri
dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar.
Tidak mudah menjadi pendengar yang baik, lebih-lebih bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak
demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar
mendengarkan ucapan ataupun keterangan lawan bicaranya, dan jarang
menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya
selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun saya melihatnya mengangkat dan
kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang
yang merasa dirinya hebat.
Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau
tampil bersahaja, sederhana apa adanya,
tidak banyak basa-basi serta tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian
di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat
dari bahan katun biasa yang murah, bukan
sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan
batik cap dari bahan sutera tiruan. Meskipun
demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos.
Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal
itu kepada saya dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna
melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo. "Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal tidak pernah melihatnya mengangkat kakinya." Sikap seperti itu menurut pak
Kyai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan
kepribadian yang kokoh kuat, sabar dan tenang, pandai mengendalikan diri, rendah
hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.
Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan
formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola
negeri besar ini selama 32 tahun. Dengan kepribadian yang seperti itu pula
beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis
laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu
demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.
Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk
pikuk berlarut-larut.
Sebagai mantan wartawan yang pernah bertugas di Istana dan mengenal sangat
dekat karena tugas –tugasnya: antara lain tokoh-tokoh Pimpinan
Operasi Khusus (OPSUS) Ali Murtopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen
Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30
tahun, alm Radius Prawiro dan Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro
(alm), saya sering memperoleh bocoran catatan sebagian daftar 300-an
tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang
sewaktu-waktu dapat direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden.
Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti
catatan daftar belanja, selalu tersedia
dan senantiasa dinamis-diperbarui.
Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang-bidang politik dan
keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional
maupun daerah, khususnya teman-teman seperjuangannya, sehingga daftar tersebut
dapat dengan mudah beliau susun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan,
beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta
mendalami informasi tersebut dan juga dari media massa,
kemudian menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat beliau membutuhkan, beliau
menugaskan Opsus/BAKIN, untuk mengecek
dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk,
informasi tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang
siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa sedulur-sesumur
(saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat
perjuangannya terutama rasa setiakawan-loyalitas kepada pimpinan dan senior,
bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran dan kapasitas
pribadinya. Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta
dan wanita/pria. Beliau ingin betul – betul mengenal secara mendalam dan yakin
mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola
negara.
Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi
Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan
itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah
berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir
setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi
dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak
Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak saya menenangkan diri ke Jepang
hampir selama 2 minggu.
Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan
pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah akan
mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara
selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode
kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah periode puncak keemasan
kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah.
(3). Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi
sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi
serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan
kesenjangan generasi. Di lain pihak
kesenjangan generasi juga akan mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga
menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak
maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan
kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Pak Yoga akan mengamankannya.
Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan
ditolak oleh dua orang pejabat penting
lainnya melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil
sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan
seraya cenderung mendukung Pak Yoga.
Kembali pada cara Pak Harto memilih pembantu-pembantunya,
Pak Ali Murtopo pernah menceritakan kepada saya, Pak Harto bukan hanya
mengamati rekam jejak yang bersangkutan dalam jangka panjang, tapi juga
menggunakan feeling, mata batin dan bisikan nuraninya. Kadang-kadang beliau
juga meminta pendapat atau second opinion kepada seseorang atas seseorang. Hal
inilah yang oleh orang-orang yang tidak suka terhadap Pak Harto dibilang Pak
Harto menggunakan dukun., termasuk dianggap dukun adalah Asisten Pribadi Presiden Sudjono Humardhani (alm). Menanggapi isyu
tersebut, Pak Sudjono pernah komentar, “Ngawur, mana mungkin Pak Harto berdukun
ke saya. Ilmu dan kekuatan batin Pak Harto itu lebih hebat dari saya dan para
dukun”.
Tentang itu, Pak Ali Murtopo pernah bercerita, pada suatu
malam di awal Orde Baru, Pak Harto – Ali Murtopo – Sudjono Humardhani sedang
duduk-duduk bertiga. Tiba-tiba Pak Harto mengeluarkan sebuah cicin berhiaskan
batu permata dan seutas benang, yang kemudian dimasukkan ke dalam cincin dan
ujung-ujungnya saling diikatkan sehingga membentuk kalung. Beliau meminta Pak
Ali bergantian dengan Pak Sudjono memegang ujung benang dengan posisi cincin
sebagai bandul. Ujung siku dari tangan yang memegang kalung menempel di meja,
sedangkan tangan ditegakkan ke atas. Mereka berdua diminta berkonsentrasi menggerakkan serta
memutar cincin, tanpa boleh tangannya bergerak sedikitpun. Hasilnya, Pak
Sudjono bisa menggerakkan pelan-pelan, Pak Ali bergerak sedikit lebih kencang,
sedangkan Pak Harto, luar biasa, cincin bisa bergerak ke kiri, ke kanan bahkan
berputar.
Menurut Pak Ali Murtopo, Pak Harto memiliki feeling,
memiliki mata batin yang kuat terhadap seseorang. Feeling tersebut digunakan
untuk bertanya pada dirinya sendiri, apakah Pak Harto dan seseorang yang akan
dipilih menjadi pembantunya memiliki kecocokan satu sama lain. Apakah seseorang
tadi bakal memiliki loyalitas serta setiakawan yang tinggi atau tidak, menghasilkan sinergi yang baik atau tidak.
Berdasarkan laporan intelijen dan feeling, yang semuanya
diproses secara tertutup, Pak Harto mengambil kata akhir serta memutuskan
sendiri pilihannya. Terkait keputusan tersebut Pak Yoga pernah bercerita kepada
saya, sarannya agar Pak Harto tidak mengangkat seseorang menjadi Menteri
ditolak. Di kemudian hari, Menteri ini termasuk dalam kelompok Sebelas Menteri yang tidak loyal lagi kepada Pak
Harto. Mereka menyatakan mengundurkan diri dari jajaran Kabinet yang baru
berumur 70 hari alias keberatan mendukung Pak Harto lagi. Surat pengunduran diri sebelas Menteri pada
Rabu malam 20 Mei 1998 itu, bersama
sejumlah masalah lain, mendorong watak keras Pak Harto keluar, “ora dadi
Presiden yo ra pateken (tidak jadi Presiden ya tidak akan kena penyakit patek,
maksudnya ya tidak apa-apa, tidak akan rugi)”, sehingga keesokan harinya beliau
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.
Ada
suatu ajaran sikap keras yang ditanamkan
pada anak-anak Jawa tempo dulu, untuk menolak hal-hal yang bersifat duniawi
jika hal tersebut sudah menyentuh harga diri. Tahap yang paling lunak adalah
ungkapan “tidak pateken” tadi. Lebih keras lagi adalah, tetap bergeming, tidak
berubah sedikit pun karena sudah
terlanjur sakit hati walau mau ditebus, mau dibeli ataupun mau diobati dengan
uang emas sekeranjang. Dan yang lebih fatal adalah jika sudah marah besar, maka
orang yang melukai hatinya akan dilawan meskipun berisiko “pecahing dada
wutahing ludira (dada pecah dan darah tumpah)”. Bahkan sangat mengerikan bila
sampai tahap menghadapi lawan dengan sikap, “tak tumpes sak cindil abange (saya
tumpas seluruh anak keturunannya, termasuk bayi yang masih merah)”. Naudzubillah.
Pak Yoga juga pernah memberikan catatan terhadap seorang
Calon Wakil Presiden, bahkan meminta saya membantu mempertemukan dengan seorang
Jenderal Purnawirawan yang saya kenal baik, agar mau memberikan kesaksian atas
masa lalu Calon Wakil Presiden tersebut. Apa jawaban Pak Harto kepada Pak Yoga
mengenai dua orang dalam waktu yang berbeda tadi? Kalimatnya pendek dan sama
persis, “ Saya tahu, tapi orang kan
bisa berubah. Dan saya yang akan tanggungjawab.”
Meskipun sarannya ditolak, Pak Yoga menghormati keputusan
Pak Harto, karena sebagai seorang staf, kewajibannya hanyalah menyampaikan
pendapat. Sedangkan keputusan akhir ada di pimpinan, dalam hal ini Pak Harto.
Ia menghargai sikap Pak Harto yang “lembah manah” atau pemaaf, yang masih bisa
memberikan kepercayaan kepada seseorang yang pernah berbuat salah atau pun
berbeda sikap, sedangkan dirinya berpegang teguh pada peribahasa, “sekali
lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”. Memang ada sedikit “ganjelan”
di hati, sedikit kekecewaan, karena pada saat itu Pak Harto tidak membuka ruang
dialog. Padahal apa yang disampaikan,
telah dikaji secara obyektif berdasarkan analisis psikologi intelijen yang
dipelajarinya sewaktu menjadi taruna Akademi Militer di Jepang tahun 1942 –
1945 dan pendidikan di lembaga intelijen
sangat bergengsi di dunia M-16 Inggris
tahun 1949 – 1950. Namun mau bagaimana lagi, Pak Harto telah menggariskan
otoritasnya selaku pimpinan, bahkan dengan menegaskan akan
bertangganggungjawab.
Demikianlah, sesudah memperoleh masukan yang lengkap, Pak Harto memutuskan
sendiri secara diam-diam tanpa ada yang tahu pasti, kecuali sekedar
menduga-duga. Tidak seperti perusahaan merekrut calon karyawan yang menerapkan
sistem “fit and proper test” terbuka, calon-calon
anggota Kabinet yang akan diangkat dan telah diamati kapasitas serta rekam jejaknya secara mendalam, beliau telpon sendiri secara langsung, atau dipanggil menghadap ke rumah kediaman di
Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat, untuk diberitahu serta diminta kesediaannya
membantu memimpin bangsa dan negara, bersama-sama mengelola Pemerintahan.
Kepada yang bersangkutan dipesankan agar tidak memberitahukan hal itu kepada
siapa pun termasuk anak isteri/suami, sampai saatnya nanti pengumuman Kabinet.
Bagi kami
wartawan-wartawan yang meliput kegiatan Kepresidenan, cara tersebut menjadi
tantangan tersendiri. Kami harus bisa mengendus dengan tepat. Agar begitu
Kabinet diumumkan, yang biasanya berlangsung malam hari di Istana Merdeka, kita
bisa langsung sekaligus menurunkan foto serta menulis apa-siapa dan riwayat
perjuangan, minimal riwayat hidup resmi
para anggota Kabinet. Pada masa itu belum ada internet seperti sekarang, yang
bisa menjadi sumber informasi hampir mengenai apa saja. Oleh karena itu kami
tidak boleh kehilangan akal dalam mengorek informasi. Sumber informasi pertama
adalah adalah orang-orang dekat Pak Harto yang berpotensi dimintai pendapat
oleh beliau. Sumber kedua, adalah orang-orang yang sehari-hari berada di sekeliling pak Harto, yang mengetahui
siapa-siapa saja yang pada hari-hari menjelang pengumuman Kabinet ditelpon atau
dipanggil Pak Harto. Ada
juga yang tekun memantau siapa-siapa tamu yang datang ke Cendana., meskipun
yang bersangkutan menolak memberikan keterangan. Berdasarkan informasi yang
pada umumnya hanya sepenggal-sepenggal tadi , kami berdiskusi dan kemudian
mereka-reka susunan Kabinet, bagaikan orang menyusun puzzle mozaik. Hasilnya,
lebih dari 90 persen betul, bahkan tidak jarang 100 persen.
Betapa penting orang-orang di sekeliling pemimpin, diakui
oleh para tokoh dunia dari masa ke masa. Entah Pak Harto pernah mempelajari filosofi Khong Hu
Chu, Aristoteles, nasihat kepemimpinan
Nabi Muhammad dan Al Ghazali atau tidak, tapi jejak langkah kepemimpinannya
mencerminkan hal-hal yang diajarkan tokoh-tokoh dunia tersebut. Khong Hu Chu
misalkan, mengajarkan sikap hidup yang paling mulia sekaligus menjadi kunci
sukses pertama dalam kehidupan adalah loyalitas. Di mana pun dan kepada siapa
pun kita bekerja, kita harus loyal.
Kanjeng Nabi Muhammad menyatakan, “Apabila Allah berkenan
untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan
baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka menteri itu akan
mengingatkannya, dan bila ia ingat maka akan membantunya. Tetapi apabila Allah
berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat,
yang bila Sang Pemimpin lupa, maka sang menteri tidak mengingatkan, dan bila
ingat tidak membantunya.”
Tentang kepemimpinan, filsuf Islam terkemuka, Al Ghazali
menulis panjang lebar dalam bukunya “Nasihat Untuk Penguasa”. Dalam hal
para pembantu , Al Ghazali mendukung pendapat filsuf Yunani, Aristoteles yang
menyatakan: “ Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak
burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya memiliki
kecerdasan serupa, bagaikan banyak burung rajawali, bukan seumpama
bangkai.”
Dalam konteks ini, Al Ghazali menggariskan 5 kewajiban seorang Pemimpin yaitu:
1.Menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya.
2.Membangun negeri, merekrut orang-orang cerdas dan potensial.
3.Menghargai orang tua dan orang bijak.
4.Melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan melakukan
penertiban serta pembersihan terhadap segala tindak kejahatan.
5.Taat pada aturan serta Undang-Undang dan jangan sekehendak hati.
Seorang pemimpin, tulisnya lagi, harus menghindari 3 hal yang sangat berbahaya
karena mudah menipunya yaitu, kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat
serta pengetahuaannya sendiri. Akan hal ini. Si jelita yang gagah berani, Antigone
puteri Oedipus dalam Mitologi Yunani juga menyatakan dalam kecamannya
terhadap Kreon, sang penguasa Tebes: “ Kelemahan seorang tiran, melakukan apa
saja yang dipikirnya cocok tanpa banyak mendengar pikiran rakyatnya”.
Dari sepenggal kisah ini, insya Allah kita bisa mengambil
iktibar, menarik pelajaran yang berharga. Pertama, terlepas dari kekurangan dan
kelemahannya sebagai manusia, Pak Harto adalah orang besar yang pernah memimpin
Indonesia, tumbuh menjadi negara kepulauan yang disegani oleh para pemimpin
dunia khususnya Asia Tenggara. Pada dasa warsa I kepemimpinannya, beliau
didampingi orang-orang muda yang bagaikan burung-burung rajawalinya
Aristoteles, yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi dengan baik. Mereka
memiliki kapasitas yang sepadan dengan tugas dan tanggungjawabnya, berani
pasang badan untuk Pak Harto serta bukan sekedar Asal Bapak Senang. Pada dasa
warsa II, tim rajawali itu makin
berpengalaman dan masih memiliki stamina yang memadai.
Kedua, Pak Harto juga orang yang hebat dan kuat. Tapi
sekuat-kuat orang, suatu saat akan lemah juga. Sekuat-kuat penguasa, pasti
memiliki kelemahan. Sepandai-pandai
tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Hal yang sangat sederhana ini dalam
kenyataannya sering dilupakan para penguasa dunia, termasuk Pak Harto.
Ketiga, setiap masa, setiap generasi memiliki pemimpinnya
sendiri. Setiap masa dan setiap generasi memiliki ukuran nilai sendiri-sendiri.
Karena itu janganlah pernah merasa kita bisa menjadi pemimpin pada semua
masa,pada semua generasi. Janganlah pernah merasa tidak akan ada orang yang
bisa menggantikan kita, sebab tidak akan ada pesta yang tidak berakhir. Naik
tahta dan turun tahta, panas dan dingin, gelap dan terang adalah kodrat
kehidupan yang bagaikan dua sisi dari satu keping uang logam. Sebagaimana filosofi Jawa yang sering dikutip
Pak Harta dalam berbagai dialog, “ Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa
lan ngrumangsani (jangan merasa bisa, tapi hendaknya bisa merasakan dan tahu
diri)”. Karena itu sebagaimana pula nasihat orang-orang bijak, kuasailah cara
turun sebelum kita mendaki ke puncak. Jangan menunggu setelah kita di puncak,
karena memegang kekuasaan itu ibarat menunggang harimau, yang jika tidak
hati-hati dan tidak berkah akan menerkam kita. Sementara itu siapkanlah kader-kader
pengganti yang lebih baik dari kita,
sebab seorang pemimpin yang sungguh-sungguh berhasil, dinilai pula dari
keberhasilannya mendidik penerusnya.
Pak Harto telah mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun
masih ada lagi sepenggal dialog yang amat menggetarkan perasaan kita,
sebagaimana diceritakan Ustadz saya, Buya Kyai Haji Endang Bukhari Ukasyah dari
Sumedang. Tatkala Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, beliau pernah
mengirim utusan menemui Buya di pesantren, memohon Buya untuk berkenan silaturahim
ke Cendana. Karena memegang kaidah keulamaan, Buya menolak undangan tersebut.
Undangan kedua diterima dan dipenuhi sesudah Pak Harto lengser. Dalam
kesempatan itu Pak Harto menyatakan, “ Pak Kyai, saya tidak minta macam-macam.
Saya sudah ikhlas menerima keadaan, menerima ini semua. Saya hanya minta,
tolong bantu doakan saya agar saya tabah dan kuat memikul ini semua”.
Subhanallah. Semoga Pak Harto memperoleh derajat yang mulia
di sisiNYA. Aamiin.
Beji, 21 Mei 2012.